Thursday 26 November 2009

PERSEPOLIS


Satu lagi film propaganda yang membutuhkan modal wawasan untuk membentuk persepsi akhir mengenai isi cerita.

Film ini bercerita tentang hidup seorang wanita Iran yang bernama Marjane Satrapi. Konflik yang diangkat dalam film ini diambil dari perspektif kaum proletar di Iran. Mereka kebanyakan adalah orang-orang yang berhaluan kiri dalam memperjuangkan revolusi Iran. Marjane dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang berhaluan nasionalis – sekuler. Mereka menentang keras kediktatoran rezim Syah Iran. Namun, di sisi lain mereka juga tidak sepaham dengan ideolog religi yang diusung oleh mayoritas pendukung revolusi. Internalisasi nilai pada diri Marjane berlangsung di lingkungan keluarganya. Ayahnya adalah orang yang menentang keras Rezim Syah. Kakek dan pamannya merupakan pejuang revolusi yang keluar-masuk penjara.

Setelah revolusi berhasil menumbangkan rezim Syah, muncul masalah baru di tengah-tengah keluarga Marjane. Penggambaran masalah ini mewakili perasaan banyak rakyat Iran ketika mereka masuk di era pasca-revolusi. Keluarga Marjane yang tadinya merupakan pejuang revolusi, berubah menjadi keluarga yang senantiasa diintimidasi oleh aparat pemerintah. Hal ini disebabkan adanya perebutan kekuasaan antara elemen pendukung revolusi. Revolusi yang berhasil menumbangkan Rezim Syah Iran ternyata memunculkan ideologi tunggal yang bersifat memaksa dan menekan. Ideologi yang dimaksud adalah Wilayatul Faqih yang menjadi legenda dalam sejarah revolusi Islam. Dengan adanya sistem baru yang jauh berbeda dari sebelumnya, masyarakat Iran dipaksa untuk menjalankan kehidupannya berdasarkan syariat Islam yang dipahami secara tunggal oleh pemimpin. Hal ini tentu saja menimbulkan instabilitas horisontal di dalam masyarakat. Nilai-nilai kebebasan yang selama ini diimpikan sebelum revolusi ternyata jauh panggang dari api.

Kondisi ini kemudian diperparah dengan adanya Perang Irak – Iran selama 8 tahun (1980 – 1988). Dari beberapa buku yang pernah saya baca, banyak pendapat yang mengatakan bahwa perang Irak – Iran merupakan strategi politik Khomeini untuk mendapatkan stabilitas di dalam negerinya. Banyak yang berpendapat Khomeini menggunakan filosofi Common Enemy dalam perang Irak. Bayangkan, perang itu terjadi satu tahun setelah revolusi. Di saat seluruh masyarakat sedang meraba-raba arti kebebasan dan mulai menata masa depan mereka. Pada kenyataannya, perang tersebut memang meleburkan konflik yang ada di antara elemen pendukung revolusi. Mereka terpaksa menanggalkan kepentingan pribadi mereka untuk bersatu padu melawan Saddam Hussein. Namun, di sisi Khomeini sendiri, perang ini memberikan semacam otoritas bagi penguasa baru untuk mengatur jalannya pemerintahan sekaligus merebut hati rakyat Iran. 8 tahun masa perang memberikan kesempatan bagi Khomeini dan Wilayatul Faqihnya untuk mengakar dalam sistem pemerintahan dan konstitusi Iran yang baru. Pada akhirnya, usaha ini mendatangkan korban di kalangan masyarakat Iran. Mereka yang menjadi korban secara langsung adalah golongan yang tidak sepaham dengan sistem syariat Islam yang diberlakukan di Iran. Kisah mereka diwakili oleh Marjane Satrapi dan keluarganya.

Terlepas dari masalah yang ada di Iran. Marjane Satrapi sendiri menghadapi masalah pribadi yang berat ketika ia sekolah di Wina. Ia menghadapi shock culture dan salah pergaulan. Latar belakangnya sebagai orang Iran membuatya minder. Di samping itu, dia menjalani kisah cinta yang tragis dengan dua orang pria. Intinya, dia tidak mendapatkan apa-apa di Eropa kecuali penderitaan. Namun, di sisi lain dia mendapatkan internalisasi nilai kebebasan selama di Wina.

Setelah dia kembali ke Iran, perang telah berakhir. Sesuai dengan yang sudah saya gambarkan sebelumnya, sistem Wilayatul Faqih akhirnya tegak dan mapan berdiri di negara tersebut. Marjane harus beradaptasi dengan lingkungan yang begitu ekstrim dibandingkan sewaktu dia di Wina. Di Eropa, dia menemukan kebebasan dalam bertindak dan bergaul dengan siapa saja. Tentu saja kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan versi Barat. Kebebasan itu ternasuk berfikir dan berpendapat, suatu hal yang sangat sulit didapatkan di Iran.

Konflik dan pertentangan nilai antara Marjane dengan Wilayatul Faqih mendominasi adegan-adegan film ini seterusnya. Contoh adegan itu seperti kejar-kejaran antara polisi Iran dengan teman-temannya yang menggelar pesta. Kemudian adegan ditangkapnya Marjane yang sedang berdua-duaan dengan kekasihnya. Dan lain-lain. Adegan-adegan tersebut mengakumulasi dan menggiring opini penonton mengenai karakter sebuah rezim pemerintah Islam. Wilayatul Faqih yang banyak menerapkan syariat Islam di dalamnya, digambarkan sebagai suatu sistem yang tidak lebih baik dari otoritarianisme Syah Iran.

Saya tidak terlalu mengharu-biru melihat penderitaan Marjane yang diangkat dalam film ini. Bagi saya, setiap perubahan pasti memakan korban. Wilayatul Faqih yang dijadikan oposisi karakter tokoh dalam film ini, di lain pihak merupakan pembebas bagi jutaan rakyat Iran. mereka adalah orang-orang Islam yang menginginkan syariat agama mereka dapat dijalankan dengan perlindungan penuh penguasa. Ketika terjadi banyak konflik dan gesekan selama masa perubahan tersebut, hal itu sangat wajar. Seandainya kita balik posisinya dimana seorang muslim Iran merasa sangat tersiksa dengan kebudayaan barat yang mengusik ketenangan spiritiualnya, maka kita bisa memahami situasi ini secara utuh. Pada akhirnya, kita akan mencoba mencari kompromi2 politik untuk menengahi konflik yang ada.

Film ini jelas propaganda, tapi propaganda yang mencerdaskan.

Saturday 14 November 2009

SIKAP DIAM FRAKSI PKS


Banyak orang-orang bertanya mengenai diamnya PKS dalam mengahadapi kasus KPK-Polri saat ini. Sikap diam mereka bahkan lebih terasa daripada gaya lamban SBY dalam merespon kasus ini.

Bahkan, kita bisa melihat sikap Fachri Hamzah yang terkesan mendukung kepolisian dalam kasus KPK-JAKSA-POLRI. Sikap itu tentu saja sangat mengecewakan banyak pihak. Kekecewaan itu tentu saja sangat beralasan, mengingat Fachri Hamzah adalah anggota dewan dari Partai Keadilan Sejahtera, partai yang citranya sangat lekat dengan kepedulan dan kebersihan kader-kadernya. Yah setidaknya itu yang dijargonkan.

Ada beberapa penjelasan yang memang tidak populer bagi masyarakat untuk menerima sikap Fachri Hamzah dan PKS dalam kasus Cicak-Buaya tersebut.

1. Koalisi PKS dengan Demokrat yang disusung untuk 5 tahun ini berada di ujung tanduk apabila kasus Bank Century berhasil memakzulkan SBY-Boediono. Ingat. Isu yang beredar di masyarakat pemerhati korupsi mengatakan bahwa kasus Bank Century terkait erat dengan mantan pimpinan Bank Indonesia. Tidak salah apabila PKS cenderung mengambil posisi aman demi koalisi yang diusung untuk 5 tahun kedepan. Scenario terburuk adalah pemakzulan Boediono sebagai mantan petinggi BI yang terkait kasus Bank Century. Isu lainnya mengatakan bahwa selisih bantuan yang dikeluarkan pemerintah digunakan untuk membantu biaya kampanye Partai Demokrat. Singkat kata, apabila koalisi ini hancur, maka PKS akan menjadi musuh bersama bagi partai-partai besar yang ada. Karena sudah sangat terlambat bagi PKS untuk menjajaki koalisi bersama Golkar ataupun PDIP. Dalam dunia gerakan Islam, kondisi tersebut berarti siaga 3 bagi dakwah dan pergerakan. Ingat, salah satu alasan utama koalisi PKS dengan Demokrat adalah disepakatinya sebuah payung dakwah (mizhollatul da`wah) bagi gerakan Islam di Indonesia khususnya Tarbiyah.

2. Bersikap kalem terhadap Polri yang sedang menjadi common enemy di tengah masyarakat merupakan sikap yang masuk akal. Penjelasan atas hal ini bisa kita kaji dari temuan Polri terkait para pelaku kejahatan terorisme yang ditangkap di UIN. Banyak dari mereka yang memiliki latar belakang aktivis tarbiyah (Partai Keadilan/Partai Keadilan Sejahtera). Jika kita mengkaji ke belakang, fenomena terorisme tahun 2009 memang berbeda dengan tahun 2002 dan 2006. salah satu perbedaan yang mencolok adalah latar belakang para pelaku. Terorisme tahun 2002 dan 2006 banyak dilakukan oleh para aktivis/mantan aktivis Darul Islam. Sedangkan tahun 2009, para pelaku teror banyak yang merupakan mantan aktivis tarbiyah atau salafi. Jika PKS ikut dalam arus menyerang Polri, maka bukan tidak mungkin, Polri dengan seperangkat kepercayaan masyarakat yang sudah dimilki mereka dalam menumpas terorisme, akan mengarahkan moncong senjatanya kepada PKS. Bukankah belakangan ini kita semakin sadar kalau Polri sangat sakti dalam memainkan barang bukti?

Secara global, fenomena terorisme mengalami pergesaran yang sangat dramatis. Pada tahun 2001 pasca peledakan WTC, al-Qaeda dan jaringannya selalu menjadikan aset negara Barat sebagai sasaran serangan. Berkali-kali terjadi serangan bom bunuh diri di negara-negara Barat yang menjadikan al-Qaeda sebagai organisasi teroris nomor satu di dunia. Kita ingat setelah Amerika, Inggris sempat mereka serang. Kemudian bom besar di kota Madrid, Spanyol dan lain-lain.

Namun, 2 tahun belakangan ini, para pelaku bom menjadikan negara-negara muslim sebagai sasaran baru mereka. Kita bisa mengkliping berita pengeboman yang terjadi di negara-negara seperti Pakistan, bahkan Mumbay, India yang notabene merupakan kantong warga muslim di India. Apa yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu rangkaian dari rantai global terorisme yang sudah mulai bergeser di dunia. Tiba-tiba, para pejuang Islam ini menjadi seperti George W.Bush yang mengatakan "either you with us or with terrorist". Jadi, tidak ada opsi bagi kita di hadapan mereka. Jika kita tidak melawan Barat, maka kita adalah bagian dari musuh Islam. Setiap negara muslim yang mendukung atau membiarkan terjadinya penjajahan negara Barat atas dunia Islam dianggap sebagai musuh. Itulah yang terjadi saat ini.

Ust.Hilmi Aminudin dalam pengarahannya untuk anggota Dewan dari PKS mengatakan bahwa fenomena ini merupakan hasil kerja intelejen barat yang menyusup ke setiap gerakan Islam Politik yang ada. Mereka masuk ke dalam Tarbiyah, Salafi dan HTI dan meracuni mereka dengan paradigma baru mengenai target serangan. Di PKS sendiri, fenomena ini sudah terlihat dengan kemunculan FKP (Forum Kader Peduli) 2 tahun yang lalu. Mereka tiba-tiba muncul dengan perasaan kecewa terhadap jamaah yang dianggapnya sudah melenceng jauh dari cita-cita syariah Islam. Mereka tiba-tiba menjadi orang-orang yang paling anti dengan demokrasi dan politik ala Barat. Di Salafi, fenomena ini lebih dashyat lagi, mereka yang pada dasarnya sudah menganggap politik sebagai bid`ah, mulai melahirkan pemikiran untuk mengangkat senjata. Taliban adalah bentuk paling kongkrit dari Salafi bersenjata. Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden juga memiliki kedekatan mazhab dengan Salafi. Sayangnya, saat ini mereka gemar mengarahkan senjatanya kepada sesama muslim termasuk golongan Syiah.

Belum ada kajian yang mendalam terhadap fenomena ini, tapi kita sudah bisa melihat dengan jelas pergerakan mereka. Sejauh ini mereka tetap menjadi golongan yang minor di tengah dunia persilatan (baca: harokah Islamiyah). Mereka sendiri masih dianggap sempalan oleh harokah induknya. Namun, tindakan dan aksi-aksi jihad versi mereka bisa menggiring harokah induk mereka ikut dikaitkan dengan terorisme. Yang pada akhirnya musuh-musuh Islam memiliki legitimasi mutlak untuk menghajar semuanya.

Kondisi inilah yang sedang dihadapi oleh PKS. Mengutip perkataan seorang ulama di Bogor, saat ini semua perangkat untuk menghajar PKS sudah ada. Yang dibutuhkan hanya momentum dan alasan yang tepat untuk mengeksekusinya. Sikap diam partai ini dalam menghadapi isu nasional yang sangat populer adalah wujud nyata dari usaha mempertahankan jamaah. Tidak ada yang bisa dilakukan PKS saat ini selain tetap bertahan (defensif) dan tidak terpancing untuk menyerang.

Saat ini adalah masa-masa yang sangat sulit bagi PKS untuk membuktikan dirinya masih ada di dalam ideologi perjuangan Islam yang benar. Di satu sisi mereka harus menenangkan kadernya dengan berbagai penjelasan ideologis atas langkah yang ditempuh. Namun, di sisi lain mereka juga harus mengamankan posisi dalam dinamika perpolitikan Indonesia. Yang artinya, inilah saatnya melebur dengan demokrasi dengan selebur-leburnya tanpa harus menuhankan demokrasi. Hal ini semakin membenarkan disertasi Joseph Alagha mengenai "shifting ideology of Islamic movement". Dalam disertasinya, Alagha mengatakan bahwa ideologi sebuah gerakan Islam politik akan bergeser ke arah pragmatisme jika bertemu dengan demokrasi. Namun, saya lebih senang melihatnya sebagai sebuah strategi masa transisi daripada pragmatisme belaka. Transisi menuju peradaban yang madani.