Tuesday 30 September 2014

POS-ISLAMISME DAN KEKACAUAN KONSEPTUALNYA


                                                                          foto asli
Agak sulit untuk menelusuri asal muasal istilah pos-Islamisme menjadi populer saat ini. Istilah inilah yang kemudian dinisbatkan kepada kelompok Islam yang berpartisipasi aktif dalam demokrasi liberal hari ini. Penamaan yang tampak memudahkan bagi para penyimak sepak terjang gerakan politik Islam di dunia kontemporer. Namun, agaknya istilah ini mulai perlu dipertanyakan terkait definisi praktis dan konseptualnya di tengah-tengah umat Islam sendiri.

Konteks Hamas dan Hizbullah
            Sebelum beredar istilah pos-Islamisme, Joseph Alagha pernah memunculkan istilah pergeseran ideologi (shifting ideology) untuk membahas perubahan gaya perjuangan Hizbullah di Lebanon. Digambarkan dalam disertasinya tersebut bahwa Hizbullah mengubah strategi perjuangannya ke arah yang lebih moderat ketika memutuskan untuk berkiprah dalam ruang demokrasi. Faksi militer Hizbullah (bersenjata) tetap dipertahankan sambil mencoba mendapatkan simpati publik melalui kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Hasilnya, Hizbullah tetap menjadi kelompok terbesar dan mendominasi kemenangan dalam pemilihan umum.
            Hal yang serupa meski tidak sama juga terjadi pada Hamas di Palestina. Hamas yang pada mulanya hanyalah organisasi sosial religius berubah menjadi partai politik pasca pecahnya PLO. Hamas harus menghadapi kenyataan bahwa Palestina terdiri dari banyak faksi di luar Islam yang meski sama-sama menolak okupasi Israel tapi masing-masing memiliki corak gerakan yang berbeda-beda. Setelah bubarnya PLO, Hamas harus berhadapan dengan Israel melalui kontak senjata langsung. Hamas pun kemudian tumbuh sebagai organisasi perlawanan yang paling menjadi momok bagi pemerintahan Israel. Di dalam negeri, Hamas tetap berusaha mendapatkan dukungan populer melalui serangkaian aksi sosial yang berujung pada kemenangan mereka di Pemilu Palestina tahun 2006. Sayangnya, kemenangan tersebut memicu reaksi keras dari Israel yang didukung Amerika Serikat yang kemudian memblokade total Gaza sampai hari ini.
            Kasus Hamas dan Hizbullah mendapatkan catatan khusus bagi peneliti seperti Greg Fealy dan Mark Buballo. Bagi kedua peneliti ini, Hamas dan Hizbullah adalah pengecualian dalam diskusi pos-Islamisme. Keduanya dianggap masih memiliki faksi bersenjata di luar aparat militer resmi negara sehingga sulit untuk dianggap konsisten terhadap nilai-nilai demokrasi. Meskipun catatan sejarah membuktikan bahwa Hamas dan Hizbullah mempertahankan faksi bersenjata mereka untuk tujuan politik eksternal (menghadapi Israel), tapi seringkali mereka juga menggunakannya dalam konteks politik domestik (menghadapi lawan-lawan politik di dalam negeri). Terlepas dari keragu-raguan para pemikir seperti Fealy dan Buballo, saya berpendapat bahwa faksi militer dalam tubuh Hamas ataupun Hizbullah adalah representasi kepentingan nasional masing-masing negara. Mereka hadir di kala aparatur pertahanan negara tidak mumpuni dalam memberikan perlindungan terhadap ancaman Israel. Akan tetapi Itulah sebabnya, Hamas dan Hizbullah tidak ditempatkan dalam kelompok pos-Islamisme seperti halnya AKP di Turki atau Ikhwanul Muslimin di Mesir oleh para sarjana Barat.

Evaluasi Kegagalan Politik Islam
            Istilah pos-Islamisme ini tampil layaknya bentuk afirmasi terhadap kebenaran tesis Olivier Roy tentang kegagalan politik Islam. Dalam buku yang sangat populer yang pernah ia tulis, Roy menamakan kelompok Islam yang berpolitik melalui jalur demokrasi sebagai kelompok Islamis. Disimpulkan juga dalam tesisnya tersebut bahwa kelompok-kelompok Islamis ini gagal meraih “tujuan” mereka dalam politik karena represi dari rezim ataupun lawan politik yang cenderung phobia terhadap Islam. Kecurigaan lawan politik kelompok Islam terhadap agenda Islamisasi partai-partai politik Islam menjadi semacam pola untuk menyimpulkan kegagalan agenda politik Islam di ruang demokrasi. Logikanya, jika acuan istilah pos-Islamisme adalah kelompok Islamis yang muncul setelah kegagalan versi Roy, hal itu sama artinya dengan menamakan mereka seperti “bukan Islam lagi”. Dengan kata lain, pos-Islamisme sebetulnya merepresentasikan fenomena perubahan mendasar faksi Islam dalam politik yang meninggalkan jubah keislaman mereka. Tesis Roy ini kemudian diperbaharui dengan bahasa yang lebih absurd sepuluh tahun kemudian, yaitu dengan istilah Islam yang terglobalisasi (globalized Islam).[i]
            Secara garis besar, Olivier Roy menyebut kegagalan faksi Islam dalam ruang demokrasi disebabkan oleh narasi besar mereka terhadap Islamisasi negara. Sebuah ide dan cita-cita utopis yang menantang langsung penerimaan publik yang plural dan pragmatis. Pada akhirnya, diskursus ini akan diakhiri dengan kekalahan kelompok Islamis dalam pemilu ataupun kudeta pasca kemenangan. Roy bahkan memulai bab dalam bukunya itu dari kehancuran FIS di Aljazair saat sudah berhasil meraih kemenangan dalam Pemilu. Dari titik itulah kemudian muncul kelompok pembaharu/reformis di tiap-tiap gerakan yang mengupayakan perubahan mendasar terkait pendekatan dan gaya berpolitik faksi Islam. Kelompok pembaharu inilah yang di kemudian hari disebut dengan kelompok pos-Islamisme.
            Adalah Asef Bayat, sarjana Iran yang kemudian menerbitkan artikel di Jurnal Foreign Affairs dengan istilah pos-Islamisme untuk mendefinisikan kelompok Islam yang “kembali” mencoba peruntungan mereka dalam demokrasi. Kelompok Islam yang ditenggarai kali ini dengan wajah yang jauh lebih pragmatis, inklusif, dan minus narasi-narasi besar negara Islam ataupun syariat. Bayat bahkan berani menyebut bahwa fenomena Arab Spring belakangan ini sebagai revolusi pos-Islamisme.[ii] Hal tersebut dibuktikan melalui narasi dominan yang muncul pada gelombang demonstrasi di banyak negara yang tidak berbicara lagi tentang pendirian negara Islam. Diksi utama agenda revolusi yang paling sering muncul, selain menumbangkan rezim adalah demokratisasi, kebebasan pers, dan pemenuhan hak-hak sipil warga negara. Bayat sendiri mengakui bahwa istilah pos-Islamisme yang ia gunakan pertama kali justru merujuk pada generasi Islam politik di Iran pasca kematian Ayatullah Khomeini. [iii]

Pos-Islamisme dan Kekacauan Terminologis
            Jika diskursus istilah ini ditarik ke ruang filsafat, maka kita akan langsung menjumpai istilah yang mirip dengannya, yaitu pos-modernisme. Kerumitan konseptual yang menyertai kemunculan istilah pos-modernisme, sama persis dengan yang terjadi pada istilah pos-Islamisme. Namun, hari ini para pengkaji cultural studies sudah mulai percaya diri untuk menempatkan istilah pos-modernisme sebagai acuan ciri zaman baru yang berbeda sama sekali dengan era modern. Ciri-ciri yang antara lain adalah adanya hiper-realitas, hiper-modernitas, paradoks, dan segala hal yang terkait dengan kematian makna (narasi besar). Sebagian buku-buku tentang pos-modernisme sering mengaitkan kemunculan fenomena ini dengan perkembangan kapitalisme liberal dalam budaya global. Kapitalisme yang telah sampai pada titik yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh Karl Marx sekalipun. Kapitalisme yang tampaknya betul-betul akan mengakhiri sejarah peradaban di muka bumi (the end of history) seperti yang pernah dikicaukan Francis Fukuyama.
            Jika pola penamaan pos-Islamisme ternyata sama dengan pos-modernisme, maka akan muncul distraksi hebat di tengah-tengah umat Islam. Sebagian aktivis politik Islam yang hari ini disebut dalam kelompok pos-Islamisme sesungguhnya masih menggunakan narasi-narasi religius dalam aktivitas internal mereka. Sebagai contoh di Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dikategorikan serumpun dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan AKP di Turki masih sangat akrab dengan jargon-jargon religius dan tampilan saleh para politisi mereka. Usaha partai ini untuk tampil lebih “demokrat” dimulai sebelum pemilu tahun 2009. Dalam Mukernas yang diselenggarakan di Bali tahun 2008, PKS mendeklarasikan diri mereka sebagai partai terbuka. Titik inilah yang kemudian ditandai sebagai awal perubahan mendasar pada strategi politik PKS yang mencoba untuk bergerak ke “tengah” dan lebih inklusif.
Jelas istilah pos-Islamisme masih sangat terbuka terhadap tafsir dan belum pantas untuk dibakukan sebagai terminologi ilmiah di dunia akademis.  Alasannya sederhana saja, jika pos-Islamisme diartikan sebagai gejala lepasnya nilai-nilai Islam secara substansial pada tubuh gerakan Islam, maka hal tersebut tentu sulit diterima umat Islam, khususnya para pelaku politik Islam itu sendiri. Meski demikian, hal seperti itu tentu saja diharapkan sepenuhnya oleh kelompok liberal Islam seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia. Ulil Abshar dalam artikelnya di laman web JIL menyebut bahwa pos-Islamisme adalah angin segar bagi cita-cita demokrasi di setiap negara berpenduduk mayoritas muslim.[iv]  Ulil tentu saja mendasari argumennya pada harapan bahwa pelaku politik Islam di Indonesia mampu memoderasi sepenuhnya gerakan mereka, meninggalkan formalitas syariah dan konsisten terhadap hal tersebut ketika berkuasa.
Selama ini, banyak sarjana Barat yang meragukan komitmen kelompok Islam dalam berdemokrasi. Mereka berpikir bahwa demokrasi hanya akan dijadikan alat bagi kelompok Islam untuk berkuasa dan memuluskan tujuan-tujuan politik Islam mereka. Pada titik itulah, Ulil menyebut angin segar apabila kelompok Islam politik ini mampu berkomitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Jika substansi keislaman dalam tubuh faksi politik Islam yang tumbuh besar karena spirit religius dilenyapkan, maka hal itu adalah sebuah aksi bunuh diri bagi gerakan Islam itu sendiri. Sampai hari ini, pola perekrutan dan kaderisasi partai politik Islam masih sangat mengandalkan narasi-narasi Islamis dan bukan ide-ide sekuler. Narasi-narasi Islamis tetap diberikan sebagai pondasi awal meski pada akhirnya ide-ide sekuler tetap dipelajari sebagai refleksi terhadap realitas politik.
Namun, jika pos-Islamisme diartikan sebagai pergeseran strategi dari pelaku politik Islam untuk meminimalkan narasi Islam tanpa meninggalkan nilai-nilai prinsip dan fundamental, maka hal tersebut bisa diterima. Hal ini seperti yang disimpulkan oleh Greg Fealy dalam melihat fenomena AKP di Turki. Fealy menyebut AKP sebagai gerakan Islam tanpa kosa kata Islam. Sebagai contoh nyata adalah usaha pemerintah Turki untuk mencabut larangan berjilbab di Universitas yang telah bertahun-tahun dibakukan oleh rezim ultra-sekuler. Alih-alih menggunakan dalil keagamaan tentang hijab, AKP dan Erdogan justru menggunakan narasi perlindungan terhadap hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Cara-cara seperti ini mengundang reaksi positif dari komunitas internasional terkait pembelaan terhadap hak asasi manusia. Begitu pula ketika AKP berbicara tentang penolakan sistem riba. Mereka tidak menggunakan dalil tentang haramnya riba, melainkan narasi bahwa riba akan menyengsarakan rakyat miskin. Model seperti ini adalah strategi baru memperjuangkan substansi nilai Islam dalam ranah formal kenegaraan. Kesuksesan AKP pada tiga periode pemilu di Turki menjadi bukti sekaligus catatan penting bagi seluruh pelaku politik Islam. Partai ini dengan segera menjadi patron keberhasilan politik Islam dalam konteks demokrasi liberal.
Saya pribadi lebih suka menggunakan istilah neo-Islamisme ketimbang pos-Islamisme. Dalam ranah akademis, partikel “neo” biasa disematkan pada ideologi yang mengalami pembaharuan tanpa menghilangkan identitas asalnya. Misal, istilah neo-konservatif yang pernah dinisbatkan pada rezim Partai Republik di Amerika Serikat pada masa George W. Bush. Istilah itu digunakan untuk mengidentifikasi gaya politik luar negeri rezim George W. Bush yang kerap membawa narasi “perang salib” untuk mendukung kebijakan perang kontemporernya di Timur Tengah. Ada banyak lagi contoh penerapan partikel “neo” seperti istilah neo-kolonialisme, neo-fundamentalisme, neo-liberalisme, dan lain-lain. Semua penerapan partikel “neo” tadi tidak menghilangkan identitas asal dari ideologi yang diperbaharui istilahnya tersebut. Partikel neo lebih memberi penekanan pada konteks kekinian sebuah ide atau nilai tadi dimunculkan.
Melihat perbendaharaan istilah yang sudah ada, tampaknya sebutan neo-Islamisme jauh lebih tepat digunakan pada kelompok aktivis Islam politik yang mengambil jalur demokrasi sebagai medium perjuangan. Istilah ini tidak akan memberi kesan heretik pada pelaku-pelaku politik Islam itu sendiri karena identitas Islam dalam diri mereka tidak dilenyapkan secara etimologis. Ditambah lagi, ruang improvisasi (ijtihad) dalam politik Islam sendiri masih terbuka lebar. Bandingkan dengan istilah pos-Islamisme yang seolah memberi kesan suatu zaman ditinggalkannya nilai Islam (post-pasca-setelah) oleh para pelaku politiknya. Dengan demikian, diskursus mengenai pos-Islamisme tidak perlu dibakukan sebagai istilah akademis yang saya rasa justru kontra-produktif bagi perjuangan politik Islam itu sendiri. Artikel ini sejatinya hanya sebuah usaha untuk meluruskan pemahaman yang sebenarnya juga belum final. Untuk itulah, segala bentuk transformasi dan perubahan yang terjadi pada elemen Islam dalam demokrasi tentunya merupakan revisi konstruktif bagi tulisan ini.



[i]   Dalam buku lanjutannya, Olivier Roy justru lebih mengangkat aspek kultural kelas menengah muslim yang mendominasi dinamika negara-negara Islam. Dikatakan oleh Roy, bahwa kelas menengah muslim inilah yang berperan aktif dalam perubahan gaya dan pemahaman kelompok Islamis terhadap demokrasi yang merupakan nilai Barat. Bahkan, di beberapa negara Barat, kelompok muslim ini tampil semakin moderat dan cair dengan kebudayaan lain tanpa meninggalkan identitas agama mereka.