foto asli
Agak sulit untuk menelusuri asal muasal istilah pos-Islamisme menjadi populer saat ini. Istilah inilah yang kemudian dinisbatkan kepada kelompok Islam yang berpartisipasi aktif dalam demokrasi liberal hari ini. Penamaan yang tampak memudahkan bagi para penyimak sepak terjang gerakan politik Islam di dunia kontemporer. Namun, agaknya istilah ini mulai perlu dipertanyakan terkait definisi praktis dan konseptualnya di tengah-tengah umat Islam sendiri.
Agak sulit untuk menelusuri asal muasal istilah pos-Islamisme menjadi populer saat ini. Istilah inilah yang kemudian dinisbatkan kepada kelompok Islam yang berpartisipasi aktif dalam demokrasi liberal hari ini. Penamaan yang tampak memudahkan bagi para penyimak sepak terjang gerakan politik Islam di dunia kontemporer. Namun, agaknya istilah ini mulai perlu dipertanyakan terkait definisi praktis dan konseptualnya di tengah-tengah umat Islam sendiri.
Konteks Hamas dan Hizbullah
Sebelum beredar istilah pos-Islamisme, Joseph Alagha
pernah memunculkan istilah pergeseran ideologi (shifting ideology) untuk membahas perubahan gaya perjuangan
Hizbullah di Lebanon. Digambarkan dalam disertasinya tersebut bahwa Hizbullah
mengubah strategi perjuangannya ke arah yang lebih moderat ketika memutuskan
untuk berkiprah dalam ruang demokrasi. Faksi militer Hizbullah (bersenjata)
tetap dipertahankan sambil mencoba mendapatkan simpati publik melalui
kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Hasilnya, Hizbullah tetap menjadi
kelompok terbesar dan mendominasi kemenangan dalam pemilihan umum.
Hal yang serupa meski tidak sama juga terjadi pada Hamas
di Palestina. Hamas yang pada mulanya hanyalah organisasi sosial religius
berubah menjadi partai politik pasca pecahnya PLO. Hamas harus menghadapi
kenyataan bahwa Palestina terdiri dari banyak faksi di luar Islam yang meski
sama-sama menolak okupasi Israel tapi masing-masing memiliki corak gerakan yang
berbeda-beda. Setelah bubarnya PLO, Hamas harus berhadapan dengan Israel melalui
kontak senjata langsung. Hamas pun kemudian tumbuh sebagai organisasi
perlawanan yang paling menjadi momok bagi pemerintahan Israel. Di dalam negeri,
Hamas tetap berusaha mendapatkan dukungan populer melalui serangkaian aksi
sosial yang berujung pada kemenangan mereka di Pemilu Palestina tahun 2006.
Sayangnya, kemenangan tersebut memicu reaksi keras dari Israel yang didukung
Amerika Serikat yang kemudian memblokade total Gaza sampai hari ini.
Kasus Hamas dan Hizbullah mendapatkan catatan khusus bagi
peneliti seperti Greg Fealy dan Mark Buballo. Bagi kedua peneliti ini, Hamas
dan Hizbullah adalah pengecualian dalam diskusi pos-Islamisme. Keduanya
dianggap masih memiliki faksi bersenjata di luar aparat militer resmi negara
sehingga sulit untuk dianggap konsisten terhadap nilai-nilai demokrasi.
Meskipun catatan sejarah membuktikan bahwa Hamas dan Hizbullah mempertahankan
faksi bersenjata mereka untuk tujuan politik eksternal (menghadapi Israel),
tapi seringkali mereka juga menggunakannya dalam konteks politik domestik
(menghadapi lawan-lawan politik di dalam negeri). Terlepas dari keragu-raguan
para pemikir seperti Fealy dan Buballo, saya berpendapat bahwa faksi militer
dalam tubuh Hamas ataupun Hizbullah adalah representasi kepentingan nasional
masing-masing negara. Mereka hadir di kala aparatur pertahanan negara tidak
mumpuni dalam memberikan perlindungan terhadap ancaman Israel. Akan tetapi Itulah
sebabnya, Hamas dan Hizbullah tidak ditempatkan dalam kelompok pos-Islamisme
seperti halnya AKP di Turki atau Ikhwanul Muslimin di Mesir oleh para sarjana
Barat.
Evaluasi Kegagalan Politik Islam
Istilah pos-Islamisme ini tampil layaknya bentuk afirmasi
terhadap kebenaran tesis Olivier Roy tentang kegagalan politik Islam. Dalam
buku yang sangat populer yang pernah ia tulis, Roy menamakan kelompok Islam
yang berpolitik melalui jalur demokrasi sebagai kelompok Islamis. Disimpulkan
juga dalam tesisnya tersebut bahwa kelompok-kelompok Islamis ini gagal meraih
“tujuan” mereka dalam politik karena represi dari rezim ataupun lawan politik
yang cenderung phobia terhadap Islam.
Kecurigaan lawan politik kelompok Islam terhadap agenda Islamisasi
partai-partai politik Islam menjadi semacam pola untuk menyimpulkan kegagalan
agenda politik Islam di ruang demokrasi. Logikanya, jika acuan istilah
pos-Islamisme adalah kelompok Islamis yang muncul setelah kegagalan versi Roy,
hal itu sama artinya dengan menamakan mereka seperti “bukan Islam lagi”. Dengan
kata lain, pos-Islamisme sebetulnya merepresentasikan fenomena perubahan
mendasar faksi Islam dalam politik yang meninggalkan jubah keislaman mereka.
Tesis Roy ini kemudian diperbaharui dengan bahasa yang lebih absurd sepuluh
tahun kemudian, yaitu dengan istilah Islam yang terglobalisasi (globalized Islam).[i]
Secara garis besar, Olivier Roy menyebut kegagalan faksi
Islam dalam ruang demokrasi disebabkan oleh narasi besar mereka terhadap
Islamisasi negara. Sebuah ide dan cita-cita utopis yang menantang langsung
penerimaan publik yang plural dan pragmatis. Pada akhirnya, diskursus ini akan diakhiri
dengan kekalahan kelompok Islamis dalam pemilu ataupun kudeta pasca kemenangan.
Roy bahkan memulai bab dalam bukunya itu dari kehancuran FIS di Aljazair saat
sudah berhasil meraih kemenangan dalam Pemilu. Dari titik itulah kemudian muncul
kelompok pembaharu/reformis di tiap-tiap gerakan yang mengupayakan perubahan mendasar
terkait pendekatan dan gaya berpolitik faksi Islam. Kelompok pembaharu inilah
yang di kemudian hari disebut dengan kelompok pos-Islamisme.
Adalah Asef Bayat, sarjana Iran yang kemudian menerbitkan
artikel di Jurnal Foreign Affairs dengan istilah pos-Islamisme untuk
mendefinisikan kelompok Islam yang “kembali” mencoba peruntungan mereka dalam
demokrasi. Kelompok Islam yang ditenggarai kali ini dengan wajah yang jauh
lebih pragmatis, inklusif, dan minus narasi-narasi besar negara Islam ataupun
syariat. Bayat bahkan berani menyebut bahwa fenomena Arab Spring belakangan ini sebagai revolusi pos-Islamisme.[ii]
Hal tersebut dibuktikan melalui narasi dominan yang muncul pada gelombang
demonstrasi di banyak negara yang tidak berbicara lagi tentang pendirian negara
Islam. Diksi utama agenda revolusi yang paling sering muncul, selain
menumbangkan rezim adalah demokratisasi, kebebasan pers, dan pemenuhan hak-hak
sipil warga negara. Bayat sendiri mengakui bahwa istilah pos-Islamisme yang ia
gunakan pertama kali justru merujuk pada generasi Islam politik di Iran pasca
kematian Ayatullah Khomeini. [iii]
Pos-Islamisme dan Kekacauan Terminologis
Jika diskursus istilah ini ditarik ke ruang filsafat,
maka kita akan langsung menjumpai istilah yang mirip dengannya, yaitu pos-modernisme.
Kerumitan konseptual yang menyertai kemunculan istilah pos-modernisme, sama
persis dengan yang terjadi pada istilah pos-Islamisme. Namun, hari ini para pengkaji
cultural studies sudah mulai percaya
diri untuk menempatkan istilah pos-modernisme sebagai acuan ciri zaman baru
yang berbeda sama sekali dengan era modern. Ciri-ciri yang antara lain adalah adanya
hiper-realitas, hiper-modernitas, paradoks, dan segala hal yang terkait dengan
kematian makna (narasi besar). Sebagian buku-buku tentang pos-modernisme sering
mengaitkan kemunculan fenomena ini dengan perkembangan kapitalisme liberal
dalam budaya global. Kapitalisme yang telah sampai pada titik yang tidak pernah
diduga sebelumnya oleh Karl Marx sekalipun. Kapitalisme yang tampaknya
betul-betul akan mengakhiri sejarah peradaban di muka bumi (the end of history) seperti yang pernah dikicaukan
Francis Fukuyama.
Jika pola penamaan pos-Islamisme ternyata sama dengan
pos-modernisme, maka akan muncul distraksi hebat di tengah-tengah umat Islam.
Sebagian aktivis politik Islam yang hari ini disebut dalam kelompok
pos-Islamisme sesungguhnya masih menggunakan narasi-narasi religius dalam
aktivitas internal mereka. Sebagai contoh di Indonesia, Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) yang dikategorikan serumpun dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir
dan AKP di Turki masih sangat akrab dengan jargon-jargon religius dan tampilan
saleh para politisi mereka. Usaha partai ini untuk tampil lebih “demokrat”
dimulai sebelum pemilu tahun 2009. Dalam Mukernas yang diselenggarakan di Bali tahun
2008, PKS mendeklarasikan diri mereka sebagai partai terbuka. Titik inilah yang
kemudian ditandai sebagai awal perubahan mendasar pada strategi politik PKS
yang mencoba untuk bergerak ke “tengah” dan lebih inklusif.
Jelas istilah
pos-Islamisme masih sangat terbuka terhadap tafsir dan belum pantas untuk
dibakukan sebagai terminologi ilmiah di dunia akademis. Alasannya sederhana saja, jika pos-Islamisme
diartikan sebagai gejala lepasnya nilai-nilai Islam secara substansial pada
tubuh gerakan Islam, maka hal tersebut tentu sulit diterima umat Islam,
khususnya para pelaku politik Islam itu sendiri. Meski demikian, hal seperti
itu tentu saja diharapkan sepenuhnya oleh kelompok liberal Islam seperti
Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia. Ulil Abshar dalam artikelnya di
laman web JIL menyebut bahwa pos-Islamisme adalah angin segar bagi cita-cita
demokrasi di setiap negara berpenduduk mayoritas muslim.[iv]
Ulil tentu saja mendasari argumennya
pada harapan bahwa pelaku politik Islam di Indonesia mampu memoderasi
sepenuhnya gerakan mereka, meninggalkan formalitas syariah dan konsisten terhadap
hal tersebut ketika berkuasa.
Selama ini, banyak sarjana
Barat yang meragukan komitmen kelompok Islam dalam berdemokrasi. Mereka
berpikir bahwa demokrasi hanya akan dijadikan alat bagi kelompok Islam untuk
berkuasa dan memuluskan tujuan-tujuan politik Islam mereka. Pada titik itulah,
Ulil menyebut angin segar apabila kelompok Islam politik ini mampu berkomitmen
terhadap nilai-nilai demokrasi. Jika substansi keislaman dalam tubuh faksi
politik Islam yang tumbuh besar karena spirit religius dilenyapkan, maka hal
itu adalah sebuah aksi bunuh diri bagi gerakan Islam itu sendiri. Sampai hari
ini, pola perekrutan dan kaderisasi partai politik Islam masih sangat
mengandalkan narasi-narasi Islamis dan bukan ide-ide sekuler. Narasi-narasi
Islamis tetap diberikan sebagai pondasi awal meski pada akhirnya ide-ide
sekuler tetap dipelajari sebagai refleksi terhadap realitas politik.
Namun, jika pos-Islamisme
diartikan sebagai pergeseran strategi dari pelaku politik Islam untuk
meminimalkan narasi Islam tanpa meninggalkan nilai-nilai prinsip dan
fundamental, maka hal tersebut bisa diterima. Hal ini seperti yang disimpulkan
oleh Greg Fealy dalam melihat fenomena AKP di Turki. Fealy menyebut AKP sebagai
gerakan Islam tanpa kosa kata Islam. Sebagai contoh nyata adalah usaha
pemerintah Turki untuk mencabut larangan berjilbab di Universitas yang telah
bertahun-tahun dibakukan oleh rezim ultra-sekuler. Alih-alih menggunakan dalil
keagamaan tentang hijab, AKP dan
Erdogan justru menggunakan narasi perlindungan terhadap hak perempuan untuk
mendapatkan pendidikan tinggi. Cara-cara seperti ini mengundang reaksi positif
dari komunitas internasional terkait pembelaan terhadap hak asasi manusia. Begitu
pula ketika AKP berbicara tentang penolakan sistem riba. Mereka tidak
menggunakan dalil tentang haramnya riba, melainkan narasi bahwa riba akan
menyengsarakan rakyat miskin. Model seperti ini adalah strategi baru memperjuangkan
substansi nilai Islam dalam ranah formal kenegaraan. Kesuksesan AKP pada tiga
periode pemilu di Turki menjadi bukti sekaligus catatan penting bagi seluruh
pelaku politik Islam. Partai ini dengan segera menjadi patron keberhasilan
politik Islam dalam konteks demokrasi liberal.
Saya pribadi lebih suka
menggunakan istilah neo-Islamisme ketimbang pos-Islamisme. Dalam ranah
akademis, partikel “neo” biasa disematkan pada ideologi yang mengalami
pembaharuan tanpa menghilangkan identitas asalnya. Misal, istilah
neo-konservatif yang pernah dinisbatkan pada rezim Partai Republik di Amerika
Serikat pada masa George W. Bush. Istilah itu digunakan untuk mengidentifikasi
gaya politik luar negeri rezim George W. Bush yang kerap membawa narasi “perang
salib” untuk mendukung kebijakan perang kontemporernya di Timur Tengah. Ada
banyak lagi contoh penerapan partikel “neo” seperti istilah neo-kolonialisme,
neo-fundamentalisme, neo-liberalisme, dan lain-lain. Semua penerapan partikel
“neo” tadi tidak menghilangkan identitas asal dari ideologi yang diperbaharui
istilahnya tersebut. Partikel neo lebih memberi penekanan pada konteks kekinian
sebuah ide atau nilai tadi dimunculkan.
Melihat perbendaharaan
istilah yang sudah ada, tampaknya sebutan neo-Islamisme jauh lebih tepat
digunakan pada kelompok aktivis Islam politik yang mengambil jalur demokrasi
sebagai medium perjuangan. Istilah ini tidak akan memberi kesan heretik pada
pelaku-pelaku politik Islam itu sendiri karena identitas Islam dalam diri
mereka tidak dilenyapkan secara etimologis. Ditambah lagi, ruang improvisasi
(ijtihad) dalam politik Islam sendiri masih terbuka lebar. Bandingkan dengan
istilah pos-Islamisme yang seolah memberi kesan suatu zaman ditinggalkannya
nilai Islam (post-pasca-setelah) oleh
para pelaku politiknya. Dengan demikian, diskursus mengenai pos-Islamisme tidak
perlu dibakukan sebagai istilah akademis yang saya rasa justru kontra-produktif
bagi perjuangan politik Islam itu sendiri. Artikel ini sejatinya hanya sebuah
usaha untuk meluruskan pemahaman yang sebenarnya juga belum final. Untuk
itulah, segala bentuk transformasi dan perubahan yang terjadi pada elemen Islam
dalam demokrasi tentunya merupakan revisi konstruktif bagi tulisan ini.
[i] Dalam buku lanjutannya,
Olivier Roy justru lebih mengangkat aspek kultural kelas menengah muslim yang
mendominasi dinamika negara-negara Islam. Dikatakan oleh Roy, bahwa kelas
menengah muslim inilah yang berperan aktif dalam perubahan gaya dan pemahaman
kelompok Islamis terhadap demokrasi yang merupakan nilai Barat. Bahkan, di
beberapa negara Barat, kelompok muslim ini tampil semakin moderat dan cair
dengan kebudayaan lain tanpa meninggalkan identitas agama mereka.
2 comments:
terimaksih telah berbagi informasi
sangat bermanfaat..
Obat Herbal Disentri
Obat Herbal Ispa
Obat Herbal Kanker Usus Halus
Obat Herbal Fistula Ani
Obat Herbal Tulang Keropos Ampuh
Obat Herbal Kanker Kandung Kemih
Obat Herbal Amandel Kronis
Obat Herbal Vertigo Akut
Obat Herbal Glaukoma
Obat Herbal Varises
GLOW Enhanz
Obat Herbal Sipilis
Obat Herbal Alzheimer
Obat Herbal Epilepsi
Obat Herbal Pasca Stroke Berat
Obat Herbal Kanker Hati
Obat Herbal Kanker Pankreas
Obat Herbal Meningitis
Situs Judi Slot Online Gampang Menang 2021 | YouTube
Gampang menang seperti IDN TERPERCAYA BANK BENGALURU TAN convert youtube playlist to mp3 AGEN IDN TERPERCAYA BANK BENGALURU TERPERCAYA. Untuk bermain judi online 24 jam yang memiliki
Post a Comment