Tuesday 29 January 2013

Membincang Pos-Islamisme: Memaknai Ulang Islamisasi Negara

         Perdebatan mengenai korelasi Islam dengan demokrasi menemukan momentum penting tatkala iklim politik di kawasan Timur Tengah memanas dua tahun terakhir. Isu demokratisasi yang melanda beberapa negara Arab dan Afrika Utara, atau yang disebut sebagai ‘musim semi Arab’ telah mengangkat satu wacana teranyar mengenai relasionalitas Islam dengan demokrasi. Munculnya gerakan sosial yang menuntut perubahan negara ke arah yang lebih demokratis di beberapa negara Arab dan Afrika Utara ditenggarai sebagai wacana kebangkitan pos-Islamisme, sebuah orde manifesto politik untuk mengubah wajah Islam, selaras dengan demokrasi.
       Harus disadari sebelumnya, bahwa kelompok Islamisme adalah masyarakat Islam yang mencoba mengformulasikan syariat Islam dalam konteks ketatanegaraan. Pengklasifikasian model kelompok berdasarkan ideologi dan ciri gerakan kelompok ini sangat rumit dan terus mengalami perubahan. Setidaknya, terminologi Islamisme disematkan pada mereka (terlepas dari bentuk organisasi atau institusinya) yang mencita-citakan tegaknya syariat Islam melalui jalur politik dan non-politik atau yang sering juga disebut formalisasi syariat. Kelompok yang pertama itulah yang kemudian mengalami banyak kontraksi dan turbulensi ketika mencoba berdialog dengan sistem politik non-Islami. Secara khusus, kontraksi dan turbulensi sosial yang mereka hadapi digambarkan oleh Olivier Roy sebagai kegagalan Islamisme.1 Peristiwa besar yang dibahas oleh Roy sebagai contoh instrumen analisis adalah kemenangan FIS di Aljazair tahun 1990 yang kemudian “digagalkan” oleh militer.
Ketika ghiroh (semangat) kelompok Islamisme menemui banyak kendala dalam implementasinya di lapangan, perlahan mereka mulai melunak. Fenomena ini ditemui pada banyak jenis organisai politik Islam di berbagai penjuru dunia. Sebagai contoh, bandingkanlah narasi awal pendirian Hizbullah yang begitu semangat untuk mendirikan negara Islam di Lebanon. Namun, pada perkembangannya, mereka masuk ke dalam sistem politik praktis dan mulai meninggalkan narasi “negara Islam”. Fenomena ini disebut oleh sarjana Barat seperti Joseph Alagha sebagai pergeseran ideologi (shifting ideology).2 Faktor utama penyebabnya adalah rasionalitas yang dibangun pasca invasi demokrasi melanda sebagian besar negara muslim. Demokrasi tidak lagi dimaknai sebagai barang haram, melainkan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan yang legitimate dan sah, serta minus konfrontasi fisik. Pada titik inilah, istilah pos-Islamisme mulai diperbincangkan di kalangan sarjana untuk memetakan arus baru Islam yang (mencoba) berkorelasi dengan demokrasi.
         Istilah pos-Islamisme sendiri dimaknai secara luas oleh banyak pemikir. Dua buah buku yang saya baca belakangan ini merefleksikan hal yang berbeda mengenai pos-Islamisme. Buku yang pertama adalah karya Asef Bayat, seorang pemikir dari Iran yang membahas fenomena munculnya kelompok Islam “baru” di Iran dan Mesir. Menurut Bayat, pos-Islamisme adalah refleksi dari gagalnya kelompok Islamisme tampil di ruang publik melalui sarana-sarana demokrasi dan HAM. Tesis ini tentu saja senafas dengan pemikiran Olivier Roy yang menulis tentang kegagalan Islam politik. Kecenderungan kelompok Islam untuk lebih menghargai demokrasi dan nilai-nilai persamaan hak melahirkan kelompok yang secara kritis mengalienasi generasi tua mereka yang cenderung rigid dalam mengaktualisasikan Islam di ruang publik melalui pintu revolusi. Dengan sederhana, Bayat mengatakan bahwa konsep negara-Islam akan menghancurkan negara sekaligus Islam itu sendiri.3
 Pos-Islamisme Iran dan Mesir
        Bayat mencoba mengubah paradigma mainstream sarjana Barat yang kerap bertanya mengenai apakah Islam sesuai dengan demokrasi? Menurutnya, pertanyaan itu tidak seharusnya dikeluarkan di awal pembahasan mengenai hubungan Islam dengan demokrasi. Model pertanyaan semacam ini mengasumsikan demokrasi sebagai nilai yang seolah-olah tidak mengandung ambiguitas. Padahal pada praktiknya, tidak sama sekali. Pertanyaan itu seharusnya dibelokkan menjadi; apakah Islam bisa beradaptasi dengan modernitas? Hal ini disebabkan tidak ditemukannya teks secara intrinsik dalam kitab suci mengenai kesesuaian Islam dengan demokrasi yang merupakan produk budaya modern.
Ruang lingkup pembahasan dalam buku Bayat adalah kondisi sosial-budaya-religius di Iran pasca revolusi dan juga Mesir. Di Iran, revolusi Islam 1979 dimaknai sebagai kemenangan mutlak kelompok Islamisme yang kemudian melahirkan banyak sekali produk hukum yang mengatur masyarakat berdasarkan tafsir tekstual otoritas keagamaan. Model penerapan syariat Islam ala kelompok faqih (ulama) pasca Revolusi menghadapi resistensi luar biasa di kalangan pemuda dan kelas menengah perkotaan di Iran. Mereka yang tidak mengalami romantisme masa revolusi menjadi penggerak utama atas lahirnya kelompok yang menginginkan Iran keluar dari dogma kefaqihan yang literal dan kaku. Ekses dari resistensi mereka adalah munculnya generasi muda yang begitu liberal dan posmo di tengah-tengah masyarakat. Gerakan pemikiran untuk menghadapi represi pemerintah tumbuh subur di kampus-kampus ternama. Setidaknya, Iran membutuhkan waktu selama 10 tahun dalam membakukan konsep negara religius yang baru pasca revolusi. Dalam waktu 10 tahun itu juga politisasi terhadap perang Irak-Iran dijadikan alat untuk mengalihkan aspirasi kuat kelompok penentang faqih. Kelompok reformis muda Iran akhirnya menemukan momentum mereka saat berhasil mengantarkan Mohammad Khatami sebagai presiden tahun 1997. Khatami ditasbihkan sebagai tokoh yang membuka keran dialog dengan Barat dari sisi ekonomi dan politik yang saling menguntungkan. Sejak saat itulah, konflik terbuka antara kelompok reformis dan konservatif Islam menemukan bentuknya. Kelompok reformis inilah yang dilabeli sebagai pengusung ide pos-Islamisme di Iran. Visualisasi kekacauan implementasi hukum kelompok Islamisme dapat dilihat dari film Persepolis yang pernah dibahas juga dalam    blog ini.
      Bayat menyebut fenomena Islam di Iran sebagai revolusi tanpa gerakan. Revolusi Iran berhasil melakukan perombakan total yang mengganti secara esensial sistem politik lama yang sekuler dan pro Barat menjadi sistem politik religius, namun tanpa gerakan sosial. Artinya, Islamisme yang dijadikan landasan bernegara tidak memiliki basis sosial di tengah masyarakat pada umumnya. Semangat revolusi untuk menumbangkan kediktatotran Shah Iran justru menggunakan spirit revivalisme Islam sebagai senjata utama yang mampu merebut hati masyarakat pedesaan. Spirit Islamisme lahir begitu saja di tengah euforia revolusi namun tanpa kematangan konsep dan basis sosial yang mapan untuk menjalankan agenda pasca revolusi. Pada akhirnya, Islamisasi yang terjadi bersifat sangat top-down dan elitis. Konseptualisasi sistem politik religius yang baru ini termanifestasikan dalam diktat “vilayatul faqih” yang dikomandani langsung oleh Ayatullah Khomeini. Kacamata moral yang digunakan pemerintah pasca revolusi adalah “memusuhi semua yang berbau barat”, utamanya yang berhubungan dengan gaya hidup. Alih-alih melenyapkan sekularitas dalam kehidupan masyarakat, sistem ini malah melenyapkan logika perlindungan hak bagi banyak kelompok, terutama kaum perempuan dan juga kelompok marginal.
        Berbeda dengan di Iran, kondisi di Mesir justru dilabeli oleh Bayat sebagai gerakan Islam tanpa revolusi. Selama bertahun-tahun, komunitas Islam di Mesir mengalami represi yang cukup serius dari pemerintah yang militeristik dan totaliter. Rezim Gamal Abdul Nasser yang sosialis tentu saja menegasikan isu-isu islamisme sebagai oposisi pan-Arabisme yang menjadi cita-cita geo-politik Nasser. Generasi kontemporer seperti Ahmad Mubarok yang pro Barat malah melarang organisasi semacam Ikhwanul Muslimin untuk aktif dalam kancah perpolitikan Mesir. Belenggu dan represi rezim yang terus menerus justru menjadi amunisi tersendiri untuk menumbuh-kembangkan militansi kader-kader Islamis yang siap menyongsong perubahan. Dengan berbagai macam pola dan strategi, kelompok Islam ini melakukan proses Islamisasi kultural berbasis masyarakat intelektual perkotaan. Hasilnya, pada tahun 1980-an, fenomena perempuan berjilbab di Mesir muncul dengan menakjubkan di ruang publik. Dengan kata lain, fenomena kelompok Islam di Mesir mengkristal sebagai sebuah gerakan yang mengakar di masyarakat, namun tidak melahirkan pergantian rezim politik yang revolusioner.
        Sayangnya, tesis Asef Bayat ini harus dikritisi lebih lanjut oleh situasi terbaru dari Mesir sendiri. Di awal tahun 2011, tanpa diduga-duga demonstrasi masif di penjuru kota besar di Mesir berhasil memaksa Ahmad Mubarok untuk turun dari jabatannya. Revolusi Mesir ini adalah peristiwa kedua yang menyusul tren demokratisasi yang terjadi di Tunisia sebelumnya. Namun, nampaknya tesis Asef Bayat masih bisa dipertahankan jika kita merujuk pada konteks terjadinya revolusi di Mesir. Banyak pakar yang menilai bahwa revolusi di Mesir terjadi karena buzzer media-sosial di internet yang menjamur di kalangan kelas menengah perkotaan. Aksi massa dimobilisasi oleh situs-situs seperti Facebook, Twitter, dan juga blog-blog personal para aktivis. Bisa dikatakan revolusi di Mesir adalah milik media-sosial. Di sisi lain, kelompok Islamisme juga tidak dengan mulus dan tanpa hambatan menduduki pos-pos strategis dalam pemerintahan pasca-revolusi. Organisasi mapan seperti IM memang tampil sebagai oposisi dominan kala menjatuhkan Mubarok. Namun, narasi islamisme yang mereka tampilkan lewat gestur kolektif dan penampilan kader-kadernya melahirkan kecurigaan kelompok masyarakat yang memaknai revolusi sebagai era “pembebasan”. Kejatuhan mubarok dicita-citakan oleh pengusung revolusi sebagai pintu gerbang Mesir yang lebih demokratis dan bukan sebaliknya, memunculkan kediktatoran baru berkedok Islam. Hal inilah yang sampai hari ini masih dihadapi oleh Presiden Mursi selaku kepala negara dari Mesir pasca Mubarok. Niat Mursi untuk mereformasi lembaga kehakiman belum lama ini dianggap sebagai upaya untuk mengekalkan kekuasaan yang kemudian dianggap mengkhianati cita-cita revolusi.
        Biar bagaimanapun, IM dan Mursi harus sadar kalau revolusi kali ini bukan milik mereka semata. Revolusi ini lahir di jalanan dan media-sosial dan bukan dari majelis-majelis halaqoh (pengajian) internal mereka. Kesolidan dan kerapihan organisasilah yang membuat IM dengan mudah memenangi pemilu demokratis yang diadakan pasca-revolusi. Namun, keingingan IM untuk memaksakan simbol-simbol islam dalam sistem pemerintahan yang baru harus diminimalisasi atau diredam sama sekali. Sebaiknya, IM harus lebih fokus pada perbaikan ekonomi dan perluasan lapangan kerja yang menjadi isu krusial di semua negara yang mengalami transisi politik secara radikal dan bukan malah sibuk merapatkan barisan untuk mengusung ide Islamisme. Meski begitu, harus dimengerti juga bahwa pemilih tradisional IM adalah kelompok Islamisme yang menginginkan perubahan revolusioner terkait tata pemerintahan yang berbasiskan ajaran Islam. Dilema itulah yang melahirkan banyak konflik politik domestik di Mesir sampai hari ini.
Pos-Islamisme AKP
Buku berikutnya adalah karya Ahmad Dzakirin, seorang pengamat Timur Tengah dari Indonesia yang memiliki afiliasi ideologi dengan Partai Keadilan Sejahtera. Buku berjudul Kebangkitan Pos Islamisme: Analisis Kebijakan AKP dalam Memenangi Pemilu adalah buku pertama yang membahas AKP secara komperehensif dalam bahasa Indonesia. Buku sebelumnya adalah buku berjudul “Zealous Democrats: Islamism in Indonesia, Egypt, and Turkey” karya Greg Fealy, Anthony Bubalo, dan Whit Mason. Buku ini kemudian diterjemahkan dan diberi judul bombastis oleh Penerbit Komunitas Bambu menjadi “PKS dan Kembarannya: Bergiat Menjadi Demokrat di Mesir, Turki, dan Indonesia. AKP diasumsikan oleh pihak penerbit Kobam sebagai kembaran dari PKS untuk konteks Turki. AKP adalah sebuah fenomena di dunia Islam politik hari ini. Partai ini lahir dari sejarah perselisihan panjang antara kelompok Islamisme dengan pendukung kemalisme (sekuler-liberal) di Turki. AKP adalah jelmaan sekaligus bentuk evolutif dari Partai Refah yang pernah memenangi pemilu tahun 1996. Partai Refah pimpinan Nejmetin Erbakan yang kaku dalam mengoperasionalkan ajaran Islam dalam sistem politik membuat garis demarkasi yang tegas dengan militer sebagai pendukung utama ideologi kemalisme. Pembubaran dan pelarangan menjadi menu setiap episode kehidupan politik Erbakan di Turki. Beberapa kali partai pimpinan Erbakan dibubarkan dan berganti nama. Partai terakhir yang berada di bawah pengaruh Erbakan adalah Partai Fazilet yang juga dimusuhi oleh militer. Sampai pada akhirnya, muncul generasi muda yang mencoba mengganti rezim kepemimpinan internal di struktur partai. Mereka mencoba mengusung seorang tokoh untuk menjadi pemimpin dari kelompok pembaharu muda yang kritis dan bosan dengan strategi politik partai mereka selama ini. Ketika akhirnya kalah, mereka memutuskan keluar dan membentuk partai baru yang bernama AKP.
Pada titik itulah, istilah pos-Islamisme digunakan oleh Ahmad Dzakirin untuk menyebut kelompok pembaharu ideologi Islamisme yang bergabung dalam AKP. Munculnya Recep Tayyib Erdogan sebagai perdana menteri yang begitu luwes mengelola pemerintahan tanpa harus kehilangan identitas keislaman mereka disebut Dzakirin sebagai sebuah kebangkitan. Menteri Luar Negeri Turki, Ahmed Davutoglu juga diposisikan di urutan ketujuh dari 100 orang paling berpengaruh di dunia tahun 2010 versi majalah Foreign Policy.4 Strategi politik Turki ke dalam dan ke luar sama cemerlangnya. Ke dalam, pemerintahan AKP mengelola kekuasaan dengan demokratis serta menghargai persamaan hak antara warga negara. Ke luar, Turki menjadi fasilitator sekaligus mediator ulung untuk segala macam perundingan terkait konflik kawasan. Kebijakan politik luar negeri Turki didasarkan pada dua konsep utama yaitu zero problems with neighbors dan strategic depth. Kedua konsep politik luar negeri Turki itu berasal dari pemikiran Ahmed Davutoglu. Implementasi kedua teori tersebut, telah menjadikan Turki mitra strategis AS dan UE untuk kawasan Timur Tengah.
Terkait isu Islamisme yang selalu dikaitkan dengan latar belakang para tokoh pimpinan AKP, Erdogan selalu memberikan jawaban yang tepat. Erdogan sering mengatakan kalau AKP bukanlah partai Islam. Bahkan, ia terang-terangan mengatakan kalau partai politik itu tidak perlu menggunakan identitas keislaman, alih-alih ia ingin menyebut partai politik seharusnya sekular. Yang seharusnya Islami adalah para kadernya yang cukup direfleksikan dalam tingkah laku sehari-hari sebagai umat beragama dan warga masyarakat. Jawaban semacam itu beserta derivasinya banyak dilontarkan oleh para pimpinan AKP. Jangan heran apabila popularitas AKP di Turki begitu tinggi. Dan jangan heran pula jika ada seorang pelacur yang mengatakan dengan bangga kalau ia adalah pendukung AKP.
Baik Asef Bayat ataupun Ahmad Dzakirin sama-sama menyepakati bahwa pos-Islamisme merupakan sebuah fenomena periodisasi-sejarah sekaligus subjek sejarah itu sendiri yang bersifat proses dan belum selesai. Formula teoritis mengenai pos-Islamisme ini kemungkinan baru bisa dikonsep secara matang pada dua dasawarsa berikutnya merujuk pada perkembangan para pelaku beserta seting lokasi mereka. Prematurnya tesis Asef Bayat yang mengatakan kalau ada gerakan tanpa revolusi di Mesir membuktikan relatifitas pemikiran ini yang begitu besar dalam ranah teori sosial-politik. Pelan tapi pasti, kelompok Islamisme yang bergaul akrab dengan demokrasi mulai membuka jalan untuk mewujudkan cita-cita mereka. Dari konteks ini, kita bisa memahami mengapa istilah Islamisasi negara tidak digunakan oleh pendiri Ikhwanul Muslimin. Istilah yang lebih sering dipakai adalah islah ad-daulah (rekonstruksi/perbaikan negara). Jika gagasan awal itu dijalankan secara konsisten, maka fenomena pos-Islamisme hari ini tidak terlalu sulit untuk dikaji. Setidaknya, pos-Islamisme bisa dianggap sebagai re-interpretasi gagasan Islamisasi negara yang oleh sarjana Barat sering diringkus dengan istilah formalisasi syariah. Tentu saja, kita semua akan menjadi saksi sejarah atas momentum kebangkitan kelompok Islam yang moderat dan mampu berkiprah secara nyata dalam ruang demokrasi.
1 Lihat, Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik , Jakarta: Serambi, 1996

2 Lihat, Joseph Alagha, The Shifts in Hizbullah`s Ideology: Religious Ideology, Political Ideology, dan Political Program, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006

3 Asef Bayat, Pos-Islamisme, Yogyakarta: LKiS, 2011

4 Ahmad Dzakirin, Kebangkitan Pos-Islamisme: Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu, Solo: Era Adicitra Intermedia, 2012, hlm.152