Friday 17 January 2014

MARI LURUSKAN CARA PANDANG: KRITIK ISI BUKU "JALUR GAZA" KARANGAN TRIAS KUNCAHYONO





Sebagai wartawan senior Kompas yang memiliki minat kuat dalam kajian konflik Timur Tengah, nama Trias Kuncahyono tidak bisa dipandang sebelah mata. Analisis yang dilakukan dan ditulis secara reportatif terkait konflik Timur Tengah adalah keunggulan yang dimiliki Pak Trias jika dibandingkan dengan penulis/pengamat Timur Tengah lainnya di Indonesia. Dengan kata lain, buku-buku yang ditulis oleh Trias Kuncahyono adalah alternatif yang baik di tengah minimnya literatur konflik Timur Tengah dalam Bahasa Indonesia. Setidaknya hal itu juga dikatakan oleh Anies Baswedan sebagai testimoni untuk buku ini.

Namun, ada beberapa hal yang menjadi catatan saya mengenai buku Pak Trias kali ini. Dalam kasus okupasi Jalur Gaza oleh Israel terhadap Palestina akhir tahun 2008, Pak Trias tampak ingin menyudutkan Hamas. Berkali-kali dalam buku ini ditulis bahwa inisiatif serangan dimulai oleh kubu Hamas melalui serangkaian peluncuran roket yang kemudian dibalas secara tidak adil oleh Israel. Secara alamiah, pembaca akan mengasumsikan bahwa segala macam penderitaan yang dialami oleh rakyat Gaza bersumber dari tindakan-tindakan Hamas. Pembaca akan berpikir demikian karena mau tidak mau, ketika seorang pembaca diperlihatkan sebuah tragedi kemanusiaan dalam bentuk kejahatan perang, salah satu cara untuk memikirkan solusinya adalah melihat kembali proses awal mula terjadinya konflik tersebut.  Dengan demikian, pembaca akan mulai tergiring untuk menyimpulkan bahwa semua penderitaan dimulai dari serangan roket Hamas ke wilayah Israel. Secara implisit, Pak Trias menggiring pembaca untuk menyepakati satu hal bahwa untuk mencegah terjadinya peperangan, maka hal-hal yang memicu terjadinya perang harus ditiadakan. Dengan kata lain, kampanye perdamaian yang disampaikan oleh Pak Trias (seolah) akan terwujud jika Hamas berhenti menyerang Israel dan melucuti persenjataan mereka.

Sebagai contoh, dalam buku ini, Pak Trias membahas kebrutalan Israel yang dikaitkan dengan hukum internasional. Menurut hukum internasional, sebuah serangan militer harus memiliki dua syarat yaitu; 1. alasan yang membenarkan (jus ad bellum), 2. Tata cara pelaksanaan serangan (jus in bello). Penekanan Pak Trias adalah bahwa Israel menyalahi syarat yang kedua yaitu tata cara pelaksanaannya. Hal itu karena Israel menyasar target sipil yang secara tegas dilindungi berdasarkan Konvensi Genewa.[i] Kebetulan, penderitaan masyarakat sipil ini juga yang mendapatkan porsi tulisan hampir di seluruh isi buku. Sedangkan syarat pertama dianggap tidak ada masalah. Secara halus, Pak Trias ingin menyatakan kalau syarat yang pertama sudah terpenuhi oleh Israel. Syarat itu adalah alasan yang membenarkan serangan militer. Dan alasan yang membenarkan tersebut adalah serangan roket-roket Hamas.

Berikutnya, Pak Trias secara tidak langsung melabeli Hamas sebagai organisasi radikal, kalau tidak mau dikatakan teroris. Hal tersebut terlihat dari pemilihan kutipan referensi yang digunakan yang memang secara tegas mengatakan kalau Hamas adalah organisasi yang anti damai serta bernuansa kekerasan.[ii]  Pak Trias mungkin lupa, kalau dukungan masyarakat Palestina terhadap Hamas yang berujung pada kemenangan pemilu Januari 2006 berakar pada kerja-kerja sosial yang nyata serta komitmen perjuangan kemerdekaan yang selalu dilakukan Hamas di tengah masyarakat.

Hal tersebut merupakan cara penggiringan opini yang kurang bijak dalam mencerdaskan pembaca (awam) yang saat ini memiliki animo luar biasa terkait tragedi kemanusiaan di Timur Tengah,  khususnya Palestina. Seharusnya, Pak Trias juga menyampaikan butir-butir Protokol Zion yang dirumuskan oleh Theodor Herzl dan rekan-rekannya terkait cita-cita eksistensi bangsa Yahudi. Dinamika konferensi Zionis internasional yang berujung pada pemilihan Palestina sebagai tempat gerakan pulang kampung Yahudi sedunia memang sangat penting. Namun, menampilkan butir-butir protokol Zion yang dihasilkan dari konferensi tersebut juga tidak kalah penting. Saya tidak percaya apabila orang sekaliber Pak Trias tidak pernah membaca protokol tersebut. Tapi saya juga tidak ingin menganggap Pak Trias dengan sengaja (seperti) menyembunyikan isi protokol Zion yang intinya menegaskan bahwa Bangsa Yahudi adalah serigala di antara manusia lain yang hanya domba. Konon, sejak membaca protokol ini, Adolf Hitler mulai melakukan program pembasmian orang-orang Yahudi saat Nazi berkuasa di sebagian wilayah Eropa.[iii]

Terkait serangan yang dilakukan Hamas terhadap Israel, sepertinya Pak Trias perlu memperkaya literaturnya dengan ulasan-ulasan Sigmund Freud atau Edward Said. Freud misalnya, dalam karya terakhirnya yang berjudul “Moses and Monotheism” menyiratkan bahwa entitas yang bernama Yahudi adalah sebuah nama yang tidak memiliki akar identitas sama sekali. Bahwa Musa yang dijadikan bapak oleh kaum Yahudi bukanlah orang Yahudi, melainkan orang Mesir. Dan ajaran monoteisme (satuTuhan) dipelajari orang Yahudi dari agama Firaun di Mesir. Artinya, jika hari ini Zionisme membela mati-matian eksistensi Israel demi identitas ke-Yahudi-an mereka, maka hal tersebut adalah sesuatu yang delusional.[iv]

Edward Said juga memberi pendapat terkait serangan yang dilakukan Hamas atas nama Palestina. Menurut Said, serangan-serangan roket tersebut tidak bertujuan untuk mengalahkan Israel karena memang hal tersebut secara teknis mustahil. Sebaliknya, serangan tersebut justru bertujuan untuk menjaga kewarasan warga Palestina terhadap pembersihan etnis yang dilakukan Israel. Dengan serangan-serangan tersebut, Hamas ingin menunjukkan kepada Israel dan masyarakat dunia bahwa Palestina masih ada sekalipun Israel berusaha keras untuk melenyapkan mereka.[v] Serangan militer yang dilancarkan Israel serta blokade telah membuat warga Palestina begitu menderita dan merasa tidak lagi eksis di dunia. Semua tindakan ofensif yang dilakukan pihak Palestina termasuk bom bunuh diri merupakan upaya untuk memantulkan kembali kekejaman yang dilakukan Israel terhadap mereka. Itulah cara satu-satunya bagi masyarakat Palestina untuk mendapatkan atensi dari dunia luar, termasuk kita di Indonesia.

Kesimpulannya, meskipun cara penulisan buku ini tidak seperti buku teks atau laporan penelitian ilmiah, namun buku ini sama sekali bukan bacaan untuk para pemula studi Timur Tengah. Saya rasa buku ini tidak layak dibaca oleh para pembaca awam. Sebaliknya, buku ini akan sangat bermanfaat bagi pembaca yang sudah memiliki basis pemahaman yang cukup baik terkait studi Timur Tengah. Data dan informasi yang disampaikan dalam buku ini cukup valid dan tidak dimanupulasi. Yang menjadi masalah adalah penggiringan opini melalui data-data yang tidak berimbang yang dalam kasus Gaza terlalu menyudutkan Hamas sebagai biang kerok konflik yang terjadi. Kapasitas Trias Kuncahyono sebagai wartawan senior seharusnya bisa menampilkan gaya tulisan yang “cover both sides” sebagai salah satu pakem dunia jurnalistik. Mengutip kekhawatiran Christopher Bollas, cara berpikir Trias Kuncahyono ini sepertinya bisa melengkapi genosida etnis yang dilakukan Israel, yaitu genosida intelektual seperti yang sudah banyak tampil dalam narasi Barat tentang Palestina.[vi]

Serangan roket-roket Hamas seharusnya bisa dilihat dari perspektif yang berbeda jika penggalian literatur kita diperluas. Sebagai contoh, beberapa penulis mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Hamas adalah bentuk perlawanan yang sah, bahkan merupakan hak mempertahankan diri. Hal ini sudah ditegaskan oleh banyak pihak bahwa Palestina berhak “membela dirinya” sendiri.[vii] Bahkan, hal tersebut juga diatur dan disahkan dalam Konvensi Genewa yang sayangnya tidak disinggung sama sekali oleh Pak Trias. 

Hal terakhir yang membuat saya sangat kecewa dengan pemaparan Pak Trias adalah tulisan mengenai kiprah Salahuddin al Ayyubi di Gaza. Secara tidak berimbang, Pak Trias menggiring opini pembaca untuk menyepakati bahwa Salahuddin adalah seorang pengacau yang menghancurkan Gaza tatkala Ksatria Templar mempertahankan kota itu mati-matian. Sebaliknya, Richard si “Hati Singa” justru digambarkan sebagai pemimpin yang membangun Gaza kembali dari kehancurannya akibat ulah Salahuddin.[viii] Hal ini tentu sangat berlawanan dengan literatur Perang Salib pada umumnya yang mengatakan bahwa Salahuddin berperang secara hebat dan penuh kehormatan. Di antara kronik Perang Salib antara Salahuddin dan Richard yang paling terkenal adalah peristiwa pembantaian di Acra. Atas perintah raja Richard, pasukan Salib memenggal 2.500 umat Islam di Acra yang menjadi tawanan mereka saat perang.[ix] Dari kebiadaban yang dilakukan Richard, hal ini menjadi pembeda yang jelas antara siapa Salahuddin dan siapa Richard. Sayangnya, fakta sejarah mengenai pembantaian Acra tidak dibahas sama sekali. Yang ada justru invasi pasukan Napoleon ke Acra yang menjadi ibukota Palestina saat itu.

Salah seorang dosen saya dulu pernah mengatakan kalau Israel tidak mengenal teori diplomasi apapun. Satu-satunya alat diplomasi bagi Israel adalah senjata. Jadi, adalah hal yang percuma mengampanyekan perdamaian kepada pihak yang menganggap diri mereka sebagai serigala bagi pihak lain yang dianggap domba. Dalam setiap konflik di Palestina, Israel harus diberikan lampu sorot sebagai bintang utama kekerasan, dan bukan disodorkan (secara naïf) solusi dua negara berdaulat yang mulai terdengar utopis.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip sebagian lirik lagu dari seorang musisi beraliran rock dari Amerika Serikat keturunan Armenia yang juga aktivis anti-perang bernama Serj Tankian. Dalam lagu berjudul “Occupied Tears”, Serj mengatakan;

                                Holocaust, you taste the great fears
                                How can you just occupy another child`s tear
                                Don’t you all know?
                                Don’t you all care?
                                Don’t you all see how this is not fair
               


[i]  Trias Kuncahyono, Jalur Gaza: Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis, Jakarta: Kompas, 2009, hal. 248
[ii]  Ibid, hal. 259
[iii]  Pembasmian Yahudi yang sering disebut holocaust terjadi secara sistematis pada era fasisme Nazi di Eropa. Meskipun angka jumlah korban masih diperdebatkan, namun fakta-fakta sejarah membuktikan genosida ini pernah terjadi saat perang dunia kedua.
[iv]  Sigmund Freud sendiri adalah seorang Yahudi yang berasal dari Austria. Dia ikut menjadi korban gejala anti-Semit (anti Yahudi) yang menyebar di Eropa dan membuatnya harus mengungsi ke Inggris sampai akhir hidupnya. Lihat, Sigmund Freud, Moses and Monotheism, terj; Katherine Jones, New York: Vintage, 1967.
[v]  Edward Said, Bukan Eropa: Freud dan Politik Identitas di Timur Tengah, Tangerang: Marjin Kiri, 2005, hal. 5
[vi]  Lihat, Christopher Bollas, Being a Character, London: Routledge, 1992, hal. 207
[vii]  Lihat, Muhsin Labib dan Irman Abdurrahman, Gelegar Gaza: Denyut Perlawanan Palestina, Jakarta: Zahra, 2009.
[viii]   Op.Cit, Trias Kuncahyono, hal. 124 – 125
[ix]  Dalam film Robin Hood (2010) karya sutradara Ridley Scott, kisah pembantaian di Acre ini juga menjadi salah satu sudut pandang penting di alur awal cerita. Dikisahkan dalam film ini bahwa Robin Loxley, sebelum menjadi Robin Hood merupakan tentara dalam perang Salib. Ketika ia menyaksikan pembantaian umat Islam di Acra, ia kehilangan rasa hormatnya pada Raja Inggris. Saat itulah, ia merasa perang yang dijalani olehnya bukan atas nama Tuhan lagi. Bahkan, ia merasa saat pedang Pasukan Salib menebas leher ribuan umat Islam yang tidak berdaya itu, saat itulah mereka kalah dan sudah tidak ber-Tuhan lagi.