Wednesday 31 December 2014

MENATA KEMBALI MULTIKULTURALISME: REVIEW BUKU "TOLERANSI DAN PERKAUMAN"




                                                                          sumber gambar

Suatu ketika saya pernah bertanya pada seorang mahasiswa yang memakai kaos oblong bertuliskan “Freedom Palestine” di kelas. Saya bertanya apakah ia membenci orang Yahudi? Dia bilang, orang Yahudi itulah musuh terbesar bangsa Palestina, bahkan umat manusia. Kemudian, saya bertanya tentang nama rumah ibadah umat Yahudi. Mahasiswa saya terdiam, sambil berusaha keras mengingat tentang pengetahuan yang sejatinya teramat dasar bagi siapapun yang menempatkan diri sebagai musuh orang Yahudi. Intinya, ia tidak berhasil menjawabnya.

Konflik Palestina-Israel memang berjarak ribuan mil dari Indonesia. Akan tetapi, kejadian tadi cukup menggambarkan model pemahaman sebagian besar masyarakat kita terkait identitas yang berada di luar diri mereka (liyan). Alih-alih bertanya mengenai perbedaan Judaisme dengan Zionisme, saya bahkan tidak yakin mahasiswa saya yang kebetulan muslim tersebut mampu membedakan antara Kristen Katolik dan Protestan. Padahal, dua entitas agama ini hadir dan hidup bersama dengan umat Islam di banyak wilayah di Indonesia. Lantas, dari sebelah mana kita harus memulai dialog kerukunan antar umat beragama yang dimitoskan sebagai alat tekan konflik horisontal yang marak terjadi belakangan ini?

Sudah banyak literatur yang berbicara sambil mempromosikan pluralisme sebagai tool untuk menjembatani kerukunan beragama di Indonesia. Sebagian kelompok bahkan mendiskusikan dan mendokumentasikan secara intensif aktivitas dialog antar agama sebagai langkah preventif pencegahan konflik horizontal. Namun, belum ada yang mencoba memetakan secara substansial mengenai ide penghormatan eksistensi keberagaman identitas sebuah kelompok atau kaum beragama itu sendiri. Pluralisme malah menjadi semacam kendaraan intelektual untuk menunjuk hidung kelompok aktivis agama sebagai biang kerok konflik horizontal di masyarakat. Dengan spirit pluralisme itu pula, kelompok sekuler radikal menempatkan agama sebagai variabel yang harus dimarjinalkan dalam ruang publik, termasuk di dalamnya politik praktis.

Pembicaraan mengenai pluralisme juga sering terjebak pada semangat penghilangan identitas sebagai cara menetralkan konflik yang seringkali terjadi atas nama identitas. Seolah-olah, pluralisme itu bertujuan melenyapkan semua basis afiliasi identitas agar semua orang berada dalam ruang yang netral agama, etnis, bahkan ras. Alih-alih menetralkan potensi konflik, ide pluralisme justru melahirkan konflik baru di tengah umat beragama itu sendiri. Majelis Ulama Indonesia bahkan mengeluarkan fatwa haram terkait penyebaran ide ini. Begitu pula gereja Katolik yang menganggap bahwa pluralisme sejatinya adalah musuh semua agama.

Pada lubang besar yang ditinggalkan oleh pluralisme inilah, konsep multikulturalisme dihadirkan kembali. Berbeda dengan pluralisme, multikulturalisme mengedepankan penghormatan akan setiap eksistensi identitas yang bertemu dalam ruang publik yang sama. Sepintas lalu, ide ini mirip dengan pluralisme yang jamak dipahami itu, akan tetapi multikulturalisme jelas tidak bertendensi pada pelenyapan identitas tiap-tiap kelompok. Sebaliknya, multikulturalisme justru menjadi alas untuk memberi ruang gerak seluas-luasnya bagi setiap identitas untuk berekspresi dan beraktualisasi.

Hal inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam buku ini. Betapa ide multikulturalisme ternyata sudah hidup dan berkembang dalam tradisi lokal masyarakat Indonesia. Di setiap entitas etnis dan kebudayaan, nilai penghormatan pada kebudayaan lain atau baru selalu ada dan terealisasi secara praktis. Penetrasi kolonial yang datang membawa sistem religi baru juga tidak melenyapkan semangat multikulturalisme yang telah berkembang sebelumnya. Konflik dan peperangan tentu saja ada dalam periodisasi sejarah interaksi antar masyarakat. Namun, secara garis besar, setiap sistem religi yang (meminjam istilah Dhani Iqbal) sudah mengadat memiliki basis nilai multikulturalnya sendiri-sendiri. Ide ini telah melewati tahapan yang panjang untuk sampai pada perwujudan mutual respect. Cara pandang kelompok agama yang diwakili oleh beberapa tulisan dalam buku ini menunjukkan betapa multikulturalisme itu hanya perlu digali kembali untuk disegarkan dalam konteks demokrasi prosedural seperti hari ini.

Salah satu hal yang menarik dalam buku ini adalah setiap entitas agama atau adat diwakili oleh orang yang menjadi bagian dari entitas itu sendiri. Para pembaca yang memiliki latar belakang identitas yang berbeda tentu saja dapat lebih yakin terkait hal yang disampaikan karena boleh jadi kita menyebutnya sebagai pandangan pihak pertama. Hal inilah yang justru sering tidak ada pada buku-buku bertema dialog antar agama yang marak beredar. Banyak sekali orang yang berbicara mengenai suatu kaum padahal ia bukan termasuk dari kaum tersebut. Berapa banyak sarjana Barat yang memamerkan hasil pemikiran mereka mengenai Islam dan Timur seraya mempromosikan dialog dan kerukunan. Padahal, sejak Edward Said memunculkan kritik dahsyat berjudul “Orientalisme”, kita semua tahu bahwa Baratlah yang mendefinisikan siapa Barat dan siapa Timur. Namun, sampai hari ini perkataan mereka (sarjana Barat) tentang Timur selalu didengar dan dihayati bak tausiyah dalam muhasabah intelektual.

Pada bagian pengantar, buku ini sudah memberikan kekuatan positioning yang tegas dalam mengisi kekosongan literarur terkait multikulturalisme. Tengku Dhani Iqbal yang menjadi editor buku ini memberi penjelasan singkat, namun kuat mengenai pentingnya buku ini untuk dibaca dan dihadirkan dalam wacana multikulturalisme yang masih “agak” sukar untuk dieja. Pengantar dari editor kemudian disambung dengan selayang pandang dari Mukhlis PaEni yang memaparkan forensik konflik horisontal atas nama identitas di Indonesia secara umum.

Menurut Mukhlis PaEni, sejarah Indonesia adalah sejarah konflik antar etnis. Bedanya, pada masa pra-kolonial, konflik antar etnis tidak membuat pranata mobilitas sosial menjadi rusak. Sedangkan setelah kedatangan penjajah, pendidikan dan pekerjaan menjadi pranata mobilitas sosial yang jauh melampaui fungsi lembaga adat. Institusi adat hanya berfungsi sebagai hiasan pada objek pariwisata dan tidak mampu menopang kualitas seseorang di tengah masyarakatnya. Lembaga adat malah terseret dalam partai politik dan dijadikan batu loncatan bagi mereka yang lemah secara personal, namun membutuhkan klaim kesukuan untuk memeroleh dukungan dalam politik.

Berikut ini adalah resume sederhana yang tampak seperti spoiler isi buku. Penulisannya diurut sesuai sebaran bab yang ada di dalam buku.

Bab pertama adalah tulisan mengenai agama tradisional masyarakat Dayak yang secara geografis menghuni pulau Kalimantan. Agama yang disebut Kaharingan ternyata merupakan sistem kepercayaan asli yang sudah ada sebelum datangnya Hindhu, Budha, dan Islam. Agama Kaharingan memiliki inti ajaran berupa keselarasan hidup antara manusia dengan alam dan Tuhan. Manusia dan alam diyakini sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan serta memiliki tata komunikasi di antara keduanya. Alam berkomunikasi melalui tanda-tandanya. Sedangkan manusia berkomunikasi melalui kematian yang menandakan kembali menyatunya antara manusia dengan alam. Oleh karena itu, masyarakat Dayak tidak akan bisa hidup tanpa tanah dan hutan mereka. Dengan agama ini pula, masyarakat Dayak konsisten menjaga keseimbangan ekologis alam mereka dari kerakusan kapitalisme global.

Tulisan berikutnya membahas mengenai filsafat kejawen yang dikenal di masyarakat Jawa. Kejawen bukan merupakan agama, tapi lebih berciri sistem filsafat spiritual yang bersifat terbuka. Dalam melihat keberagaman, ajaran Kejawen mengenal konsep “Hamemayu Hayuning Bawana” yang merupakan salah satu inti ajaran Kejawen itu sendiri. Hamemayu Hayuning Bawana dapat diartikan “menjaga dan melestarikan berkah anugrah alam”. Sedangkan konsep alam yang dimaksud dalam kalimat tersebut termasuk juga di dalamnya adalah manusia. Lebih khusus lagi, konsep ini memiliki ajaran yang bernama “Kautaming Babrayan” (hubungan baik dan harmonis di antara manusia) serta “Sedulur Papat” (semua makhluk adalah bersaudara). Dari sinilah dapat disimpulkan, bahwa seseorang yang menganut dan mempraktikkan ajaran Kejawen yang sejati tidak akan bersikap intoleran terhadap sesama manusia. Karena dalam konsep Kautaming Babrayan, harmoni kehidupan itu diwujudkan melalui heterogenitas dan bukan homogenitas. Ditambah lagi, seorang penganut Kejawen sejati juga tidak akan menjadi pemicu perang di antara umat manusia. Hal itu dikarenakan dalam konsep Sedulur Papat, semua mahkluk hidup di muka bumi adalah bersaudara, tidak terkecuali binatang, tumbuhan, dan bahkan makhluk halus.

Tulisan berikutnya membahas mengenai konsepsi ajaran Hindu yang berkenaan dengan toleransi beragama. Sang penulis, I Gusti Made Arya Suta Wirawan mengupas sejarah agama kuno masyarakat pulau Bali sebelum datangnya Hindu. Konsep mengenai ketuhanan dan alam maya sudah lebih dulu eksis di tengah masyarakat Bali. Namun, setelah masuknya Hindhu yang ternyata memiliki kualitas alam pikiran yang lebih kaya daripada alam pikiran kuno di Bali. Oleh karena itu, yang terjadi berikutnya adalah akulturasi dan sinkretisme antara Hindhuisme dan ajaran lokal di Bali. Sehingga, agama yang ada di Bali merupakan Hindhu yang berlandaskan ajaran lokal. Dari titik inilah kemudian sejarah telah mencatat keterbukaan masyarakat Hindhu Bali terhadap agama-agama yang datang pada periode setelah kejatuhan Majapahit seperti Islam dan Kristen. Karakter masyarakat Hindhu Bali yang meyakini konsep pluralitas horizontal menjadi unsur utama yang melahirkan toleransi antar umat beragama di Bali. Seloka yang terdapat pada kitab Veda dengan jelas mengajarkan mereka untuk menghormati dan menghargai segala perbedaan di antara manusia.

Namun, tinta emas toleransi beragama ini mendapatkan batu ujian yang sangat hebat pasca peristiwa Bom Bali 1 dan 2. Sejak saat itu sampai hari ini, konsep toleransi antar umat beragama khususnya Islam dan Hindhu membutuhkan asistensi pemerintah sebagai pihak ketiga yang harus menjadi mediator untuk meminimalisasi dampak konflik yang disebabkan rasa saling curiga dan tidak mengenal antara masing-masing kelompok. Nilai multikultralisme yang telah terjaga berabad-abad lalu tiba-tiba kembali ke titik awal.

Tulisan berikutnya mengangkat keberagaman yang luar biasa dari gugusan pulau yang tidak terlalu luas, Flores. Dari gugusan pulau yang selama ini dipinggirkan pemerintah pusat itu, terdapat puluhan etnis dan ratusan sub-etnis yang memiliki karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam konteks toleransi beragama, masyarakat Flores didatangi para penginjil Katolik yang ternyata memberikan warna baru pada sistem kepercayaan lokal. Vatikan ternyata telah merumuskan tata cara pengiriman misi evangelis ke wilayah dengan kultur dan karakter yang majemuk. Pada intinya, misi Katolik diharuskan membahasakan iman Katolik dengan bahasa lokal dan tidak boleh merusak atau menghilangkan identitas masyarakat lokal. Dengan demikian, kehadiran gereja Katolik akan menjadi penjaga dan pemelihara kebudayaan lokal yang telah bersentuhan dengan iman Katolik. Beragam terobosan dan inovasi dilakukan secara pro-aktif oleh gereja Katolik untuk menjembatani kerukunan antar agama di Flores. Relasi dengan masyarakat lokal dan agama lain yang ada di Flores dilakukan melalui cara-cara damai dan saling menguntungkan. Dalam konteks multikultralisme, gereja Katolik telah menjalankan peran dengan sangat serius untuk menghargai dan menghormati eksistensi beragam identitas di luar sistem religi mereka.

Tulisan selanjutnya berbicara mengenai Budhisme di Indonesia serta perspektif mereka dalam multikulturalisme. Dipaparkan dalam penjelasan yang singkat bahwa corak Budhisme di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang dan bisa dimulai sejak kejayaan Sriwijaya pada abad ke-7. Setelah itu dijelaskan pula terjadinya sinkretisasi antara agama Siwa (Hindu) dan Budha pada era kekuasaan Majapahit sampai kemudian melahirkan semboyan Negara “Bhineka Tunggal Ika”. Ajaran Budha terkait harmoni kehidupan antara umat manusia dianggap sangat berkesesuaian dengan multikultralisme. Seorang yang menapaki jalan Budha akan menghormati keberagaman orang lain. Dalam inti ajaran Budha, kebahagiaan yang sejati adalah membahagiakan orang lain. Selain itu, para Bhikku juga mengajarkan umat Budha untuk memahami bahwa hakikat eksistensi diri mereka adalah untuk berguna bagi makhluk lain. Dengan ajaran yang begitu welas asih dan toleran, umat Budha sejatinya adalah kelompok yang sangat mendukung ide multikulturalisme.

Berikutnya adalah penjelasan mengenai agama Khonghucu yang sudah diresmikan menjadi salah satu agama di Indonesia sejak tahun 2006. Meski banyak dianut oleh kelompok minoritas Tionghoa, agama ini memiliki banyak ajaran yang membuktikan sifat toleransi tingginya terhadap perbedaan dan keberagaman identitas. Nabi Kongzi (Konfusius) pernah mengajarkan enam pedoman agar manusia dapat diterima di manapun berada. Enam pedoman itu adalah; berperilaku hormat, lapang hati, dapat dipercaya, cekatan, bermurah hati, dan adil. Selain itu, umat Khonghucu meyakini ajaran dalam agama mereka yang mengatakan bahwa semua manusia di empat penjuru samudra adalah bersaudara. Dengan demikian, sulit kiranya mencari akar masalah dari substansi ajaran agama apabila terjadi konflik horisontas antara umat Khonghucu dengan umat lainnya. Pada gilirannya, umat Khonghucu di Indonesia mengalami lebih banyak tekanan politik ketimbang benturan identitas di masyarakat.

Selanjutnya, masih ada beberapa bab lagi yang sangat menarik dengan preferensi identitas yang berbeda dari setiap penulisnya. Total keseluruhan bab dalam buku ini adalah Sembilan bab yang mewakili sembilan entitas identitas yang hidup dan eksis di Indonesia. Konstruksi tulisan-tulisan selanjutnya juga memiliki kesamaan rupa dan spririt dengan bab-bab yang sudah dibahas sebelumnya. Saya sepakat bahwa buku ini bisa menjadi model bagi pengembangan semangat multikulturalisme pada negara yang sangat heterogen seperti Indonesia.

BERGIAT MENJADI PLURALIS: REVIEW BUKU "KETIKA MEKKAH MENJADI SEPERTI LAS VEGAS"





Sudah sejak lama saya melihat buku ini di sebuah toko buku. Sejak awal saya sudah tertarik untuk membelinya, tapi entah kenapa masih ragu sembari berharap nanti saya cari lagi suatu saat. Beberapa bulan kemudian, saya tidak menyangka kalau buku ini masih ada di rak toko buku yang terkenal sangat “sadis” terhadap buku-buku tak laris. Entahlah, apa memang buku ini laris atau penting bagi si toko buku sehingga masih tetap terpajang rapi meski sudah sekian lama? Intinya, buku ini sampai juga ke tangan saya dengan segala pertimbangan pada saat memutuskan untuk membelinya.

Berisi banyak artikel ilmiah dari banyak tokoh, membuat buku ini lebih mirip sebuah jurnal tematik. Kalimat yang menjadi judul buku ternyata hanya mewakili satu artikel saja yang merupakan artikel pembuka di buku ini. Artikel itu ditulis oleh Mirza Tirta Kusuma yang sekaligus berperan sebagai editor buku. Padahal, konteks artikel dari Mirza itulah yang paling menarik minat saya untuk membaca buku ini. Namun, tidak menjadi masalah. Karena, setelah melihat daftar isi buku, niscaya banyak penulis lain yang begitu masyur terlibat dalam penyusunan buku ini.

Setelah membolak-balik dan membaca buku ini selama kurang lebih satu minggu, saya mendapatkan beberapa catatan sederhana. Catatan yang mungkin bersifat acak dan sembarang, tapi cukup mewakili perasaan saya setelah merampungkan buku ini. Di antara catatan itu adalah:

1.       Baratlah yang mendefinisikan apa itu Barat dan apa itu Timur
Terdapat dua penulis asing yang begitu menokoh dalam diskursus mengenai Islam dan Indonesia. Mereka adalah John L Esposito dan Martin Van Bruinessen. Kedua penulis ini, sekali lagi mencoba menjadi mediator komunikasi antara dunia Islam dan Barat terkait banyak isu. Dalam tulisannya, Esposito banyak mengangkat titik kesalahpahaman antara dunia Islam dan Barat yang diresume dari berbagai hasil penelitian statistik.

Tulisan Esposito tentu saja berpretensi baik untuk menengahi konflik/potensi konflik yang semakin meruncing pasca-September 2001. Meski demikian, tipikal penulis Barat non-muslim tetaplah tendensius dan kerap melakukan prejudice terhadap dunia Islam. Sekelas Esposito bahkan gagap dalam menangkap perbedaan mendasar antara gerakan politik Islam dengan kelompok Islam liberal. Pada akhirnya, segala gejala formalisasi nilai Islam akan ditempatkan secara ekstrim di kubu anti-pembaharuan. Sebaliknya, kelompok liberal Islam ditempatkan sebagai kelompok yang harus diberikan ruang gerak jauh lebih luas agar potensi konflik antara Barat dan Islam tidak terjadi. Singkat kata, masa depan harmonisasi hubungan Barat dengan Islam ditentukan dari meluas dan tidaknya pemikiran liberal Islam itu sendiri.

Tulisan berikutnya dari Martin Van Bruinessen justru melakukan semacam studi komparasi antara Indonesia dan Turki terkait ide-ide sekularisme. Pada konklusinya, secara eksplisit Martin menempatkan kelompok muslim yang giat menerapkan metode hermeneutika  sebagai kelompok pembaharu. Hermeneutika adalah metode yang digunakan sarjana Barat untuk mengkaji kitab suci mereka dalam tataran ilmiah dan objektif. Penalaran total diberikan prioritas sebelum keyakinan metafisika terhadap dalil-dalil ilahiah. Hermeneutika jelas bermasalah dalam studi tafsir Al-Quran karena menempatkan Al-Quran sejajar dengan buku-buku sejarah pada umumnya. Metode ini digaungkan oleh mereka yang hari ini disebut kelompok liberal Islam. Dengan demikian, inti argumen Van Bruinessen berada dalam satu tarikan napas dengan Esposito di bab sebelumnya.

Sejatinya, Esposito hanya memberi pengantar pada tema ini, kemudian disusul dengan Van Bruinessen yang lebih definit melakukan kategorisasi tentang siapa yang pembaharu dan siapa yang anti-pembaharuan. Maka, puncaknya ada pada tulisan Karel Steenbrink. Artikel Steenbrink langsung menunjukkan bagaimana pola hermeneutika dilakukan dalam membahas kehidupan Nabi Muhammad. Steenbrink begitu tegas memisahkan Muhammad sebagai seorang utusan Tuhan dan Muhammad sebagai pria Arab. Dikotomisasi semacam ini tentu saja bermasalah jika dihadapkan pada keyakinan kolektif bahwa Muhammad adalah seorang Nabi yang ditakdirkan terlahir di Arab. Umat Islam meyakini bahwa seluruh performa hidup Nabi Muhammad adalah tuntunan dan petunjuk praktis bagi seluruh umat manusia. Artinya, tidak ada perbedaan peran kapan Nabi Muhammad bertindak sebagai orang Arab, dan kapan ia harus ditaati sebagai seorang Nabi.

Sebetulnya saya sudah lelah, kalau tidak mau dikatakan muak terhadap tulisan-tulisan sarjana Barat non-Islam yang berbicara mengenai Islam. Awalnya, memang terasa seperti sedang diberi tanggapan, tapi lama kelamaan terasa seperti sedang diajari cara bertingkah laku. Bagi saya, mendengar perspektif Islam dari orang non-Islam itu seperti memakan bakso dari tukang bakso yang tidak pernah memakan bakso yang ia masak. Bukan perkara bakso tersebut enak atau tidak enak melainkan rasa ragu yang tidak terhindarkan karena si pembuat bahkan tidak mau memakannya. Kalimat-kalimat para sarjana Barat ini memang sangat mudah menimbulkan reaksi karena perbedaan identitas yang mereka miliki dengan umat Islam yang sedang mereka bicarakan. Namun, reaksi tersebut tidak akan terlalu keras apabila pemikiran mereka disampaikan melalui para intelektual Islam sendiri yang membaca dan menggilai pemikiran mereka. Inilah yang saya sebut sebagai kelompok juru bicara pemikiran. Terkadang, mereka tampil lebih meyakinkan karena sanggup menggabung-gabungkan narasi Barat dengan literatur dari khasanah pemikiran Islam sendiri.

2.      Pluralisme diartikan dengan berbagai macam sudut pandang.
Rumpun tulisan pada bab selanjutnya adalah artikel yang didedikasikan secara khusus untuk memperingati ulang tahun ke 60 Prof. Amin Abdullah. Beberapa penulis seperti Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, dan Imam Suprayogo mengambil tema peran intelektual Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Amin Abdullah sendiri lebih dikenal sebagai salah satu intelektual Muslim yang gemar mempromosikan pluralisme sebagai medium dialog antar agama.

Benang merah dari rangkaian tulisan yang didedikasikan kepada Amin Abdullah adalah pentingnya menjadi cendikiawan muslim yang menjunjung tinggi kritisisme terhadap teks suci. Kontraksi atas pemikiran semacam ini tentu saja banyak terjadi di tengah umat. Namun, rumpun intelektual muslim dengan pola pikir macam ini juga terus mengembangkan jumlah pengikut dan jejaring sosial di kalangan akademis. Satu hal yang juga menarik adalah fakta bahwa Amin Abdullah pernah kuliah di Turki, tempat banyak aktivis Islam juga menempa diri dalam konteks pergerakan. Turki hari ini, tak pelak menjadi patron banyak negara muslim karena berhasil mengakomodasi kepentingan umat Islam melalui jalur politik praktis. Partai penguasa di negara tersebut, AKP, mampu tampil menjalankan pemerintahan yang berbasiskan ideologi sekuler ketat tapi dengan performa yang saleh. Boleh jadi, cara berpikir Amin Abdullah dipengaruhi pola negosiasi umat Islam di Turki dalam ranah politik praktis. Namun, ketika pemikiran macam itu dikembangkan di Indonesia dengan semangat yang disebut pluralisme ternyata banyak menimbulkan masalah.

Ada istilah yang begitu mewakili kalangan pluralis yang sahut menyahut dalam buku ini yaitu; “to be religious is to be inter-religious”. Istilah ini mewujud pada generasi cendikia yang muncul layaknya juru bicara kelompok di luar identitasnya. Atas dalih inter-religious tadi, seolah-olah konflik antar agama (identitas) bisa dinetralkan dengan cara saling mempelajari dan kemudian saling menihilkan kebenaran ajaran agama masing-masing. Lihatlah betapa istilah truth claim berkali-kali diserang dalam buku ini. Padahal, konsekuensi logis seseorang ketika memilih salah satu agama adalah menyalahkan agama yang lain. Padahal, nilai-nilai toleransi dan kasih sayang sejatinya sudah ada di tiap-tiap agama dan hanya perlu disegarkan kembali kemudian diaktualisasikan sebagai bentuk ketakwaan. Tidak perlu berdarah-darah untuk mencari benang merah pada tiap identitas yang ada. Untuk membentuk pribadi muslim yang taat dan berilmu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar apalagi harus menjadi umat agama lain sekaligus. Cukup dengan memberikan hormat dan memberi kesempatan pada ragam identitas lain untuk mengaktualisasikan diri maka kita sudah bisa hidup lebih bermartabat.

Kalimat saya di awal tulisan ini yang mempertanyakan mengapa buku ini tetap eksis di toko buku yang terkenal sangat sadis pada buku tak laris terjawab sudah. buku ini pastilah dianggap penting oleh pihak toko buku yang memang satu grup korporasi dengan si penerbit sendiri. Sebagai tambahan argumen yang mungkin agak tendensius, rumpun korporasi yang saya maksudkan ini memang dikuasai oleh kelompok non-Islam. 

YANG KIRI YANG RELIGIUS (Baca: YANG TIDAK JELAS)


Ada kalanya, pada satu masa, menjadi muda dan kiri itu terlihat seksi. Di sisi lain, ada masa ketika menjadi muda dan religius juga terlihat keren. Kini, tibalah kita pada satu masa ketika menjadi kiri sekaligus religius tampak tidak absurd lagi.

Mencermati kemunculan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Kultural yang mengklaim diri mereka sebagai aktivis dakwah yang open minded dan terlepas dari politik praktis membuat saya terheran-heran. Terus terang, saya tidak terlalu paham split dalam organisasi bernama KAMMI ini yang lebih dikenal sebagai perpanjangan ideologi Partai Keadilan Sejahtera dalam ranah gerakan mahasiswa. Namun, ketika muncul tulisan yang mengulas sepak terjang KAMMI kultural ini dalam jurnal online Indoprogress, saya jadi sangat ingin mengenal lebih jauh apa dan siapa KAMMI Kultural ini.

Ulasan mengenai KAMMI Kultural yang terdapat dalam jurnal Indoprogress berbentuk wawancara dengan tokoh sentral organisasi ini yang bernama Ahmad Rizky Mardhotillah Umar. Mengapa redaksi Indoprogress sampai harus mewawancarai pengurus KAMMI? Atau dalam hal ini, mengapa pengurus KAMMI Kultural? Itulah yang menjadi pertanyaan pertama yang ada di benak saya. Karena, secara garis besar, pemikiran redaksi Indoprogress memiliki perbedaan diametral dengan ideologi Islam politik, terlebih yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera. Ditambah pula, ketika corak afiliasi Indoprogress dalam politik nasional cenderung berpihak ke kubu Joko Widodo, maka perang opini pun tidak terelakkan di ranah maya. Bahkan, ada istilah “fasis religius” untuk mendefinisikan kubu Islamis yang bertarung dalam ruang demokrasi, termasuk di dalamnya adalah PKS.

Pertanyaan saya terpecahkan ketika dalam artikel tersebut, Umar mengatakan bahwa KAMMI Kultural bergerak dalam bidang lintas pemikiran. Salah satu yang menjadi bacaan mereka adalah literatur kiri yang tentu saja bagi mereka memiliki manfaat untuk pengembangan intelektual aktivis dakwah. Mudah saja memastikan kalimat yang terdengar agak terburu-buru ini ketika saya mengecek laman web jurnal resmi milik mereka dan kemudian menemukan foto Pram yang terpasang seperti ornamen di halaman beranda. Benar, foto Pramoedya Ananta Toer, dan bukan Sayyid Qutb, apalagi Anis Matta. Ditambah lagi, penggunaan simbol bintang berwarna merah yang khas kiri digunakan sebagai tipografi untuk menggantikan huruf “A” dalam kata “Kultural”.

Dalam wawancara dengan Umar, jurnalis Indoprogress tampak sangat bergairah dengan keluh kesah narasumber yang terlihat gerah dengan KAMMI struktural di tingkat pusat. Pertanyaan juga diarahkan untuk membuat semacam simpulan bahwa PKS sebagai partai politik telah mempraktikkan oligarki yang nyata dalam sistem kekuasaan. Pada beberapa bagian, beberapa kali Umar diarahkan untuk menjelaskan betapa praktik politik PKS melalui dukungan KAMMI adalah sesuatu yang kotor. Singkatnya, KAMMI kultural ini adalah bentuk kritik terhadap gerakan tarbiyah yang terjebak dalam sistem (struktural) sehingga tidak bisa berpikir kreatif dan independen.

Redaksi indoprogress seperti sedang merayakan split salah satu organisasi mahasiswa yang sebenarnya ideologinya mereka selalu serang selama ini. Agar situasi lebih memanas, mereka pun memilih untuk mewawancarai (alih-alih terlihat mendukung) salah satu kubu yang kebetulan satu visi dengan mereka. Apa karena sekelompok orang telah memasang foto Pram seketika bisa dikatakan telah menjadi “kiri”? Lantas, apakah seketika itu pula pantas untuk dijadikan teman sejawat. Entah mengapa, performa yang ditampilkan Indoprogress ini persis seperti apa yang dilakukan Metro TV dalam meliput kisruh Partai Golkar. Dalam liputan-liputannya, terlihat jelas Metro TV seperti sedang merayakan perpecahan di kubu Golkar sembari “mendukung” ke salah satu kubu agar situasi lebih memanas. Kubu yang didukung tentu saja kubu yang memakai narasi-narasi mendukung pemerintah dan menolak untuk menjadi oposisi. Entah kebetulan atau tidak pula, Metro TV dan Indoprogress memang berada di gerbong yang sama dalam mendukung Presiden Joko Widodo.

Perpecahan dalam tubuh PKS sebenarnya memang benar terjadi. Yang paling jamak diketahui publik adalah munculnya organisasi bernama Front Kader Peduli yang memulai aktivitasnya dengan cara yang sama seperti KAMMI Kultural ini; melakukan kritik, kemudian mengambil jarak dengan organisasi induk. Bedanya, FKP didirikan dengan ekspektasi mengambalikan aktivitas dakwah pada “rel” yang sebenarnya. Dalam versi FKP, PKS secara umum telah banyak melenceng dari kaidah-kaidah dasar gerakan dakwah Islam. Puncak gesekan yang melahirkan FKP terjadi pasca Munas PKS tahun 2008 yang menetapkan PKS sebagai partai terbuka. Keputusan Munas tersebut melahirkan banyak perubahan dalam tataran praktis perpolitikan yang dijalankan PKS. Meski terdengar serius, sampai hari ini, tidak jelas sampai di mana pencapaian misi dari FKP ini dan pengaruhnya terhadap PKS.

Perpecahan lain yang juga sempat mencuat ke permukaan adalah dikotomi faksi keadilan dengan faksi kesejahteraan dalam tubuh internal pengurus PKS. Istilah ini seolah dinisbatkan pada mereka yang dianggap pendukung kesederhanaan (faksi keadilan) dan pendukung kemewahan (kesejahteraan). Istilah ini semakin sering muncul dalam ruang publik ketika Luthfi Hasan Ishaq tersandung kasus korupsi yang menyebabkan jabatannya sebagai presiden partai harus digantikan oleh Anis Matta. Tidak jelas pula di ranah publik siapa tokoh PKS yang mewakili faksi keadilan dan siapa yang mewakili faksi kesejahteraan. Terkait dikotomi ini, isunya meredup seiring agenda politik nasional yang mengharuskan PKS mengintegrasikan sumber daya mereka pada target pemenangan Pemilu.

Kembali ke persoalan awal terkait KAMMI Kultural, integrasi antara marxisme dan Islam adalah hal yang sangat aneh kalau tidak mau dikatakan mustahil. Perbedaan diametral antara Islam dengan marxisme bahkan sudah dimulai pada tataran dasar mengenai filsafat humanisme. Marxisme, seperti halnya filsafat barat pada umumnya, menempatkan manusia dan Tuhan dalam hubungan yang tidak harmonis. Akar penalarannya adalah filsafat ketuhanan di zaman Yunani ketika manusia senantiasa bersaing dengan dewa-dewa langit untuk mendapatkan eksistensi. Semangat eksistensi manusia adalah menggugat kekuasaan langit (dewa-dewi) sehingga wajar apabila banyak dari mereka yang menjadi ateis di kemudian hari. Hal ini sudah banyak dibahas oleh Ali Syariati yang melancarkan kritik langsung terhadap kekacauan berpikir kaum marxis dari perspektif Islam.

Pun seandainya integrasi diwujudkan hanya pada tataran praksis seperti pembelaan terhadap kelompok marjinal, buruh, dan rakyat miskin misalnya, hal itu justru membuat kelompok Islam seperti kekurangan narasi dan literatur saja. Padahal, isu mengenai keadilan sosial sudah sangat banyak jumlahnya dalam literatur Islam dan hanya tinggal dipakai saja atau disesuaikan dengan kondisi kekinian. Masalahnya, ada semacam daya tarik tersendiri apabila seorang aktivis dakwah menggunakan termin-termin marxis dalam membahasakan isu-isu keadilan sosial dan semacamnya. Alih-alih tampak seperti “ikhwan” seksi, yang ada justru tampak seperti “ikhwan” absurd.

Satu hal lagi yang menarik bagi saya adalah kolom yang diberi nama post-tarbiyah. Tarbiyah adalah nama untuk sistem pendidikan dan pengaderan aktivis-aktivis dakwah yang berafiliasi dengan ajaran Hasan al-Bana. Singkatnya, tarbiyah inilah sistem pengaderan yang menjadi penyuplai utama sumber daya manusia dalam tubuh PKS. Tentu saja istilah post-tarbiyah ini merujuk langsung pada sistem pengaderan yang ada dalam tubuh PKS. Istilah ini bahkan dikuatkan lagi oleh perkataan Umar bahwa tarbiyah yang dikembangkan PKS sudah mentok. Dengan kata lain, post-tarbiyah adalah bentuk pengembangan dari sistem tarbiyah yang selama ini diaplikasikan dalam lingkup jamaah atau lebih khususnya di KAMMI. Post-tarbiyah juga berarti periodisasi baru atas masa-masa tarbiyah yang dianggap sudah selesai atau mentok tersebut.

Umar terlalu terburu-buru dalam membahasakan tarbiyah gaya baru ini dengan nama pos-tarbiyah. Sebagai alibinya, terdapat kolom khusus yang memuat artikel mengenai pos-Islamisme yang sepertinya dianggap serasi dengan spirit pos-tarbiyah tadi. Aneh, karena istilah pos-Islamisme adalah istilah yang juga belum baku kedudukannya di tengah-tengah para ulama pergerakan Islam. Istilah tersebut murni dilahirkan Barat melalui tulisan para Islamolog seperti Olivier Roy dan Greg Fealy. Adapun, intelektual Iran yang bernama Asef Bayat juga mendapatkan pendidikan formalnya di Barat sebelum akhirnya ikut menelurkan termin pos-Islamisme. Yang juga aneh, dalam buku “Zealous Democrat”, Greg Fealy dan Anthony Buballo justru menempatkan PKS sebagai representasi pos-Islamisme di Indonesia yang bersanding sejajar dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir serta AKP di Turki. Dengan kemunculan pos-tarbiyah ini, yang mengklaim diri mereka terpisah secara struktural dengan PKS, entah istilah apa lagi yang akan digunakan oleh para Islamolog tadi, apakah neo post-Islamism, atau post-Islamism II, atau malah pos-Islamisme perjuangan?

Sebagai penutup tulisan ini saya akan sandingkan dua kalimat masyhur dari dua tokoh terkenal meski beda zaman. Dua tokoh tersebut adalah Pramoedya Ananta Toer dan Imam Syafi`i. Kedua kalimat dari dua tokoh tersebut berbicara mengenai pentingnya kegiatan yang disebut “menulis”.

Pram pernah mengatakan: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan di dalam sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Sementara, Imam Syafi`i pernah mengatakan: “Ilmu itu ibarat binatang buruan, sedangkan tulisan adalah tali kekangnya. Maka, sungguh bodoh orang yang berhasil menangkap binatang buruan, tapi membiarkannya lepas tak terikat.”

Sayangnya, kalimat dari Pram ternyata lebih disukai dan akhirnya dipilih sebagai ornamen dekoratif pada beranda jurnal KAMMI Kultural. Hal ini juga yang membuktikan anggapan saya bahwa aktivis Islam yang berbicara dengan bahasa kaum “kiri” itu seperti orang yang justru kekurangan literatur, alih-alih (mungkin) ingin terlihat seksi seperti manusia zaman batu.



Tuesday 30 September 2014

POS-ISLAMISME DAN KEKACAUAN KONSEPTUALNYA


                                                                          foto asli
Agak sulit untuk menelusuri asal muasal istilah pos-Islamisme menjadi populer saat ini. Istilah inilah yang kemudian dinisbatkan kepada kelompok Islam yang berpartisipasi aktif dalam demokrasi liberal hari ini. Penamaan yang tampak memudahkan bagi para penyimak sepak terjang gerakan politik Islam di dunia kontemporer. Namun, agaknya istilah ini mulai perlu dipertanyakan terkait definisi praktis dan konseptualnya di tengah-tengah umat Islam sendiri.

Konteks Hamas dan Hizbullah
            Sebelum beredar istilah pos-Islamisme, Joseph Alagha pernah memunculkan istilah pergeseran ideologi (shifting ideology) untuk membahas perubahan gaya perjuangan Hizbullah di Lebanon. Digambarkan dalam disertasinya tersebut bahwa Hizbullah mengubah strategi perjuangannya ke arah yang lebih moderat ketika memutuskan untuk berkiprah dalam ruang demokrasi. Faksi militer Hizbullah (bersenjata) tetap dipertahankan sambil mencoba mendapatkan simpati publik melalui kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Hasilnya, Hizbullah tetap menjadi kelompok terbesar dan mendominasi kemenangan dalam pemilihan umum.
            Hal yang serupa meski tidak sama juga terjadi pada Hamas di Palestina. Hamas yang pada mulanya hanyalah organisasi sosial religius berubah menjadi partai politik pasca pecahnya PLO. Hamas harus menghadapi kenyataan bahwa Palestina terdiri dari banyak faksi di luar Islam yang meski sama-sama menolak okupasi Israel tapi masing-masing memiliki corak gerakan yang berbeda-beda. Setelah bubarnya PLO, Hamas harus berhadapan dengan Israel melalui kontak senjata langsung. Hamas pun kemudian tumbuh sebagai organisasi perlawanan yang paling menjadi momok bagi pemerintahan Israel. Di dalam negeri, Hamas tetap berusaha mendapatkan dukungan populer melalui serangkaian aksi sosial yang berujung pada kemenangan mereka di Pemilu Palestina tahun 2006. Sayangnya, kemenangan tersebut memicu reaksi keras dari Israel yang didukung Amerika Serikat yang kemudian memblokade total Gaza sampai hari ini.
            Kasus Hamas dan Hizbullah mendapatkan catatan khusus bagi peneliti seperti Greg Fealy dan Mark Buballo. Bagi kedua peneliti ini, Hamas dan Hizbullah adalah pengecualian dalam diskusi pos-Islamisme. Keduanya dianggap masih memiliki faksi bersenjata di luar aparat militer resmi negara sehingga sulit untuk dianggap konsisten terhadap nilai-nilai demokrasi. Meskipun catatan sejarah membuktikan bahwa Hamas dan Hizbullah mempertahankan faksi bersenjata mereka untuk tujuan politik eksternal (menghadapi Israel), tapi seringkali mereka juga menggunakannya dalam konteks politik domestik (menghadapi lawan-lawan politik di dalam negeri). Terlepas dari keragu-raguan para pemikir seperti Fealy dan Buballo, saya berpendapat bahwa faksi militer dalam tubuh Hamas ataupun Hizbullah adalah representasi kepentingan nasional masing-masing negara. Mereka hadir di kala aparatur pertahanan negara tidak mumpuni dalam memberikan perlindungan terhadap ancaman Israel. Akan tetapi Itulah sebabnya, Hamas dan Hizbullah tidak ditempatkan dalam kelompok pos-Islamisme seperti halnya AKP di Turki atau Ikhwanul Muslimin di Mesir oleh para sarjana Barat.

Evaluasi Kegagalan Politik Islam
            Istilah pos-Islamisme ini tampil layaknya bentuk afirmasi terhadap kebenaran tesis Olivier Roy tentang kegagalan politik Islam. Dalam buku yang sangat populer yang pernah ia tulis, Roy menamakan kelompok Islam yang berpolitik melalui jalur demokrasi sebagai kelompok Islamis. Disimpulkan juga dalam tesisnya tersebut bahwa kelompok-kelompok Islamis ini gagal meraih “tujuan” mereka dalam politik karena represi dari rezim ataupun lawan politik yang cenderung phobia terhadap Islam. Kecurigaan lawan politik kelompok Islam terhadap agenda Islamisasi partai-partai politik Islam menjadi semacam pola untuk menyimpulkan kegagalan agenda politik Islam di ruang demokrasi. Logikanya, jika acuan istilah pos-Islamisme adalah kelompok Islamis yang muncul setelah kegagalan versi Roy, hal itu sama artinya dengan menamakan mereka seperti “bukan Islam lagi”. Dengan kata lain, pos-Islamisme sebetulnya merepresentasikan fenomena perubahan mendasar faksi Islam dalam politik yang meninggalkan jubah keislaman mereka. Tesis Roy ini kemudian diperbaharui dengan bahasa yang lebih absurd sepuluh tahun kemudian, yaitu dengan istilah Islam yang terglobalisasi (globalized Islam).[i]
            Secara garis besar, Olivier Roy menyebut kegagalan faksi Islam dalam ruang demokrasi disebabkan oleh narasi besar mereka terhadap Islamisasi negara. Sebuah ide dan cita-cita utopis yang menantang langsung penerimaan publik yang plural dan pragmatis. Pada akhirnya, diskursus ini akan diakhiri dengan kekalahan kelompok Islamis dalam pemilu ataupun kudeta pasca kemenangan. Roy bahkan memulai bab dalam bukunya itu dari kehancuran FIS di Aljazair saat sudah berhasil meraih kemenangan dalam Pemilu. Dari titik itulah kemudian muncul kelompok pembaharu/reformis di tiap-tiap gerakan yang mengupayakan perubahan mendasar terkait pendekatan dan gaya berpolitik faksi Islam. Kelompok pembaharu inilah yang di kemudian hari disebut dengan kelompok pos-Islamisme.
            Adalah Asef Bayat, sarjana Iran yang kemudian menerbitkan artikel di Jurnal Foreign Affairs dengan istilah pos-Islamisme untuk mendefinisikan kelompok Islam yang “kembali” mencoba peruntungan mereka dalam demokrasi. Kelompok Islam yang ditenggarai kali ini dengan wajah yang jauh lebih pragmatis, inklusif, dan minus narasi-narasi besar negara Islam ataupun syariat. Bayat bahkan berani menyebut bahwa fenomena Arab Spring belakangan ini sebagai revolusi pos-Islamisme.[ii] Hal tersebut dibuktikan melalui narasi dominan yang muncul pada gelombang demonstrasi di banyak negara yang tidak berbicara lagi tentang pendirian negara Islam. Diksi utama agenda revolusi yang paling sering muncul, selain menumbangkan rezim adalah demokratisasi, kebebasan pers, dan pemenuhan hak-hak sipil warga negara. Bayat sendiri mengakui bahwa istilah pos-Islamisme yang ia gunakan pertama kali justru merujuk pada generasi Islam politik di Iran pasca kematian Ayatullah Khomeini. [iii]

Pos-Islamisme dan Kekacauan Terminologis
            Jika diskursus istilah ini ditarik ke ruang filsafat, maka kita akan langsung menjumpai istilah yang mirip dengannya, yaitu pos-modernisme. Kerumitan konseptual yang menyertai kemunculan istilah pos-modernisme, sama persis dengan yang terjadi pada istilah pos-Islamisme. Namun, hari ini para pengkaji cultural studies sudah mulai percaya diri untuk menempatkan istilah pos-modernisme sebagai acuan ciri zaman baru yang berbeda sama sekali dengan era modern. Ciri-ciri yang antara lain adalah adanya hiper-realitas, hiper-modernitas, paradoks, dan segala hal yang terkait dengan kematian makna (narasi besar). Sebagian buku-buku tentang pos-modernisme sering mengaitkan kemunculan fenomena ini dengan perkembangan kapitalisme liberal dalam budaya global. Kapitalisme yang telah sampai pada titik yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh Karl Marx sekalipun. Kapitalisme yang tampaknya betul-betul akan mengakhiri sejarah peradaban di muka bumi (the end of history) seperti yang pernah dikicaukan Francis Fukuyama.
            Jika pola penamaan pos-Islamisme ternyata sama dengan pos-modernisme, maka akan muncul distraksi hebat di tengah-tengah umat Islam. Sebagian aktivis politik Islam yang hari ini disebut dalam kelompok pos-Islamisme sesungguhnya masih menggunakan narasi-narasi religius dalam aktivitas internal mereka. Sebagai contoh di Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dikategorikan serumpun dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan AKP di Turki masih sangat akrab dengan jargon-jargon religius dan tampilan saleh para politisi mereka. Usaha partai ini untuk tampil lebih “demokrat” dimulai sebelum pemilu tahun 2009. Dalam Mukernas yang diselenggarakan di Bali tahun 2008, PKS mendeklarasikan diri mereka sebagai partai terbuka. Titik inilah yang kemudian ditandai sebagai awal perubahan mendasar pada strategi politik PKS yang mencoba untuk bergerak ke “tengah” dan lebih inklusif.
Jelas istilah pos-Islamisme masih sangat terbuka terhadap tafsir dan belum pantas untuk dibakukan sebagai terminologi ilmiah di dunia akademis.  Alasannya sederhana saja, jika pos-Islamisme diartikan sebagai gejala lepasnya nilai-nilai Islam secara substansial pada tubuh gerakan Islam, maka hal tersebut tentu sulit diterima umat Islam, khususnya para pelaku politik Islam itu sendiri. Meski demikian, hal seperti itu tentu saja diharapkan sepenuhnya oleh kelompok liberal Islam seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia. Ulil Abshar dalam artikelnya di laman web JIL menyebut bahwa pos-Islamisme adalah angin segar bagi cita-cita demokrasi di setiap negara berpenduduk mayoritas muslim.[iv]  Ulil tentu saja mendasari argumennya pada harapan bahwa pelaku politik Islam di Indonesia mampu memoderasi sepenuhnya gerakan mereka, meninggalkan formalitas syariah dan konsisten terhadap hal tersebut ketika berkuasa.
Selama ini, banyak sarjana Barat yang meragukan komitmen kelompok Islam dalam berdemokrasi. Mereka berpikir bahwa demokrasi hanya akan dijadikan alat bagi kelompok Islam untuk berkuasa dan memuluskan tujuan-tujuan politik Islam mereka. Pada titik itulah, Ulil menyebut angin segar apabila kelompok Islam politik ini mampu berkomitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Jika substansi keislaman dalam tubuh faksi politik Islam yang tumbuh besar karena spirit religius dilenyapkan, maka hal itu adalah sebuah aksi bunuh diri bagi gerakan Islam itu sendiri. Sampai hari ini, pola perekrutan dan kaderisasi partai politik Islam masih sangat mengandalkan narasi-narasi Islamis dan bukan ide-ide sekuler. Narasi-narasi Islamis tetap diberikan sebagai pondasi awal meski pada akhirnya ide-ide sekuler tetap dipelajari sebagai refleksi terhadap realitas politik.
Namun, jika pos-Islamisme diartikan sebagai pergeseran strategi dari pelaku politik Islam untuk meminimalkan narasi Islam tanpa meninggalkan nilai-nilai prinsip dan fundamental, maka hal tersebut bisa diterima. Hal ini seperti yang disimpulkan oleh Greg Fealy dalam melihat fenomena AKP di Turki. Fealy menyebut AKP sebagai gerakan Islam tanpa kosa kata Islam. Sebagai contoh nyata adalah usaha pemerintah Turki untuk mencabut larangan berjilbab di Universitas yang telah bertahun-tahun dibakukan oleh rezim ultra-sekuler. Alih-alih menggunakan dalil keagamaan tentang hijab, AKP dan Erdogan justru menggunakan narasi perlindungan terhadap hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Cara-cara seperti ini mengundang reaksi positif dari komunitas internasional terkait pembelaan terhadap hak asasi manusia. Begitu pula ketika AKP berbicara tentang penolakan sistem riba. Mereka tidak menggunakan dalil tentang haramnya riba, melainkan narasi bahwa riba akan menyengsarakan rakyat miskin. Model seperti ini adalah strategi baru memperjuangkan substansi nilai Islam dalam ranah formal kenegaraan. Kesuksesan AKP pada tiga periode pemilu di Turki menjadi bukti sekaligus catatan penting bagi seluruh pelaku politik Islam. Partai ini dengan segera menjadi patron keberhasilan politik Islam dalam konteks demokrasi liberal.
Saya pribadi lebih suka menggunakan istilah neo-Islamisme ketimbang pos-Islamisme. Dalam ranah akademis, partikel “neo” biasa disematkan pada ideologi yang mengalami pembaharuan tanpa menghilangkan identitas asalnya. Misal, istilah neo-konservatif yang pernah dinisbatkan pada rezim Partai Republik di Amerika Serikat pada masa George W. Bush. Istilah itu digunakan untuk mengidentifikasi gaya politik luar negeri rezim George W. Bush yang kerap membawa narasi “perang salib” untuk mendukung kebijakan perang kontemporernya di Timur Tengah. Ada banyak lagi contoh penerapan partikel “neo” seperti istilah neo-kolonialisme, neo-fundamentalisme, neo-liberalisme, dan lain-lain. Semua penerapan partikel “neo” tadi tidak menghilangkan identitas asal dari ideologi yang diperbaharui istilahnya tersebut. Partikel neo lebih memberi penekanan pada konteks kekinian sebuah ide atau nilai tadi dimunculkan.
Melihat perbendaharaan istilah yang sudah ada, tampaknya sebutan neo-Islamisme jauh lebih tepat digunakan pada kelompok aktivis Islam politik yang mengambil jalur demokrasi sebagai medium perjuangan. Istilah ini tidak akan memberi kesan heretik pada pelaku-pelaku politik Islam itu sendiri karena identitas Islam dalam diri mereka tidak dilenyapkan secara etimologis. Ditambah lagi, ruang improvisasi (ijtihad) dalam politik Islam sendiri masih terbuka lebar. Bandingkan dengan istilah pos-Islamisme yang seolah memberi kesan suatu zaman ditinggalkannya nilai Islam (post-pasca-setelah) oleh para pelaku politiknya. Dengan demikian, diskursus mengenai pos-Islamisme tidak perlu dibakukan sebagai istilah akademis yang saya rasa justru kontra-produktif bagi perjuangan politik Islam itu sendiri. Artikel ini sejatinya hanya sebuah usaha untuk meluruskan pemahaman yang sebenarnya juga belum final. Untuk itulah, segala bentuk transformasi dan perubahan yang terjadi pada elemen Islam dalam demokrasi tentunya merupakan revisi konstruktif bagi tulisan ini.



[i]   Dalam buku lanjutannya, Olivier Roy justru lebih mengangkat aspek kultural kelas menengah muslim yang mendominasi dinamika negara-negara Islam. Dikatakan oleh Roy, bahwa kelas menengah muslim inilah yang berperan aktif dalam perubahan gaya dan pemahaman kelompok Islamis terhadap demokrasi yang merupakan nilai Barat. Bahkan, di beberapa negara Barat, kelompok muslim ini tampil semakin moderat dan cair dengan kebudayaan lain tanpa meninggalkan identitas agama mereka.

Friday 17 January 2014

MARI LURUSKAN CARA PANDANG: KRITIK ISI BUKU "JALUR GAZA" KARANGAN TRIAS KUNCAHYONO





Sebagai wartawan senior Kompas yang memiliki minat kuat dalam kajian konflik Timur Tengah, nama Trias Kuncahyono tidak bisa dipandang sebelah mata. Analisis yang dilakukan dan ditulis secara reportatif terkait konflik Timur Tengah adalah keunggulan yang dimiliki Pak Trias jika dibandingkan dengan penulis/pengamat Timur Tengah lainnya di Indonesia. Dengan kata lain, buku-buku yang ditulis oleh Trias Kuncahyono adalah alternatif yang baik di tengah minimnya literatur konflik Timur Tengah dalam Bahasa Indonesia. Setidaknya hal itu juga dikatakan oleh Anies Baswedan sebagai testimoni untuk buku ini.

Namun, ada beberapa hal yang menjadi catatan saya mengenai buku Pak Trias kali ini. Dalam kasus okupasi Jalur Gaza oleh Israel terhadap Palestina akhir tahun 2008, Pak Trias tampak ingin menyudutkan Hamas. Berkali-kali dalam buku ini ditulis bahwa inisiatif serangan dimulai oleh kubu Hamas melalui serangkaian peluncuran roket yang kemudian dibalas secara tidak adil oleh Israel. Secara alamiah, pembaca akan mengasumsikan bahwa segala macam penderitaan yang dialami oleh rakyat Gaza bersumber dari tindakan-tindakan Hamas. Pembaca akan berpikir demikian karena mau tidak mau, ketika seorang pembaca diperlihatkan sebuah tragedi kemanusiaan dalam bentuk kejahatan perang, salah satu cara untuk memikirkan solusinya adalah melihat kembali proses awal mula terjadinya konflik tersebut.  Dengan demikian, pembaca akan mulai tergiring untuk menyimpulkan bahwa semua penderitaan dimulai dari serangan roket Hamas ke wilayah Israel. Secara implisit, Pak Trias menggiring pembaca untuk menyepakati satu hal bahwa untuk mencegah terjadinya peperangan, maka hal-hal yang memicu terjadinya perang harus ditiadakan. Dengan kata lain, kampanye perdamaian yang disampaikan oleh Pak Trias (seolah) akan terwujud jika Hamas berhenti menyerang Israel dan melucuti persenjataan mereka.

Sebagai contoh, dalam buku ini, Pak Trias membahas kebrutalan Israel yang dikaitkan dengan hukum internasional. Menurut hukum internasional, sebuah serangan militer harus memiliki dua syarat yaitu; 1. alasan yang membenarkan (jus ad bellum), 2. Tata cara pelaksanaan serangan (jus in bello). Penekanan Pak Trias adalah bahwa Israel menyalahi syarat yang kedua yaitu tata cara pelaksanaannya. Hal itu karena Israel menyasar target sipil yang secara tegas dilindungi berdasarkan Konvensi Genewa.[i] Kebetulan, penderitaan masyarakat sipil ini juga yang mendapatkan porsi tulisan hampir di seluruh isi buku. Sedangkan syarat pertama dianggap tidak ada masalah. Secara halus, Pak Trias ingin menyatakan kalau syarat yang pertama sudah terpenuhi oleh Israel. Syarat itu adalah alasan yang membenarkan serangan militer. Dan alasan yang membenarkan tersebut adalah serangan roket-roket Hamas.

Berikutnya, Pak Trias secara tidak langsung melabeli Hamas sebagai organisasi radikal, kalau tidak mau dikatakan teroris. Hal tersebut terlihat dari pemilihan kutipan referensi yang digunakan yang memang secara tegas mengatakan kalau Hamas adalah organisasi yang anti damai serta bernuansa kekerasan.[ii]  Pak Trias mungkin lupa, kalau dukungan masyarakat Palestina terhadap Hamas yang berujung pada kemenangan pemilu Januari 2006 berakar pada kerja-kerja sosial yang nyata serta komitmen perjuangan kemerdekaan yang selalu dilakukan Hamas di tengah masyarakat.

Hal tersebut merupakan cara penggiringan opini yang kurang bijak dalam mencerdaskan pembaca (awam) yang saat ini memiliki animo luar biasa terkait tragedi kemanusiaan di Timur Tengah,  khususnya Palestina. Seharusnya, Pak Trias juga menyampaikan butir-butir Protokol Zion yang dirumuskan oleh Theodor Herzl dan rekan-rekannya terkait cita-cita eksistensi bangsa Yahudi. Dinamika konferensi Zionis internasional yang berujung pada pemilihan Palestina sebagai tempat gerakan pulang kampung Yahudi sedunia memang sangat penting. Namun, menampilkan butir-butir protokol Zion yang dihasilkan dari konferensi tersebut juga tidak kalah penting. Saya tidak percaya apabila orang sekaliber Pak Trias tidak pernah membaca protokol tersebut. Tapi saya juga tidak ingin menganggap Pak Trias dengan sengaja (seperti) menyembunyikan isi protokol Zion yang intinya menegaskan bahwa Bangsa Yahudi adalah serigala di antara manusia lain yang hanya domba. Konon, sejak membaca protokol ini, Adolf Hitler mulai melakukan program pembasmian orang-orang Yahudi saat Nazi berkuasa di sebagian wilayah Eropa.[iii]

Terkait serangan yang dilakukan Hamas terhadap Israel, sepertinya Pak Trias perlu memperkaya literaturnya dengan ulasan-ulasan Sigmund Freud atau Edward Said. Freud misalnya, dalam karya terakhirnya yang berjudul “Moses and Monotheism” menyiratkan bahwa entitas yang bernama Yahudi adalah sebuah nama yang tidak memiliki akar identitas sama sekali. Bahwa Musa yang dijadikan bapak oleh kaum Yahudi bukanlah orang Yahudi, melainkan orang Mesir. Dan ajaran monoteisme (satuTuhan) dipelajari orang Yahudi dari agama Firaun di Mesir. Artinya, jika hari ini Zionisme membela mati-matian eksistensi Israel demi identitas ke-Yahudi-an mereka, maka hal tersebut adalah sesuatu yang delusional.[iv]

Edward Said juga memberi pendapat terkait serangan yang dilakukan Hamas atas nama Palestina. Menurut Said, serangan-serangan roket tersebut tidak bertujuan untuk mengalahkan Israel karena memang hal tersebut secara teknis mustahil. Sebaliknya, serangan tersebut justru bertujuan untuk menjaga kewarasan warga Palestina terhadap pembersihan etnis yang dilakukan Israel. Dengan serangan-serangan tersebut, Hamas ingin menunjukkan kepada Israel dan masyarakat dunia bahwa Palestina masih ada sekalipun Israel berusaha keras untuk melenyapkan mereka.[v] Serangan militer yang dilancarkan Israel serta blokade telah membuat warga Palestina begitu menderita dan merasa tidak lagi eksis di dunia. Semua tindakan ofensif yang dilakukan pihak Palestina termasuk bom bunuh diri merupakan upaya untuk memantulkan kembali kekejaman yang dilakukan Israel terhadap mereka. Itulah cara satu-satunya bagi masyarakat Palestina untuk mendapatkan atensi dari dunia luar, termasuk kita di Indonesia.

Kesimpulannya, meskipun cara penulisan buku ini tidak seperti buku teks atau laporan penelitian ilmiah, namun buku ini sama sekali bukan bacaan untuk para pemula studi Timur Tengah. Saya rasa buku ini tidak layak dibaca oleh para pembaca awam. Sebaliknya, buku ini akan sangat bermanfaat bagi pembaca yang sudah memiliki basis pemahaman yang cukup baik terkait studi Timur Tengah. Data dan informasi yang disampaikan dalam buku ini cukup valid dan tidak dimanupulasi. Yang menjadi masalah adalah penggiringan opini melalui data-data yang tidak berimbang yang dalam kasus Gaza terlalu menyudutkan Hamas sebagai biang kerok konflik yang terjadi. Kapasitas Trias Kuncahyono sebagai wartawan senior seharusnya bisa menampilkan gaya tulisan yang “cover both sides” sebagai salah satu pakem dunia jurnalistik. Mengutip kekhawatiran Christopher Bollas, cara berpikir Trias Kuncahyono ini sepertinya bisa melengkapi genosida etnis yang dilakukan Israel, yaitu genosida intelektual seperti yang sudah banyak tampil dalam narasi Barat tentang Palestina.[vi]

Serangan roket-roket Hamas seharusnya bisa dilihat dari perspektif yang berbeda jika penggalian literatur kita diperluas. Sebagai contoh, beberapa penulis mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Hamas adalah bentuk perlawanan yang sah, bahkan merupakan hak mempertahankan diri. Hal ini sudah ditegaskan oleh banyak pihak bahwa Palestina berhak “membela dirinya” sendiri.[vii] Bahkan, hal tersebut juga diatur dan disahkan dalam Konvensi Genewa yang sayangnya tidak disinggung sama sekali oleh Pak Trias. 

Hal terakhir yang membuat saya sangat kecewa dengan pemaparan Pak Trias adalah tulisan mengenai kiprah Salahuddin al Ayyubi di Gaza. Secara tidak berimbang, Pak Trias menggiring opini pembaca untuk menyepakati bahwa Salahuddin adalah seorang pengacau yang menghancurkan Gaza tatkala Ksatria Templar mempertahankan kota itu mati-matian. Sebaliknya, Richard si “Hati Singa” justru digambarkan sebagai pemimpin yang membangun Gaza kembali dari kehancurannya akibat ulah Salahuddin.[viii] Hal ini tentu sangat berlawanan dengan literatur Perang Salib pada umumnya yang mengatakan bahwa Salahuddin berperang secara hebat dan penuh kehormatan. Di antara kronik Perang Salib antara Salahuddin dan Richard yang paling terkenal adalah peristiwa pembantaian di Acra. Atas perintah raja Richard, pasukan Salib memenggal 2.500 umat Islam di Acra yang menjadi tawanan mereka saat perang.[ix] Dari kebiadaban yang dilakukan Richard, hal ini menjadi pembeda yang jelas antara siapa Salahuddin dan siapa Richard. Sayangnya, fakta sejarah mengenai pembantaian Acra tidak dibahas sama sekali. Yang ada justru invasi pasukan Napoleon ke Acra yang menjadi ibukota Palestina saat itu.

Salah seorang dosen saya dulu pernah mengatakan kalau Israel tidak mengenal teori diplomasi apapun. Satu-satunya alat diplomasi bagi Israel adalah senjata. Jadi, adalah hal yang percuma mengampanyekan perdamaian kepada pihak yang menganggap diri mereka sebagai serigala bagi pihak lain yang dianggap domba. Dalam setiap konflik di Palestina, Israel harus diberikan lampu sorot sebagai bintang utama kekerasan, dan bukan disodorkan (secara naïf) solusi dua negara berdaulat yang mulai terdengar utopis.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip sebagian lirik lagu dari seorang musisi beraliran rock dari Amerika Serikat keturunan Armenia yang juga aktivis anti-perang bernama Serj Tankian. Dalam lagu berjudul “Occupied Tears”, Serj mengatakan;

                                Holocaust, you taste the great fears
                                How can you just occupy another child`s tear
                                Don’t you all know?
                                Don’t you all care?
                                Don’t you all see how this is not fair
               


[i]  Trias Kuncahyono, Jalur Gaza: Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis, Jakarta: Kompas, 2009, hal. 248
[ii]  Ibid, hal. 259
[iii]  Pembasmian Yahudi yang sering disebut holocaust terjadi secara sistematis pada era fasisme Nazi di Eropa. Meskipun angka jumlah korban masih diperdebatkan, namun fakta-fakta sejarah membuktikan genosida ini pernah terjadi saat perang dunia kedua.
[iv]  Sigmund Freud sendiri adalah seorang Yahudi yang berasal dari Austria. Dia ikut menjadi korban gejala anti-Semit (anti Yahudi) yang menyebar di Eropa dan membuatnya harus mengungsi ke Inggris sampai akhir hidupnya. Lihat, Sigmund Freud, Moses and Monotheism, terj; Katherine Jones, New York: Vintage, 1967.
[v]  Edward Said, Bukan Eropa: Freud dan Politik Identitas di Timur Tengah, Tangerang: Marjin Kiri, 2005, hal. 5
[vi]  Lihat, Christopher Bollas, Being a Character, London: Routledge, 1992, hal. 207
[vii]  Lihat, Muhsin Labib dan Irman Abdurrahman, Gelegar Gaza: Denyut Perlawanan Palestina, Jakarta: Zahra, 2009.
[viii]   Op.Cit, Trias Kuncahyono, hal. 124 – 125
[ix]  Dalam film Robin Hood (2010) karya sutradara Ridley Scott, kisah pembantaian di Acre ini juga menjadi salah satu sudut pandang penting di alur awal cerita. Dikisahkan dalam film ini bahwa Robin Loxley, sebelum menjadi Robin Hood merupakan tentara dalam perang Salib. Ketika ia menyaksikan pembantaian umat Islam di Acra, ia kehilangan rasa hormatnya pada Raja Inggris. Saat itulah, ia merasa perang yang dijalani olehnya bukan atas nama Tuhan lagi. Bahkan, ia merasa saat pedang Pasukan Salib menebas leher ribuan umat Islam yang tidak berdaya itu, saat itulah mereka kalah dan sudah tidak ber-Tuhan lagi.