Perdebatan
mengenai korelasi Islam dengan demokrasi menemukan momentum penting
tatkala iklim politik di kawasan Timur Tengah memanas dua tahun
terakhir. Isu demokratisasi yang melanda beberapa negara Arab dan
Afrika Utara, atau yang disebut sebagai ‘musim semi Arab’ telah
mengangkat satu wacana teranyar mengenai relasionalitas Islam dengan
demokrasi. Munculnya gerakan sosial yang menuntut perubahan negara ke
arah yang lebih demokratis di beberapa negara Arab dan Afrika Utara
ditenggarai sebagai wacana kebangkitan pos-Islamisme, sebuah orde
manifesto politik untuk mengubah wajah Islam, selaras dengan
demokrasi.
Harus
disadari sebelumnya, bahwa kelompok Islamisme adalah masyarakat Islam
yang mencoba mengformulasikan syariat Islam dalam konteks
ketatanegaraan. Pengklasifikasian model kelompok berdasarkan ideologi
dan ciri gerakan kelompok ini sangat rumit dan terus mengalami
perubahan. Setidaknya, terminologi Islamisme disematkan pada mereka
(terlepas dari bentuk organisasi atau institusinya) yang
mencita-citakan tegaknya syariat Islam melalui jalur politik dan
non-politik atau yang sering juga disebut formalisasi syariat.
Kelompok yang pertama itulah yang kemudian mengalami banyak kontraksi
dan turbulensi ketika mencoba berdialog dengan sistem politik
non-Islami. Secara khusus, kontraksi dan turbulensi sosial yang
mereka hadapi digambarkan oleh Olivier Roy sebagai kegagalan
Islamisme.1
Peristiwa besar yang dibahas oleh Roy sebagai contoh instrumen
analisis adalah kemenangan FIS di Aljazair tahun 1990 yang kemudian
“digagalkan” oleh militer.
Ketika
ghiroh (semangat) kelompok Islamisme menemui banyak kendala
dalam implementasinya di lapangan, perlahan mereka mulai melunak.
Fenomena ini ditemui pada banyak jenis organisai politik Islam di
berbagai penjuru dunia. Sebagai contoh, bandingkanlah narasi awal
pendirian Hizbullah yang begitu semangat untuk mendirikan negara
Islam di Lebanon. Namun, pada perkembangannya, mereka masuk ke dalam
sistem politik praktis dan mulai meninggalkan narasi “negara
Islam”. Fenomena ini disebut oleh sarjana Barat seperti Joseph
Alagha sebagai pergeseran ideologi (shifting ideology).2
Faktor utama penyebabnya adalah rasionalitas yang dibangun pasca
invasi demokrasi melanda sebagian besar negara muslim. Demokrasi
tidak lagi dimaknai sebagai barang haram, melainkan sebagai alat
untuk mencapai kekuasaan yang legitimate dan sah, serta minus
konfrontasi fisik. Pada titik inilah, istilah pos-Islamisme mulai
diperbincangkan di kalangan sarjana untuk memetakan arus baru Islam
yang (mencoba) berkorelasi dengan demokrasi.
Istilah
pos-Islamisme sendiri dimaknai secara luas oleh banyak pemikir. Dua
buah buku yang saya baca belakangan ini merefleksikan hal yang
berbeda mengenai pos-Islamisme. Buku yang pertama adalah karya Asef
Bayat, seorang pemikir dari Iran yang membahas fenomena munculnya
kelompok Islam “baru” di Iran dan Mesir. Menurut Bayat,
pos-Islamisme adalah refleksi dari gagalnya kelompok Islamisme tampil
di ruang publik melalui sarana-sarana demokrasi dan HAM. Tesis ini
tentu saja senafas dengan pemikiran Olivier Roy yang menulis tentang
kegagalan Islam politik. Kecenderungan kelompok Islam untuk lebih
menghargai demokrasi dan nilai-nilai persamaan hak melahirkan
kelompok yang secara kritis mengalienasi generasi tua mereka yang
cenderung rigid dalam mengaktualisasikan Islam di ruang publik
melalui pintu revolusi. Dengan sederhana, Bayat mengatakan bahwa
konsep negara-Islam akan menghancurkan negara sekaligus Islam itu
sendiri.3
Pos-Islamisme Iran dan Mesir
Bayat mencoba mengubah paradigma mainstream sarjana Barat yang kerap bertanya mengenai apakah Islam sesuai dengan demokrasi? Menurutnya, pertanyaan itu tidak seharusnya dikeluarkan di awal pembahasan mengenai hubungan Islam dengan demokrasi. Model pertanyaan semacam ini mengasumsikan demokrasi sebagai nilai yang seolah-olah tidak mengandung ambiguitas. Padahal pada praktiknya, tidak sama sekali. Pertanyaan itu seharusnya dibelokkan menjadi; apakah Islam bisa beradaptasi dengan modernitas? Hal ini disebabkan tidak ditemukannya teks secara intrinsik dalam kitab suci mengenai kesesuaian Islam dengan demokrasi yang merupakan produk budaya modern.
Bayat mencoba mengubah paradigma mainstream sarjana Barat yang kerap bertanya mengenai apakah Islam sesuai dengan demokrasi? Menurutnya, pertanyaan itu tidak seharusnya dikeluarkan di awal pembahasan mengenai hubungan Islam dengan demokrasi. Model pertanyaan semacam ini mengasumsikan demokrasi sebagai nilai yang seolah-olah tidak mengandung ambiguitas. Padahal pada praktiknya, tidak sama sekali. Pertanyaan itu seharusnya dibelokkan menjadi; apakah Islam bisa beradaptasi dengan modernitas? Hal ini disebabkan tidak ditemukannya teks secara intrinsik dalam kitab suci mengenai kesesuaian Islam dengan demokrasi yang merupakan produk budaya modern.
Ruang
lingkup pembahasan dalam buku Bayat adalah kondisi
sosial-budaya-religius di Iran pasca revolusi dan juga Mesir. Di
Iran, revolusi Islam 1979 dimaknai sebagai kemenangan mutlak kelompok
Islamisme yang kemudian melahirkan banyak sekali produk hukum yang
mengatur masyarakat berdasarkan tafsir tekstual otoritas keagamaan.
Model penerapan syariat Islam ala kelompok faqih (ulama) pasca
Revolusi menghadapi resistensi luar biasa di kalangan pemuda dan
kelas menengah perkotaan di Iran. Mereka yang tidak mengalami
romantisme masa revolusi menjadi penggerak utama atas lahirnya
kelompok yang menginginkan Iran keluar dari dogma kefaqihan yang
literal dan kaku. Ekses dari resistensi mereka adalah munculnya
generasi muda yang begitu liberal dan posmo di tengah-tengah
masyarakat. Gerakan pemikiran untuk menghadapi represi pemerintah
tumbuh subur di kampus-kampus ternama. Setidaknya, Iran membutuhkan
waktu selama 10 tahun dalam membakukan konsep negara religius yang
baru pasca revolusi. Dalam waktu 10 tahun itu juga politisasi
terhadap perang Irak-Iran dijadikan alat untuk mengalihkan aspirasi
kuat kelompok penentang faqih. Kelompok reformis muda Iran akhirnya
menemukan momentum mereka saat berhasil mengantarkan Mohammad Khatami
sebagai presiden tahun 1997. Khatami ditasbihkan sebagai tokoh yang
membuka keran dialog dengan Barat dari sisi ekonomi dan politik yang
saling menguntungkan. Sejak saat itulah, konflik terbuka antara
kelompok reformis dan konservatif Islam menemukan bentuknya. Kelompok
reformis inilah yang dilabeli sebagai pengusung ide pos-Islamisme di
Iran. Visualisasi kekacauan implementasi hukum kelompok Islamisme
dapat dilihat dari film Persepolis yang pernah dibahas juga dalam
blog ini.
Bayat
menyebut fenomena Islam di Iran sebagai revolusi tanpa gerakan.
Revolusi Iran berhasil melakukan perombakan total yang mengganti
secara esensial sistem politik lama yang sekuler dan pro Barat
menjadi sistem politik religius, namun tanpa gerakan sosial. Artinya,
Islamisme yang dijadikan landasan bernegara tidak memiliki basis
sosial di tengah masyarakat pada umumnya. Semangat revolusi untuk
menumbangkan kediktatotran Shah Iran justru menggunakan spirit
revivalisme Islam sebagai senjata utama yang mampu merebut hati
masyarakat pedesaan. Spirit Islamisme lahir begitu saja di tengah
euforia revolusi namun tanpa kematangan konsep dan basis sosial yang
mapan untuk menjalankan agenda pasca revolusi. Pada akhirnya,
Islamisasi yang terjadi bersifat sangat top-down dan elitis.
Konseptualisasi sistem politik religius yang baru ini
termanifestasikan dalam diktat “vilayatul faqih” yang dikomandani
langsung oleh Ayatullah Khomeini. Kacamata moral yang digunakan
pemerintah pasca revolusi adalah “memusuhi semua yang berbau
barat”, utamanya yang berhubungan dengan gaya hidup. Alih-alih
melenyapkan sekularitas dalam kehidupan masyarakat, sistem ini malah
melenyapkan logika perlindungan hak bagi banyak kelompok, terutama
kaum perempuan dan juga kelompok marginal.
Berbeda
dengan di Iran, kondisi di Mesir justru dilabeli oleh Bayat sebagai
gerakan Islam tanpa revolusi. Selama bertahun-tahun, komunitas Islam
di Mesir mengalami represi yang cukup serius dari pemerintah yang
militeristik dan totaliter. Rezim Gamal Abdul Nasser yang sosialis
tentu saja menegasikan isu-isu islamisme sebagai oposisi pan-Arabisme
yang menjadi cita-cita geo-politik Nasser. Generasi kontemporer
seperti Ahmad Mubarok yang pro Barat malah melarang organisasi
semacam Ikhwanul Muslimin untuk aktif dalam kancah perpolitikan
Mesir. Belenggu dan represi rezim yang terus menerus justru menjadi
amunisi tersendiri untuk menumbuh-kembangkan militansi kader-kader
Islamis yang siap menyongsong perubahan. Dengan berbagai macam pola
dan strategi, kelompok Islam ini melakukan proses Islamisasi kultural
berbasis masyarakat intelektual perkotaan. Hasilnya, pada tahun
1980-an, fenomena perempuan berjilbab di Mesir muncul dengan
menakjubkan di ruang publik. Dengan kata lain, fenomena kelompok
Islam di Mesir mengkristal sebagai sebuah gerakan yang mengakar di
masyarakat, namun tidak melahirkan pergantian rezim politik yang
revolusioner.
Sayangnya,
tesis Asef Bayat ini harus dikritisi lebih lanjut oleh situasi
terbaru dari Mesir sendiri. Di awal tahun 2011, tanpa diduga-duga
demonstrasi masif di penjuru kota besar di Mesir berhasil memaksa
Ahmad Mubarok untuk turun dari jabatannya. Revolusi Mesir ini adalah
peristiwa kedua yang menyusul tren demokratisasi yang terjadi di
Tunisia sebelumnya. Namun, nampaknya tesis Asef Bayat masih bisa
dipertahankan jika kita merujuk pada konteks terjadinya revolusi di
Mesir. Banyak pakar yang menilai bahwa revolusi di Mesir terjadi
karena buzzer media-sosial di internet yang menjamur di
kalangan kelas menengah perkotaan. Aksi massa dimobilisasi oleh
situs-situs seperti Facebook, Twitter, dan juga blog-blog personal
para aktivis. Bisa dikatakan revolusi di Mesir adalah milik
media-sosial. Di sisi lain, kelompok Islamisme juga tidak dengan
mulus dan tanpa hambatan menduduki pos-pos strategis dalam
pemerintahan pasca-revolusi. Organisasi mapan seperti IM memang
tampil sebagai oposisi dominan kala menjatuhkan Mubarok. Namun,
narasi islamisme yang mereka tampilkan lewat gestur kolektif dan
penampilan kader-kadernya melahirkan kecurigaan kelompok masyarakat
yang memaknai revolusi sebagai era “pembebasan”. Kejatuhan
mubarok dicita-citakan oleh pengusung revolusi sebagai pintu gerbang
Mesir yang lebih demokratis dan bukan sebaliknya, memunculkan
kediktatoran baru berkedok Islam. Hal inilah yang sampai hari ini
masih dihadapi oleh Presiden Mursi selaku kepala negara dari Mesir
pasca Mubarok. Niat Mursi untuk mereformasi lembaga kehakiman belum
lama ini dianggap sebagai upaya untuk mengekalkan kekuasaan yang
kemudian dianggap mengkhianati cita-cita revolusi.
Biar
bagaimanapun, IM dan Mursi harus sadar kalau revolusi kali ini bukan
milik mereka semata. Revolusi ini lahir di jalanan dan media-sosial
dan bukan dari majelis-majelis halaqoh (pengajian) internal
mereka. Kesolidan dan kerapihan organisasilah yang membuat IM dengan
mudah memenangi pemilu demokratis yang diadakan pasca-revolusi.
Namun, keingingan IM untuk memaksakan simbol-simbol islam dalam
sistem pemerintahan yang baru harus diminimalisasi atau diredam sama
sekali. Sebaiknya, IM harus lebih fokus pada perbaikan ekonomi dan
perluasan lapangan kerja yang menjadi isu krusial di semua negara
yang mengalami transisi politik secara radikal dan bukan malah sibuk
merapatkan barisan untuk mengusung ide Islamisme. Meski begitu, harus
dimengerti juga bahwa pemilih tradisional IM adalah kelompok
Islamisme yang menginginkan perubahan revolusioner terkait tata
pemerintahan yang berbasiskan ajaran Islam. Dilema itulah yang
melahirkan banyak konflik politik domestik di Mesir sampai hari ini.
Pos-Islamisme AKP
Pos-Islamisme AKP
Buku berikutnya adalah karya Ahmad Dzakirin, seorang pengamat Timur
Tengah dari Indonesia yang memiliki afiliasi ideologi dengan Partai
Keadilan Sejahtera. Buku berjudul Kebangkitan Pos Islamisme: Analisis
Kebijakan AKP dalam Memenangi Pemilu adalah buku pertama yang
membahas AKP secara komperehensif dalam bahasa Indonesia. Buku
sebelumnya adalah buku berjudul “Zealous Democrats: Islamism in
Indonesia, Egypt, and Turkey” karya Greg Fealy, Anthony Bubalo, dan
Whit Mason. Buku ini kemudian diterjemahkan dan diberi judul
bombastis oleh Penerbit Komunitas Bambu menjadi “PKS dan
Kembarannya: Bergiat Menjadi Demokrat di Mesir, Turki, dan Indonesia.
AKP diasumsikan oleh pihak penerbit Kobam sebagai kembaran dari PKS
untuk konteks Turki. AKP adalah sebuah fenomena di dunia Islam
politik hari ini. Partai ini lahir dari sejarah perselisihan panjang
antara kelompok Islamisme dengan pendukung kemalisme
(sekuler-liberal) di Turki. AKP adalah jelmaan sekaligus bentuk
evolutif dari Partai Refah yang pernah memenangi pemilu tahun 1996.
Partai Refah pimpinan Nejmetin Erbakan yang kaku dalam
mengoperasionalkan ajaran Islam dalam sistem politik membuat garis
demarkasi yang tegas dengan militer sebagai pendukung utama ideologi
kemalisme. Pembubaran dan pelarangan menjadi menu setiap episode
kehidupan politik Erbakan di Turki. Beberapa kali partai pimpinan
Erbakan dibubarkan dan berganti nama. Partai terakhir yang berada di
bawah pengaruh Erbakan adalah Partai Fazilet yang juga dimusuhi oleh
militer. Sampai pada akhirnya, muncul generasi muda yang mencoba
mengganti rezim kepemimpinan internal di struktur partai. Mereka
mencoba mengusung seorang tokoh untuk menjadi pemimpin dari kelompok
pembaharu muda yang kritis dan bosan dengan strategi politik partai
mereka selama ini. Ketika akhirnya kalah, mereka memutuskan keluar
dan membentuk partai baru yang bernama AKP.
Pada titik itulah, istilah pos-Islamisme digunakan oleh Ahmad
Dzakirin untuk menyebut kelompok pembaharu ideologi Islamisme yang
bergabung dalam AKP. Munculnya Recep Tayyib Erdogan sebagai perdana
menteri yang begitu luwes mengelola pemerintahan tanpa harus
kehilangan identitas keislaman mereka disebut Dzakirin sebagai sebuah
kebangkitan. Menteri Luar Negeri Turki, Ahmed Davutoglu juga
diposisikan di urutan ketujuh dari 100 orang paling berpengaruh di
dunia tahun 2010 versi majalah Foreign Policy.4
Strategi politik Turki ke dalam dan ke luar sama cemerlangnya. Ke
dalam, pemerintahan AKP mengelola kekuasaan dengan demokratis serta
menghargai persamaan hak antara warga negara. Ke luar, Turki menjadi
fasilitator sekaligus mediator ulung untuk segala macam perundingan
terkait konflik kawasan. Kebijakan politik luar negeri Turki
didasarkan pada dua konsep utama yaitu zero problems with
neighbors dan strategic depth. Kedua konsep politik luar
negeri Turki itu berasal dari pemikiran Ahmed Davutoglu. Implementasi
kedua teori tersebut, telah menjadikan Turki mitra strategis AS dan
UE untuk kawasan Timur Tengah.
Terkait isu Islamisme yang selalu dikaitkan dengan latar belakang
para tokoh pimpinan AKP, Erdogan selalu memberikan jawaban yang
tepat. Erdogan sering mengatakan kalau AKP bukanlah partai Islam.
Bahkan, ia terang-terangan mengatakan kalau partai politik itu tidak
perlu menggunakan identitas keislaman, alih-alih ia ingin menyebut
partai politik seharusnya sekular. Yang seharusnya Islami adalah para
kadernya yang cukup direfleksikan dalam tingkah laku sehari-hari
sebagai umat beragama dan warga masyarakat. Jawaban semacam itu
beserta derivasinya banyak dilontarkan oleh para pimpinan AKP. Jangan
heran apabila popularitas AKP di Turki begitu tinggi. Dan jangan
heran pula jika ada seorang pelacur yang mengatakan dengan bangga
kalau ia adalah pendukung AKP.
Baik Asef Bayat ataupun Ahmad Dzakirin sama-sama menyepakati bahwa
pos-Islamisme merupakan sebuah fenomena periodisasi-sejarah sekaligus
subjek sejarah itu sendiri yang bersifat proses dan belum selesai.
Formula teoritis mengenai pos-Islamisme ini kemungkinan baru bisa
dikonsep secara matang pada dua dasawarsa berikutnya merujuk pada
perkembangan para pelaku beserta seting lokasi mereka. Prematurnya
tesis Asef Bayat yang mengatakan kalau ada gerakan tanpa revolusi di
Mesir membuktikan relatifitas pemikiran ini yang begitu besar dalam
ranah teori sosial-politik. Pelan tapi pasti, kelompok Islamisme yang
bergaul akrab dengan demokrasi mulai membuka jalan untuk mewujudkan
cita-cita mereka. Dari konteks ini, kita bisa memahami mengapa
istilah Islamisasi negara tidak digunakan oleh pendiri Ikhwanul
Muslimin. Istilah yang lebih sering dipakai adalah islah ad-daulah
(rekonstruksi/perbaikan negara). Jika gagasan awal itu dijalankan
secara konsisten, maka fenomena pos-Islamisme hari ini tidak terlalu
sulit untuk dikaji. Setidaknya, pos-Islamisme bisa dianggap sebagai
re-interpretasi gagasan Islamisasi negara yang oleh sarjana Barat
sering diringkus dengan istilah formalisasi syariah. Tentu saja, kita
semua akan menjadi saksi sejarah atas momentum kebangkitan kelompok
Islam yang moderat dan mampu berkiprah secara nyata dalam ruang
demokrasi.
1
Lihat, Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik , Jakarta:
Serambi, 1996
2
Lihat, Joseph Alagha, The Shifts in Hizbullah`s Ideology:
Religious Ideology, Political Ideology, dan Political Program,
Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006
3
Asef Bayat, Pos-Islamisme, Yogyakarta: LKiS, 2011
4
Ahmad Dzakirin, Kebangkitan Pos-Islamisme: Analisis Strategi dan
Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu, Solo: Era Adicitra
Intermedia, 2012, hlm.152