Thursday 26 August 2010

TERJEBAK DIPLOMASI SERUMPUN


Dugaan diplomasi barter yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dan Malaysia mengusik kehormatan bangsa di Negara ini. Sebagai pembandingnya, seorang serdadu Israel yang menjadi tawanan Palestina yang bernama Ghilad Shalit tidak pernah sekalipun dideportasi dengan alasan barter dan perdamaian. Padahal, Israel memiliki ratusan tahanan pejuang Palestina di penjara mereka yang sangat pantas dijadikan alat tukar untuk mendapatkan serdadu mereka kembali. Namun, Israel urung melakukan diplomasi macam itu, karena memang disitulah letak harga diri bangsa mereka sebagai negara yang merasa jauh lebih kuat dibanding Palestina yang mereka jajah.

Kita juga masih bisa mengingat salah satu scene dalam film Mel Gibson yang berjudul "The Patriot". Dalam film tersebut, si tokoh utama sempat melakukan diplomasi barter untuk menyelamatkan teman-temannya yang tertangkap oleh pihak musuh. Sebagai alat tukarnya, ia menawarkan para perwira yang juga berhasil ia tangkap. Padahal, para perwira itu hanyalah boneka-boneka yang diberi seragam perwira sehingga nampak dari kejauhan seperti perwira sungguhan yang sedang tertawan. Akhirnya, si tokoh utama berhasil menyelamatkan teman-temannya. Sebaliknya, pihak musuh tertipu dan tidak mendapatkan apa-apa. Contoh itulah diplomasi barter yang dilakukan dalam konteks strategi perang.

Lantas, bagaimana dengan konteks Indonesia – Malaysia? Jika yang dilakukan adalah barter antara tahanan petugas KKP Indonesia dengan 7 orang nelayan Malaysia, tentu saja hal itu merupakan penistaan terhadap kedaulatan bangsa kita. Pertama, tentu saja karena kita meyakini bahwa petugas KKP yang ditangkap oleh Malaysia itu berada pada kordinat yang benar dalam wilayah perairan Indonesia. Kedua, tujuh orang nelayan Malaysia yang ditangkap oleh kepolisian Kepri memang secara sah melanggar batas-batas wilayah yang sudah ditetapkan. Artinya, jika kita melakukan barter, itu sama saja kita membenarkan klaim Malaysia bahwa petugas KKP kita melanggar batas wilayah. Selain itu, kita juga akan terlihat menunjukkan kalau penangkapan 7 nelayan Malaysia itu adalah sebuah kesalahan. Sebuah efek yang sangat fatal dalam kerangka diplomasi.
Pemerintah Malaysia ataupun Indonesia bisa mengatakan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah sengketa antara kedua Negara. Tapi, fakta penangkapan arogan yang dilakukan oleh kepolisian Malaysia tidak bisa disikapi dengan perdamaian ala orang melayu. Sikap Malaysia itu harus diberikan peringatan keras agar tidak terjadi lagi, meskipun ini sudah yang kesekian kalinya. Kasus ini juga bisa menjadi batu pijakan orientasi diplomasi bagi para diplomat kita bahwa Negara-negara di perbatasan seperti Malaysia adalah sebuah prioritas.

Saya tidak tahu persis bagaimana isi dapur Kementrian Luar Negeri kita. Bisa jadi, para diplomat yang dikatakan "mahir" dan "senior" adalah mereka yang ditempatkan di negara-negara maju atau negara Barat. Menlu kita sendiri adalah mantan Dubes Indonesia untuk PBB dan pernah bertugas lama di Amerika Serikat. Seharusnya, orang-orang terbaik kita di Deplu juga didistribusikan untuk negara-negara yang berbatasan wilayah seperti Malaysia dan Singapura. Menempatkan para diplomat terbaik untuk negara-negara tersebut akan menjaga kehormatan kita sebagai bangsa dan negara. Sebagai catatan, Dubes kita untuk Malaysia saat ini adalah mantan Kapolri yang sempat tersandung dugaan korupsi dan rekening gemuk.

Saya sangat setuju dengan judul rubrik khusus Metro TV untuk masalah ini. Metro TV memberi judul rubriknya tersebut "Terjebak Diplomasi Serumpun". Iya, seperti itulah situasi diplomasi bilateral antara Negara kita dengan Malaysia. Bukan tidak mungkin masalah ini hanya akan menjadi test case bagi Malaysia untuk melihat respon pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap sengketa perbatasan. Jika kita bersikap lunak, maka Malaysia akan terus merongrong kedaulatan kita. Apalagi, mereka sadar bahwa kita adalah bangsa yang lalai terhadap potensi sumber daya alam kita khususnya di laut. Sebaliknya, jika kita bersikap keras, Malaysia pun siap untuk mengabaikan nasib ribuan TKI kita yang bekerja di sana.