Monday 14 September 2009

TREN DZIKIR PERKOTAAN

Hari Sabtu tanggal 12 September yang lalu atau bertepatan dengan tanggal 23 Ramadhan, saya pergi ke Masjid at-Tin untuk beri`tikaf. Malam itu adalah malam ganjil yang sering dikaitkan dengan turunnya lailatul qadr. Saya sampai di masjid besar itu pukul 1 dini hari. Namun, apa yang saya lihat? Masjid itu penuh sesak dengan manusia yang sedang beri`tikaf. Mereka datang lebih dulu daripada saya. Mereka membawa segenap teman dan keluarga mereka. Masjid at-Tin yang dingin dan nyaman untuk beri`tikaf dalam bayangan saya, berubah menjadi seperti posko bencana alam. Subhanallah . . .

Saya tipikal orang yang tidak menyenangi keramaian. Jika sedang dalam situasi macet, sambil merasa kesal, saya sering bergumam lagi ngapain sih, ni orang2???. Tapi kali ini, saya tidak bisa bergumam seperti itu lagi. Keramaian di at-Tin adalah fenomena dzikir perkotaan yang patut disyukuri. Subhanallah . . .

10 tahun yang lalu, entah mungkin sekitar itu, ibadah i`tikaf tidak sepopuler saat ini. Masyarakat belum terlalu mengenal dengan baik jenis ibadah yang satu ini. Tabligh dan ta`lim yang ada tidak terlalu memobilisasi masyarakat untuk bergerak ke masjid untuk beri`tikaf. Saya sendiri baru mengenal ibadah ini ketika duduk di bangku SMA, itupun di saat2 terakhir masa sekolah ketika saya berislah dengan teman2 rohis.*

Tapi itu dulu, saat ini zaman telah berubah. Seperti halnya harokah dan kebebasan berorganisasi serta kedewasaan demokrasi di negara ini yang terus berkembang, masyarakat sudah jauh lebih baik. Dakwah Islam yang bersifat revivalis berkembang dengan sangat bebas di tengah masyarakat. Beberapa elemen masyarakat yang sudah terlebih dahulu akrab dengan peribadatan sunah seperti ini semakin menemukan objek dakwah mereka. Dan pada akhirnya, seperti yang kita lihat hari ini. Perlahan tapi pasti, masyarakat semakin sadar tentang pentingnya ibadah di 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Apapun hakikatnya, pemandangan yang saya saksikan di at-Tin malam itu telah menggugah hati dan pikiran saya tentang karakter dakwah umat Islam di Indonesia. Saya bertanya-tanya, siapa gerangan yang telah menggerakan sekian banyak orang untuk beri`tikaf di masjid ini. Sebelumnya saya sering berpendapat bahwa hanya saya dan teman2 saya yang paling giat menghidupi budaya i`tikaf dari halaqoh ke halaqoh. Tapi sekarang, lihatlah at-Tin!! Apakah mereka semua berhalaqoh? Apakah mereka selalu bertemu tiap pekannya? Apakah mereka semua memiliki manhaj yang sama? I dont think so . . Jadi jelas, keberhasilan dakwah ini adalah pertolongan Allah dan bukan dominasi peran "kami" atau "mereka". Ya, betul, dakwah ini akan tetap ada, dengan atau tanpa kita . . dan saya teringat kata2 ayah teman saya di ponorogo, dia bilang jika kita masih berpegang kepada qur`an dan sunah, pada suatu hari nanti, kita akan bertemu dalam satu garis perjuangan yang sama, insya Allah.

* Ishlah : berdamai atau rekonsiliasi