Friday 23 September 2011

The New Middle East by Marina Ottaway


REVIEW BUKU
Judul                                       :  The New Middle East
Penulis                                     :  Marina Ottaway dkk
Penerbit                                   :  Carnegie Endowment For International Peace
Kota                                        :  New York
Tahun Terbit                            :  2008

www.opinions-alaaisam.blogspot.com





Proliferasi nuklir
Amerika Serikat memberi perhatian besar kepada proliferasi nuklir karena beberapa alasan risiko, yaitu:
  1. Pengayaan nuklir untuk pembuatan bom bisa dimanfaatkan oleh rezim penguasa yang tidak bersahabat dengan AS ataupun organisasi teroris di negara itu.
  2. Kemampuan Iran dalam memproduksi senjata nuklir akan memperkuat status politiknya di kawasan. Iran akan dengan mudah membentuk aliansi dengan Negara-negara musuh AS. Kemampuan Iran juga akan memancing organisasi jihad seperti Hamas tampil lebih agresif dalam menghadapi Israel.
  3. Proliferasi nuklir akan mempersulit posisi AS dalam konstelasi stabilitas kawasan. Hal ini juga akan menurunkan kepercayaan diri Negara-negara sekutu AS di Timur Tengah yang selama ini menjadikan AS sebagai pelindung mereka. (Halaman 19)

Konflik Sektarian
Konflik sectarian adalah fenomena yang semakin menjadi-jadi pasca invasi AS ke Irak tahun 2003. Konflik ini meluas ke seluruh wilayah regional Timur Tengah, tidak hanya di Irak. Konflik ini mengkristal menjadi perebutan kekuasaan antara Islam Sunni dengan Syiah.
Raja Abdullah dari Yordania adalah orang yang pertama kali memberikan pernyataan waspada terkait konflik dua kelompok ini pada Bulan Desember 2004. Raja Abdullah saat itu menggunakan istilah Bulan Sabit Syiah untuk menggambarkan semangat Iran yang ingin membentuk aliansi dengan masyarakat Syiah di kawasan Timur Tengah yang mayoritas Sunni. Istilah ini juga pernah digunakan oleh Husni Mubarak saat berpidato. Husni Mubarak mengatakan bahwa saat ini orang-orang Syiah di Timur Tengah lebih loyal kepada Iran daripada Negara dan bangsa mereka sendiri. (Halaman 25)
Realita mengenai kebangkitan kelompok Syiah di kawasan Timur Tengah bisa dilihat dari beberapa fakta di bawah ini:
1.        Bangkitnya Iran sebagai negara yang dikuasai oleh rezim religius berhaluan bermazhab Syiah.
2.        Geliat demokratisasi di Irak yang secara otomatis menempatkan golongan Syiah sebagai golongan yang berpotensi menjadi penguasa karena populasi mereka yang besar.
3.        Desakan berbagai kelompok Syiah untuk tampil membawa identitas kelompok mereka.
4.        Kekuatan Hizbullah di Lebanon yang semakin diakui dan memengaruhi kawasan.

Para pengamat memanggap geliat kelompok Syiah di kawasan Timur Tengah tidak langsung berkaitan dengan kepentingan Iran atas aliansi Bulan Sabit Syiah. Geliat itu lebih didasarkan desakan untuk mendapatkan kesetaraan hak dalam bidang ekonomi sosial dan politik.
Syeikh Ali Salman, seorang tokoh kelompok Syiah di Bahrain mengatakan kalau ia dan kelompoknya mendukung sepenuhnya konstitusi negara Bahrain. (Halaman 27)

Konsep Timur Tengah Baru
            Ada dua kepentingan utama rezim Bush terkait wilayah Timur Tengah, yaitu; memerangi terorisme dan menjaga kestabilan harga minyak. Terorisme yang berkebang belakangan ini bukan lagi kekerasan yang didasarkan atas sikap anti-wseternisasi, melainkan sudah berdasarkan sikap anti-kebijakan AS di Timurr Tengah. (Halaman 31) Untuk mencapai dua kepentingan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus segera dilaksanakan oleh pemerintahan AS, yaitu;
  1. Membangun konsiliasi dengan Iran sambil menekan proliferasi nuklir
  2. Bertahap meninggalkan Irak dengan syarat tidak meninggalkan negara tersebut tanpa pemerintahan
  3. Mengambil peran serius dalam proses perjanjian damai antara Israel-Palestina menuju solusi dua negara
  4. Berusaha mencari kestabilan kawasan dengan "balance of power" yang dilakukan tanpa melibatkan kehadiran AS secara massif. Cukup dimainkan oleh negara-negara di regional saja.
  5. Dalam konteks "balance of powe", AS harus menurunkan eskalasi konflik dengan Syiria sekaligus tetap menjaga stabilitas Lebanon.
            Pemerintahan Bush lebih sering mengancam daripada melakukan tindakan. Contohnya peringatan Bush terhadap presiden Suriah, Bashar al-Assad pada Desember 2007. Peringatan tersebut berisi ancaman, peringatan yang sama seperti yang diberikan kepada Saddam Hussein pada hari-hari menjelang invasi. (Halaman 30)

Mencari Jalan Keluar Untuk AS dan Irak
            Penempatan kekuatan militer di Irak pasca-invas ternyata tidak bisa membangun sebuah stabilitas untuk jangka waktu yang lama. Kebijakan terhadap Irak tidak boleh lagi didasari atas pertimbangan "apa yang seharusnya dibutuhkan Irak dan seperti apa Irak seharusnya". Pertimbangan itu sudah dijalankan dan terbukti mengalami kegagalan. Amerika Serikat harus merumuskan kebijakan-kebijakan baru dengan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Langkah pertama adalah mendasari setiap kebijakan dengan pertimbangan; sumber daya tokoh-tokoh politik lokal Irak, tujuan-tujuan mereka, serta kekuatan dan pengaruh mereka di negara tersebut. Intinya adalah memberi kesempatan pada tokoh-tokoh lokal untuk membangun pemerintahan yang baru.
  2. Langkah berikutnya adalah menyadarkan pihak parlemen dan pemerintahan Irak saat ini bahwa mereka tidak secara otomatis menjadi pemain utama dalam proses rekonsiliasi. Ketika mereka gagal (dan pasti akan gagal), maka mereka harus memiliki insiatif untuk mengambil pihak luar sebagai pemain.
  3. Langkah terakhir adalah mendatangkan pihak luar sebagai pembantu dalam proses rekonsiliasi nasional. Situasi ini merupakan kesempatan bagi PBB dan negara-negara tetangga termasuk dunia Arab untuk membangun diplomasi baru dengan Irak. Serahkan segala ketergantungan pemerintahan Irak terhadap pihak luar kepada lembaga-lembaga internasional dan bukan Amerika Serikat.
Sikap AS yang mendukung salah satu faksi saat pemilu harus ditanggalkan. Sikap itu akan membuat faksi yang bersangkutan memiliki sifat resistan terhadap golongan lain di Iral. Dari titik inilah instabilitas terus terjadi dan semakin parah. Apalagi, faksi yang lain bisa meminta bantuan dengan cara yang sama ke negara yang lain seperti Iran. Akhirnya, Irak tak ubahnya seperti kawasan korban perang dingin AS-Iran.

Konflik Palestina-Israel
            Inti dari kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah mencakup perdamaian antara Israel dan Palestina. Perdamaian ini bisa diartikan permaian antara Israel dengan negara-negara Arab. Oleh karena itu, visi AS adalah menciptakan solusi dua negara yang damai (two state solution). Solusi adalah yang paling menguntungkan bagi AS. Dengan solusi dua negara, maka keamanan Israel, eksistensi, serta identitasnya di kawasan bisa dipertahankan. Cita-cita perjuangan bangsa Palestina yang ingin merdeka sepenuhnya dari Israel bisa dimentahkan. Selain itu, kemungkinan akan meluasnya konflik di kawasan bisa ditekan. Strategi dan diplomasi AS di kawasan akan mudah direalisasikan. (Halaman 34)

Balance of Power
             Perimbangan kekuatan di kawasan teluk rusak setelah Saddam Hussein dan Irak dijatuhkan oleh Amerika Serikat. Perimbangan kekuatan yang pada masa sebelumnya dipegang oleh dua negara yaitu Irak dan Iran. Saat ini, Iran menjadi momok bagi negara-negara di kawasan teluk karena kekuatan nuklir dan persenjataannya. Beberapa negara di kawasan teluk telah mengadakan perjanjian kerjasama senjata dengan Amerika Serikat untuk mengimbangi kekuatan militer Iran. Selain itu, Amerika juga berperan aktif untuk membentuk aliansi anti-Iran di kawasan teluk.
            Namun, negara-negara teluk ini juga mencari celah diplomasi dengan Iran untuk menghindari konfrontasi terbuka. Pada tahun 2007, Presiden Ahmadinejad diundang untuk berbicara pada pertemuan Dewan Kerjasama Teluk. Undangan itu, sekalipun tidak sepenuh hati, merupakan indikasi bahwa ada kecemasan di negara-negara teluk untuk konfrontasi dengan Iran. Puncaknya, Arab Saudi yang selama ini dikenal dekat dengan AS mulai mencari dukungan ke negara lain selain AS. Presiden Vladimir Putin pada bulan Februari 2007 diundang ke Riyadh oleh kerajaan Saudi untuk membicarakan perjanjian kerjasama perdagangan. Kemudian pada bulan November 2007, putra mahkota Kerajaan Saudi, Pangeran Sultan bin Abdulazis mengunjungi Moskow untuk membicarakan banyak isu, termasuk pembelian senjata dalam jumlah yang besar. (Halaman 35-36)

TKI dan Krisis Budaya Bangsa

Dari perspektif budaya bangsa kita di Indonesia, kasus Ruyati bisa dilihat sebagai pelajaran yang sangat mahal harganya. 

Ruyati binti Satubi, TKI asal kota Bekasi, yang dipancung tanpa asistensi hukum apa pun menjadi berita yang sangat menggemparkan di tanah air. Ia dianggap sebagai korban penindasan karena membela hak dan kehormatannya di depan majikan sampai kemudian ia terpaksa harus membunuh sang majikan. Begitulah konstruksi fakta yang diyakini dan dikembangkan masyarakat kita di Indonesia sekalipun tidak melalui pembuktian akan fakta persidangan yang otentik.

Ada beberapa segmen golongan yang begitu dominan dalam memberi penyikapan terkait kasus TKI dan Ruyati. Golongan pertama adalah mereka yang membawa (kalau tidak mau dikatakan menggiring) masalah ini menjadi masalah politik dengan mengaitkan secara langsung kasus ini dengan kegagalan pemerintah terkait kewajiban perlindungan terhadap warga negaranya. Golongan berikutnya adalah mereka yang mulai mengais-ngais ikan di air keruh dengan menarik persoalan ke arah deligitimasi penegakan syariat Islam yang "diterapkan" Arab Saudi. Semangat Islam-phobia menjiwai sikap pembelaan mereka terhadap para TKI. Golongan terakhir adalah masyarakat yang tidak memberikan perhatian secara khusus dalam masalah ini, alias acuh tak acuh.


Budaya (diper)budak
Tindakan penyiksaan, pemerkosaan, dan intimidasi yang dilakukan para majikan TKI di Arab Saudi tak pelak merupakan bentuk perbudakan zaman modern. Mereka menjadikan para TKI di sektor pembantu rumah tangga layaknya budak yang berhak mereka perlakukan dengan bebas. Namun, sebagian besar dari kita pasti tidak mengira kalau perbudakan yang dialami saudara-saudara kita di Saudi memiliki akar dalam budaya bangsa yang kita kembangkan sendiri sampai hari ini. Tengkoklah ke dalam negeri ini, sebagian besar masyarakat yang memiliki pembantu rumah tangga di rumah mereka, tidak memperlakukan para pembantu ini secara profesional dan manusiawi. Pembantu rumah tangga diposisikan menjadi sektor yang sangat informal. Segala macam UU terkait perlindungan tenaga kerja tidak pernah menyentuh apalagi diimplementasikan oleh masyarakat yang menggunakan jasa pembantu rumah tangga. Lihat bagaimana sebagian besar dari kita tidak memberikan kontrak kerja yang jelas kepada seorang pembantu rumah tangga. Belum lagi soal jam kerja yang tidak masuk akal, jaminan kesehatan, upah dan hak-hak lainnya. Semua itu dilakukan dalam kesepakatan yang berprinsip "tahu sama tahu saja". Seorang pembantu rumah tangga di Indonesia adalah pesuruh bagi seluruh anggota keluarga majikan. Mulai dari ayah, ibu, dan anak-anak si majikan. Semua anggota keluarga seperti berhak memberikan perintah komando. Orangtua membiarkan anak-anak mereka untuk minta ini-itu kepada sang pembantu. Sebuah pola pengasuhan yang mendidik anak mereka untuk tidak menghargai orang lain. Padahal, semestinya hal itu harus didasarkan kepada surat kontrak yang jelas atau kesepakatan tertulis. Bahkan, kerabat atau keluarga besar yang bertamu ke rumah juga bisa memberikan perintah kepada para pembantu rumah tangga tersebut. Padahal, dalam konteks perlindungan hak tenaga kerja, tidak ada sedikitpun hak bagi orang yang tidak mengupah mereka untuk memberikan perintah. Budaya perlakuan terhadap pekerja di sektor rumah tangga inilah yang menjadikan bangsa kita berkarakter sangat lemah ketika diberangkatkan ke luar negeri, khususnya para pembantu rumah tangga.

Saat berada di luar negeri, para pembantu rumah tangga asal Indonesia ini akhirnya bersikap sesuai dengan konsep mengenai pembantu rumah tangga berdasarkan budaya yang ada di Indonesia. Secara kasar, mereka terbiasa taat dan "nrimo" seperti halnya budak. Namun, mereka mendapatkan majikan yang jauh berbeda dengan tipologi majikan yang ada di Indonesia. Wajar jika para TKI yang menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi memiliki mentalitas yang sangat lemah sebagai seorang tenaga kerja. Sikap mental yang dibentuk oleh budaya bangsanya sendiri.


Rasisme
Kekacauan sikap budaya berikutnya adalah masalah rasisme. Saat ini, sebagian golongan mulai berteriak-teriak dengan nada protes atas perlakuan rasisme masyarakat Arab Saudi terhadap bangsa kita. Jangankan untuk sektor informal seperti pembantu rumah tangga, sektor formal seperti barista pada kedai kopi berskala internasional pun mendapatkan perlakuan rasis yang serupa (Kedai 1001 Mimpi, Valiant Budi, 2011). Yang menjadi pertanyaan adalah, pernahkah masyarakat bersikap anti terhadap Arab Saudi sebagai bangsa yang kerap menyiksa para TKI? Pernahkah ada demonstrasi ganyang Saudi di Jakarta, atau membakar bendera negara mereka seperti membakar bendera Malaysia? Jawabannya hampir bisa dipastikan nihil. Yang terjadi justru maraknya pemujaan tokoh-tokoh agama berketurunan Arab yang berlomba-lomba mencari jamaah untuk majelis zikir mereka. Masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam begitu menghormati bangsa Arab sebagai masyarakat dengan ras yang unggul dalam masalah agama. Fenomena mencari berkah (tabaruk) Inilah yang saya katakan sebagai rasisme bangsa lemah. Rasisme tidak hanya berbicara soal sikap merendahkan bangsa lain, tetapi rasisme juga berbicara soal sikap meninggikan/memuja bangsa lain. Padahal, sikap antirasis seharusnya dikembangkan dalam semangat kesetaraan antar-umat manusia. Kesimpulannya adalah; bangsa kita dengan bangsa Arab Saudi, sama-sama rasis.

Kita boleh saja menyalahkan pemerintah sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas kekisruhan masalah ini. Namun, sebagai bangsa, kita semestinya juga merefleksi sikap budaya yang kita kembangkan di tengah-tengah masyarakat. Sehebat apa pun kinerja pemerintah dan aparat negara, masalah akan tetap ada selama akar masalahnya tidak diluruskan. Akar permasalahan itu adalah budaya bangsa kita sendiri. Seperti halnya korupsi yang sudah menjadi kebudayaan hari ini, maka ia tidak bisa diselesaikan dengan kehebatan lembaga-lembaga superbody seperti KPK. Harus ada penyikapan yang jelas dan terarah terkait dengan pendidikan karakter dan budaya bagi bangsa ini untuk masa yang akan datang.

Perbudakan dan rasisme memiliki akar dalam budaya bangsa Indonesia. Maka hal itulah yang harus kita beri perhatian luas terlebih dahulu. Lihatlah bagaimana seorang pembantu dijadikan warga kelas dua di masyarakat kita. Upah seorang pembantu bisa jadi lebih tinggi nilainya daripada seorang OB perkantoran. Namun, OB mendapatkan pengakuan sosial yang lebih baik daripada seorang pembantu rumah tangga. Selain itu, rasisme tidak masuk akal yang membuat bangsa kita sebagai warga kelas dua di negaranya sendiri juga harus segera dihentikan. Cocoklah peribahasa Indonesia yang mengatakan kuman di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.

Monday 14 February 2011

MARI, PETAKAN KEKUATAN PARA SUKSESOR MUBARAK


Sangat sederhana tuntutan dari rakyat Mesir selama gelombang aksi demonstrasi. Mereka menuntut Hosni Mubarak untuk mundur dari kursi presiden. Selain itu mereka menuntut pemberantasan korupsi dan penurunan harga-harga seperti layaknya tuntutan rakyat pada hari-hari biasanya. Isu revolusi di Mesir memang jauh dari kesan revolusi Islam seperti yang pernah terjadi di Iran pada 1979. Revolusi Mesir murni karena rasa ketidakadilan yang meluas di masyarakat atas kemiskinan serta kesenjangan sosial yang terjadi di negara tersebut.



Sampai tulisan ini terbit di blog, Mesir masih dalam kondisi tidak menentu, khususnya dalam hal suksesi kekuasaan. Siapa yang akan menggantikan Hosni Mubarak adalah pertanyaan semua orang yang mengikuti perkembangan politik di Mesir terkini. Setidaknya, ada tiga nama yang digadang-gadang oleh media lokal dan internasional sebagai calon kuat pengganti Hosni Mubarak.



Pemilu akan dilaksanakan sekitar September tahun ini. Mubarak sendiri sudah menyatakan tidak akan maju kembali dalam Pemilu, begitu juga anaknya Gamal Mubarak. Di sisi lain, para demonstran dan kelompok oposisi tidak memiliki skenario pasca-revolusi yang mampu mengubah konstitusi secara radikal serta memunculkan tokoh alternatif sebagai suksesor yang kredibel. Di samping itu, militer masih sangat loyal terhadap konstitusi walaupun juga tidak membela Mubarak secara terang-terangan. Skenario yang paling mungkin terjadi adalah semua elemen menunggu untuk diadakan sebuah Pemilu yang adil dan demokratis serta bersih dari nama Mubarak. Sementara itu, Mubarak akan digantikan oleh Wakil Presiden Omar Suleiman sampai Pemilu dilaksanakan. Dalam tulisan ini saya akan coba ulas keunggulan dan kelemahan tiap-tiap tokoh tersebut, tentunya terlepas dari segala kemungkinan yang bisa terjadi.



1. Mohammad el-Baradei

Tokoh yang satu ini jauh lebih dikenal oleh masyarakat internasional semenjak ia menjabat sebagai kepala Badan Pengawas Atom Internasional (IAEA). Nama el-Baradei mulai sering muncul di berbagai headline media sejak kisruh invasi AS atas Irak tahun 2003 serta isu pengembangan nuklir Iran belakangan ini. El-Baradei yang memasuki masa pensiunnya di IAEA lalu memutuskan untuk pulang ke Mesir tahun lalu.

Saat ini, el-Baradei mendapatkan dukungan politik dari faksi oposisi terbesar di Mesir yaitu Ikhwanul Muslimim. Ia sempat muncul di tengah-tengah para demonstran, lalu berorasi menuntut Hosni Mubarak mundur dari jabatannya. Beberapa pihak dan pengamat menganggap langkah el-Baradei terlalu opurtinis mengingat sebelumnya ia bukanlah tokoh yang berpengaruh dalam perpolitikan Mesir. El-Baradei dianggap memanfaatkan momentum kekacauan politik kali ini untuk naik menjadi pemimpin. Sebenarnya, el-Baradei sendiri sudah pernah melakukan pertemuan dengan beberapa tokoh pimpinan oposisi pada Februari tahun lalu. Mereka bergabung dan membentuk sebuah gerakan non-partai politik yang dinamakan Asosiasi Nasional Untuk Perubahan. Tujuan utama dari gerakan ini adalah reformasi konstitusi yang mengatur pemilihan Presiden. Mereka menginginkan Pilpres bisa diikuti oleh siapapun termasuk kandidat independen (non-parpol).[1] Setidaknya, el-Baradei memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan dalam konteks suksesi Presiden Mesir.

Kelebihan yang dimiliki el-Baradei adalah:

1.Memiliki track-record (rekam jejak) internasional yang mengagumkan sebagai mantan Kepala Badan Pengawas Atom Internasional. Jabatan itu merupakan jabatan yang sangat membanggakan bagi rakyat Mesir karena reputasi IAEA sangat diandalkan oleh PBB dan dunia. El-Baradei menjabat sebagai kepala IAEA selama 3 periode berturut-turut sejak 1997 hingga 2009. El-Baradei sendiri adalah seorang ilmuwan yang cerdas serta menguasai tiga bahasa asing di luar bahasa Arab.
2.Secara personal, ia dikenal sebagai seeorang yang memiliki integritas serta idealisme yang kuat ketika menjabat sebagai kepala IAEA. Hal itu terbukti dengan publikasinya terkait ketiadaan senjata nuklir di Irak sesuai dengan observasi yang dilakukan lembaga yang ia pimpin. Sikapnya ini membuat ia berkonfrontasi langsung dengan pemerintahan George W. Bush. Bersama-sama dengan Hans Blix[2] yang menerbitkan laporan tebal berisi ketiadaan senjata nuklir di Irak, ia berani melawan justifikasi AS atas nuklir Irak.
3.Tidak terkait dengan rezim Mubarak. Hampir selama usia produktifnya ia habiskan di luar negeri. Kondisi ini membuatnya secara otomatis memiliki catatan yang "bersih" dari rezim Hosni Mubarak yang dianggap korup di dalam negeri.
Beberapa kelemahannya adalah:

1.El-Baradei tidak memiliki popularitas yang cukup untuk maju sebagai calon Presiden pengganti Mubarak. Seorang sopir taksi di Kairo pernah diwawancara oleh salah satu media mengenai el-Baradei pada 2010 setelah el-Baradei kembali ke Mesir. Sopir taksi itu mengatakan bahwa ia tidak mengenal siapa itu Baradei dan ia menganggap kemungkinan el-Baradei adalah salah satu dari para penjahat yang ada di Mesir (baca: rezim Mubarak).[3] Survei secara resmi memang belum pernah dirilis oleh siapa pun. Namun, jika Pemilu diadakan bulan depan, sulit rasanya bagi el-Baradei untuk menang.
2.Diusung oleh Ikhwanul Muslimin, sebuah kelompok oposisi yang menjadi momok Amerika Serikat dan Israel di Mesir. IM adalah organisasi gerakan politik Islam yang sangat mendukung perjuangan Hamas di Palestina. Sikap Mesir yang cenderung akomodatif terhadap Israel akan berubah dengan kepemimpinan IM. AS sendiri sudah menyuarakan sikapnya terkait IM melalui Menlu Hillary Clinton. AS, menurut Hillary, tidak menghendaki Mesir dikuasai oleh organisasi dengan ideologi radikal.[4] Dalam kasus ini yang dimaksud organisasi dengan ideologi radikal adalah IM.[5] Kepentingan negara besar seperti Amerika Serikat terhadap keamanan Israel akan menghambat el-Baradei untuk maju sebagai calon presiden. Meskipun el-Baradei bukan seorang anggota IM, secara politis ia sangat mungkin menjalankan agenda serta aspirasi IM yang telah mengusungnya.
3.Secara personal, el-Baradei adalah seorang praktisi hukum yang bekerja di bidang pengawasan nuklir. Ia tidak pernah menjadi aktivis politik atau partai politik selama di Mesir. Latar belakang ini akan menimbulkan gap yang besar mengingat medan politik jauh berbeda dengan tempat ia beraktivitas sebelumnya. Situasi ini semakin memunculkan anggapan bahwa el-Baradei hanya akan menjadi kendaraan politik Ikhwanul Muslimin untuk mengelola pemerintahan.
4.el-Baradei tersandung konstitusi di Mesir mengenai calon presiden. Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, calon presiden harus berasal dari sebuah partai politik yang legal sekaligus pernah menjadi ketua partai tersebut selama minimal satu tahun. Konstitusi ini tidak hanya menyingkirkan el-Baradei dari bursa pemilihan, tetapi juga Ikhwanul Muslimin. Sampai hari ini, IM masih dianggap sebagai partai terlarang di Mesir.


2. Omar Suleiman

Nama yang juga santer terdengar belakangan ini adalah Omar Suleiman. Ia adalah wakil presiden Mesir saat ini dan merupakan salah satu calon terkuat pengganti Mubarak. Nama Omar Suleiman mulai digadang-gadang oleh media internasional ketika AS melalui Menlu Hillary Clinton menyatakan dukungan mereka kepadanya.

Di beberapa situs ensiklopedia seperti Wikipedia, Omar Suleiman sering disebut sebagai Mubarak kedua (Mubarak II).

Omar Suleiman sudah sangat dikenal oleh pihak Barat sebagai seorang kepala Dinas Intelejen yang sukses. Kehebatannya dalam memimpin Dinas Intelejen Mesir sangat diakui oleh pihak barat. Pada 2009, majalah Foreign Policy menyebutnya sebagai Kepala Intelejen tersukes di Timur Tengah bersama dengan Kepala Dinas Intelejen Israel (Mossad) saat itu, Meir Dagan.[6]

Dalam kisruh politik yang sedang terjadi, Omar Suleiman jarang tampil di hadapan publik untuk berdialog. Sekali ia pernah mengadakan dialog secara luas dengan pihak oposisi untuk membahas cara transisi yang paling relevan. Namun, hal itu tidak banyak memberi pencerahan bagi para demonstran yang ada di jalanan.

Beberapa kelebihan Omar Suleiman.

1.Tingkat popularitas yang cukup tinggi sebagai calon presiden. Mesir seperti halnya negara kita Indonesia, adalah sebuah negara dengan kesenjangan yang sangat tinggi. Kesenjangan itu tidak hanya dalam hal kesejahteraan melainkan juga kesadaran politik. Kebanyakan masyarakat Mesir yang buta terhadap politik tidak memiliki pemahaman yang baik seputar para calon presiden mereka. Tokoh yang memiliki popularitas dan sanggup mengendalikan media akan dengan mudah merebut simpati calon pemilih. Posisi Omar Suleiman saat ini di pemerintahan serta jaringan yang ia miliki akan sangat memudahkan dirinya untuk melakukan usaha pemenangan tersebut.
2.Posisi dalam pemerintahan serta jaringan yang dimiliki Omar Suleiman lebih dari cukup untuk membantunya memenangi Pemilu. Sebagai wakil presiden yang membantu Hosni Mubarak, Suleiman memiliki koneksi yang sangat kuat dengan militer. Ia sendiri mengawali karier profesionalnya sebagai personil militer. Ia sempat menimba ilmu militer di Rusia (saat itu Uni Soviet) yang kemudian mengantarnya sebagai salah satu perwira tercerdas yang pernah dimiliki Mesir. Latar belakang Suleiman sebagai kepala dinas Intelejen juga dimulai di militer. Segudang pengalaman dan jaringannya itu akan menjadi instrumen strategis untuk memenangi Pemilu.
3.Dukungan dari Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki kepentingan besar di Timur Tengah. Nama Omar Suleiman sudah sempat terdengar dari mulut Hillary Clinton yang menunjukkan dukungan AS terhadap pencalonan dirinya. Omar Suleiman adalah tokoh yang sangat tepat bagi AS untuk menjamin keamanan Israel di Timur Tengah.[7] Dukungan AS bisa berarti macam-macam. Dukungan itu bisa juga berupa bantuan dana untuk melakukan kampanye saat Pemilu.[8]
Beberapa kekurangan Omar Suleiman.

1.Sangat dekat dengan rezim Mubarak. Omar Suleiman terlalu identik dengan pemerintahan Mubarak meskipun tidak aktif dalam Partai Nasional Demokrat yang mendukung Mubarak. Sulit bagi rakyat Mesir untuk melihat Omar Suleiman tidak terkait dengan Mubarak. Kampanye negatif kubu oposisi di Mesir akan memanfaatkan situasi ini dengan mengaitkan Omar Suleiman dengan Hosni Mubarak mengingat rasa anti-Mubarak menjadi spirit demonstrasi kali ini.
2.Memiliki beberapa catatan buruk di bidang Hak Asasi Manusia. Human Rights Watch melihat Omar Suleiman sebagai orang yang terlibat secara aktif dalam skandal penyiksaan tahanan yang dilakukan CIA di Timur Tengah. Terkait dengan investigasi CIA terhadap para tersangka al-Qaeda di Timur Tengah, Omar membantu CIA memperoleh keterangan dari para tersangka. Omar Suleiman menggunakan metode penyiksaan dan kekerasan untuk mendapatkan keterangan dari para tersangka.[9] Skandal ini begitu heboh dan menjadi kartu "as" bagi lawan politik Omar Suleiman di Mesir.
3.Terlalu akomodatif terhadap kepentingan AS dan Barat. Demonstrasi yang terjadi di Mesir sempat memunculkan isu anti-AS yang diusung oleh beberapa golongan. Spanduk dan tulisan yang menentang pengaruh serta campur tangan AS di Mesir banyak terlihat beriringan dengan spanduk yang menuntut Mubarak turun. Sikap Omar Suleiman yang dekat dengan AS bisa membangkitkan sentimen anti-AS yang ada di Mesir dan sebagian negara Timur Tengah. Jika dikaitkan dengan aktivitas organisasi Islam garis keras, maka Mesir di bawah Omar Suleiman akan menjadi medan "jihad" yang sah bagi sebagian golongan tersebut. Dengan kata lain, aksi-aksi terorisme akan semakin marak terjadi di Mesir mengingat cara berpikir golongan in sangat sederhana, yaitu hancurkan semua yang berhubungan dengan AS.


3. Amr Moussa

Nama Amr Moussa identik dengan sepak terjangnya sebagai Sekjen Liga Arab, sebuah organisasi antar negara-negara Arab yang terdiri dari 22 negara anggota. Dalam setiap konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah, Liga Arab selalu aktif menyatakan sikap atau setidaknya memberikan komentar. Di situlah, pers internasional senantiasa mengutip pernyataan Amr Moussa yang dianggap mewakili sikap organisasi yang dipimpinnya itu.

Terlepas dari segala kekurangannya, Liga Arab di bawah kepemimpinan Amr Moussa memiliki sikap yang cukup berani dalam menyuarakan aspirasi negara-negara anggotanya. Ketika Israel memblokade jalur gaza sejak beberapa tahun terakhir, Amr Moussa sempat mendatangi langsung negara tersebut pada 2010 untuk meminta pembukaan blokade. Kunjungan Moussa itu merupakan kunjungan delegasi Liga Arab yang pertama sejak kemenangan Hamas 2007 lalu. Tidak hanya itu, Amr Moussa juga ikut membawa permasalahan di Palestina ke Dewan Keamanan PBB. Sikap ini tentu saja sudah maksimal bagi Amr Moussa mengingat kebanyakan negara-negara kuat di Liga Arab adalah sekutu dekat Amerika Serikat seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Walaupun sebagian golongan menganggap Liga Arab adalah organisasi paguyuban yang mandul dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

Di dalam negeri, Amr Moussa mulai populer ketika menduduki jabatan Menteri Luar Negeri periode 1999 – 2001. Jabatan itu ia peroleh setelah bertahun-tahun berkarier dengan cemerlang sebagai diplomat Mesir di berbagai negara dan organisasi seperti PBB. Ada anggapan bahwa kepergian Amr Moussa ke Liga Arab merupakan usaha Mubarak untuk menyingkirkan Moussa yang mulai populer dari politik dalam negeri.

Beberapa kelebihan Amr Moussa antara lain

1.Seorang diplomat yang sangat ulung lagi andal. Kariernya yang cemerlang dalam dunia diplomasi luar negeri mengantarkannya menjadi Menlu di Mesir lalu kemudian Sekjen Liga Arab. Kemampuan diplomasi internasional seorang calon presiden sekaliber Amr Moussa merupakan kredit yang sangat positif.
2.Jaringan yang ia miliki dengan negara-negara Arab. Aktivitasnya di Liga Arab membuat ia senantiasa berkumpul dan berdialog dengan banyak pemimpin negara di kawasan Timur Tengah. Jika ia benar-benar memutuskan maju dalam Pemilu maka ia dapat dengan mudah menggalang dukungan dari negara-negara Arab anggota Liga.
3.Tidak terkait dengan rezim Hosni Mubarak. Amr Moussa tidak memiliki status keanggotaan dalam partai Nasional Demokrat yang mendukung Mubarak. Meskipun ia adalah mantan seorang menteri dalam kabinet Mubarak, tapi ia berasal dari golongan teknokrat independen. Situasi inilah yang ia sadar dapat menghambat rencananya untuk ikut Pemilu tahun 2011 ini. Oleh karena itu, Amr Moussa bergabung bersama dengan el-Baradei serta golongan oposisi lainnya dalam gerakan yang menuntut perubahan undang-undang Pemilu di Mesir. Mereka bersama-sama mengusahakan agar calon independen dapat maju sebagai kandidat presiden dalam Pemilu.
Beberapa kelemahan Amr Moussa.

1.Terlambat untuk melakukan konsolidasi politik serta usaha untuk pemenangan dirinya. Amr Moussa yang sampai saat ini masih menjabat sebagai Sekjen Liga Arab sulit untuk melakukan manuver strategi politik di dalam negeri yang mampu mengantarkannya ke kursi Presiden. Tidak jelas golongan mana saja yang secara resmi akan mengusungnya sebagai calon presiden tahun ini. Di lain pihak, Ikhwanul Muslimin sebagai pihak oposisi terbesar telah lebih dulu mengusung nama el-Baradei sebagai calon presiden mereka.
2.Terlalu percaya diri. Setidaknya itulah yang dikatakan pers asing mengenai keingingan Amr Moussa untuk mencalonkan diri tahun ini. Sebuah komunitas online di internet merilis petisi yang berisi puluhan ribu tanda tangan dukungan untuk Amr Moussa sebagai calon presiden. Namun, petisi itu tidak mendapatkan respon dari rakyat Mesir sama sekali.[10] Walau begitu, Amr Moussa selalu menjawab dengan yakin dan mantap jika ditanya mengenai niatnya mencalonkan diri.
3.Tidak menggunakan momentum revolusi sebagai sarana promosi diri. Tentu saja hal ini bukan bagian dari strategi low profile agar tidak terlihat oportunis. Namun, tetap saja terlihat aneh mengingat di banyak media ia senantiasa mengatakan keinginan kuatnya untuk mencalonkan diri. Salah satu hal yang membuat rakyat ragu akan Moussa adalah sikapnya terhadap rezim Mubarak. Ia bukan wapres Omar Suleiman yang sedang menjabat dalam pemerintahan, tapi ia juga tidak pernah menyatakan sikap anti Mubarak. Padalah, isu sentral revolusi kali ini adalah menurunkan Hosni Mubarak. Beberapa spekulasi menyatakan bahwa Amr Moussa masuk ke dalam "plan B" (skenario cadangan) Amerika Serikat atas Mesir.[11]


Siapa pun orangnya, suksesi atas Hosni Mubarak pasti akan terjadi. Mesir sebagai negara kunci konstelasi politik di Timur Tengah akan memasuki babak baru dalam sejarah. Kalau dulu Firaun mengangkat dirinya sendiri sebagai penguasa. Maka, hari ini, Firaun dipilih langsung oleh rakyat.





[1] www.wikipedia.org / 5 Februari 2011

[2] Hans Blix adalah Kepala IAEA sebelum el-Baradei.

[3] www.times.com/20 Februari 2010 yang dikutip Edigius Patnistik. "Siapakah Elbaradei Si Penantang Mubarak?". www.kompas.com/ 2 Februari 2011

[4] Tri Wahono. "AS Cegah Ideologi Radikal Kuasai Mesir". www.kompas.com/31 Januari 2011

[5] Ikhwanul Muslimin dianggap radikal oleh AS karena konsisten mendukung perjuangan Hamas di Palestina. Hamas sendiri merupakan organisasi yang pembentukannya dibantu secara langsung oleh IM.

[6] "The List: The Middle East's Most Powerful Spooks". Foreign Policy. 20 Juli 2009. http://www.foreignpolicy.com/articles/2009/07/20/the_list_the_middle_easts_most_powerful_spies

[7] Robert Adhi. "Hillary Isyaratkan AS Dukung Suleiman". www.kompas.com / 6 Februari 2011

[8] Dalam konteks Pemilu zaman sekarang, kampanye media adalah bagian paling penting dari strategi pemenangan. Kekuatan modal untuk membeli spare iklan untuk berkampanye di berbagai media massa dan elektronik akan sangat memengaruhi hasil Pemilu. Dukungan AS bisa berupa bantuan dana untuk kampanye media tersebut.

[9] Stephen Soldz. "The Torture Career of Egypt’s New Vice President: Omar Suleiman and the Rendition to Torture Program". Dissident Voice. http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.dissidentvoice.org%2F2011%2F01%2Fthe-torture-career-of-egypts-new-vice-president-omar-suleiman-and-the-rendition-to-torture-program%2F&h=51d2c

[10] http://www.thedohadebates.com/output/page13.asp

[11] Seymour Hersh. "Empire". http://www.youtube.com/watch?v=gDp8TnY3IsA



.

Wednesday 9 February 2011

HURU-HARA DELTA SUNGAI NIL



ارحال!
Kata itulah yang terlihat di setiap sudut kota tempat dilaksanakannya demonstrasi.
Irhal artinya turun!.

Alkisah sebuah negeri yang pernah dihuni oleh para nabi dan raja yang masyur. Negeri yang dilalui oleh sungi Nil dan telah menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad. Saat ini, negeri itu berada dalam situasi perubahan radikal yang menuntut adaya pergantian rezim pemerintahan. Negeri yang dipimpin oleh Firaun zaman modern. Firaun yang menggenggam erat kekuasaannya atas negeri itu dengan tangan besi. Seorang Firaun yang bernama Hosni Mubarak.

Mungkin paragraph pembuka di atas terlalu berlebihan jika melihat perbedaan antara Firaun dan Hosni Mubarak. Firaun adalah sebutan bagi raja-raja Mesir kuno yang melawan perintah Tuhan pada masa nabi. Kata Firaun sudah identik dengan sebuah kemusyrikan besar yang berdimensi akidah. Sebaliknya, Hosni Mubarak adalah sebuah nama yang sangat indah sekaligus mulia. Hosni berasal dari kata "hasan" yang berarti baik. Sedangkan Mubarak berasal dari kata "baraka" yang artinya berkah. Hosni mubarak bisa diartikan sebagai kebaikan yang diberkahi. Namun, keindahan nama Hosni Mubarak tidak memberikan rakyat Mesir kesejahteraan yang pantas mereka dapatkan. Terjadi kesenjangan sosial yang sangat tinggi di Mesir. Kemiskinan dan rasa ketidakadilan yang meluas akhirnya menggerakkan rakyat Mesir untuk turun ke jalan menuntut perubahan. Mungkin nama yang lebih tepat adalah; Laa Hosni Walaa Mubarak (tidak baik dan tidak berkah).

Hal yang diminta oleh para demonstran sejak pertama kali turun ke jalan adalah mundurnya Hosni Mubarak dari kursi kepresidenan. Revolusi yang terjadi di Tunisia yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Ben Ali menginspirasi rakyat Mesir untuk melakukan hal serupa kepada pemimpin mereka. Namun, Hosni Mubarak sama sekali berbeda dengan Ben Ali. Ia adalah seorang mantan petinggi militer dan masih menjadi pemimpin tertinggi dalam struktur militer di Mesir. Ibarat sebuah pohon, Mubarak adalah pohon beringin yang akarnya menancap sangat kuat di tanah, bahkan menjuntai-juntai dari tiap dahan.

Hosni Mubarak telah menjadi penguasa Mesir sejak tahun 1981. Saat itu ia adalah seorang Wakil Presiden. Ia naik menjadi presiden menggantikan Anwar Sadat yang tewas terbunuh di tengah sebuah parade militer. Sebagai catatan, Anwar Sadat dibunuh oleh seseorang yang mewakili kekecewaan banyak pihak atas sikapnya yang membela kepentingan Israel. Pada tahun 1979, Sadat menandatangani perjanjian damai dengan Israel di Camp David yang menandai babak baru hubungan di antara kedua negara tersebut. Sebelumnya, Mesir adalah pemimpin negara-negara Arab yang memerangi Israel di Timur Tengah. Tidak ada satu perang Arab-Israel pun yang tidak melibatkan Mesir di dalamnya. Kepentingan internal Mesir sendiri dalam memerangi Israel adalah merebut kembali semenanjung Sinai yang dikuasai Israel sejak tahun 1967.

Sejak perjanjian damai tersebut, konstelasi politik di kawasan Timur Tengah berubah sama sekali. Mesir menjadi negara yang sangat akomodatif terhadap kepentingan Israel. Menjaga kepentingan Israel di Timur Tengah sama artinya dengan membuka hubungan baik dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Selama itulah Hosni Mubarak mendapat keuntungan yang tidak sedikit dari sikap negaranya. Dengan perjanjian damai tersebut, setidaknya Mesir tidak akan menyerang Israel.

Negara Barat sungguh memelihara Hosni Mubarak seperti saat mereka memelihara Presiden Soeharto. Segala hal yang berkaitan dengan peningkatan kekuatan militer mendapatkan perhatian yang luar biasa dari Amerika Serikat. Mesir, sekalipun tidak pernah lagi berperang di kawasan Timur Tengah merupakan negara dengan kekuatan militer terbesar setelah Irak pada era 1990an. Sekarang, Mesir berdiri sejajar dengan Israel dalam teknologi persenjataan militer. Keduanya sama-sama memiliki pesawat mata-mata tercanggih yang dalam dunia dirgantara sering disebut UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Semua teknologi itu didapatkan Mesir dari hubungan baik mereka dengan AS. Sampai saat ini, alusista Mesir masih didominasi oleh produk AS dan negara Barat lainnya.

Perubahan akan segera terjadi di kawasan delta sungai Nil ini. Perubahan yang jauh lebih berdampak pada konstelasi politik di kawasan Timur Tengah. Mesir adalah salah satu negara paling berpengaruh di Timur Tengah selain Arab Saudi dan Iran. Perubahan yang bersifat radikal akan memancing rakyat di negara-negara tetangga untuk melakukan hal yang sama mengingat ketidakadilan sudah menjadi bagian hidup mereka selama ini.

Bangsa kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang bersejarah ini. Mesir adalah model pembelajaran yang baik bagi kita dalam berdemokrasi. Demokrasi yang selalu bergerak mencari bentuk sempurnanya. Demokrasi yang selalu berada dalam situasi transisi tak berkesudahan. Mesir akan mengajarkan kepada para pemimpin kita bagaimana memaknai kata "cukup". Cukup berarti mawas diri untuk membatasi periode kekuasaan. Tidak hanya bagi dirinya sendiri, akan tetapi seluruh dinastinya.

Banyak dari saudara kita yang menyaksikan revolusi Mesir ini secara langsung. Setidaknya kita tidak akan kekurangan saksi mata di lapangan, mengingat ada sekitar 6000 orang Indonesia di negara itu. Sebagian besar dari mereka sudah dipulangkan ke Indonesia, tapi masih banyak yang bertahan di sana menyaksikan perubahan yang terjadi dengan mata kepala mereka sendiri. Berdasarkan pemberitaan media, kebanyakan dari warga Indonesia yang bertahan di sana adalah mahasiswa yang tidak ingin kehilangan masa studinya. Mereka bisa saja menjadi pelopor perubahan di negara kita selepas kepulangan mereka dari sana. Toh, selama ini mahasiswa memang selalu yang menjadi front terdepan yang menuntut perubahan. Hal itu sangatlah mungkin asalkan mahasiswa yang kembali ke tanah air tidak bertipikal "Fahri" yang sibuk mencari-cari Aisyah. Fahri adalah tokoh utama dalam novel Ayat-Ayat Cinta karangan Habiburrahman el-Shirazy. Yah, semoga saja ...

Tuesday 8 February 2011

SATU LAGI DARI TUNISIA




Inilah negara dunia ketiga
Hidup ini luar biasa
Susah senang banyak susahnya
Inilah cerita negeri yang kaya, tapi sengsara
-- Negara Dunia Ketiga, Marjinal--

Sepenggal bait lirik lagu dari Marjinal mungkin bisa sedikit menggambarkan pola kondisi negara dunia ketiga di planet ini. Satu lagi kabar dari Tunisia, sebuah negara yang bergejolak akibat rasa ketidakadilan yang melanda seluruh masyarakatnya. Negara yang sudah dipimpin oleh presiden Zine el-Abidin Ben Ali selama 23 tahun yang saat ini memasuk babak baru sejarah mereka.

Revolusi yang saat ini terjadi di Tunisia dimulai dari demonstrasi-demonstrasi berskala kecil yang diusung oleh kelompok mahasiswa dan sebagian masyarakat di beberapa kota. Mereka menuntut adanya perubahan kondisi ekonomi yang dirasakan semakin sulit. Angka pengangguran yang begitu tinggi, serta kenaikan harga yang sulit dijangkau menjadi alasan mereka untuk berdemonstrasi. Namun kemudian, di sela-sela trend demonstrasi tersebut, terjadilah sebuah peristiwa yang menjadi trigger momentum revolusi. Peristiwa itu adalah sebuah aksi membakar diri yang dilakukan oleh Mohammad Bouazizi yang memprotes tindakan aparat hukum yang menyita gerobak dagangannya. Bouazizi membakar dirinya hingga hangus di depan kantor Dewan Kota Tunis. Aksinya ini sontak menjadi buah bibir dikarenakan sebagian masyarakat merasa sangat terwakili oleh aksi tersebut. Seketika, aksi tersebut mendapatkan simpati yang luar biasa dari seluruh rakyat Tunisia.

Bouazizi adalah seorang sarjana yang menganggur karena sempitnya lapangan pekerjaan. Ia terpaksa berdagang buah-buahan di kaki lima dengan gerobak untuk menghidupi keluarganya. Suatu hari, gerobak itu direbut paksa oleh aparat penegak hukum (di sini mungkin Trantib) sehingga ia tidak bisa berjualan lagi. Boauazizi memberikan perlawanan tapi usahanya sia-sia. Di tengah rasa kecewanya serta kesedihan yang begitu memuncak, ia kemudian melakukan aksi protes dengan membakar dirinya di depan kantor Dewan Kota Tunis.

Bouazizi mewakili banyak golongan intelektual yang sulit mendapatkan pekerjaan karena sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Tingkat pengangguran di Tunisia mencapai angka 30% dari seluruh populasi penduduk usia kerja. Pengangguran ini kemudian membuat efek domino pada kondisi sosial dan perekonomian masyarakat. Kemiskinan dan kesengsaraan terjadi di seluruh negeri. Sedangkan di sisi lain, masyarakat sepenuhnya sadar bahwa mereka hidup di atas ladang minyak yang besar di belahan Afrika Utara. Sebuah ironi yang menjadi pengetahuan umum masyarakat Tunisia. Masyarakat menganggap bahwa rezim Ben Ali telah gagal dan juga koruptif dalam menyelenggarakan pemerintahan. Terlepas dari statistik kemunduran ekonomi, Ben Ali juga melakukan sekularisasi di Tunisia. Isu yang satu ini sangat menyakiti golongan Islam yang menjadi umat terbesar di negara itu. Ben Ali melarang penggunaan jilbab di sektor formal serta penggunaan pengeras suara untuk azan di masjid-masjid. Kebijakan Ben Ali ini menyerupai sekularisasi yang dilakukan Khemal Attaturk di Turki tahun 1924. Bedanya, di Turki, sekularisasi berhasil membawa Turki ke zaman yang lebih maju sekaligus mengembalikan akar budaya mereka. Namun, di Tunisia justru sebaliknya. Pelan tapi pasti, masyarakat Tunisia semakin miskin dan mulai kehilangan akar budaya mereka sendiri.

Kematian Bouazizi menggemparkan rakyat Tunisia. Ribuan orang melakukan aksi turun ke jalan menuntut pemerintahan Ben Ali untuk mundur. Chaos dan konflik tidak bisa dihindarkan. Kemudian jatuhlah satu persatu korban akibat kerusuhan yang melanda seluruh penjuru negara ini. Kita tahu bahwa dalam kondisi seperti itu, kematian aktivis atau demonstran akan menjadi minyak yang disiram ke dalam api yang menyala. Bouazizi menjadi martir pertama, sisanya adalah sebuah revolusi sosial yang akan mengubah negara ini memasuki zaman baru.

Presiden Ben Ali yang sadar akan tuntutan masyarakatnya di jalan kemudian memilih langkah kabur ke luar negeri untuk menyelamatkan diri dan keluarganya. Kali ini, Amerika Serikat atau negara-negara Eropa tidak memberikan suaka kepada Ben Ali. Akhirnya, Ben Ali sekeluarga lari ke Arab Saudi, sebuah negara yang menjadi simbol kedegilan penguasa-penguasa Arab. Ben Ali pergi membawa 1,5 ton emas batangan sebagai bekal perjalanan ke Saudi Arabia. Bisa dibayangkan seperti apa situasi kepergian Ben Ali dan keluarga menggondol-gondol harta yang mereka timbun selama bertahun-tahun.

Sampai tulisan ini diunggah, kondisi di Tunisia masih jauh dari kata stabil. Para demonstran belum sepenuhnya puas dengan kondisi yang ada. Mereka menuntut pembersihan total dari seluruh pengaruh dan kekuasaan mantan Presiden mereka. Segala hal yang berbau atau terkait dengan Ben Ali ataupun partainya dianggap sebagai kotoran yang harus dibersihkan. Tunisia mempertontonkan demokrasi jalanan yang membuat aturan baru dalam memilih dan mengangkat para pejabat pengganti. Koridor konstitusi ditabrak bersama-sama dalam situasi revolusi yang sedang terjadi.

Satu hal yang saya khawatirkan dari Revolusi Tunisia adalah ketiadaan infrastruktur pengganti baik di bidang politik serta konsitusi. Pengalaman nyata adalah apa yang pernah terjadi di Indonesia pada 1998. Pada tahun tersebut, Indonesia pernah mengalami momentum perubahan yang cukup besar yang sering dinamakan reformasi. Pada masa itu, semua golongan masyarakat yang dipelopori oleh aksi mahasiswa menuntut pergantian rezim yang pada akhirnya berhasil menurunkan Soeharto dari kursi presiden. Mahasiswa sebagai kaum intelektual menjadi motor penggerak reformasi yang pada akhirnya menggiring segenap golongan untuk menuntut pergantian rezim orde baru serta presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Sampai hari ini, reformasi telah berumur 12 tahun. Tidak ada perubahan yang signifikan dari tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Salah satu evaluasi terbesar dari reformasi adalah ketiadaan infrastruktur politik alternatif untuk menggusur semua elemen rezim Orde Baru yang ditumbangkan. Partai Golkar sebagai partai ikon Orde Baru bahkan masih menjadi partai yang sangat berkuasa hingga hari ini. Artinya, penggulingan kursi presiden serta kabinet tidak akan membawa perubahan berarti jika tidak ada figur atau sistem pengganti yang bersifat terobosan atau alternatif dalam suatu revolusi.

Salah satu revolusi yang terasa manis dalam sejarah tentu saja revolusi Iran tahun 1979. Saat itu mereka mampu menumbangkan rezim diktator sekaligus mengganti semua sistem yang ada dengan yang baru. Saat itu mereka juga berhasil mengusung satu orang tokoh sentral revolusi sebagai pemimpin tertinggi masa transisi. Begitulah seharusnya revolusi dilakukan dengan segala persiapannya. Revolusi Iran terasa sangat rapih sekaligus radikal jika melihat perbedaan zaman sebelum dan sesudah revolusi. Tiba-tiba saja, Iran menjadi sebuah negara yang menempatkan golongan ulama (faqih) sebagai golongan elite dalam struktur kekuasaan. Para faqih ini tidak menjalankan pemerintahan secara langsung melainkan menjadi semacam lembaga yang berfungsi sebagai pemberi keputusan final dalam setiap manuver pemerintah.

Jika revolusi yang terjadi di Tunisia selesai sampai dengan pembongkaran kabinet serta pemerintahan Ben Ali, maka sungguh amat mahal nyawa Bouazizi yang tewas menjadi martir. Bagaimanapun, revolusi itu sendiri adalah momentum untuk melakukan perubahan secara radikal terhadap situasi yang terjadi. Tidak ada kata setengah-setengah dalam sebuah revolusi. Jika memang hanya bisa setengah-setengah, maka, kita namakan saja itu dengan reformasi.

Wednesday 5 January 2011

INDONESIA DALAM KACAMATA BACKMAN


Adalah seorang orientalis asal Inggris yang bernama Michael Backman yang telah mengajak saya untuk melihat Asia dalam perspektif yang unik. Unik bukan berarti tanpa dasar. Saya pikir siapa pun sah untuk melihat perkembangan Asia kontemporer sesuai dengan kemampuan nalar mereka.

Buku yang ditulis oleh Backman berjudul Asia Future Shock. Dalam buku tersebut ia memaparkan kajian strategis mengenai Asia dari sisi eksternal. Paparan Backman banyak membahas mengenai tantangan dan masa depan Asia. Hanya ada beberapa Negara yang dibahas oleh Backman yang mungkin ia anggap sebagai representasi fenomena perkembangan Asia kontemporer. Sayangnya, Backman tidak membahas sedikitpun Negara-negara di Asia Barat dan Barat Daya yang mungkin lebIh dikenal sebagai Negara-negara Timur Tengah. Maklumlah, interest saya memang terhadap wilayah tersebut, jadi saya agak kecewa ketika tidak menemukan pembahasan sedikitpun mengenai wilayah tersebut. Mungkin juga bagi para orientalis Barat seperti Backman, Timur Tengah berdiri sendiri sebagai sebuah kajian diluar Asia pada umumnya. Saya setuju!!

Anda tahu apa yang ditulis Backman mengenai Indonesia? Dia bilang Negara kita tidak punya masa depan! Hehe, begitulah kira-kira si penerjemah mengartikan kata-kata Backman dalam buku Asia Future Shock yang saya peroleh dari seorang sahabat. Fokus permasalahan daam mengkaji Indonesia terdapat pada sistem birokrasi. Sistem birokrasi kita seperti yang kita tahu telah menjadi santapan para akedemisi barat yang melakukan penelitian terhadap reformasi birokrasi pada negara demokrasi. Sistem birokrasi kita sering disebut sebagai sebuah "horor" karena sangat gelap dan menyeramkan. Bagi para investor asing, birokrasi yang baik dan transparan adalah harga mutlak untuk sebuah investasi. Dikatakan dalam buku itu bahwa Indonesia akan sangat menyesal dengan keterlambatan reformasi birokrasi. Seorang Backman bahkan tahu kalau tidak ada satu pun yang gratis dalam urusan birokrasi di negara ini. Seandainya saya adalah seorang rekannya, saya akan sumbangkan satu kolom khusus drama pembuatan KTP dan berbagai dokumen di tingkat kelurahan negara ini.

Satu hal yang agak mengganjal dalam tulisan Backman mengenai Indonesia adalah masalah air tanah. Ia menulis dalam bukunya bahwa air tanah di Jakarta sudah sangat tercemar oleh banyaknya limbah industri dan banyaknya areal pekuburan. Saya setuju untuk mengatakan bahwa air tanah di Jakarta sudah bukan untuk dikonsumsi secara langsung mengingat tingkat penyerapan tanahnya yang sudah jauh berkurang akibat pembangunan. Kota besar seperti Jakarta memang seharusnya tidak mengkonsumsi air tanah secara langsung. Setiap warga harus mengakses air melalui layanan PDAM dan bukan melalui sumur atau pompa buatan. Sampai titik tersebut Backman berbicara seperti para pakar lingkungan di seluruh dunia. Tetapi, ketika ia mengatakan bahwa salah satu penyebab pencemaran air tanah di Jakarta adalah areal pekuburannya, saya agak terusik. Jumlah TPU di Jakarta memang banyak dan menjadi ikon nama yang sangat dikenal dan mewakili daerahnya masing-masing. Intinya, menurut Backman, warga Jakarta terancam berbagai penyakit berbahaya disebabkan air tanah yang tercemar limbah TPU.

Ketika saya diskusikan hal tersebut bersama teman-teman, ada yang mengatakan kalau hal tersebut mungkin saja. Toh, belum ada penelitian yang akurat, jadi bisa saja hal itu benar adanya. Dan saya pikir, saya akan minum air kemasan saja selama di Jakarta.

Review Buku Ali Syariati: Humanisme Islam Vs Barat


Ali Syariati adalah seorang cendikiawan muda di Iran. Ia sangat tertarik pada isu-isu seputar Islam dan pemikiran. Ia juga sempat menjadi tokoh pemikir yang sentral pada era pra-revolusi Islam Iran. Bersama-sama dengan Khomeini (meskipun tidak secara langsung), ia mengibarkan genderang perlawanan terhadap rezim Syah Reza Pahlevi melalui berbagai kuliah umum serta tulisan yang ia buat. Di antara buku yang disusun berdasarkan materi-materi kuliah yang ia sampaikan di Iran berbicara mengenai marxisme dan berbagai pemikiran Barat. Buku ini adalah salah satunya.

Buku ini menarik bagi saya yang awam terhadap wacana pemikiran barat baik pada masa kuno, pertengahan ataupun modern. Buku ini mungkin sudah pernah dibaca oleh teman saya yang menulis skripsi tentang konsep wilayatul faqih di S1 dulu. Seingat saya, dia pernah meng-copy buku Ali Syariati, entah yang mana tapi cukup tebal. Saya tidak tahu apakah buku ini termasuk yang sudah pernah dibacanya. Intinya saya sangat tertarik untuk mengetahui siapa Ali Syariati dan bagaimana ia berpikir.

Pada bagian awal, Ali Syariati memberi beberapa catatan tentang perkembangan paham humanisme di barat. Ada 4 aliran yang mewakili pembahasan mengenai humanisme di Barat. Keempat paham itu adalah; marxisme, kapitalisme, agama, dan materialisme. Humanisme yang berkembang di barat jelas diawali oleh perkembangan pemikiran mitologi Yunani kuno dimana manusia pada saat itu menjadi sesuatu yang sangat sub-ordinat bagi dewa-dewa. Manusia selalu diposisikan sebagai sesuatu yang lemah yang tidak memiliki sifat-sifat ilahiah dan tidak mungkin mencapai derajat ketuhanan. Dewa-dewa membelenggu manusia sehingga manusia berpikir untuk melepaskan diri dari situasi tersebut. Aristoteles dkk memikirkan hal tersebut lalu kemudian pemikiran itulah yang mengawali paham humanisme di Barat pada era selanjutnya.

Yang menjadi ciri khas humanisme barat adalah pemisahan aspek transenden dari manusia, atau setidaknya reduksi terhadap nilai tersebut. Memang, pada jaman pertengahan, gereja sangat membelenggu manusia untuk berpikir mencari ilmu, apalagi berfilsafat. Namun, hal ini tidak seharusnya menjadikan mereka melepaskan diri begitu saja dari aspek yang sesungguhnya sangat substantif, yaitu ketuhanan.

Marxisme menurut Ali Syariati, mengkritik (menyerang) kapitalisme dengan mengatakan bahwa penguasaan atas modal oleh golongan dan individu akan melahirkan kelas sosial. Kelas sosial ini akan diisi oleh golongan yang disebut borjuis kapitalis dan akan memperbudak golongan yang ada di bawahnya (yang tidak memilii modal). Bagi Syariati, marxisme sama sekali bukan solusi atas kapitalisme. Bahkan, maerxisme bisa melebihi karakter borjuis dari kapitalisme. Yang dimaksud disini adalah; dengan marxisme, semangat untuk melahirkan golongan borjuis kapitalis justru mengkristal pada sebuah negara atau penguasa. Sistem yang dijalankan akan menciptakan kondisi yang sangat berorientasi pada kesejahteraan ala borjuis kapitalis. Jadi, marxisme sebenarnya hanyalah perpanjangan tangan dari borjuis kapitalis untuk diratakan bagi semua warga negara. Semacam pemerataan kelas borjuis itu sendiri. Dilihat dari semangatnya tersebut, maka marxisme jauh lebih buruk dari kapitalisme.

Ungkapan-ungkapan tokoh yang mengusung praktik marxisme di dunia seperti Lenin dan Stalin menyebutkan agama sebagai candu. Mereka beranggapan bahwa agama (nilai moral) membuat masyarakat tidak kreatif dan pasrah terhadap keadaan. Filsafat humanisme yang melatarbelakangi pemikiran ini jelas menunjukkan bahwa mereka tidak menganggap agama sanggup membebaskan manusia dari situasi yang sulit serta kemiskinan. Dalam filsafat humanisme ala Barat, manusia terkekang oleh Dewa-dewa yang superior dan selalu mempertahankan superioritasnya sepanjang waktu. Manusia yang tadinya memiliki kebebasan dan kekuasaan menjadi makhluk yang tunduk dan patuh terhadap kekuatan Dewa dan Tuhan. Singkatnya, agama menghinakan manusia sebagai makhluk yang seharusnya bebas dan kreatif.

Menurut Ali Syariati, dalam Islam manusia memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Filsafat humanisme dalam Islam adalah Tauhid. Manusia diciptakan dari sesuatu yang hina, yaitu debu (tanah). Namun, kemudian Tuhan menawarkan kepada seluruh alam (termasuk gunung dan laut) untuk menjadi pemimpin di Bumi (Khalifatu fil ardhi). Tidak ada yang bersedia menanggung amanah tersebut, akan tetapi manusia menerimanya. Karena itulah malaikat diperintahkan sujud kepada manusia sedangkan iblis menolak. Disini kita bisa melihat betapa dalam Islam, sejak pertama kali manusia diciptakan, manusia sudah diberikan kekuasaan yang dahsyat (khalifah di Bumi). Bahkan setelah itu, Adam melanggar larangan Tuhannya untuk tidak memakan buah khuldi di Surga, kemudian ia menerima konsekuensinya. Kasus adam adalah sebuah simbol kebebasan bagi manusia untuk berbuat dan berkehendak semaunya setelah diciptakan dengan segala konsekuensi dan tanggung jawab atas perbuatannya. Islam memberikan filsafat humanisme yang paling jelas dalam koridor Tauhid yang tidak bisa dibantah oleh ideologi manapun.

Berbeda dalam Kristen ketika muncul lembaga gereja dimana paus menjadi wakil Tuhan di dunia. Kristen tak ubahnya seperti agama-agama yunani kuno yang membelenggu umatnya diatas superioritas gereja.

Demokrasi Transaksional Untuk Irak


Dua tahun yang lalu, ketika situasi politik di Irak pasca pemilu legislatif sangat kacau, banyak orang menduga Irak akan menuju "negara gagal" (failed state). Aksi pengeboman yang tidak pernah berhenti, provokasi dari tiap pihak yang semakin membabi buta, membuat Irak tampak seperti zona perang bagi siapa saja. Padahal, kehadiran militer AS di Negara tersebut berada pada status sangat siaga. AS seperti mengantarkan Irak ke era baru pasca-Saddam. Irak masa transisi adalah sebuah Negara yang sangat brutal dari sisi konflik dan stabilitas.

Alih-alih mengantarkan Irak ke zaman baru yang terang benderang, AS justru terjebak dalam situasi rumit konflik sektarian yang terjadi di Irak. Perebutan kekuasaan antara golongan Sunni dan Syiah mencapai tahap yang paling menguatirkan. Bahkan, konflik antara kedua golongan ini menjadi semacam titik kulminasi konflik mereka yang sudah berlangsung berabad-abad. Mungkin kalimat tadi terlalu berlebihan, tetapi setidaknya itulah fakta yang terjadi di Irak. Aksi pengeboman terjadi silih berganti satu terhadap yang lain. Beberapa di antaranya adalah aksi bom bunuh diri yang menandakan betapa seriusnya permusuhan di antara mereka.Terlepas dari faktor AS, konflik antara Sunni dan Syiah memiliki aktor-aktor lain dari wilayah Timur Tengah. Golongan Syiah Irak yang selama bertahun-tahun hidup dalam kungkungan rezim Saddam Hussein (Sunni), mendapatkan momentum untuk memperjuangkan hak mereka atas Irak (baca: kekuasaan). Perjuangan tersebut kemudian mendapatkan dukungan yang luar biasa dari Iran yang bermazhab Syiah. Salah satu dukungan yang sangat jelas adalah mempersenjatai milisi Syiah Irak yang pro-Iran. Di sisi lain, golongan Sunni di Irak adalah penguasa sektor militer pada era Saddam Hussein. Artinya, sisa-sisa amunisi dan akses terhadap kepemilikan senjata masih sangat mereka kuasai. Hal ini berarti kedua belah pihak, baik Sunni ataupun Syiah berada pada status sama-sama bersenjata.
Bagi Iran, Irak tidak hanya memiliki peran sebagai negara tetangga yang sangat vital, tetapi juga wilayah yang suci bagi rakyat Iran. di Irak terdapat beberapa kota yang disucikan oleh umat Islam Syiah. Kota-kota itu adalah Karbala, Najaf, dan Kufah. Masyarakat Iran selalu ingin berwisata religi ke kota-kota tesebut sebagai bagian dari kepercayaan mazhab mereka. Oleh karena itu, Irak yang ramah dan bersahabat dengan Iran adalah sebuah dambaan bagi masyarakat Iran. dalam perspektif Iran, hal tersebut hanya dapat diwujudkan dengan supremasi politik golongan Syiah di Irak.

Setiap negara yang berada pada era transisi kekuasaan yang radikal pastilah mengalami kesulitan dan berbagai hambatan. Situasi itu pernah dialami oleh Iran pasca-Revolusi tahun 1979. Saat itu, konstelasi politik dalam negeri Iran sangat rawan konflik horisontal antara elemen pendukung revolusi. Stabilitas di Iran akhirnya bisa tercapai dalam waktu kurang lebih 10 tahun pasca-Revolusi. Dalam konteks yang lebih sederhana kita bisa melihat Indonesia yang bertransisi dari zaman orde baru ke zaman reformasi. Bahkan, sampai hari ini, kita masih belum menemukan formula terbaik bagi sistem politik di negara kita. Lantas, bagaimana dengan Irak?
Tidak cukup bagi kita jika hanya membaca ulasan Musthafa Abdul Rahman dalam bukunya yang berjudul "Geliat Irak Menuju Era Pasca-Saddam" (Kompas, 2003) untuk menggambarkan masa transisi politik di Irak. Irak terus bergejolak hingga hari ini. Stabilitas politik di negara itu urung dicapai meski invasi sudah berakhir sejak 2004. Ketidakstabilan politik di negara itu disebabkan oleh konflik kepentingan di antara golongan-golongan besar yang berseteru sejak lama. Yang membuat situasi semakin runyam adalah ketika ketiga golongan tersebut mulai mengangkat senjata, berperang satu dengan yang lain. Padahal, salah satu misi George W. Bush di Irak adalah untuk mengantarkan Irak ke zaman demokrasi yang modern. Ironis, demokrasi dengan elemen bersenjata adalah sebuah utopia. Seperti kata Coen Hussein Pontoh dalam bukunya yang berjudul "tentara rakyat". Jika orang yang memegang sejnata masuk dalam ajang demokrasi, maka saat itu juga demokrasi masuk tempat sampah. Situasi di Irak mengingatkan saya kepada situasi di Lebanon saat meletus perang saudara 1975-1990. Saat itu, setiap golongan yang terlibat perang saudara memiliki akses terhadap persenjataan. Di sisi lain, angkatan bersenjata negara tidak berdaya meredam konflik. Perang saudara yang panjang itu akhirnya selesai dengan sebuah kesepahaman transaksionalisme politik di Lebanon yang diatur dalam konstitusi. Mereka membagi-bagi kekuasaan politik di Lebanon berdasarkan angka demografis dan populasi tiap golongan. Secara berturut-turut, jabatan politik di Lebanon terdiri atas Presiden (Kristen Maronit), Perdana Menteri (Islam Sunni), Wakil Perdana Menteri (Kristen Ortodoks) dan Ketua Parlemen (Islam Syiah). Konsensus ini kemudian disebut sebagai "konfensionalisme". Stabilitas politik di Lebanon akhirnya semakin membaik setelah penerapan konsensus tersebut. Namun, belakangan ini, aspirasi dari umat Islam, khususnya yang bermazhab Syiah menguat seiring perubahan demografi yang mereka yakini menempatkan muslim Syiah sebagai mayoritas di Lebanon.

Lain Lebanon, lain pula Irak. Efek dari invasi Amerika Serikat dalam perpolitikan Irak adalah bentuk transaksionalisme demokrasi. Irak yang porak-poranda di segala bidang akibat invasi AS tahun 2003 saat ini di ambang krisis politik berkepanjangan yang seolah-olah hanya dapat diselesaikan dengan model demokrasi transaksional. Demokrasi dengan segala kekurangannya telah memberikan celah bagi Irak untuk bergeliat menyongsong era baru. Celah itu adalah konsensus dari tiap golongan untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan aspirasi rakyat sekaligus menghindari konflik sektarian. Demokrasi yang tidak melihat isi kepala melainkan jumlah kepala, tetap memberikan peluang bagi tiap-tiap golongan untuk berkontribusi membangun Irak yang baru. Misi dari perwakilan tiap golongan ini sederhana saja, yaitu melindungi keamanan golongan mereka. Keamanan dalam arti sesungguhnya, yaitu menghindarkan mereka dari perang saudara.

Golongan Sunni yang secara populasi hanya berjumlah sekitar 30% telah menjadi golongan rulling elite di Irak selama bertahun-tahun (bahkan berabad-abad jika dihitung sejak zaman Islam). Sisanya adalah golongan Syiah yang merupakan golongan mayoritas di Irak dengan populasi sebanyak 60%. Kemudian suku Kurdi yang berjumlah kurang lebih 30%. Setidaknya, tiga golongan inilah yang merepresentasi distribusi kekuasaan yang ada di Irak sepeninggal Saddam Hussein. Ketiga golongan ini juga lah yang memiliki basis loyalitas dukungan termasuk instrumen militer untuk berperang satu sama lain. Dengan kata lain, ketiga golongan inilah yang seharusnya paling bertanggung jawab untuk membawa bangsa Irak menuju perubahan.
Seharusnya, jika Irak berkiblat pada model politik Lebanon, maka sangat mudah memetakan distribusi kekuasaan di negara tersebut. Di Irak, Syiah sebagai golongan yang mayoritas sudah sepantasnya menempati jabatan strategis setingkat Presiden. Kemudian disusul Sunni sebagai Perdana Menteri dan Kurdi sebagai Ketua Parlemen. Namun, situasi di Irak tidak sesederhana itu. Irak terlalu rapuh di segala sisi. Invasi AS telah menghabisi seluruh infrastruktur politik di Irak. Terlepas dari kebencian rakyat Irak atas pendudukan tentara koalisi, mereka juga sangat membenci Saddam Hussein yang menerapkan politik kesukuan dalam pemerintahannya (state of tribalism). Di sisi lain, para personel militer era Saddam yang masih memiliki akses terhadap senjata tetap berusaha mempertahankan dominasi mereka, setidaknya di Irak tengah (basis militer Saddam Hussein). Di wilayah utara lain lagi permasalahannya. Suku Kurdi di daerah tersebut adalah golongan yang senantiasa dirongrong oleh pemerintah pusat selama Saddam berkuasa. Isu separatisme di kalangan Kurdi masih sangat kental hingga hari ini. Cita-cita mereka sederhana saja, ingin membentuk sebuah negara baru bagi bangsa Kurdi yang terdiaspora di berbagai wilayah Timur Tengah. Melihat situasi yang seperti ini, maka sangat pas apabila Irak menganut konfesionalisme ala Lebanon untuk paling tidak memberikan stabilitas politik bagi negara mereka sebelum Amerika Serikat betul-betul menarik pasukannya keluar.