Wednesday 5 January 2011

INDONESIA DALAM KACAMATA BACKMAN


Adalah seorang orientalis asal Inggris yang bernama Michael Backman yang telah mengajak saya untuk melihat Asia dalam perspektif yang unik. Unik bukan berarti tanpa dasar. Saya pikir siapa pun sah untuk melihat perkembangan Asia kontemporer sesuai dengan kemampuan nalar mereka.

Buku yang ditulis oleh Backman berjudul Asia Future Shock. Dalam buku tersebut ia memaparkan kajian strategis mengenai Asia dari sisi eksternal. Paparan Backman banyak membahas mengenai tantangan dan masa depan Asia. Hanya ada beberapa Negara yang dibahas oleh Backman yang mungkin ia anggap sebagai representasi fenomena perkembangan Asia kontemporer. Sayangnya, Backman tidak membahas sedikitpun Negara-negara di Asia Barat dan Barat Daya yang mungkin lebIh dikenal sebagai Negara-negara Timur Tengah. Maklumlah, interest saya memang terhadap wilayah tersebut, jadi saya agak kecewa ketika tidak menemukan pembahasan sedikitpun mengenai wilayah tersebut. Mungkin juga bagi para orientalis Barat seperti Backman, Timur Tengah berdiri sendiri sebagai sebuah kajian diluar Asia pada umumnya. Saya setuju!!

Anda tahu apa yang ditulis Backman mengenai Indonesia? Dia bilang Negara kita tidak punya masa depan! Hehe, begitulah kira-kira si penerjemah mengartikan kata-kata Backman dalam buku Asia Future Shock yang saya peroleh dari seorang sahabat. Fokus permasalahan daam mengkaji Indonesia terdapat pada sistem birokrasi. Sistem birokrasi kita seperti yang kita tahu telah menjadi santapan para akedemisi barat yang melakukan penelitian terhadap reformasi birokrasi pada negara demokrasi. Sistem birokrasi kita sering disebut sebagai sebuah "horor" karena sangat gelap dan menyeramkan. Bagi para investor asing, birokrasi yang baik dan transparan adalah harga mutlak untuk sebuah investasi. Dikatakan dalam buku itu bahwa Indonesia akan sangat menyesal dengan keterlambatan reformasi birokrasi. Seorang Backman bahkan tahu kalau tidak ada satu pun yang gratis dalam urusan birokrasi di negara ini. Seandainya saya adalah seorang rekannya, saya akan sumbangkan satu kolom khusus drama pembuatan KTP dan berbagai dokumen di tingkat kelurahan negara ini.

Satu hal yang agak mengganjal dalam tulisan Backman mengenai Indonesia adalah masalah air tanah. Ia menulis dalam bukunya bahwa air tanah di Jakarta sudah sangat tercemar oleh banyaknya limbah industri dan banyaknya areal pekuburan. Saya setuju untuk mengatakan bahwa air tanah di Jakarta sudah bukan untuk dikonsumsi secara langsung mengingat tingkat penyerapan tanahnya yang sudah jauh berkurang akibat pembangunan. Kota besar seperti Jakarta memang seharusnya tidak mengkonsumsi air tanah secara langsung. Setiap warga harus mengakses air melalui layanan PDAM dan bukan melalui sumur atau pompa buatan. Sampai titik tersebut Backman berbicara seperti para pakar lingkungan di seluruh dunia. Tetapi, ketika ia mengatakan bahwa salah satu penyebab pencemaran air tanah di Jakarta adalah areal pekuburannya, saya agak terusik. Jumlah TPU di Jakarta memang banyak dan menjadi ikon nama yang sangat dikenal dan mewakili daerahnya masing-masing. Intinya, menurut Backman, warga Jakarta terancam berbagai penyakit berbahaya disebabkan air tanah yang tercemar limbah TPU.

Ketika saya diskusikan hal tersebut bersama teman-teman, ada yang mengatakan kalau hal tersebut mungkin saja. Toh, belum ada penelitian yang akurat, jadi bisa saja hal itu benar adanya. Dan saya pikir, saya akan minum air kemasan saja selama di Jakarta.

Review Buku Ali Syariati: Humanisme Islam Vs Barat


Ali Syariati adalah seorang cendikiawan muda di Iran. Ia sangat tertarik pada isu-isu seputar Islam dan pemikiran. Ia juga sempat menjadi tokoh pemikir yang sentral pada era pra-revolusi Islam Iran. Bersama-sama dengan Khomeini (meskipun tidak secara langsung), ia mengibarkan genderang perlawanan terhadap rezim Syah Reza Pahlevi melalui berbagai kuliah umum serta tulisan yang ia buat. Di antara buku yang disusun berdasarkan materi-materi kuliah yang ia sampaikan di Iran berbicara mengenai marxisme dan berbagai pemikiran Barat. Buku ini adalah salah satunya.

Buku ini menarik bagi saya yang awam terhadap wacana pemikiran barat baik pada masa kuno, pertengahan ataupun modern. Buku ini mungkin sudah pernah dibaca oleh teman saya yang menulis skripsi tentang konsep wilayatul faqih di S1 dulu. Seingat saya, dia pernah meng-copy buku Ali Syariati, entah yang mana tapi cukup tebal. Saya tidak tahu apakah buku ini termasuk yang sudah pernah dibacanya. Intinya saya sangat tertarik untuk mengetahui siapa Ali Syariati dan bagaimana ia berpikir.

Pada bagian awal, Ali Syariati memberi beberapa catatan tentang perkembangan paham humanisme di barat. Ada 4 aliran yang mewakili pembahasan mengenai humanisme di Barat. Keempat paham itu adalah; marxisme, kapitalisme, agama, dan materialisme. Humanisme yang berkembang di barat jelas diawali oleh perkembangan pemikiran mitologi Yunani kuno dimana manusia pada saat itu menjadi sesuatu yang sangat sub-ordinat bagi dewa-dewa. Manusia selalu diposisikan sebagai sesuatu yang lemah yang tidak memiliki sifat-sifat ilahiah dan tidak mungkin mencapai derajat ketuhanan. Dewa-dewa membelenggu manusia sehingga manusia berpikir untuk melepaskan diri dari situasi tersebut. Aristoteles dkk memikirkan hal tersebut lalu kemudian pemikiran itulah yang mengawali paham humanisme di Barat pada era selanjutnya.

Yang menjadi ciri khas humanisme barat adalah pemisahan aspek transenden dari manusia, atau setidaknya reduksi terhadap nilai tersebut. Memang, pada jaman pertengahan, gereja sangat membelenggu manusia untuk berpikir mencari ilmu, apalagi berfilsafat. Namun, hal ini tidak seharusnya menjadikan mereka melepaskan diri begitu saja dari aspek yang sesungguhnya sangat substantif, yaitu ketuhanan.

Marxisme menurut Ali Syariati, mengkritik (menyerang) kapitalisme dengan mengatakan bahwa penguasaan atas modal oleh golongan dan individu akan melahirkan kelas sosial. Kelas sosial ini akan diisi oleh golongan yang disebut borjuis kapitalis dan akan memperbudak golongan yang ada di bawahnya (yang tidak memilii modal). Bagi Syariati, marxisme sama sekali bukan solusi atas kapitalisme. Bahkan, maerxisme bisa melebihi karakter borjuis dari kapitalisme. Yang dimaksud disini adalah; dengan marxisme, semangat untuk melahirkan golongan borjuis kapitalis justru mengkristal pada sebuah negara atau penguasa. Sistem yang dijalankan akan menciptakan kondisi yang sangat berorientasi pada kesejahteraan ala borjuis kapitalis. Jadi, marxisme sebenarnya hanyalah perpanjangan tangan dari borjuis kapitalis untuk diratakan bagi semua warga negara. Semacam pemerataan kelas borjuis itu sendiri. Dilihat dari semangatnya tersebut, maka marxisme jauh lebih buruk dari kapitalisme.

Ungkapan-ungkapan tokoh yang mengusung praktik marxisme di dunia seperti Lenin dan Stalin menyebutkan agama sebagai candu. Mereka beranggapan bahwa agama (nilai moral) membuat masyarakat tidak kreatif dan pasrah terhadap keadaan. Filsafat humanisme yang melatarbelakangi pemikiran ini jelas menunjukkan bahwa mereka tidak menganggap agama sanggup membebaskan manusia dari situasi yang sulit serta kemiskinan. Dalam filsafat humanisme ala Barat, manusia terkekang oleh Dewa-dewa yang superior dan selalu mempertahankan superioritasnya sepanjang waktu. Manusia yang tadinya memiliki kebebasan dan kekuasaan menjadi makhluk yang tunduk dan patuh terhadap kekuatan Dewa dan Tuhan. Singkatnya, agama menghinakan manusia sebagai makhluk yang seharusnya bebas dan kreatif.

Menurut Ali Syariati, dalam Islam manusia memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Filsafat humanisme dalam Islam adalah Tauhid. Manusia diciptakan dari sesuatu yang hina, yaitu debu (tanah). Namun, kemudian Tuhan menawarkan kepada seluruh alam (termasuk gunung dan laut) untuk menjadi pemimpin di Bumi (Khalifatu fil ardhi). Tidak ada yang bersedia menanggung amanah tersebut, akan tetapi manusia menerimanya. Karena itulah malaikat diperintahkan sujud kepada manusia sedangkan iblis menolak. Disini kita bisa melihat betapa dalam Islam, sejak pertama kali manusia diciptakan, manusia sudah diberikan kekuasaan yang dahsyat (khalifah di Bumi). Bahkan setelah itu, Adam melanggar larangan Tuhannya untuk tidak memakan buah khuldi di Surga, kemudian ia menerima konsekuensinya. Kasus adam adalah sebuah simbol kebebasan bagi manusia untuk berbuat dan berkehendak semaunya setelah diciptakan dengan segala konsekuensi dan tanggung jawab atas perbuatannya. Islam memberikan filsafat humanisme yang paling jelas dalam koridor Tauhid yang tidak bisa dibantah oleh ideologi manapun.

Berbeda dalam Kristen ketika muncul lembaga gereja dimana paus menjadi wakil Tuhan di dunia. Kristen tak ubahnya seperti agama-agama yunani kuno yang membelenggu umatnya diatas superioritas gereja.

Demokrasi Transaksional Untuk Irak


Dua tahun yang lalu, ketika situasi politik di Irak pasca pemilu legislatif sangat kacau, banyak orang menduga Irak akan menuju "negara gagal" (failed state). Aksi pengeboman yang tidak pernah berhenti, provokasi dari tiap pihak yang semakin membabi buta, membuat Irak tampak seperti zona perang bagi siapa saja. Padahal, kehadiran militer AS di Negara tersebut berada pada status sangat siaga. AS seperti mengantarkan Irak ke era baru pasca-Saddam. Irak masa transisi adalah sebuah Negara yang sangat brutal dari sisi konflik dan stabilitas.

Alih-alih mengantarkan Irak ke zaman baru yang terang benderang, AS justru terjebak dalam situasi rumit konflik sektarian yang terjadi di Irak. Perebutan kekuasaan antara golongan Sunni dan Syiah mencapai tahap yang paling menguatirkan. Bahkan, konflik antara kedua golongan ini menjadi semacam titik kulminasi konflik mereka yang sudah berlangsung berabad-abad. Mungkin kalimat tadi terlalu berlebihan, tetapi setidaknya itulah fakta yang terjadi di Irak. Aksi pengeboman terjadi silih berganti satu terhadap yang lain. Beberapa di antaranya adalah aksi bom bunuh diri yang menandakan betapa seriusnya permusuhan di antara mereka.Terlepas dari faktor AS, konflik antara Sunni dan Syiah memiliki aktor-aktor lain dari wilayah Timur Tengah. Golongan Syiah Irak yang selama bertahun-tahun hidup dalam kungkungan rezim Saddam Hussein (Sunni), mendapatkan momentum untuk memperjuangkan hak mereka atas Irak (baca: kekuasaan). Perjuangan tersebut kemudian mendapatkan dukungan yang luar biasa dari Iran yang bermazhab Syiah. Salah satu dukungan yang sangat jelas adalah mempersenjatai milisi Syiah Irak yang pro-Iran. Di sisi lain, golongan Sunni di Irak adalah penguasa sektor militer pada era Saddam Hussein. Artinya, sisa-sisa amunisi dan akses terhadap kepemilikan senjata masih sangat mereka kuasai. Hal ini berarti kedua belah pihak, baik Sunni ataupun Syiah berada pada status sama-sama bersenjata.
Bagi Iran, Irak tidak hanya memiliki peran sebagai negara tetangga yang sangat vital, tetapi juga wilayah yang suci bagi rakyat Iran. di Irak terdapat beberapa kota yang disucikan oleh umat Islam Syiah. Kota-kota itu adalah Karbala, Najaf, dan Kufah. Masyarakat Iran selalu ingin berwisata religi ke kota-kota tesebut sebagai bagian dari kepercayaan mazhab mereka. Oleh karena itu, Irak yang ramah dan bersahabat dengan Iran adalah sebuah dambaan bagi masyarakat Iran. dalam perspektif Iran, hal tersebut hanya dapat diwujudkan dengan supremasi politik golongan Syiah di Irak.

Setiap negara yang berada pada era transisi kekuasaan yang radikal pastilah mengalami kesulitan dan berbagai hambatan. Situasi itu pernah dialami oleh Iran pasca-Revolusi tahun 1979. Saat itu, konstelasi politik dalam negeri Iran sangat rawan konflik horisontal antara elemen pendukung revolusi. Stabilitas di Iran akhirnya bisa tercapai dalam waktu kurang lebih 10 tahun pasca-Revolusi. Dalam konteks yang lebih sederhana kita bisa melihat Indonesia yang bertransisi dari zaman orde baru ke zaman reformasi. Bahkan, sampai hari ini, kita masih belum menemukan formula terbaik bagi sistem politik di negara kita. Lantas, bagaimana dengan Irak?
Tidak cukup bagi kita jika hanya membaca ulasan Musthafa Abdul Rahman dalam bukunya yang berjudul "Geliat Irak Menuju Era Pasca-Saddam" (Kompas, 2003) untuk menggambarkan masa transisi politik di Irak. Irak terus bergejolak hingga hari ini. Stabilitas politik di negara itu urung dicapai meski invasi sudah berakhir sejak 2004. Ketidakstabilan politik di negara itu disebabkan oleh konflik kepentingan di antara golongan-golongan besar yang berseteru sejak lama. Yang membuat situasi semakin runyam adalah ketika ketiga golongan tersebut mulai mengangkat senjata, berperang satu dengan yang lain. Padahal, salah satu misi George W. Bush di Irak adalah untuk mengantarkan Irak ke zaman demokrasi yang modern. Ironis, demokrasi dengan elemen bersenjata adalah sebuah utopia. Seperti kata Coen Hussein Pontoh dalam bukunya yang berjudul "tentara rakyat". Jika orang yang memegang sejnata masuk dalam ajang demokrasi, maka saat itu juga demokrasi masuk tempat sampah. Situasi di Irak mengingatkan saya kepada situasi di Lebanon saat meletus perang saudara 1975-1990. Saat itu, setiap golongan yang terlibat perang saudara memiliki akses terhadap persenjataan. Di sisi lain, angkatan bersenjata negara tidak berdaya meredam konflik. Perang saudara yang panjang itu akhirnya selesai dengan sebuah kesepahaman transaksionalisme politik di Lebanon yang diatur dalam konstitusi. Mereka membagi-bagi kekuasaan politik di Lebanon berdasarkan angka demografis dan populasi tiap golongan. Secara berturut-turut, jabatan politik di Lebanon terdiri atas Presiden (Kristen Maronit), Perdana Menteri (Islam Sunni), Wakil Perdana Menteri (Kristen Ortodoks) dan Ketua Parlemen (Islam Syiah). Konsensus ini kemudian disebut sebagai "konfensionalisme". Stabilitas politik di Lebanon akhirnya semakin membaik setelah penerapan konsensus tersebut. Namun, belakangan ini, aspirasi dari umat Islam, khususnya yang bermazhab Syiah menguat seiring perubahan demografi yang mereka yakini menempatkan muslim Syiah sebagai mayoritas di Lebanon.

Lain Lebanon, lain pula Irak. Efek dari invasi Amerika Serikat dalam perpolitikan Irak adalah bentuk transaksionalisme demokrasi. Irak yang porak-poranda di segala bidang akibat invasi AS tahun 2003 saat ini di ambang krisis politik berkepanjangan yang seolah-olah hanya dapat diselesaikan dengan model demokrasi transaksional. Demokrasi dengan segala kekurangannya telah memberikan celah bagi Irak untuk bergeliat menyongsong era baru. Celah itu adalah konsensus dari tiap golongan untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan aspirasi rakyat sekaligus menghindari konflik sektarian. Demokrasi yang tidak melihat isi kepala melainkan jumlah kepala, tetap memberikan peluang bagi tiap-tiap golongan untuk berkontribusi membangun Irak yang baru. Misi dari perwakilan tiap golongan ini sederhana saja, yaitu melindungi keamanan golongan mereka. Keamanan dalam arti sesungguhnya, yaitu menghindarkan mereka dari perang saudara.

Golongan Sunni yang secara populasi hanya berjumlah sekitar 30% telah menjadi golongan rulling elite di Irak selama bertahun-tahun (bahkan berabad-abad jika dihitung sejak zaman Islam). Sisanya adalah golongan Syiah yang merupakan golongan mayoritas di Irak dengan populasi sebanyak 60%. Kemudian suku Kurdi yang berjumlah kurang lebih 30%. Setidaknya, tiga golongan inilah yang merepresentasi distribusi kekuasaan yang ada di Irak sepeninggal Saddam Hussein. Ketiga golongan ini juga lah yang memiliki basis loyalitas dukungan termasuk instrumen militer untuk berperang satu sama lain. Dengan kata lain, ketiga golongan inilah yang seharusnya paling bertanggung jawab untuk membawa bangsa Irak menuju perubahan.
Seharusnya, jika Irak berkiblat pada model politik Lebanon, maka sangat mudah memetakan distribusi kekuasaan di negara tersebut. Di Irak, Syiah sebagai golongan yang mayoritas sudah sepantasnya menempati jabatan strategis setingkat Presiden. Kemudian disusul Sunni sebagai Perdana Menteri dan Kurdi sebagai Ketua Parlemen. Namun, situasi di Irak tidak sesederhana itu. Irak terlalu rapuh di segala sisi. Invasi AS telah menghabisi seluruh infrastruktur politik di Irak. Terlepas dari kebencian rakyat Irak atas pendudukan tentara koalisi, mereka juga sangat membenci Saddam Hussein yang menerapkan politik kesukuan dalam pemerintahannya (state of tribalism). Di sisi lain, para personel militer era Saddam yang masih memiliki akses terhadap senjata tetap berusaha mempertahankan dominasi mereka, setidaknya di Irak tengah (basis militer Saddam Hussein). Di wilayah utara lain lagi permasalahannya. Suku Kurdi di daerah tersebut adalah golongan yang senantiasa dirongrong oleh pemerintah pusat selama Saddam berkuasa. Isu separatisme di kalangan Kurdi masih sangat kental hingga hari ini. Cita-cita mereka sederhana saja, ingin membentuk sebuah negara baru bagi bangsa Kurdi yang terdiaspora di berbagai wilayah Timur Tengah. Melihat situasi yang seperti ini, maka sangat pas apabila Irak menganut konfesionalisme ala Lebanon untuk paling tidak memberikan stabilitas politik bagi negara mereka sebelum Amerika Serikat betul-betul menarik pasukannya keluar.