Mengingat
ada seorang rekan yang begitu gemar membicarakan Edward Said serta teori
poskolonialnya, saya jadi ingin mengulas sedikit tentang sosok Edward dalam
pandangan saya.
Tidak
salah lagi, buku-buku Edward Said adalah karya-karya favorit banyak orang,
termasuk saya sendiri. Ketika bukunya yang berjudul Peran Intelektual
diterjemahkan oleh Penerbit Obor, saya pun mendapatkan banyak penegasan terkait
sikap intelektual seorang Edward Said. Dalam bukunya itu, Said menegaskan bahwa
kelompok intelektual adalah mereka yang berani menyatakan kebenaran pada
penguasa. Seorang intelektual adalah mereka yang senantiasa kritis dalam
situasi dan keadaan apapun. Seorang intelektual boleh menjadi seorang yang
solider, tapi tetap dengan sikap kritis dan siap menerima resiko pengasingan
dari sikapnya tersebut.
Edward
Said yang mengagumi Sigmund Freud, bahkan turut memberi kritik pada intelektual
favoritnya itu. Freud yang hidup sebagai seorang Yahudi di Austria menolak
segala macam hal terkait zionisme internasional. Bagi Freud, proyek tersebut
merupakan sebuah tindakan gila yang tidak boleh dilakukan. Freud cukup
konsisten dengan sikapnya tersebut sampai kemudian ia mengalami sendiri proyek holocaust yang dijalankan NAZI di bawah
kekuasaan Hitler. Sejak saat itu, Freud mengubah sikap intelektualnya, ia mulai
merasa kalau proyek migrasi ke Palestina adalah suatu hal yang masuk akal untuk
menyelamatkan hidup dan kehidupannya.
Bagi
Said, sikap Freud itu adalah sebuah ambiguitas yang seharusnya tidak ada pada
diri seorang intelektual. Meski begitu, Said juga memberi apresiasi positif terhadap karya Freud yang berjudul Moses and Monotheism. Buku itu mengembalikan kekaguman Said pada Freud yang dianggapnya telah lantang mengkritik Zionisme lewat jalan yang paling akademis. Dengan kata lain, sikap Freud terhadap proyek Zionisme internasional bisa jadi merupakan ekspresi pragmatis seorang manusia yang terancam fasisme NAZI. Sedangkan di sisi lain, Said tidak memberikan celah sedikitpun bagi pramatisme dan ambiguitas dalam konteks intelektual. Oleh karena itu, Said mengambil sikap yang jelas dan konsisten dalam mendukung kemerdekaan Palestina sekalipun hal itu sangat berlawanan pada
gejala umum kelompok intelektual Barat. Bersama dengan Noam Chomsky, Edward
Said muncul sebagai intelektual yang sangat mendukung kemerdekaan Palestina.
Said
bahkan mengatakan bahwa perlawanan rakyat Palestina terhadap Israel adalah
suatu ekspresi yang sah dari kelompok terjajah. Bagi Said, batu atau rudal yang
dilemparkan rakyat Palestina ke arah Israel bukanlah bertujuan untuk
menghancurkan negara zionis tersebut. Masyarakat Palestina tahu betul, Israel
bukan tandingan mereka dalam konteks militer. Jelas, batu dan rudal-rudal
rakitan itu tidak akan bisa menandingi kekuatan militer Israel yang tercatat
sebagai salah satu negara dengan kapasitas tempur terbaik di dunia.
Sebaliknya,
batu dan rudal Palestina itu adalah alat untuk menjaga kewarasan bangsa Palestina.
Alat untuk menjaga mereka tetap sadar kalau mereka masih ada sekalipun rezim
zionis begitu giat melenyapkan mereka. Perlawanan tersebut juga memberi sinyal
ke seluruh dunia kalau bangsa Palestina masih ada dan proyek genosida zionis
belum berhasil melenyapkan mereka.
Keseriusan
Said dalam mendukung Palestina sama sekali tidak didasari pada keberpihakan
subjektifnya terhadap Islam. Dengan kata lain, Said menampilkan sisi humanisme
universal yang paling sekuler dalam dukungannya terhadap Palestina. Bergabungnya
Said dengan Dewan Nasional Palestina (PNC) era Yasser Arafat juga tidak menjadi bukti bahwa ia memiliki
agenda politis terhadap perjuangan bangsa Palestina. Said menganggap, PNC adalah lembaga perwakilan rakyat Palestina yang paling sah dan didengar oleh
dunia internasional. Ia memanfaatkan posisi PNC untuk memperjuangkan
cita-citanya memerdekakan Palestina. Hal itu dibuktikan ketika Said juga yang akhirnya memutuskan keluar dari PNC setelah Arafat menandatangani perjanjian Oslo 1993 yang dianggap mengkhianati cita-cita bangsa Palestina untuk kembali ke wilayah mereka.
Tidak
ada kepura-puraan dalam ekspresi intelektualitas Edward Said. Tidak pula bisa
dikatakan sikapnya itu adalah pencarian sensasi dan popularitas. Said
menghadapi banyak hal tidak menyenangkan dengan ketegasan dan konsistensi sikap
intelektualnya tersebut. Beragam acaman dan deskriminasi telah ia alami. Ia
menjadi terasing di tengah komunitas intelektual Yahudi Amerika yang jumlahnya
seperti jamur musim hujan. Dengan pengalaman empiriknya itulah ia menulis
secara jelas dan tegas bahwa intelektual sejati adalah mereka yang siap
diasingkan dengan pemikirannya sendiri. Seorang intelektual adalah mereka yang
tidak berada di atas menara gading intelektual.
Bagi
dunia Islam sendiri, Edward Said merefleksikan beberapa kasus kontroversial.
Salah satunya adalah dukungan terbukanya terhadap Salman Rushdie, penulis novel
Ayat-Ayat Setan dari Inggris. Said secara terbuka mendukung posisi Rushdie dan
secara naratif menyerang rezim Mullah di
Iran yang telah memvonis mati novelis tersebut. Dalam suatu acara talkshow yang
disiarkan televisi di Amerika Serikat, Said berdiskusi dengan Salman Rushdie
terkait vonis mati in-absentia yang
dijatuhkan rezim Mullah Iran kepada Rushdie. Dalam acara tersebut, tampak
sangat jelas perhatian dan simpati Said terhadap Salman yang dianggapnya
sebagai representasi kelompok intelektual.
Episode
dukungan Said terhadap Salman Rushdie membentuk garis demarkasi yang sangat
jelas terkait posisinya di hadapan masyarakat Islam. Sikap Said memang mengindikasikan
netralitas yang sempurna dan lazim di kalangan intelektual. Namun, pilihan
sikap itu sangat tidak populer di kalangan umat Islam yang mayoritas menganggap
Salman Rushdie telah melakukan blasphemy
berat. Meski demikian, fokus perjuangan dan konsistensi Said terhadap isu
Palestina jauh lebih terekspos, sehingga Said tidak menghadapi resistens dari
masyarakat Islam. Padahal, tidak kurang dari 13 negara berpopulasi muslim termasuk Indonesia saat itu melarang penerbitan buku Satanic Verses milik Salman Rushdie.
Netralitas
dan objektivitas tentu merupakan bagian yang sangat penting dalam khasanah intelektualitas
seseorang. Namun, pandangan alam (world
view) seorang intelektual juga menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan
dari kerja intelektualnya. Bagi seorang muslim, kedudukan wahyu dan ajaran
Islam akan menjadi supraordinat dari segala penalaran intelektualnya. Itulah
yang sering disebut sebagai pandangan alam Islam (Islamic world view). Sedangkan bagi Said, salah satu peran yang
wajib diemban oleh seorang intelektual adalah menyatakan kebenaran pada
penguasa. Penguasa dalam pengertian Said tidak terbatas pada penguasa politik
(negara), melainkan juga para pemimpin agama.
Karya
monumentalnya, orientalisme, memang menempatkan Islam dan entitas komunitas
penganutnya sebagai kelompok yang senantiasa tertindas. Kritik Said dengan
jelas menyerang metode framing yang
dikembangkan oleh Barat dalam memandang Islam dan umat Islam. Pada titik ini,
karya Said tersebut kemudian menjadikannya sebagai ikon perjuangan eksistensi
masyarakat Islam di tengah gempuran narasi miring yang dikembangkan akedemisi
Barat. Apalagi, Said mengambil porsi yang cukup banyak dalam permasalahan
Palestina yang memang menjadi isu besar bagi umat Islam. Dalam konteks
Palestina, Said berani menyebut Barat tengah melakukan genosida intelektual
terhadap isu tersebut.
Terlepas
dari peran Edward Said yang begitu monumental terhadap krisis Palestina, umat
Islam tidak seharusnya membutakan mata pada netralitas sekuler seorang Said. Menjadi
seorang intelektual yang sejati tentulah mesti sadar akan keterbatasan ilmu dan
pengetahuan yang ia miliki. Kesadaran tersebut disandarkan pada keyakinan bahwa
seluruh ilmu dan hikmah berasal dari
wahyu Tuhan sehingga seorang intelektual terhindar dari sikap sombong.
Keterbatasan yang dimiliki seorang intelektual pada aspek tersebut seharusnya
membuat dirinya tidak mengambil jarak dengan para ulama dan ahli agama. Untuk itulah
diperlukan pandangan alam Islam untuk membentuk seorang intelektual yang
sejati. Dengan demikian, akan terbentuk komunitas intelektual yang Islami dan mampu
memberi manfaat luas bagi umat.