Wednesday 24 March 2010

SEBUAH RUMAH BERNAMA PALESTINA

Benjamin Netanyahu berencana membangun 1600 pemukiman Yahudi di Jerussalem Timur.
Saya jengah memperhatikan manuver-manuver Israel di Palestina. Saya juga jengah dengan konstelasi dunia internasional dalam menyikapi konflik di sana.

Kali inI biarkan saya mencoba menyederhanakan masalah dengan sebuah analogi yang saya pikir paling pas.

Anggaplah wilayah Palestina ini adalah sebuah rumah yang dihuni oleh sebuah keluarga besar yang berbahagia. Rakyat Palestina kita anggap sebagai para penghuninya.

Suatu ketika, pada tahun 1948, rumah ini kedatangan tamu tak diundang yang beragama Yahudi. Mereka datang dengan cara yang kasar dan memaksa ingin tinggal di rumah tersebut. Tentu saja para penghuni rumah melawan dengan sekuat tenaga, bahkan dibantu oleh para tetangga. Tapi para tamu ini ternyata orang-orang yang kuat dan sulit dikalahkan. Akhirnya, mereka berhasil mendapatkan satu kamar di rumah itu setelah membunuh beberapa penghuni rumah.

Dengan sangat terpaksa, para penghuni rumah yang tersisa memberikan salah satu kamar mereka kepada tamu ini. Namun, lama kelamaan, para tamu ini mencoba untuk menguasai kamar yang lain. Bahkan, mereka ingin memiliki kamar utama yang sering disebut Jerussalem. Para penghuni yang lain mulai dibunuh satu persatu. Ada juga yang diusir keluar rumah. Yang paling menyedihkan, para tamu ini mengejar anggota keluarga yang sudah diusir keluar rumah. Mereka yang mengungsi di rumah tetangga terus dikejar kemudian dibantai semuanya. Akhirnya, pelan tapi pasti para tamu mulai menjadi pemilik rumah dan mengumumkan kepada orang-orang bahwa rumah itu milik mereka.

Para penghuni asli yang masih tersisa, semakin tersudut akibat tindakan para tamu ini. Mereka mencari dukungan ke sana kemari untuk mempertahankan rumah mereka. Tidak sedikit pihak yang berusaha membantu mereka, tapi para tamu telah menguasai pintu rumah sehingga bantuan yang masuk sulit untuk sampai. Para tamu ini memblokade segala jenis bantuan untuk para penghuni tetap. Mereka menunggu para penghuni ini menyerah dan akhirnya menyerahkan rumah mereka kepada para tamu ini. Namun, sayangnya para penghuni ini tetap gigih bertahan sampai sekarang. Masyarakat sekitar juga semakin paham kondisi yang sebenarnya terjadi.

Masyarakat yang resah atas apa yang terjadi di rumah itu berkumpul dan mencoba memediasi konflik. Akhirnya, sebagian besar masyarakat setuju untuk menggiring kedua pihak di dalam rumah itu untuk berdamai dan mau hidup berdampingan. Intinya, mereka menawarkan solusi dua keluarga (dua Negara) di dalam rumah tersebut.


Sekian analoginya . . .
Nah sekarang menurut anda, apabila anda adalah salah satu anggota keluarga yang merupakan penghuni asli. Relakah anda hidup berdampingan dengan tamu yang telah membunuh dan mengusir saudara-saudara anda? Hidup berdampingan itu merupakan solusi yang ditawarkan oleh masyarakat di sekitar anda. Jika anda setuju, berarti anda sangat humanis dan menyenangkan. Anda pastilah seorang aktivis HAM berat.

Keterangan analogi
Rumah : Wilayah Palestina
Penghuni Asli : Rakyat Palestina
Kamar Utama : Jerussalem
Rumah Tetangga : Shabra dan Shatila (Lebanon)
Para Tamu : Israel
Tetangga : Mesir, Syiria, Yordania

Tuesday 23 March 2010

RENUNGAN JIHAD AL-MAQDISI


Ketika fenomena terorisme mulai muncul di wilayah Indonesia, banyak dari kita yang cenderung berpikir konspiratif dalam mengkaji dan membahas fenomena tersebut. Pemahaman kita terhadap terorisme yang disematkan kepada golongan Islam radikal juga semakin terkotak-kotak dan sporadis. Sebagian besar buku yang kita temukan selalu terbagi menjadi dua kutub. Kutub pertama adalah buku-buku yang mencoba mewacanakan kerasnya dakwah Islam dan bahaya laten sebuah gerakan Islam. Sementara itu, kutub kedua berusaha membela (walaupun tidak secara langsung membenarkan) aktivitas jihad sebagian umat Islam. Kutub pertama memiliki pendukung dari kalangan Islam liberal atau kalangan nasionalis sekuler yang fobia terhadap gerakan Islam, terutama yang berkarakter revivalis atau fundamental. Kutub kedua memiliki pendukung dari kalangan gerakan Islam lintas benua. Kutub kedua adalah mereka yang selama ini sudah memiliki kaitan secara historis atau emosional dengan aktivitas jihad di tingkat global—medan jihad seperti Afghanistan. Gaya berpikir konspiratif dalam melihat kasus terorisme juga banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh dari kalangan kutub kedua. Gaya itu menjadikan Amerika atau Yahudi sebagai biang keladi. Sehingga setiap keributan terjadi, dugaan terkuat akan kembali kepada Amerika atau Yahudi. Di luar kedua kutub itu, tersisa pewacanaan dari kalangan Islam yang memilih jalan tengah untuk menyikapi kasus terorisme. Kelompok terakhir ini akhirnya bergabung dengan kelompok humanis dalam menyikapi kasus terorisme.

Sulit sekali mencari buku atau literatur yang komperehensif untuk membahas kekeliruan pemahaman terorisme di kalangan umat Islam. Padahal, kita memerlukan sebuah perenungan yang mendalam mengenai hal tersebut sebelum kita memberikan apresiasi terhadap aktivitas terorisme yang terjadi belakangan ini. Hal tersebut menjadi penting bagi kita semua yang bergelut dalam aktivitas dakwah Islam.
Buku Waqofaat Ma`a Tsamaratil Jihad karya Abu Muhammad al-Maqdisi dapat dijadikan rujukan untuk memberikan pondasi awal tersebut.

Berikut ini adalah beberapa poin perenungan terhadap kesalahan aktivitas Jihad umat Islam menurut al-Maqdisi.

Salah Memilih Sasaran
Aktivitas yang sering kita sebut عملية الاستشّهدية "bom syahid" telah melenceng jauh dari batasan-batasan syar`i yang ditetapkan oleh para ulama. Pertimbangan awal diperbolehkannya operasi tersebut adalah besarnya maslahat yang didapatkan umat Islam sekaligus memberikan mudharat sebesar-besarnya kepada musuh. Operasi bom syahid yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di Palestina misalnya, telah menjadi sebuah momok yang sangat menakutkan bagi Israel sekaligus serangan yang efektif untuk tujuan yang sudah jelas (menghancurkan aset-aset penting Israel). Namun, belakangan ini kita sering melihat banyaknya pemuda Islam yang meniru operasi model tersebut di tempat lain. Dengan semangat yang kurang lebih sama, mereka meledakkan diri sendiri, kemudian membunuh secara acak sasaran yang dianggap musuh Islam. Persoalannya adalah, mereka melakukannya di wilayah yang dihuni banyak orang Islam.
Mereka beroperasi di Karachi, Lahore, Bombay, dan Jakarta. Semua itu adalah wilayah yang banyak dihuni umat Islam. Ketika saudara-saudara kita di Irak dan Afghanistan berusaha menghancurkan gudang senjata milik tentara asing, para "teroris" ini justru memilih hotel dan cafe sebagai sasaran utama. Padahal, sangat jelas kalau di tempat-tempat tersebut terdapat orang-orang Islam. Mereka sering beralasan bahwa operasi pengeboman tersebut merupakan hukuman bagi orang-orang yang bermaksiat (fasik), meskipun di dalam syariat, hukuman bagi orang-orang fasik bukanlah dibunuh.
Kita harus memahami betapa berharganya darah umat Islam yang tertumpah. Menurut para ulama, membiarkan hidup seribu orang kafir masih lebih baik daripada menumpahkan segelas darah seorang mukmin. Jika mereka (para mujahid teror) itu ingin membunuh beberapa orang kafir, sebaiknya mereka tidak melakukannya dengan bom. Operasi tersebut seharusnya bisa diselesaikan dengan beberapa tembakan saja sehingga tidak perlu ada umat Islam yang jadi korban.
"Barangsiapa keluar menyerang, kemudian ia menghantam orang yang baik dan jahat, ia tidak menghindari orang mukmin dan orang yang mendapat jaminan perlindungan, maka ia bukan termasuk golonganku" dan dalam satu riwayat "dan aku bukan termasuk bagian dari dia." [HR.Muslim dan Abu Hurairah]

Mengumbar Ancaman di Saat Lemah
Fenomena lain yang mengiringi isu terorisme adalah video-video rekaman di internet. Era globalisasi dan digital telah menjadikan para pelaku teror ini bak selebritas internasional. Mereka mengunggah (upload) video-video yang berupa ancaman terhadap para penguasa kafir dan musuh Islam. Kita pun dapat dengan mudah mengakses video-video tersebut.
Menurut al-Maqdisi, hal ini merupakan kesalahan fatal dalam sebuah strategi jihad. Ancaman-ancaman tersebut justru membuat musuh semakin mawas diri dan bersiaga penuh. Tindakan tersebut seperti halnya seorang pemburu yang mengusik hewan buruannya sebelum memanah. Padahal, para pengancam itu tidak lebih hebat dari kenekatan sekelompok hooligan. Kondisi tersebut tentu saja membuat musuh semakin gusar dan bereaksi seolah-olah mereka benar-benar terancam. Orang yang cerdik adalah mereka yang mampu menutupi kelemahannya. Dalam situasi perang, orang yang cerdik akan menghantam musuh yang lengah akan kekuatan lawannya.
Allah berfirman dalam surat al-Anfal: 44
وَ يقللكم فى أعينهم ليقضي الله امرا كان مفعولا . . .
"Dan, kamu ditampakkan sedikit di mata mereka karena Allah hendak melakukan urusan yang mesti dilaksanakan"

Menyepelekan Amal Jama`i
Jihad adalah kewajiban setiap individu muslim. Amal ini merupakan puncak dari semua amal. Namun, krisis jamaah saat ini adalah sulitnya mencari sekelompok mujahid yang berjalan tenang, terarah, tidak banyak omong, tidak mudah goyang, dan rapuh. Pentingnya sebuah jamaah adalah untuk menaungi amal jama`i. Sementara itu, salah satu syarat tegaknya amal jama`i adalah adanya aktivitas yang berkesinambungan dengan target yang jelas.
Amal jama`i membutuhkan adanya manhaj dan ushul yang harus selalu ditaati. Hal inilah yang membedakannya dengan amal fardhi (individu). Terkait dengan aktivitas jihad, maka jauh lebih baik apabila dilakukan dalam konteks kejamaahan. Meskipun syariat tetap membolehkan apabila hal tersebut dilakukan sendirian.
"Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (Q.S as-Shaf: 4)
Jika ada seorang ikhwah yang soleh dan taat ingin pergi berjihad, sedangkan ia tidak terikat pada suatu jamaah, maka besar kemungkinan hari ini kita melihatnya berada di Palestina. Tahun berikutnya, ia akan berada di Kashmir. Tahun berikutnya lagi, ia di Afghanistan, begitu seterusnya. Dia adalah seorang mukmin yang pergi menjawab panggilan jihad di mana pun. Menurut al-Maqdisi, amalan yang dilakukan ikhwah itu merupakan amalan yang terbaik bagi dirinya. Tidak diragukan juga bahwa pelakunya adalah penolong agama Allah. Namun, ada hal yang jauh lebih utama bagi agama Allah. Yaitu beramal dan berjihad melalui jamaah yang memiliki manhaj yang jelas serta memiliki skala prioritas.
Jamaah yang baik adalah jamaah yang para qiyadahnya memiliki pemahaman yang baik terhadap fikih syar`i dan fikih waqi (realitas). Mereka menguasai ilmu tersebut secara mendalam dan terperinci sehingga jamaahnya tidak memandang realitas secara dangkal dan lugu. Para qiyadah ini tentu saja tidak menyikapi suatu urusan dengan bekal perasaan dan semangat yang kosong.
Fenomena para pelaku pengeboman belakangan ini menunjukkan hancurnya jamaah yang menaungi mereka. Para qiyadah mereka telah menyia-nyiakan darah dan semangat para pemudanya. Mereka juga seperti tidak belajar dari kesalahan orang lain. Dalam konteks Indonesia, mereka adalah para mujahid yang mengikuti arahan qiyadah mereka untuk hijrah ke Afghanistan pada akhir tahun 80-an. Mereka hijrah dengan alasan terdapatnya sistem pemerintahan Islam serta metode perlawanan yang bersih di negeri tersebut. Ingat, mereka telah meninggalkan medan dakwah yang sangat krusial di negeri mereka sendiri (Indonesia).
Setelah beberapa tahun, Afghanistan tidak lagi seperti yang mereka pikirkan sehingga mereka menjadi terpecah-pecah. Sebagian dari mereka kembali ke Indonesia, tentu saja dengan tampilan para mujahid yang baru saja menantang maut di medan perang. Situasi dunia yang menyudutkan umat Islam dalam konteks terorisme membuat mereka menjadi golongan yang paling diintai oleh pihak intelijen.

Memisahkan Qital Nikayah dengan Tamkin
Ditinjau dari hakikatnya, para ulama membagi jihad ke dalam dua istilah. Pertama adalah "jihad difa`i" (defensif) yang bermakna pembelaan terhadap negeri dan kehormatan umat Islam dari musuh yang menyerang. Istilah kedua adalah "jihad thalab" yang bermakna menyerang musuh-musuh Islam di mana pun mereka berada.
Jihad yang berupa peperangan fisik (qital) dapat dibagi menjadi dua, yaitu qital nikayah dan qital tamkin. Qital nikayah adalah memukul dan menghantam musuh. Sementara itu, qital tamkin adalah menguasai suatu daerah agar umat Islam dapat menjalankan syariatnya secara utuh. Memisahkan kedua jenis qital ini sama dengan menghancurkan seluruh usaha yang telah dibangun.
Ada seorang panglima mujahidin di suatu negeri yang menjawab pertanyaan wartawan asing. Si wartawan bertanya apakah sang panglima akan mengambil alih pemerintahan setelah negerinya dibebaskan? Si panglima menjawab bahwa dirinya adalah seorang mujahid yang tujuan hidupnya adalah memerangi musuh-musuh Allah di muka bumi. Baginya, politik dan kekuasaan bukanlah keahliannya. Jawaban si panglima ini tentu saja jawaban yang fatal. Bagaimana mungkin kita memisahkan qital nikayah (peperangan fisik) dengan qital tamkin (perebutan kekuasaan), sedangkan kita tahu betul pentingya memayungi dakwah secara institusional.
Terkait dengan para pelaku terorisme belakangan ini. Kira-kira, apakah mereka paham terhadap pentingnya qital tamkin dalam usaha memenangi dakwah? Saya pikir tidak. Kalaupun mereka paham, tidak ada sedikit pun usaha konkret yang bisa kita lihat saat ini. Seolah mereka hanya mengenal satu cara: "qital nikayah". Kita saja yang sudah berijtihad untuk melebur dengan sistem demokrasi masih belum bisa berbuat banyak terhadap umat Islam saat ini.
Qital nikayah sudah menjadi realitas umum di berbagai belahan dunia Islam saat ini. Namun, kita perlu memahami qital tamkin sebagai bagian penting dari kemenangan dakwah. Qital tamkin sering juga disebut tahrir (pembebasan) oleh Hizbut Tahrir. Sementara itu, Ikhwanul Muslimin lebih sering menyebutnya dengan istilah "ishlahuddaulah". Qital tamkin memerlukan kemampuan serta syarat yang berbeda dari qital nikayah. Di dalamnya, diperlukan program yang mencakup seluruh bidang dengan sumber daya yang juga memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Seharusnya umat Islam mulai membangun peradabannya sendiri.

Masih banyak poin perenungan dari al-Maqdisi. Lain kali kita bertemu lagi.
Wallahu`alam bima yasna`un

DEAD OR ALIVE


Mari kita mulai dengan sebuah pertanyaan dan polemik yang terjadi seputar aksi penangkapan para teroris di Indonesia?
Kenapa polisi tidak berusaha menangkap para pelaku tersebut hidup-hidup?
Jika anda yang diberikan pertanyaan demikian, kira-kira apa jawaban anda.?

Sebagian besar dari masyarakat kita sangat menyesali tindakan polisi yang berlebihan dalam menangkap para tersangka kasus terorisme. Beberapa bulan yang lalu, kita disuguhi drama penangkapan seorang Noordin M Top di daerah Temanggung, Jawa Tengah. Bayangkan, hanya untuk menangkap satu ekor Noordin, pihak keamanan menurunkan hampir satu peleton pasukan ke wilayah tersebut. Itu artinya ada sekitar 200 personel polisi yang bersenjata lengkap dan berjaga di setiap sudut lingkungan rumah Noordin. Namun, apa yang terjadi pada akhir drama tersebut? Noordin tewas begitu saja setelah sekian lama meladeni berondongan senapan dan pistol polisi. Masyarakat yang begitu penasaran terhadap Noordin M top beserta jaringannya kecewa karena polisi tidak bisa menangkap Noordin dalam keadaan hidup. Masyarakat yang selama ini disuguhi poster Noordin di setiap sudut kota, pastilah sangat ingin membandingkan hasil tangkapan Polisi dengan wajah buronan yang sudah sangat terkenal itu.

Yang lebih kacau lagi, pengerahan satu peleton yang kemungkinan terdiri atas beberapa anggota Densus 88, Brimob, polisi reguler, reserse, sampai Polantas (mungkin) hanya untuk menangkap satu orang Noordin. Kita yang mengikuti drama tersebut, pasti ingat bahwa tidak ada perlawanan yang berarti dari Noordin yang membuat polisi harus melakukan pendekatan yang begitu “combatan”.

Mr.Noordin juga tidak memiliki sandera yang membuat polisi harus sangat berhati-hati dalam memberikan tindakan kontra-terorisme. Selain itu, pihak intelijen juga tidak menemukan data yang menyebutkan bahwa di rumah tersebut, Noordin memiliki bahan peledak high explosive yang dapat ia ledakkan kapan saja. Seandainya pun Noordin memiliki bahan peledak, kita pasti bisa memastikan bahwa tidak akan ada korban selain Noordin sendiri apabila bom itu diledakkan. Evakuasi total sudah dilakukan oleh pihak keamanan terhadap TKP. Sterilisasi juga dilakukan sampai radius 3 kilometer. Lantas, apa yang menjadi ketakutan aparat dalam menangkap Noordin?

Beberapa minggu lalu, kejadian serupa terjadi di daerah Pamulang, Tangerang. 3 tersangka kasus terorisme dilumpuhkan (baca: dimatikan) oleh aparat kepolisian. Kali ini, tindakan aparat jauh lebih rasional. Pertama, karena TKP adalah daerah pemukiman padat yang sangat berisiko apabila dipaksakan adanya baku tembak yang berkepanjangan. Kedua, demikian juga apabila para tersangka ini memiliki bom yang dapat diledakkan sewaktu-waktu. Tindakan aparat bisa lebih dimengerti, tapi tetap saja, masyarakat sangat ingin melihat wajah Dulmatin yang terlanjur di-go public-kan. Kadang, kita yang sering menonton film-film action yang bergenre terorisme bisa membuat sebuah skenario sendiri. Mungkin kita akan berpikir bahwa seharusnya pihak aparat menggunakan cara-cara yang cerdik untuk melumpuhkan para teroris tanpa harus membunuh mereka. Dengan peluru karet misalnya, atau dengan gas tidur. Atau dengan peluru bius dan lain-lain. Tapi kenapa sekali lagi aparat memilih untuk membunuh para teroris ini. Seolah-olah aparat kita terlibat dendam emosional dengan para pelaku terror itu.

Tindakan sudah diambil, kita tidak bisa mundur lagi ke belakang. Kita hanya bisa mencoba menganalisa.

Membunuh di tempat.
Ketika saya membaca buku yang ditulis oleh Durorrudin Mashad yang berjudul “Kashmir”, cara pandang saya terhadap penyikapan aparat kepolisian terhadap para teroris di dunia ketiga berubah sama sekali. Dalam buku tersebut, para pelaku terorisme di Pakistan terlibat masalah konspirasi yang cukup rumit dengan pihak kemanan. Pihak keamanan India menculik dan menyandera anggota keluarga dari para pemuda Pakistan/Kashmir yang dianggap radikal. Dengan lingkaran yang sangat tertutup, pihak intelijen India melatih dengan serius para pemuda ini untuk melakukan aksi teror. Para pemuda ini dipaksa untuk mengikuti kemauan pihak Intelijen dengan ancaman keselamatan anggota keluarganya di Pakistan. Selang beberapa bulan, mereka pun akhirnya melaksanakan operasi teror yang sudah direncanakan tersebut. Dengan sangat gegabah dan penuh kecerobohan, mereka akan melakukan aksi terorisme yang bisa membuat seluruh dunia berpaling ke mereka. Setelah itu, aparat yang sudah memiliki data-data mengenai aksi tersebut akan tampak sangat sigap menangkal aksi mereka. Dan pada akhirnya, mereka semua akan dibunuh di tempat dan tidak akan ada pengadilan atas tindakan mereka. Artinya, mereka akan mati sebelum sempat dinterogasi. Terdengar lucu ya? Tapi inilah yang ditulis di dalam buku itu. Durorrudin Mashad menggunakan data-data yang cukup banyak untuk memperkuat argumentasinya. Dan ketika teror Mumbay terjadi tahun lalu, saya langsung mengubungkannya dengan analisa Pak Mashad. Dalam aksi tersebut, seluruh teroris dihabisi oleh pihak keamanan India.
Masalah jatuhnya korban sipil tidak terlalu menjadi persoalan bagi pihak sutradara. Hal itu akan menjadi bumbu yang sangat sedap bagi insan media dalam peliputan mereka. Setelah semuanya “bersih” maka hanya tinggal pihak keamanan yang bisa diinterogasi terkait dengan teror tersebut. Setelah itu, kita pasti tahu apa yang akan terjadi.
Jika model seperti ini yang terjadi dalam kasus terorisme Indonesia, maka kita tidak perlu meributkan permasalahan terorisme lalu mengait-ngaitkannya dengan gerakan Islam tertentu. Namun, apabila hal itu merupakan prosedur kepolisian kita dalam masalah kontra terorisme, maka hal tersebut perlu ditinjau ulang.

Menangkap hidup-hidup
Tiga terpidana mati Bom Bali adalah para pelaku terorisme yang berhasil ditangkap hidup-hidup. Mereka adalah Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudra. Ketiganya berhasil ditangkap hidup-hidup dan divonis bersalah atas tindakan terorisme di Bali tahun 2002 lalu. Hal ini adalah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Tiba-tiba semuanya tampak berkaitan antara fenomena pengejaran al-Qaeda, perang Irak, Afghanistan dan munculnya gerakan-gerakan Islam pasca-reformasi. Pihak media selalu setia mengikuti setiap detik perkembangan kasus trio bom bali itu. Sejak mereka tertangkap, diadili sampai divonis mati dan akhirnya dieksekusi. Coba ingat-ingat apa yang kita lihat? Dari pemberitaan media, kita bisa melihat bahwa ketiga terpidana mati bom Bali ini adalah sosok-sosok yang sangat religius. Mereka menampilkan wajah yang sangat Islami. Dari memakai sorban, memelihara janggut, berdahi hitam dan bercelana ngatung (isbal). Kita juga bisa melihat bahwa keluarga mereka adalah orang-orang yang juga religius, setidaknya para Isteri mereka yang menggunakan jilbab panjang dan cadar. Ketika mereka berada di penjara, mereka juga kerap menjadi ustadz bagi para narapidana lainnya. Media juga kerap meliput mereka yang senantiasa membaca al-Quran, solat malam serta dhuha. Intinya, melalui pemberitaan media, kita bisa memastikan ketiganya adalah orang-orang Islam yang rajin beribadah. Ketiga terpidana mati bom Bali itu juga sempat menulis buku di balik penjara. Namun, buku itu tidak beredar luas di masyarakat. Kesalehan yang mereka tampilkan di dalam penjara bukan kesalehan seperti layaknya seorang napi yang tobat. Namun, hal tersebut adalah sesuatu yang sudah ada pada diri mereka sebelum masuk penjara.

Pelan tapi pasti, masyarakat kita semakin phobia terhadap tampilan fisik para terpidana mati ini. Padahal, pilihan fikih para teroris ini memiliki banyak irisan dengan gerakan Islam laiinya (yang non-teror). Kebiasaan memelihara janggut dan mengenakan celana Isbal adalah hal yang sangat mudah ditemukan pada gerakan Islam di dunia saat ini. Selain itu, kebiasaan menghidupkan sunah-sunah Rasul seperti tilawah dan solat malam juga banyak dilakoni umat Islam lainnya. Pada akhirnya, orang tua akan sangat kawatir apabila anaknya mulai rajin solat malam dan pergi ke Masjid untuk solat berjamaah. Mereka kawatir anak-anak mereka teribat jaringan terorisme. Inilah kerugian paling besar yang dihadapi umat Islam apabila para pelaku terorisme itu ditangkap hidup-hidup. Kondisi media yang tidak memihak umat Islam dalam content pemberitaan mereka mampu menjadi alat cuci otak yang efektif bagi masyarakat.

Suatu ketika saya berada di bandara Soekarno Hatta. Saat itu ada sepasang suami istri yang lewat. Si suami mengenakan gamis, sorban, berjanggut panjang dan berdahi hitam. Sang isteri mengenakan cadar dengan jilbab panjang yang berwarna hitam. Saat itu, semua orang melihat ke arah mereka dengan pandangan yang aneh. Mungkin mereka menganggap keduanya sebagai pasangan teroris. Saya iba dengan pasangan suami istri ini. Saya berkhusnu`zhon bahwa mereka orang-orang yang baik. Namun, ketiga terpidana mati yang dibiarkan hidup itu, telah menyeret umat ke dalam perkara fitnah yang besar. Sepasang muslim itu telah menjadi korbannya.

Sunday 7 March 2010

CHILDREN`S MEDIA WORKSHOP

Sudah hampir dua bulan ini, saya bergabung dengan sebuah perusahaan yang bernama Children`s Media Workshop. Dua bulan ini juga saya mencoba menikmati pekerjaan baru ini. Haha, sangat menyenangkan – tidak ada pressure di tempat kerja, tidak ada karakter2 ngebozz, yang ada adalah karakter ngemong. Segala permasalahan bisa dikompromikan (baca: dibicarakan). Tidak perlu marah2, karena marah2 membuat kita tidak senang bekerja. Hehe, tertawa terus tapi tetap fokus.

Pekerjaan ini berkutat di bidang media anak. Perusahaan ini pun berdiri dengan dasar pemikiran membentuk media yang paling pas untuk anak2. Kami berusaha membangun media yang sehat untuk anak2 Indonesia, sekaligus menjadikan mereka subjek dalam acara yang mereka konsumsi. Intinya adalah dari anak, oleh kita, untuk anak. Dalam beberapa situasi, kami berprinsip dari anak, oleh anak, dan untuk anak.

Saya bertanggung jawab di bidang penerbitan majalah anak yang sebentar lagi, insya Allah akan terbit. Jabatan saya redaksi pelaksana. Sebuah posisi yang belum pernah saya emban sebelumnya. Tapi di situlah tantangannya. Saya (terpaksa) harus mampu membuat konsep rubrik di dalam majalah ini, menentukan layout dan ilustrasi yang tepat. Di samping itu, saya juga harus memikirkan aspek bisnis dan sponsorshipnya agar majalah ini bisa tetap eksis. Sebetulnya, pembuatan majalah ini merupakan langkah baru bagi CMW, khususnya “saya pribadi”.

Saya berusaha semampunya untuk mendapatkan manfaat dalam pekerjaan ini. Semoga pekerjaan ini pun bisa mendatangkan manfaat yang sebesar2nya bagi perkembangan media anak. Toh, nantinya kita juga akan memiliki anak, bukan?