Sunday, 10 November 2013

ISRAEL DI BELAKANG PEMBUNUHAN ARAFAT: SIAPA LAGI?






                                                                    original pict from

Setelah hampir satu bulan, media internasional sibuk memberitakan prahara penyadapan komunikasi yang dilakukan oleh intelejen AS, tiba-tiba Al-Jazeera merilis laporan mengenai sebab-sebab kematian Yasser Arafat, pemimpin legendaris dari Palestina.

Laporan yang disusun dengan sangat detail itu memuat berbagai dokumen yang dikeluarkan ilmuwan dari Swiss yang menyimpulkan adanya kemungkinan yang sangat kuat bahwa Arafat tewas karena diracun. Zat pembunuh yang menjadi eksekutor Arafat adalah Polonium, jenis zat radioaktif yang hanya bisa diproduksi melalui reaktor nuklir. Polonium adalah zat yang sangat beracun apabila masuk ke aliran darah. Efeknya bisa sangat mematikan seperti halnya sianida yang biasa digunakan dalam operasi pembunuhan tokoh politik. 

Arafat yang kita kenal adalah tokoh perjuangan rakyat Palestina yang sangat legendaris. Dialah ikon sekaligus simbol perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan Israel sejak pertama kali negara Yahudi itu mendeklarasikan diri. Arafat juga menjadi tokoh pendiri PLO (Palestine Liberation Organization) yang menjadi wadah semua organisasi pembebasan Palestina. Melalui organisasi bernama Fatah yang menjadi faksi terbesar di PLO, Arafat membawa isu kemerdekaan Palestina ke se-antero bumi. 

Arafat muda sangat sering terlibat dalam konflik bersenjata dengan Israel. Berdirinya PLO menjadi momok tersendiri bagi eksistensi Israel yang menguasai hampir seluruh wilayah Palestina. Arafat harus jatuh bangun berkejaran dengan militer Israel ke negara-negara tetangga untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Di setiap negara yang ia singgahi, militer Israel selalu berhasil mengejar dan memberikan pukulan telak yang berujung pada banyak sekali tragedi kemanusiaan. Hal ini membuat setiap negara Arab yang dikunjungi PLO jadi merasa terancam karena takut dianggap melindungi “musuh Israel”. Mereka tidak mau terkena imbas konflik antara PLO dengan Israel seperti yang terjadi pada Lebanon. 

Menurut hemat saya, Arafat ini menemukan titik jenuh yang luar biasa ketika harus berkejaran dengan militer Israel selama puluhan tahun. Strategi konfrontasi senjata mulai ia tinggalkan ketika masuk periode 1990-an. Sejak periode itulah, Arafat mulai mengakui eksistensi Israel. Ia mulai senang dengan perjuangan diplomasi dari perundingan ke perundingan. Tahun 1993, lahirlah kesepakatan Oslo yang memaksa PLO untuk mengakui eksistensi Israel di Palestina. Di sisi lain, Israel juga harus menjamin otoritas PLO untuk mengatur wilayah Gaza dan Tepi Barat. Sontak, kesepakatan ini mencederai banyak sekali faksi di PLO. Mereka mulai menganggap Arafat sebagai pengkhianat. Alih-alih menyepakati perjanjian Oslo, mereka memilih untuk tetap melakukan perlawanan bersenjata terhadap Israel.

Imbas dari kedekatan Arafat dengan Israel ini adalah perpecahan luar biasa di dalam batang tubuh PLO. Faksi Islam seperti Hamas tidak pernah sedikitpun memercayai meja perundingan dengan Israel, apalagi yang dimediasi oleh Amerika Serikat. Puncak dari kekecewaan ini adalah meletusnya gerakan Intifada yang begitu masif dan meluas. Intifada membuat pihak Israel semakin geram terhadap Palestina. Mereka kemudian menekan Yasser Arafat untuk dapat bertindak tegas dan menertibkan faksi-faksi bersenjata di Palestina. Pada titik inilah, saya menilai Arafat mulai menghadapi dilema. Di satu sisi, taktik diplomasi yang ia lakukan tidak memberikan keuntungan langsung. Di sisi lain, kelompok Islamis tidak mendukungnya sama sekali. hal inilah yang kemudian membuat Arafat bersikap pasif terhadap segala desakan dan tekanan Israel.

Memasuki periode 2000-an awal, Israel semakin menyadari ketidakberdayaan Arafat dalam proksimitas kepentingan mereka. Untuk itulah, menurut saya, Israel berkepentingan untuk menyingkirkan Arafat dan digantikan dengan pemimpin sekuler lain yang lebih kooperatif. Di sisi lain, popularitas Hamas sebagai representasi kelompok Islam di kalangan rakyat Palestina semakin besar. Israel jelas membutuhkan kendaraan politik seperti Partai Fatah untuk menjajaki kemungkinan perundingan-perundingan damai yang lebih diplomatis. Sekadar catatan, isu terpenting dari setiap rezim pemerintahan di Israel adalah keamanan nasional. Sukses tidaknya seorang Perdana Menteri diukur langsung dari angka serangan yang dilakukan pihak pejuang Palestina ke wilayah Israel. 

Dengan demikian, saya mendukung penuh semua bukti temuan para ilmuwan, termasuk ahli forensik ternama, Dave Barclay yang mengatakan kalau Arafat tewas karena diracun. Sampai tulisan ini dibuat, pihak Israel masih menolak tuduhan yang diberikan pada mereka. Meski demikian, para ahli nuklir dan ilmuwan meyakinkan publik bahwa material radioaktif seperti polonium hanya bisa diproduksi melalui reaktor nuklir. Sedangkan, reaktor nuklir hanya bisa dimiliki oleh negara yang tercatat memiliki nuklir. Dalam kaitannya dengan Palestina, negara tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Israel. Kasus yang justru menarik untuk dikembangkan adalah tuduhan dari Suha Arafat, istri Yasser Arafat yang dulu pernah menuduh ada persekongkolan jahat yang membunuh suaminya. Pada hari-hari terakhir Arafat di rumah sakit di Perancis, ada sekelompok orang dari gerakan Fatah yang menjenguk. Suha menyebut para penjenguk itu sebagai kelompok konspirator yang berniat membunuh suaminya. Di antara para penjenguk suaminya itu, terdapat Mahmoud Abbas yang hari ini menjabat sebagai Presiden Palestina.