Thursday 30 May 2013

SEMIOTIKA VISUAL: PENELUSURAN KONSEP DAN PROBLEMATIKA OPERASIONALNYA



REVIEW BUKU
Judul                :  Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas
Penulis             :  Kris Budiman


            Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas merupakan gabungan dari ketiga naskah buku Kris Budiman sebelumnya. Buku ini berisi naskah dari dua buku kecil tentang semiotika milik Kris, yaitu Semiotika Visual (2004), dan Ikonisitas: Semiotika Sastra dan Seni Visual (2005). Pada bagian akhir buku ini, diberikan suplemen berupa Kosa Semiotika, semacam daftar istilah dan nama tokoh terkait hutan belantara semiotika. Kosa semiotika itu sendiri sudah pernah dibukukan pada 1999 oleh Kris Budiman. Dengan kata lain, membaca buku ini artinya membaca tiga buah buku sekaligus.
            Sebelum berbicara mengenai semiotika visual, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu dua orang tokoh peletak dasar kajian semiotika, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Kedua toko itulah yang menjadi poros awal pembahasan semiotika yang dikenal luas saat ini sebagai ilmu tentang tanda-tanda. Saussure dan Peirce adalah dua orang yang tidak saling mengenal dan hidup di belahan dunia berbeda. Namun, pemikiran keduanya begitu memengaruhi para ahli pertandaan di era setelahnya. Dalam buku ini, buah pemikiran kedua tokoh ini dibahas di beberapa bagian.
            Semiotika yang diartikan sebagai ilmu tentang tanda-tanda dimaknai lebih luas oleh Kris Budiman sebagai ilmu yang berbicara mengenai hubungan tanda-tanda dengan berbagai aspek. Yang pertama adalah hubungan tanda dengan maknanya, selanjutnya adalah hubungan tanda dengan penggunanya, atau pemakainya. Dan yang terakhir adalah hubungan tanda dengan tanda lainnya. Ketiga lintas relasi inilah yang menjadi kunci definisi semiotika sebagai ilmu tentang tanda.
            Secara khusus, Kris Budiman mengkaji ruang lingkup semiotika visual sebagai kajian pertandaan yang menaruh minat pada penyelidikan segala makna dari tanda yang disampaikan melalui sarana indra penglihatan (visual sense). Berdasarkan hal tersebut, kajian semiotika visual memiliki beberapa dimensi dasar, yaitu dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik.
            Dimensi sintaktik dikenal luas dalam semiotika linguistik sebagai metode memilah pemaknaan kata melalui proses artikulasi ganda. Proses artikulasi ganda pada linguistik berarti memecah sebuah kata menjadi unsur-unsur terkecil yang masih memiliki makna (morfem) dan unsur terkecil yang membedakan makna (fonem). Contohnya, kata lukisan yang apabila dipecah unsurnya maka didapatkan dua buah morfem yaitu lukis dan –an. Morfem tersebut apabila dipecah lagi maka didapatkan beberapa fonem, yaitu /l/, /u/, /k/, /i/, /s/, /a/, /n/. Ketujuh fonem tersebut adalah unsur terkecil yang dapat membedakan makna.
 Persoalannya adalah semiotika kebahasaan dianggap tidak terlalu beranalog dengan semiotika visual. Problem ini dimulai ketika ada anggapan bahwa persepsi piktorial memiliki sifat otonom dan tidak bergantung pada sistem linguistik (the semiotic autonomy of art). Meski begitu, beberapa pakar semiotika menganggap ada analogi antara model bahasa dengan gambar. Dengan kata lain, dalam sebuah gambar juga terdapat susunan unsur terkecil yang memiliki makna dan membedakan makna.
Kris Budiman mengutip pembahasan dari Saint Martin (1987) mengenai coloreme sebagai model analog artikulasi ganda linguistik pada semiotika visual. Menurut Saint Martin, sebuah coloreme dibatasi oleh semacam medan bahasa visual yang berkolerasi dengan suatu sentrasi pandangan mata. Model ini dianggap analog dengan morfem dan fonem dalam sistem linguistik. Namun, sebelum Saint Martin, Umberto Eco sudah lebih dulu menggagas artikulasi ganda untuk bahasa visual, yaitu dengan istilah sign dan sema.
Baik Saint Martin ataupun Umberto Eco sebenarnya masih berada dalam lingkar polemik besar mengenai ada tidaknya analogi antara sistem bahasa dengan sebuah tanda visual seperti lukisan. Dalam hal ini, perdebatan panjang para pakar semiotik adalah mengenai bisa tidaknya sebuah gambar disusun berdasarkan kaidah sistem estetik seperti halnya sistem tata bahasa dalam linguistik? Artinya, apakah mungkin menyusun sebuah kaidah sistem estetik yang bisa dirujuk dan digunakan secara universal?
Dimensi berikutnya dari semiotika visual adalah dimensi semantik dan pragmatik. Dimensi semantik menghadapi persoalan mengenai polemik antara tanda yang dicirikan, apakah ia bersifat ikonik atau simbolik seperti halnya tipologi tanda yang digagas oleh Charles Sanders Peirce. Bagi Peirce sendiri, tanda-tanda visual yang sempurna justru adalah tanda yang bisa menyeimbangkan sifat ikonik, simbolik, dan indeksikal sekaligus.
Perdebatan panjang seputar tipologi tanda ini justru membuat masalah yang penting menjadi terabaikan dalam dimensi semantik itu sendiri, yaitu proses pemaknaan. Sebagaimana sebuah karya visual harus memiliki makna, maka proses pemaknaan harus diposisikan  sebagai aspek penting dalam dimensi semantik pendekatan semiotika visual.
Dimensi berikutnya dalam pendekatan semiotika visual adalah pragmatisme. Dimensi pragmatik membahas panjang lebar mengenai fungsi-fungsi yang dominan dalam komunikasi (seni) visual. Perdebatan dalam dimensi pragmatik adalah seputar apakah sebuah tanda diproduksi untuk mengemban fungsi estetik atau konatif dan ekspresif? Dalam teori estetik yang radikal, sebuah karya seni visual diartikan dianggap memiliki fungsi yang mengacu pada dirinya sendiri (self-referential). Sedangkan, tidak jarang sebuah karya seni juga mengemban fungsi konatif dan ekspresif dalam ruang lingkup komunikasi sosial. Polemik mengenai fungsi sosial pada karya visual ini pada akhirnya harus mempertimbangkan kenyataan bahwa komunikasi bukanlah sebuah proses yang tunggal.
Pada Bab 2, Kris Budiman mengangkat konsep-konsep dasar mengenai semiotika visual dari buah pikiran maestro semiotika yaitu Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de Saussure. Kedua tokoh ini memang mewakili kutub pembahasan ilmu tanda yang menjadi cikal bakal teori semiotika yang kita kenal dewasa ini. Gagasan Peirce yang mendasar adalah pemecahan tanda dalam struktur traidik. Stuktur traidik memecah sebuah tanda menjadi representamen, interpretan, dan objek. Interpretan adalan konsep atau sesuatu yang diacu oleh representamen yang ditangkap secara visual. Konsep itu kemudian mengacu pada sebuah objek. Skema proses pemecahan struktur traidik ini digambarkan sebagai berikut.
     interpretan

representamen -------------------------- objek
Menurut Peirce, sebuah interpretan bisa menjadi representamen dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, proses signifikasi dalam pemecahan struktur traidik ini dianggap tidak berkesudahan (unlimited semiosis).
Berdasarkan hubungan antara representamen dan objeknya, Peirce kemudian merumuskan tipologi tanda yang cukup sederhana, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Sifat tanda yang ikonik adalah tanda yang memiliki kesamaan rupa (resemblance) yang dapat dikenali oleh para pemakainya. Contoh tanda yang bersifat ikonik adalah gambar peta yang merupakan replikasi dari bentuk dataran teritorial dalam skala yang diperkecil. Kalimat-kalimat ornomatope dalam bahasa Indonesia juga merupakan tanda yang bersifat ikonik, contohnya kukuruyuk sebagai perupaan suara ayam jago. Dalam Bab 5, Peirce membedah lagi tanda ikonik ke dalam klasifikasi yang bersifat tripatrit, yaitu citra, diagram, dan metafora.
Tipologi tanda berikutnya adalah indeks yang merupakan bentuk aktualisasi dan konkritisasi dari hubungan antara representamen dan objek. Tanda yang bersifat indeks contohnya adalah ketukan pintu sebagai representamen yang berarti ada tamu di depan rumah (objek). Contoh lainnya adalah jejak telapak kaki di tanah yang menandakan ada seseorang yang berjalan melewati tempat itu.
Tipologi tanda yang terakhir adalah simbol. Tanda yang berjenis simbol adalah tanda yang hubungan antara representamen dan objeknya bersifat arbiter dan konvensional. Fenomena kata-kata dalam sistem kebahasaan biasanya merupakan simbol-simbol. Kata kuda misalnya, tidak memiliki kesamaan atau perupaan sama sekali dengan seekor hewan mamalia yang sanggup berlari kencang dalam pacuan. Kata kuda disepakati bersama oleh para penggagas bahasa Indonesia sebagai simbol untuk menyebutkan hewan yang kita kenal sebagai kuda. 
Sementara, tipologi tanda dari Peirce yang jauh lebih rumit, secara khusus dibahas pada Bab 5. Tipologi tanda yang lainnya adalah trikotomi qualisign, sinsign, dan legisign. Trikotomi berikutnya adalah rema, disen, dan argumen. Kedua trikotomi ini dibahas secara sederhana dan mudah dipahami oleh Kris Budiman serta diberikan contoh yang cukup jelas dan representatif.
Tokoh berikutnya yang dibahas oleh Kris Budiman adalah Ferdinand de Saussure yang secara khusus dianggap sebagai peletak dasar ilmu semiotika. Konsep-konsep semiotika berhutang banyak pada pemikiran Saussure yang membuat seperangkat konsep dikotomis yang khas. Beberapa konsep tersebut adalah langue dan parole, sintagmatik dan paradigmatik, serta penanda dan petanda.
Khusus mengenai pendekatan semiotika visual, konsep dikotomis penanda (signifier) dan petanda (signified) adalah yang paling lazim dikenal oleh para pengkaji semiotika khususnya yang beraliran strukturalis. Penanda diartikan sebagai aspek material dari sebuah tanda yang bersifat sensoris atau dapat diindrai (sensible). Sedangkan petanda diartikan sebagai aspek mental dari tanda yang biasa disebut sebagai ‘konsep’. Konsep itu sendiri bersifat ideasional dan berada dalam benak penutur, atau pengguna tanda.
Konsep dikotomis yang digagas oleh Saussure tersebut memiliki latar operasional dalam ranah linguistik. Meski demikian, konsep dikotomis penanda dan petanda tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, tidak ada penanda tanpa petanda, dan sebaliknya tidak ada petanda tanpa penanda.
Proses pemaknaan sebuah tanda dalam semiotika visual adalah hal yang bersifat elementer sekaligus sentral. Dalam hal ini, Kris Budiman menyajikan buah pikiran Roland Barthes mengenai penggunaan metode kode pembacaan tanda. Barthes menyederhanakan struktur sebuah tanda ke dalam unit-unit pembacaan yang disebut sebagai leksia. Leksia itu bisa berupa apa saja, yang penting ia memiliki beberapa kemungkinan makna yang dimensinya tergantung pada kepekatan konotosi-konotasi yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks.
Kode pembacaan yang bisa diaplikasikan pada ranah tanda visual adalah; kode hermeneutik, semik, simbolik, proairetik, dan kultural. Kelima kode pembacaan itu disarikan dari pemikiran Roland Barthes yang dalam tahapan ini masih menjadi penerus tradisi strukturalisme Saussurian. Kelima kode pembacaan itu biasa beroperasi pada sebuah teks yang berupa bahasa ataupun visual. Untuk memudahkan para pembaca buku dalam memahami model kode pembacaan ini, Kris Budiman memberikan contoh desain visual yang menarik dari kaus oblong merk Dagadu dari Jogjakarta.
Masih dengan pemikiran Roland Barthes, salah satu konsep yang paling terkenal adalah sistem semiologis bertingkat. Dijelaskan dengan cukup sederhana dan padat, bahwa Barthes mengembangkan konsep dikotomis Saussure dalam melihat struktur tanda menjadi beberapa tingkatan sistem semiologis. Tingkat pertama adalah hubungan penanda dan petanda yang menghasilkan makna denotasi. Tingkat berikutnya adalah pemaknaan konotatif, dan tingkat berikutnya adalah pemaknaan yang menghasilkan mitos. Beberapa contoh menarik mengenai hal ini juga disajikan dengan baik di dalam buku.
Pembahasan berikutnya adalah isu intertekstualitas. Interteks secara sederhana diartikan sebagai relasi antara satu teks dengan teks-teks lainnya. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Julia Kristeva meskipun saat ini istilah tersebut mulai bergeser menjadi semacam pengaruh (influence) antara pengarang yang satu kepada yang lain. Konsep intertekstualitas Kristeva ini memiliki kedekatan dengan konsep vraisemblance yang digagas oleh ahli semiotik bernama Tvzetan Todorov.
Sebelum membahas mengenai interteks ala Kristeva, Kris mengantarkan pembaca pada pembahasan mengenai teks dan tekstualitas. Sayangnya, contoh yang diambil Kris adalah teks yang berupa karya sastra, dalam hal ini adalah cuplikan novel “saman” karya Ayu Utami. Pemahaman pembaca yang awam terhadap kajian semiotika visual menjadi sulit dicapai dengan sampling teks berupa karya sastra. Namun, jika dikaji secara mendalam, konsep dasarnya bisa diaplikasikan secara praktis pada teks berupa gambar visual. Contoh-contoh lainnya yang masuk dalam kerangka besar intertekstualitas adalah gambar-gambar desain kaos oblong merk Dagadu dari Jogjakarta yang dibahas secara praktis berdasarkan konsep-konsep yang sudah ada.
Bagian akhir dari buku ini adalah kosa semiotika yang merupakan daftar istilah yang mirip seperti glosarium semiotika yang disusun secara alfabetis. Berbeda dengan glosarium pada umumnya, kosa semiotika membahas lebih rinci semua istilah yang berkaitan dengan semiotika beserta contoh singkat atau acuan bab untuk membahasnya lebih lanjut. Hal yang ditambahkan dalam kosa semiotika ini adalah nama-nama tokoh pemikir semiotika. Setiap tokoh diberikan keterangan terkait profil singkat dan karya-karya pemikiran mereka.

Silang Sengkarut di Antara para Pencetus Teori Semiotika
            Sebagai sebuah pengantar dalam memahami semiotika visual, buku ini terbilang cukup baik karena meramu secara sinergis berbagai pemikiran seputar semiotika visual. Berbagai kutipan dan rangkuman pemikiran dari para tokoh besar semiotika juga disajikan secara baik dan mudah dipahami. Kris dengan sangat baik pula menyadur buah-buah pemikiran para tokoh semiotika yang berserakan di berbagai buku lalu merangkainya menjadi satu pembahasan yang terintegrasi. Buku ini tentu saja memudahkan para akademisi dalam memahami konsep semiotika visual pada tahap awal, khususnya bagi mereka yang memiliki keterbatasan dalam mengakses buku-buku para ahli semiotika.
            Yang menjadi kekurangan adalah minimnya contoh-contoh operasionalisasi konsep dan teori mengenai semiotika visual itu sendiri. Beberapa contoh yang ada justru mengambil wilayah kritik sastra yang masih memerlukan penyesuaian untuk diaplikasikan pada objek visual. Bagian tengah buku yang berisi halaman full colour juga tidak memunculkan banyak contoh-contoh desain visual kontemporer yang memerlukan telisik dalam perspektif visual.
            Secara umum, solusi problem metodologis dalam pendekatan semiotika visual memang tidak banyak dibahas dalam buku ini. Alih-alih mengarahkan para peneliti atau akademisi dalam mengoperasionalkan pendekatan semiotika dalam ranah objek visual, buku ini justru membicarakan silang sengkarut di antara para pencetus teori semiotika itu sendiri. Dua aliran besar yang sangat berpengaruh adalah strukturalis dan pos-strukturalis yang dalam buku ini tidak dipisahkan secara dikotomis. Padahal, kedua aliran ini menjadi sumbu utama perdebatan di semua aspek semiotika dari tipologi tanda sampai kode pembacaan sebuah tanda.
            Tugas utama para pemikir dan pengkaji semiotika saat ini adalah pengembangan ide-ide strukturalis yang tidak bersifat dekonstruktif ektrim. Pos strukturalis dekonstruktif yang membongkar secara ekstrim etika pembacaan tanda justru membuat nilai spritulitas dan sakralitas yang dimuati sebuah tanda menjadi lenyap. Buah pikiran Roland Barthes yang beralih dari seorang strukturalis menjadi dekonstruktor bersama Derrida dan Kristeva tidak boleh menjadi perhentian akhir dari pemikiran semiotika secara umum dan semiotika visual secara khusus.
            Kritik terhadap kelompok dekonstruktor ini sudah pernah disampaikan oleh pemikir Barat lainnya seperti John Ellis. Dalam bukunya yang berjudul Against Deconstruction, Ellis mengatakan bahwa Derrida terlalu tergesa-gesa melompat dari satu ektrim pemikiran ke ekstrim pemikiran lainnya sehingga ia mengabaikan tata karma ilmiah serta bertindak anarkis.[1] Titik ekstrim yang pertama adalah pemikiran bahwa makna semata-mata adalah konsep yang bersifat pasti dan tertutup. Sedangkah titik ekstrim selanjutnya adalah makna adalah masalah permainan tanda-tanda yang tanpa batas dan tanpa akhir.
            Kerangka filosofis yang dimiliki kelompok dekonstruktor pos strukturalis dalam semiotika tampak seirama dengan gejala post-modernisme dalam konteks sosial budaya. Post-modernisme yang bersifat irasional dan menolak klaim kebenaran universal, sangat selaras dengan semangat para dekonstruktor seperti Barthes dan Kristeva yang mengobrak-abrik kode pembacaan pada tanda. Hal ini sudah dibahas panjang lebar oleh Yasraf Amir Piliang yang kemudian membahasakannya sebagai hiper-semiotika.[2]
            Meski demikian, pemikiran semiotika dekonstruksi juga tidak perlu harus buru-buru ditolak. Tawaran yang diberikan oleh para penggagas pemikiran ini adalah pandangan terhadap bahasa sebagai suatu proses yang heterogen, plural, dan kreatif. Menurut Armahedi Azhar, pemikiran dekonstruksi hanya perlu dilenyapkan sifat-sifat anarkisnya seperti anggapan plural yang seolah harus anarkis. Setelah itu, apabila penggunanya meniupkan nafas iman, maka ia akan menjadi wahana kreatifitas yang integral.[3]
            Membawa semiotika ke titik ekstrem seperti yang dilakukan Barthes dan Derrida akan menghancurkan fungsi-fungsi komunikasi visual yang seharusnya dimiliki sebuah tanda. Gejala seperti itu merupakan gejala matinya sebuah fenomena. Karena sebuah fenomena, seperti halnya organisme, akan mati apabila dia sudah tua, terinfeksi virus, atau keluar dari sifat-sifat alamiahnya (hiper-realitas). Tanda-tanda visual seharusnya mengantarkan pembacanya untuk mendapatkan kenikmatan dari makna, dan bukan kenikmatan mengonsumsi tanda-tanda itu sendiri. Mengutip kritik transenden Yasraf, semiotika seharusnya digunakan oleh para akademisi sebagai metode untuk menegakkan yang haq dan mendekonstruksi yang bathil.[4]


[1]  Christopher Norris, What`s Wrong with Post-modernism, New York: Harvester/Wheatsheaf, 1990, hlm.136
[2]  Lihat, Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hiper Semiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna, Bandung: Matahari, 2010
[3]  Armehedi Azhar, Integralisme, Bandung: Penerbit Pustaka, 1983
[4]  Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Bandung: Matahari, 2011, hlm.267

pks

on progress