Tuesday 27 November 2012

DI BALIK GENCATAN SENJATA KALI INI



 Setelah  8 hari serangan Israel ke wilayah Gaza, akhirnya disepakati perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Palestina yang diwakili oleh Hamas.
Gencatan senjata ini mengagetkan banyak pihak karena terjadi saat konflik sedang panas-panasnya. Ada banyak analisis mengenai tercapainya kesepakatan tersebut terutama yang memandang bahwa inisiatif menghentikan agresi datang dari pihak Israel. Menurut Jon Elmer dari al-Jazeera, gencatan senjata kali ini akan mengubah pola hubungan antara Israal dan Palestina secara signifikan. Analisis tersebut setidaknya didasarkan pada beberapa hal mendaasar yaitu; 

Kemampuan Roket Hamas
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, roket yang dirakit oleh Hamas berhasil mencapai Yerussalem, kota yang disucikan dan dijaga sekuat tenaga oleh Israel. Kemampuan Hamas dalam memproduksi roket yang memiliki daya jangkau yang jauh didapatkan dari berbagai pihak di luar Hamas. Data yang didapatkan oleh wartawan al-Jazeera di Gaza menyebutkan bahwa Hamas mendapatkan transfer teknologi roket tersebut dari kelompok Hizbullah di Lebanon Selatan yang juga kerap berkonflik dengan Israel. Hizbullah juga merupakan organisasi politik yang memiliki faksi bersenjata dan pernah mengalahkan Israel dalam perang tahun 2006. Pada konflik antara Hizbullah dan Israel tahun 2006 itu, Hizbullah berhasil membuat wilayah Israel seperti medan jatuhnya roket-roket mereka. Kemenangan itu membuat Hamas mengadopsi sebagian besar teknologi persenjataan Hizbullah untuk dirakit dan digunakan kembali melawan Israel. Di samping itu, Hamas yang membangun jaringan terowongan bawah tanah berhasil menyelendupkan berbagai macam artileri berat dari luar Gaza untuk dirakit kembali atau digunakan dalam menghadapi Israel. Terowongan bawah tanah yang dulunya hanya muat dilewati oleh seorang anak remaja, kali ini sudah bisa mendisitribusikan kendaraan-kendaraan berat seperti panser dan truk.
                Tokoh yang berperan penting dalam proyek pengembangan teknologi persenjataan Hamas adalah Ahmad  Jaberi yang menjabat sebagai kepala komandan Brigade Izzudin al-Qassam. Keberhasilan Ahmad Jaberi mengembangkan persenjataan Hamas membuat petinggi militer Israel menyebut Hamas sebagai angkatan darat yang berbahaya dan bukan lagi sekadar organisasi teroris. Peran itulah yang membuat Israel bernafsu untuk mengejar Ahmad Jaberi lalu berhasil membunuhnya dalam sebuah operasi brutal dua hari menjelang serangan udara dimulai. Terbunuhnya Ahmad Jaberi itulah yang membuat pihak Hamas bereaksi keras lalu membalas dengan serangan roket ke wilayah Israel.

                Meski berhasil mengembangkan teknologi roket secara signifikan, secara keseluruhan, serangan roket Hamas masih jauh dari kata efektif. Persentasi serangan roket yang mengenai sasaran tidak mencapai angka 30%. Namun, pihak Israel tahu persis bahwa kegagalan tersebut lebih disebabkan keterbatasan waktu bagi Hamas untuk mengujicoba persenjataan mereka. Ditambah lagi dengan kalkulasi total roket yang dimiliki Hamas yang masih simpang siur.

Gaza Yang Sudah Berubah
                Konflik antara Hamas dan Israel tahun ini memberi pesan jelas pada seluruh dunia bahwa Gaza sudah tidak lagi sama seperti dulu. Richard Falk membahas secara detail analisisnya mengenai perubahan-perubahan transformatif yang menggiring hubungan Israel-Palestina memasuki era baru. Yang pertama adalah; dukungan negara-negara Arab pada Palestina kali ini. Negara-negara Arab yang sedang menghadapai gelombang demokratisasi tentunya menginginkan Hamas mendapatkan kesempatan penuh untuk mengelola kekuasaan politik di Palestina. Mesir dan Turki mengambil peran yang sangat penting dalam mendukung pemerintahan Hamas di Palestina.
                Kedua, selama konflik berlangsung, setidaknya ada 7 pejabat perwakilan negara-negara Arab yang datang ke Gaza dan melihat langsung penderitaan yang dialami korban serangan Israel. Kedatangan mereka memberi legitimasi politik kepada Hamas sekaligus menyadari betapa terisolasinya Hamas dari diplomasi luar negeri selama ini. Ketiga, Israel bersedia menyepakati dua hal yang penting bagi Hamas dan masyarakat Gaza. Israel bersedia menghentikan operasi pembunuhan tokoh politik Hamas di Gaza. Selain itu, Israel juga bersedia membuka arus keluar-masuk masyarakat di Gaza.
                Keempat, peran Amerika Serikat akan tergeser oleh Mesir dan Turki sebagai mediator konflik yang lebih disukai dan dipercaya negara-negara Arab. Dukungan Amerika pada Israel justru membuat posisi mereka terjepit di antara sikap dunia internasional yang semakin sadar bahwa Israel melakukan pembersihan etnis di Palestina. Meski begitu, sikap PBB juga dianggap oleh media internasional masih terlalu gamang dalam menyikapi isu Palestina-Israel. Sekjen PBB, Ban Ki Moon dianggap terlalu dibebani dengan kepentingan negara-negara Barat atas isu ini.
                Keenam, terjadi sebuah fenomena yang sangat jarang terjadi di Gaza dan Palestina pada umumnya. Fenomena itu adalah membaurnya berbagai macam faksi politik di Palestina saat merayakan tercapainya gencatan senjata yang lalu. Di jalan-jalan, bendera Hamas, Jihad Islam, Fatah, dan PFLP berkibar bersama-sama merayakan gencatan senjata.
                Situasi keseluruhan memang masih penuh dengan ketidakpastian. Tidak ada seorang pengamatpun yang berani memastikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, terlepas dari semua kemungkinan, masyarakat dunia sudah memiliki atensi yang besar pada masalah kemanusiaan di Gaza. Isu ini tidak lagi menjadi komoditi masyarakat Islam, melainkan sudah menjadi masalah humanisme yang sifatnya jauh lebih universal.  

Friday 27 July 2012

Momentum yang Menentukan Hasi


Hasil yang mengejutkan bagi sebagian besar orang yang selama ini mengikuti perkembangan politik domestik Partai Keadilan Sejahtera. PKS yang menurunkan kader terbaiknya harus gagal di putaran pertama Pilgub DKI Jakarta 2012. Siapa yang tidak kenal sosok Hidayat Nur Wahid? Tokoh ini tidak hanya populer di masyarakat, tapi juga sosok yang sanggup menyatukan spirit kader PKS yang belakangan semakin terpecah akibat koalisi “buntung” dengan partai penguasa.

It`s all about packaging
            Sebuah gerakan Islam yang mengambil jalur politik praktis seperti PKS, menganggap demokrasi sebagai sarana yang tepat untuk menyalurkan aspirasi umat Islam. Demokrasi adalah sistem yang memberikan kepastian untuk mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam rangka pembangunan masyarakat yang adil dan beradab. Namun, dengan rumitnya sebuah kontes pemilu yang melibatkan begitu banyak variabel di luar ideologi, seperti uang, kekuasaan, tingkat kecerdasan pemilih, dan lain-lain, sebuah partai tidak bisa begitu saja memenangi pemilu. Demokrasi liberal yang menuntut ongkos politik dalam hal packaging dan marketing hanya bisa digarap oleh kelompok politik bermodal besar. Teori tersebut akan lebih akurat apabila si cagub juga memiliki figur yang marketable. Dalam hal ini, kehadiran Joko Widodo sangat melemahkan positioning Hidayat Nur wahid yang memiliki nilai jual serupa dalam hal kesederhanaan dan kejujuran. Sedangkan variabel nilai jual lain yang merupakan signifikansi antara Jokowi dan HNW tidak begitu memberikan pengaruh. Variabel tersebut adalah kapasitas religi.
HNW, dikenal luas sebagai politisi yang religius. Aktivitas utamanya sebelum memegang jabatan publik adalah seorang ulama Islam alumnus Timur Tengah. Dia juga sering tampil di acara-acara religi yang disiarkan televisi swasta nasional. Di dalam internal kader PKS sendiri, penokohonnya cukup kuat. Ia merupakan salah satu qiyadah (pimpinan) yang juga pernah menjabat sebagai presiden partai. Terlepas dari faktor-faktor lainnya, kekalahan HNW merupakan indikasi adanya resistansi dari masyarakat terhadap variabel kapasitas religi seorang calon pemimpin. Untuk yang satu ini, tren gaya politik PKS yang terbuka dan meninggalkan atribut keislaman yang kental seperti pada periode awal kemunculan mereka sudah pas. Namun, hal itu justru belum memberikan hasil yang signifikan pada pemilu-pemilu yang diikuti PKS di era keterbukaan mereka. Sederhananya, masyarakat lebih menginginkan bukti konkret kejujuran dan kesederhanaan yang informasi terkait hal itu mampu diakses secara objektif melalui media. Latar belakang religius dan moral seorang calon tidak terlalu dipertimbangkan oleh pemilih, terutama yang berusia muda pada pilkada kali ini.
Desain kemasan untuk menjual sosok Hidayat Nur Wahid masih terlalu bernuansa religius. Kesan tersebut juga sering ditampilkan oleh para kader mereka di media sosial seperti twitter dan facebook. Kalimat-kalimat seperti “pilihlah pemimpin yang saleh dan religius” atau hal yang serupa dengan itu sangat sering dikeluarkan oleh simpatisan atau kader PKS sebagai partai pengusung HNW. Kemasan religius ini ternyata musti berhadapan dengan kemasan sederhana, low profile, slowly but sure ala Jokowi. Dan hasilnya adalah seperti yang kita lihat pada lansiran quickcount kemarin.

Pentingnya sebuah momentum
Kesederhanaan dan sikap pro rakyat kecil adalah dua hal yang begitu diidamkan oleh calon pemilih yang berusia muda ataupun para pemilih tua terhadap calon pemimpin mereka. Pada titik itulah, seorang Joko Widodo menemukan momentum yang sangat penting untuk merebut simpati publik melalui pemberitaan media setahun terakhir mengenai prestasinya memimpin kota Solo. Prestasi seorang kepala daerah yang tidak lagi  diukur berdasarkan tingkat pendapatan daerah, melainkan melalui aksi simpatik dan sederhana. Sebut saja heboh pemberitaan mengenai Jokowi yang bersitegang dengan Gubernur Jawa Tengah terkait penolakan Jokowi terhadap pembangunan pusat perbelanjaan modern di kota Solo. Kemudian, aksi simpatiknya yang menjadikan mobil rakitan siswa SMK menjadi mobil dinas walikota. Ditambah lagi dengan sikap Jokowi yang tidak pernah mengambil gajinya sebagai walikota. Semua itu, merupakan nilai jual yang akseptabilitasnya sangat tinggi untuk kelas menengah dan bawah yang selama ini selalu menjadi garapan politisi bermodal besar.
            Lantas, bagaimana dengan Hidayat Nur Wahid? Semua kesederhanaan dan kejujuran yang ada pada Joko Widodo sejatinya juga dimiliki oleh HNW. Semasa menjabat sebagai ketua MPR, HNW menolak menggunakan mobil dinas yang mewah. Dia memilih menggunakan mobil pribadinya yang sederhana. Setiap melakukan perjalanan dinas dengan pesawat, ia selalu menggunakan tiket kelas ekonomi. Kebijakannya menolak rencana pengadaan laptop untuk anggota dewan juga merupakan aksi yang mendapatkan simpati luas. Namun, semua kehebatan itu terjadi lebih dari 5 tahun yang lalu. Dengan kata lain, HNW tidak memiliki momentum untuk mengemas kesederhanaan dan keunggulan moral politiknya sebagai nilai jual untuk Pilgub DKI 2012. Ingat, pemilih baru yang berusia kisaran 17 – 20 tahun bisa jadi tidak memiliki informasi yang padat mengenai Hidayat Nur Wahid. Mereka yang aspirasinya banyak dipengaruhi oleh wacana media sosial, tentu saja bergerak ke arah Joko Widodo. Lihatlah, bagaimana Jokowi menjadi trending topic di twitter. Hari ini, ada semacam tren di kalangan pemilih muda bahwa mereka seolah gak gaul kalau gak dukung Jokowi.
            Itulah yang dimaksud dengan strategi marketing. Menyusun strategi  untuk menjembatani kebutuhan pasar dengan kepentingan dagang. Tim sukses Jokowi-Ahok unggul segala-galanya dalam hal tersebut. Mereka sukses merebut pangsa pasar kelas menengah yang selama ini konsumtif dalam ekonomi tapi konservatif dalam politik. Mereka sukses menggiring pemilih muda untuk memiliki patron pemimpin idola. Adagium lama yang mengatakan dont judge the book by the cover sudah tidak berlaku lagi dalam dunia demokrasi modern seperti sekarang. Tim sukses Hidayat-Didik atau kader PKS pada khususnya, musti belajar banyak dari kekalahan mereka pada Pilgub kali ini. Sejauh ini, saya juga tidak bisa menemukan referensi tokoh nasional yang levelnya seperti HNW di dalam tubuh PKS. Dengan kata lain, PKS sangat minim tokoh populer. Jika kontes berikutnya adalah Pilpres, maka berdoalah agar Jokowi tidak maju lagi tahun 2014. Namun, bisa jadi tren kesederhanaan dan kejujuran juga sudah mulai digarap tokoh lain seperti Dahlan Iskan. Dan lihatlah bagaimana Dahlan Iskan menggunakan momentumnya sebagai menteri BUMN dalam kabinet SBY. Dengan kata lain, apabila para menteri atau pemimpin daerah dari PKS tidak bisa memanfaatkan momentum jabatan publik yang sedang mereka emban, jangan harap mereka bisa merebut kursi presiden 2014. 
            Seharusnya, semua kader PKS mampu melihat lebih jernih kekalahan yang mereka terima pada Pilgub kali ini. Tidak perlu ada friksi baru terkait ke mana suara PKS pada putaran kedua nanti. Intinya, konsekuensi ikut dalam demokrasi liberal yang diartikulasikan oleh manhaj dalam prinsip musyarokah(berkoalisi) musti diendapkan di dalam kepala setiap kadernya. Dengan prinsip musyarokah, Foke atau Jokowi nantinya akan didudukkan dalam kerangka pertimbangan mudarat dan manfaat bagi jamaah. Mana yang dirasa lebih kecil mudaratnya akan didukung dengan berbagai kompromi politik di belakangnya. Lantas, bagaimana dengan para kader yang selama ini sibuk menghujat Jokowi atau Foke pada masa kampanye? Bukankah mereka akan disebut golongan oportunis ketika nantinya harus berkoalisi dengan salah satu kandidat di putaran kedua?
Risiko PKS yang kemungkinan dianggap oportunis sebetulnya bisa dikurangi seandainya para kadernya memahami betul prinsip musyarokah dalam manhaj mereka sendiri. Setidaknya, jangan sampai ada kesan PKS menelan ludahnya sendiri ketika pada masa kampanye putaran pertama, kader-kadernya banyak yang menghujat kandidat lain. Namun, pada putaran kedua, mereka memilih salah satu kandidat yang pernah mereka hujat. Dengan memahami prinsip musyarokah, maka setiap kader akan mengerti bahwa dalam situasi “belum tentu menang”, semua kompetitor memiliki kemungkinan untuk menjadi mitra koalisi. Tentunya dengan proses pertimbangan mudarat dan manfaat bagi kepentingan umat.
Kesan PKS yang oportunis sudah menjadi fakta sosial di masyarakat dan silakan terima konsekuensi logisnya apabila masyarakat tidak punya istilah lain untuk mendefinisikan sikap politik PKS di putaran kedua selain “oportunis”. Meskipun, kita juga tidak menutup mata bahwa suara PKS adalah suara yang diperebutkan oleh kedua pasang cagub di putaran kedua. Bahkan beberapa pengamat menganggap suara PKS merupakan suara penentu kemenangan. Buktinya adalah Jokowi yang dengan segera mendatangi Hidayat Nur Wahid siang hari pasca quickcount dilansir. Dalam kompas online kemarin, sudah ada headline dengan judul Jokowi: “Hidayat Nur Wahid adalah ustaz saya”. Apabila Fauzi Bowo melakukan hal serupa, maka lengkap sudah teori politik yang mengatakan bahwa hal yang abadi dalam politik hanyalah “kepentingan”. Namun, tentu saja hal tersebut akan menimbulkan kesan bahwa PKS “dilamar”, bukan mengemis jatah. Dan hal itu tentunya sedikit banyak mengurangi kesan oportunis yang sangat mungkin disematkan pada partai ini di putaran kedua.
Srengseng Sawah, 12 Juli 2012
Abu Nala

Thursday 31 May 2012

PUTRA DAERAH UNTUK PILKADA DKI, PENTINGKAH?

Hanya dalam hitungan minggu, DKI Jakarta akan mengadakan Pemilu untuk memilih calon gubernur yang baru. Pilkada kali ini diramalkan oleh sebagian pengamat sebagai pilkada yang paling seru sejak UU Pemilu tahun 1999 diputuskan. Salah satu indikator seru-tidaknya sebuah pagelaran Pilkada adalah para kontestannya. Pada Pilkada kali ini, para kontestan merupakan wakil-wakil terbaik dari partai yang mengusung mereka. Yah, setidaknya begitulah para pengamat sering meredaksionalkan.
            Terkait dengan Pilkada DKI Jakarta, kita perlu menyoroti sebuah fenomena yang tidak bisa ditemukan pada model Pilkada di daerah lain. Fenomena tersebut adalah hubungan yang unik antara latar belakang kultural para kontestan dengan semangat primordialisme masyarakat lokal. Perhatikanlah bagaimana calon-calon gubernur yang notabene bukan putra daerah (anak-Betawi) bisa dengan sangat yakin mencalonkan diri dalam Pemilu kali ini. Lihatlah, calon-calon seperti Joko Widodo, Hidayat Nur Wahid, Alex Noerdin, dan Hendardji. Semuanya jelas bukan anak Betawi, sekalipun beberapa di antaranya banyak menghabiskan waktu hidupnya di Ibukota Jakarta.
Jakarta adalah melting-pot
            Kota Jakarta yang menjadi wilayah aktifitas kebudayaan masyarakat Betawi merupakan ibukota negara yang sekaligus menjadi pusat segala aktifitas ekonomi serta politik. Jakarta adalah barometer peradaban bangsa di Republik ini. Kota ini menjadi tujuan utama segenap warga negara yang ingin menyelaraskan kehidupannya dengan warna kebudayaan urban masa kini. Berdasarkan teori ilmu sosial yang dikembangkan para ahli, Jakarta termasuk dalam kategori melting-pot. Oleh karena itu, sesuai dengan karakter sebuah kota melting-pot, maka penduduk asli beserta segenap perangkat tradisi mereka akan tergusur ke wilayah pinggir. Hal ini mewujud pada masyarakat Betawi yang harus mempertahankan eksistensi kultural mereka di wilayah pinggiran seperti Jagakarsa dan Ragunan. Konservasi budaya pada masyarakat Betawi hari ini, mutlak membutuhkan asistensi pihak ketiga seperti LSM dan Pemerintah Daerah. pembangunan wilayah konservasi budaya Setu Babakan adalah salah satu contoh nyata dari asistensi pemerintah daerah. Padahal, pada era sebelumnya, SK gubernur menetapkan wilayah Condet sebagai area konservasi budaya Betawi. Namun, usaha ini mengalami kegagalan karena derasnya arus modernisasi di Ibukota. Masyarakat Betawi di Condet tidak mampu mempertahankan keaslian artefak mereka seperti rumah adat akibat kepungan pembangunan properti modern di lingkar bisnis Cililitan - Condet - Pasar Minggu. Dengan gagalnya usaha konservasi di wilayah Condet, maka satu-satunya area yang dijadikan sebagai situs hidup kebudayaan Betawi hari ini adalah wilayah pinggiran Jakarta Selatan seperti Setu Babakan dan sekitarnya.
Tanpa keraton
            Keunikan lain yang ada pada masyarakat Betawi adalah ketiadaan keraton sebagai institusi kultural yang mampu memberikan formalisasi wujud kebudayaan. Absennya institusi kultural model keraton ini menyebabkan masyarakat Betawi dalam sejarahnya tidak bisa menentukan patron seorang pemimpin bagi komunitas sosial mereka. Akhirnya, pola patronisme ini mengikuti sebuah periodisasi sejarah transisi masyarakat betawi dari era Sunda Kelapa yang hindu menuju era Jayakarta yang Islam. Jika kita menilik pada aspek sejarah, kota Jakarta memiliki kekerabatan yang sangat erat dengan cirebon dan Banten. Pada era Islamisasi pesisir utara Jawa, Syarif Hidayatullah membangun keraton untuk Cirebon. Begitu pula anaknya, Maulana Hasanuddin yang mendirikan Keraton Surosowan di Banten. Akan tetapi, Fatahillah yang ditugaskan untuk menjaga wilayah Jayakarta saat itu tidak mendirikan keraton. Sejak era itu, masyarakat Betawi secara kultural memberikan legitimasi patronisme pada orang-orang yang dianggap alim dan pandai dalam beragama. Akhirnya, para pemimpin kebudayaan Betawi adalah para ulama dan mereka yang fasih dalam berbahasa arab, pernah menunaikan ibadah haji, atau pernah berguru ke Banten atau Cirebon sebagai pusat pendidikan Islam di era tersebut. Itu pula yang menyebabkan Islam menjadi unsur dominan dalam warna aktifitas kebudayaan Betawi. Dalam tradisinya, anak Betawi terkenal dengan keahlian mengaji, solat, serta silat. Beberapa pakar kebudayaan Betawi sampai mengatakan kalau bukan orang Islam maka pasti bukan orang Betawi.
            Di era globalisasi seperti hari ini, pola patronisme masyarakat Betawi sejatinya belum bergeser. Hal itu bisa dilihat dengan fenomena orang Betawi yang menyebut diri mereka adalah Muhibbin atau kaum pencinta Habib. Habib adalah mereka yang diyakini memiliki kedekatan nasab dengan Rasulullah Saw. Menjamurnya majelis-majelis dzikir sekarang ini yang dipimpin para Habib menunjukkan dengan jelas eksistensi patronisme tersebut. terlepas dari segala isu kepentingan politik dan ideologi sebagian kalangan yang mem-back-up para Habib, tetap saja masyarakat Betawi menjadi pengikut mayoritas majelis-majelis tersebut.
            Ketiadaan keraton sebetulnya membuat tidak ada satu pihak pun yang berhak memberikan justifikasi terkait dengan pilihan rasional masyarakat Betawi dalam Pemilu. Anehnya, ketiadaan keraton justru membuat pihak ketiga seperti LSM kedaerahan membuat aturan main mereka sendiri dengan mengatasnamakan masyarakat Betawi. Sebagai contoh, Badan Musyawarah Betawi (Bamus Betawi) mengklaim diri mereka berhak menentukan pemberian gelar kultural pada seorang calon gubernur yang akan dipilih. Sebutan “Bang” yang memang khas Betawi hanya bisa dipakai seorang calon gubernur apabila telah melalui proses pengangkatan dari Bamus. Sebutan “Bang Yos” untuk mantan gubernur Sutiyoso adalah salah satu produk ritual Bamus. Begitu pula penyebutan “Bang Foke” untuk Fauzi Bowo. Salah seorang pengurus Bamus mengatakan bahwa sebutan “Bang” pada para calon gubernur yang tidak melalui izin mereka adalah “songong” yang berarti tidak sopan atau tidak sah. Propaganda dengan konten “memilih anak-Betawi asli” sama sekali tidak cocok dengan realita sosio-kultural orang Betawi hari ini. Kalau mau berkaca pada wujud “ide” patronisme kebudayaan Betawi, maka yang paling pantas menjadi pemimpin Jakarta adalah mereka yang diakui sebagai orang alim (ulama). Lihat saja Fatahillah, yang bahkan tidak punya hubungan darah dengan orang-orang Padjajaran yang menjadi nenek moyang orang Betawi karena ia memang berasal dari Samudra Pasai. Atau lihat juga Hosni Thamrin yang dikenal sebagai tokoh bersejarah masyarakat Betawi. MH.Thamrin malah berparas “bule” karena memang berdarah eropa (Inggris). Lihat juga para Habib yang hari ini menjadi pimpinan banyak majelis zikir di Jakarta. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan Hadramaut, Yaman atau sebagian kecilnya Hejaz, Saudi. Dengan kata lain, sejak dari dulu, masyarakat Betawi tidak menyandarkan patronisme mereka atas dasar kedekatan darah dan bahasa, melainkan atas dasar kefakihan beragama.
            Memasuki masa kampanye para calon gubernur, tim pemenangan Pilkada dari masing-masing calon biasanya menyematkan kata “bang” untuk para jagoan mereka. Hal ini sebetulnya hal yang sangat biasa dan tidak menyalahi satu-pun etika kultural masyarakat Jakarta. Hal ini merupakan strategi mendekatkan diri dengan lingkup calon konstituen politik mereka yang memang masyarakat Jakarta. Dari zaman dulu, sebutan bang memang tidak dikhususkan pada seseorang yang berasal dari keluarga asli Betawi atau kelahiran Jakarta. Sebutan bang dipakai secara umum sebagai kata sapaan untuk laki-laki yang dianggap sudah dewasa. Melisa, penyanyi cilik era 90-an juga memakai kata bang untuk menyebut tukang bakso dalam lagunya yang terkenal itu. Padahal, sebagian besar tukang bakso di Jakarta berasal dari luar kota, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jadi, sangatlah aneh apabila ada pihak-pihak tertentu yang meributkan pemakaian kata “bang” dalam konteks Pilkada. Kecuali pihak-pihak tersebut memang memiliki kepentingan politik terkait Pilkada di ibukota.

Friday 10 February 2012

SAATNYA BERDIALOG DENGAN OPOSISI



Selama berbulan-bulan, akhirnya tercapai sebuah kesepakatan yang mengakhiri krisis politik di Yaman. Gelombang demonstrasi besar-besaran yang menuntut Presiden Ali Abdullah saleh untuk mundur akhirnya mereda. Kesepakatan yang terjadi merupakan resolusi yang diusung oleh banyak mediator untuk menekan jatuhnya korban di kedua belah pihak yang berseteru. Aksi represif dari militer berakhir setelah presiden Saleh mendapatkan jaminan pemaafan atas dosa-dosa poltiknya di masa silam. Dengan jaminan yang diberikan parlemen tersebut, presiden Ali tidak akan bernasib sama seperti Hosni Mubarak di Mesir. Sebaliknya, pihak oposisi mendapatkan jaminan turunnya Presiden Ali serta penyelenggaraan pemilu berikutnya yang lebih demokratis. Situasi yang sebenarnya sudah sering diprediksi oleh berbagai kalangan. Solusi Yaman disebut-sebut sebagai solusi terbaik bagi diktator lain di kawasan Timur tengah yang sedang menanti penghakiman sosial seperti Bashar al-Assad di Suriah. Bisa jadi, model penyelesaian konflik ala Yaman akan menjadi tren akhir revolusi musim semi di negara Arab.

Di belahan bumi yang lain, pihak oposisi Malaysia baru saja merayakan kemenangan Anwar Ibrahim di pengadilan tinggi Malaysia. Anwar baru saja divonis bebas atas tuduhan sodomi terhadap anak buahnya. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa kunci kemenangan Anwar di persidangan adalah restu dari partai berkuasa yaitu UMNO untuk menyudahi drama pengadilan Anwar. Pengamat politik dari Malaysia ada yang sempat berkomentar bahwa kehidupan demokrasi di Malaysia sangat tertinggal di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Pengamat tersebut melanjutkan bahwa di Myanmar saja, pihak Junta Militer mau bernegosiasi dengan pihak oposisi pimpinan Aung San Su Kyi. Sebaliknya di Malaysia, partai UMNO hampir tidak pernah memberikan kesempatan pihak oposisi untuk menantang mereka secara fair. Pengadilan yang digelar untuk Anwar Ibrahim sering dituduh sebagai konspirasi partai penguasa untuk menjegal pergerakan lawan politik mereka. Hal inilah yang kemudian memunculkan spekulasi mengenai serunya politik di Malaysia pasca bebasnya Anwar Ibrahim. Di tambah lagi, Anwar sendiri berikrar di hadapan pendukungnya untuk terus maju dalam kontes politik Malaysia.

Kasus Yaman dan Malaysia memberikan contoh nyata dalam diskursus demokrasi moderen. Dialektika antara penguasa-oposisi, mayoritas-minoritas merupakan hal mutlak yang harus ada dalam praksis operasional. Apapun situasinya, apabila terjadi penaklukan dan dominasi salah satu pihak, maka demokrasi akan lumpuh. Pihak penguasa yang sekalipun sudah terkooptasi dengan berbagai penyelewengan dan pelanggaran hak, tidak selamanya harus dibumi-hanguskan. Secara formal, pihak penguasa memiliki akses untuk menggunakan kekerasan melalui militer dan aparatur intelejen. Hal inilah yang biasanya memperpanjang konflik. Di sisi lain, pihak oposisi yang memilih jalan konfrontasi militer sering dijadikan proxy oleh kepentingan asing untuk mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi. Kasus ini terlihat jelas dari asistensi militer yang dilakukan NATO untuk pihak oposisi di Libya.  Bukti kepentingan NATO atas kemenangan pihak oposisi adalah merapatnya sederet perusahaan minyak swasta asing asal Eropa dan Amerika Serikat di Libya pasca kejatuhan Khadafi. Alih-alih membebaskan Libya dari otoritarianisme Khadafi, NATO justru menggiring Libya ke dalam situasi rawan perang saudara. Sekadar catatan, negeri ini belum pernah melaksanakan Pemilu yang demokratis selama masa kekuasaan Khadafi. Selama krisis dengan Khadafi, pihak oposisi disatukan oleh kepentingan bersama untuk menumbangkan rezim. Namun, pasca krisis, mereka tidak memiliki blueprint untuk menyelenggarakan pemerintahan. Bukan tidak mungkin, Libya akan menuju negara gagal seperti Irak dan Somalia. Sementara itu, sumber daya alam mereka dikelola oleh perusahaan asing.

Krisis berkepanjangan dan eksalasi militer sudah seharusnya dihindari dalam transisi politik di Timur Tengah yang saat sedang marak. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh di pihak sipil akibat konflik yang terjadi. Intervensi pihak asing dalam penyelesaian harus ditempatkan dalam kerangka mediasi dan dialog antara pihak yang  berselisih. Pemihakan pada salah satu kelompok hanya akan melahirkan transisi yang brutal dan sporadis. Kepentingan-kepentingan ekonomi  asing dalam asistensi konflik menjadi sebuah keniscayaan apabila terjadi pemihakan. Berdasarkan pengalaman Yaman, pendekatan dialogis antara pihak penguasa dan oposisi nampaknya lebih memberikan peluang. Dialog adalah jalan keluar terbaik bagi semua golongan untuk keluar dari sebuah krisis politik. Dialog juga mampu meminimalisasi intervensi asing atas transisi kekuasaan sebuah negara.

 
Biar bagaimanapun, dalam sebuah proses revolusi, jarang sekali pihak oposisi memiliki infrastruktur politik untuk menggantikan penyelenggaraan pemerintahan sebuah rezim. Momentum revolusi yang terkadang sulit untuk diulang membuat para aktivis yang kontra penguasa tidak ingin berlama-lama untuk menyelesaikan tuntutan mereka. Hal ini membuat pihak oposisi sering lupa untuk membuat rancangan sistem pemerintahan transisi pasca menjatuhkan rezim penguasa. Berkaca pada kasus revolusi Iran tahun 1979, sekalipun Khomeini berhasil memunculkan sistem politik yang sama sekali baru, tetap saja masa transisi itu memerlukan waktu sekitar 10 tahun. Itu pun dilalui dengan mengonsolidasikan seluruh pihak untuk berperang melawan Irak selama 8 tahun. Selama 10 tahun pertama republik Iran yang baru, konflik internal antar elemen pendukung revolusi meruncing tajam. 

Kasus Yaman dan Malaysia bisa menjadi catatan penting bagi perjalanan demokrasi di negara-negara berkembang. Kesenjangan politik antara pihak penguasa dan oposisi harus dijembatani dengan pendekatan dialogis. Pendekatan represif dan konfrontatif justru memancing datangnya intervensi asing yang tindakan dan hasilnya sulit dipertanggungjawabkan. Situasi faktual yang terjadi di Irak hari ini cukuplah menjadi pelajaran berharga mengenai pola transisi paling elegan bagi negara-negara Timur Tengah. Era kediktatoran dan otoriteraniasme memang harus diakhiri. Namun, proses mengakhiri tirani itulah yan g sebaiknya dijadikan perhatian. Duduk bersama untuk dialog dengan seluruh pihak adalah jalan terbaik untuk keluar dari krisis politik yang terjadi. Semua proses harus mengarah pada perlindungan hak-hak sipil dan semangat rekonsiliasi.

alhamdulillah

alhamdulillah, bisa masuk lagi -- setelah melewati proses verifikasi yang gaib -- huh! padahal yang baca gak ada, tapi berhubung gak punya softcopy artikel dimari jadi rusuh juga...