Thursday 31 May 2012

PUTRA DAERAH UNTUK PILKADA DKI, PENTINGKAH?

Hanya dalam hitungan minggu, DKI Jakarta akan mengadakan Pemilu untuk memilih calon gubernur yang baru. Pilkada kali ini diramalkan oleh sebagian pengamat sebagai pilkada yang paling seru sejak UU Pemilu tahun 1999 diputuskan. Salah satu indikator seru-tidaknya sebuah pagelaran Pilkada adalah para kontestannya. Pada Pilkada kali ini, para kontestan merupakan wakil-wakil terbaik dari partai yang mengusung mereka. Yah, setidaknya begitulah para pengamat sering meredaksionalkan.
            Terkait dengan Pilkada DKI Jakarta, kita perlu menyoroti sebuah fenomena yang tidak bisa ditemukan pada model Pilkada di daerah lain. Fenomena tersebut adalah hubungan yang unik antara latar belakang kultural para kontestan dengan semangat primordialisme masyarakat lokal. Perhatikanlah bagaimana calon-calon gubernur yang notabene bukan putra daerah (anak-Betawi) bisa dengan sangat yakin mencalonkan diri dalam Pemilu kali ini. Lihatlah, calon-calon seperti Joko Widodo, Hidayat Nur Wahid, Alex Noerdin, dan Hendardji. Semuanya jelas bukan anak Betawi, sekalipun beberapa di antaranya banyak menghabiskan waktu hidupnya di Ibukota Jakarta.
Jakarta adalah melting-pot
            Kota Jakarta yang menjadi wilayah aktifitas kebudayaan masyarakat Betawi merupakan ibukota negara yang sekaligus menjadi pusat segala aktifitas ekonomi serta politik. Jakarta adalah barometer peradaban bangsa di Republik ini. Kota ini menjadi tujuan utama segenap warga negara yang ingin menyelaraskan kehidupannya dengan warna kebudayaan urban masa kini. Berdasarkan teori ilmu sosial yang dikembangkan para ahli, Jakarta termasuk dalam kategori melting-pot. Oleh karena itu, sesuai dengan karakter sebuah kota melting-pot, maka penduduk asli beserta segenap perangkat tradisi mereka akan tergusur ke wilayah pinggir. Hal ini mewujud pada masyarakat Betawi yang harus mempertahankan eksistensi kultural mereka di wilayah pinggiran seperti Jagakarsa dan Ragunan. Konservasi budaya pada masyarakat Betawi hari ini, mutlak membutuhkan asistensi pihak ketiga seperti LSM dan Pemerintah Daerah. pembangunan wilayah konservasi budaya Setu Babakan adalah salah satu contoh nyata dari asistensi pemerintah daerah. Padahal, pada era sebelumnya, SK gubernur menetapkan wilayah Condet sebagai area konservasi budaya Betawi. Namun, usaha ini mengalami kegagalan karena derasnya arus modernisasi di Ibukota. Masyarakat Betawi di Condet tidak mampu mempertahankan keaslian artefak mereka seperti rumah adat akibat kepungan pembangunan properti modern di lingkar bisnis Cililitan - Condet - Pasar Minggu. Dengan gagalnya usaha konservasi di wilayah Condet, maka satu-satunya area yang dijadikan sebagai situs hidup kebudayaan Betawi hari ini adalah wilayah pinggiran Jakarta Selatan seperti Setu Babakan dan sekitarnya.
Tanpa keraton
            Keunikan lain yang ada pada masyarakat Betawi adalah ketiadaan keraton sebagai institusi kultural yang mampu memberikan formalisasi wujud kebudayaan. Absennya institusi kultural model keraton ini menyebabkan masyarakat Betawi dalam sejarahnya tidak bisa menentukan patron seorang pemimpin bagi komunitas sosial mereka. Akhirnya, pola patronisme ini mengikuti sebuah periodisasi sejarah transisi masyarakat betawi dari era Sunda Kelapa yang hindu menuju era Jayakarta yang Islam. Jika kita menilik pada aspek sejarah, kota Jakarta memiliki kekerabatan yang sangat erat dengan cirebon dan Banten. Pada era Islamisasi pesisir utara Jawa, Syarif Hidayatullah membangun keraton untuk Cirebon. Begitu pula anaknya, Maulana Hasanuddin yang mendirikan Keraton Surosowan di Banten. Akan tetapi, Fatahillah yang ditugaskan untuk menjaga wilayah Jayakarta saat itu tidak mendirikan keraton. Sejak era itu, masyarakat Betawi secara kultural memberikan legitimasi patronisme pada orang-orang yang dianggap alim dan pandai dalam beragama. Akhirnya, para pemimpin kebudayaan Betawi adalah para ulama dan mereka yang fasih dalam berbahasa arab, pernah menunaikan ibadah haji, atau pernah berguru ke Banten atau Cirebon sebagai pusat pendidikan Islam di era tersebut. Itu pula yang menyebabkan Islam menjadi unsur dominan dalam warna aktifitas kebudayaan Betawi. Dalam tradisinya, anak Betawi terkenal dengan keahlian mengaji, solat, serta silat. Beberapa pakar kebudayaan Betawi sampai mengatakan kalau bukan orang Islam maka pasti bukan orang Betawi.
            Di era globalisasi seperti hari ini, pola patronisme masyarakat Betawi sejatinya belum bergeser. Hal itu bisa dilihat dengan fenomena orang Betawi yang menyebut diri mereka adalah Muhibbin atau kaum pencinta Habib. Habib adalah mereka yang diyakini memiliki kedekatan nasab dengan Rasulullah Saw. Menjamurnya majelis-majelis dzikir sekarang ini yang dipimpin para Habib menunjukkan dengan jelas eksistensi patronisme tersebut. terlepas dari segala isu kepentingan politik dan ideologi sebagian kalangan yang mem-back-up para Habib, tetap saja masyarakat Betawi menjadi pengikut mayoritas majelis-majelis tersebut.
            Ketiadaan keraton sebetulnya membuat tidak ada satu pihak pun yang berhak memberikan justifikasi terkait dengan pilihan rasional masyarakat Betawi dalam Pemilu. Anehnya, ketiadaan keraton justru membuat pihak ketiga seperti LSM kedaerahan membuat aturan main mereka sendiri dengan mengatasnamakan masyarakat Betawi. Sebagai contoh, Badan Musyawarah Betawi (Bamus Betawi) mengklaim diri mereka berhak menentukan pemberian gelar kultural pada seorang calon gubernur yang akan dipilih. Sebutan “Bang” yang memang khas Betawi hanya bisa dipakai seorang calon gubernur apabila telah melalui proses pengangkatan dari Bamus. Sebutan “Bang Yos” untuk mantan gubernur Sutiyoso adalah salah satu produk ritual Bamus. Begitu pula penyebutan “Bang Foke” untuk Fauzi Bowo. Salah seorang pengurus Bamus mengatakan bahwa sebutan “Bang” pada para calon gubernur yang tidak melalui izin mereka adalah “songong” yang berarti tidak sopan atau tidak sah. Propaganda dengan konten “memilih anak-Betawi asli” sama sekali tidak cocok dengan realita sosio-kultural orang Betawi hari ini. Kalau mau berkaca pada wujud “ide” patronisme kebudayaan Betawi, maka yang paling pantas menjadi pemimpin Jakarta adalah mereka yang diakui sebagai orang alim (ulama). Lihat saja Fatahillah, yang bahkan tidak punya hubungan darah dengan orang-orang Padjajaran yang menjadi nenek moyang orang Betawi karena ia memang berasal dari Samudra Pasai. Atau lihat juga Hosni Thamrin yang dikenal sebagai tokoh bersejarah masyarakat Betawi. MH.Thamrin malah berparas “bule” karena memang berdarah eropa (Inggris). Lihat juga para Habib yang hari ini menjadi pimpinan banyak majelis zikir di Jakarta. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan Hadramaut, Yaman atau sebagian kecilnya Hejaz, Saudi. Dengan kata lain, sejak dari dulu, masyarakat Betawi tidak menyandarkan patronisme mereka atas dasar kedekatan darah dan bahasa, melainkan atas dasar kefakihan beragama.
            Memasuki masa kampanye para calon gubernur, tim pemenangan Pilkada dari masing-masing calon biasanya menyematkan kata “bang” untuk para jagoan mereka. Hal ini sebetulnya hal yang sangat biasa dan tidak menyalahi satu-pun etika kultural masyarakat Jakarta. Hal ini merupakan strategi mendekatkan diri dengan lingkup calon konstituen politik mereka yang memang masyarakat Jakarta. Dari zaman dulu, sebutan bang memang tidak dikhususkan pada seseorang yang berasal dari keluarga asli Betawi atau kelahiran Jakarta. Sebutan bang dipakai secara umum sebagai kata sapaan untuk laki-laki yang dianggap sudah dewasa. Melisa, penyanyi cilik era 90-an juga memakai kata bang untuk menyebut tukang bakso dalam lagunya yang terkenal itu. Padahal, sebagian besar tukang bakso di Jakarta berasal dari luar kota, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jadi, sangatlah aneh apabila ada pihak-pihak tertentu yang meributkan pemakaian kata “bang” dalam konteks Pilkada. Kecuali pihak-pihak tersebut memang memiliki kepentingan politik terkait Pilkada di ibukota.