sumber gambar
Suatu ketika saya
pernah bertanya pada seorang mahasiswa yang memakai kaos oblong bertuliskan
“Freedom Palestine” di kelas. Saya bertanya apakah ia membenci orang Yahudi?
Dia bilang, orang Yahudi itulah musuh terbesar bangsa Palestina, bahkan umat
manusia. Kemudian, saya bertanya tentang nama rumah ibadah umat Yahudi.
Mahasiswa saya terdiam, sambil berusaha keras mengingat tentang pengetahuan
yang sejatinya teramat dasar bagi siapapun yang menempatkan diri sebagai musuh
orang Yahudi. Intinya, ia tidak berhasil menjawabnya.
Konflik Palestina-Israel memang berjarak ribuan mil dari
Indonesia. Akan tetapi, kejadian tadi cukup menggambarkan model pemahaman
sebagian besar masyarakat kita terkait identitas yang berada di luar diri
mereka (liyan). Alih-alih bertanya mengenai perbedaan Judaisme dengan Zionisme,
saya bahkan tidak yakin mahasiswa saya yang kebetulan muslim tersebut mampu
membedakan antara Kristen Katolik dan Protestan. Padahal, dua entitas agama ini
hadir dan hidup bersama dengan umat Islam di banyak wilayah di Indonesia. Lantas,
dari sebelah mana kita harus memulai dialog kerukunan antar umat beragama yang
dimitoskan sebagai alat tekan konflik horisontal yang marak terjadi belakangan
ini?
Sudah banyak literatur yang berbicara sambil mempromosikan
pluralisme sebagai tool untuk
menjembatani kerukunan beragama di Indonesia. Sebagian kelompok bahkan
mendiskusikan dan mendokumentasikan secara intensif aktivitas dialog antar
agama sebagai langkah preventif pencegahan konflik horizontal. Namun, belum ada
yang mencoba memetakan secara substansial mengenai ide penghormatan eksistensi
keberagaman identitas sebuah kelompok atau kaum beragama itu sendiri. Pluralisme
malah menjadi semacam kendaraan intelektual untuk menunjuk hidung kelompok
aktivis agama sebagai biang kerok konflik horizontal di masyarakat. Dengan
spirit pluralisme itu pula, kelompok sekuler radikal menempatkan agama sebagai
variabel yang harus dimarjinalkan dalam ruang publik, termasuk di dalamnya
politik praktis.
Pembicaraan mengenai pluralisme juga sering terjebak pada
semangat penghilangan identitas sebagai cara menetralkan konflik yang
seringkali terjadi atas nama identitas. Seolah-olah, pluralisme itu bertujuan
melenyapkan semua basis afiliasi identitas agar semua orang berada dalam ruang
yang netral agama, etnis, bahkan ras. Alih-alih menetralkan potensi konflik,
ide pluralisme justru melahirkan konflik baru di tengah umat beragama itu
sendiri. Majelis Ulama Indonesia bahkan mengeluarkan fatwa haram terkait
penyebaran ide ini. Begitu pula gereja Katolik yang menganggap bahwa pluralisme
sejatinya adalah musuh semua agama.
Pada lubang besar yang ditinggalkan oleh pluralisme inilah,
konsep multikulturalisme dihadirkan kembali. Berbeda dengan pluralisme,
multikulturalisme mengedepankan penghormatan akan setiap eksistensi identitas
yang bertemu dalam ruang publik yang sama. Sepintas lalu, ide ini mirip dengan
pluralisme yang jamak dipahami itu, akan tetapi multikulturalisme jelas tidak
bertendensi pada pelenyapan identitas tiap-tiap kelompok. Sebaliknya, multikulturalisme
justru menjadi alas untuk memberi ruang gerak seluas-luasnya bagi setiap
identitas untuk berekspresi dan beraktualisasi.
Hal inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam buku ini.
Betapa ide multikulturalisme ternyata sudah hidup dan berkembang dalam tradisi
lokal masyarakat Indonesia. Di setiap entitas etnis dan kebudayaan, nilai
penghormatan pada kebudayaan lain atau baru selalu ada dan terealisasi secara
praktis. Penetrasi kolonial yang datang membawa sistem religi baru juga tidak
melenyapkan semangat multikulturalisme yang telah berkembang sebelumnya.
Konflik dan peperangan tentu saja ada dalam periodisasi sejarah interaksi antar
masyarakat. Namun, secara garis besar, setiap sistem religi yang (meminjam
istilah Dhani Iqbal) sudah mengadat memiliki basis nilai multikulturalnya
sendiri-sendiri. Ide ini telah melewati tahapan yang panjang untuk sampai pada
perwujudan mutual respect. Cara
pandang kelompok agama yang diwakili oleh beberapa tulisan dalam buku ini
menunjukkan betapa multikulturalisme itu hanya perlu digali kembali untuk
disegarkan dalam konteks demokrasi prosedural seperti hari ini.
Salah satu hal yang menarik dalam buku ini adalah setiap
entitas agama atau adat diwakili oleh orang yang menjadi bagian dari entitas
itu sendiri. Para pembaca yang memiliki latar belakang identitas yang berbeda
tentu saja dapat lebih yakin terkait hal yang disampaikan karena boleh jadi
kita menyebutnya sebagai pandangan pihak pertama. Hal inilah yang justru sering
tidak ada pada buku-buku bertema dialog antar agama yang marak beredar. Banyak
sekali orang yang berbicara mengenai suatu kaum padahal ia bukan termasuk dari
kaum tersebut. Berapa banyak sarjana Barat yang memamerkan hasil pemikiran
mereka mengenai Islam dan Timur seraya mempromosikan dialog dan kerukunan.
Padahal, sejak Edward Said memunculkan kritik dahsyat berjudul “Orientalisme”,
kita semua tahu bahwa Baratlah yang mendefinisikan siapa Barat dan siapa Timur.
Namun, sampai hari ini perkataan mereka (sarjana Barat) tentang Timur selalu
didengar dan dihayati bak tausiyah
dalam muhasabah intelektual.
Pada bagian pengantar, buku ini sudah memberikan kekuatan
positioning yang tegas dalam mengisi kekosongan literarur terkait
multikulturalisme. Tengku Dhani Iqbal yang menjadi editor buku ini memberi
penjelasan singkat, namun kuat mengenai pentingnya buku ini untuk dibaca dan
dihadirkan dalam wacana multikulturalisme yang masih “agak” sukar untuk dieja.
Pengantar dari editor kemudian disambung dengan selayang pandang dari Mukhlis
PaEni yang memaparkan forensik konflik horisontal atas nama identitas di Indonesia
secara umum.
Menurut Mukhlis PaEni, sejarah Indonesia adalah sejarah
konflik antar etnis. Bedanya, pada masa pra-kolonial, konflik antar etnis tidak
membuat pranata mobilitas sosial menjadi rusak. Sedangkan setelah kedatangan
penjajah, pendidikan dan pekerjaan menjadi pranata mobilitas sosial yang jauh
melampaui fungsi lembaga adat. Institusi adat hanya berfungsi sebagai hiasan
pada objek pariwisata dan tidak mampu menopang kualitas seseorang di tengah
masyarakatnya. Lembaga adat malah terseret dalam partai politik dan dijadikan
batu loncatan bagi mereka yang lemah secara personal, namun membutuhkan klaim
kesukuan untuk memeroleh dukungan dalam politik.
Berikut ini adalah resume sederhana yang tampak seperti spoiler isi buku. Penulisannya diurut
sesuai sebaran bab yang ada di dalam buku.
Bab pertama adalah tulisan mengenai agama tradisional
masyarakat Dayak yang secara geografis menghuni pulau Kalimantan. Agama yang
disebut Kaharingan ternyata merupakan sistem kepercayaan asli yang sudah ada
sebelum datangnya Hindhu, Budha, dan Islam. Agama Kaharingan memiliki inti
ajaran berupa keselarasan hidup antara manusia dengan alam dan Tuhan. Manusia
dan alam diyakini sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan serta memiliki
tata komunikasi di antara keduanya. Alam berkomunikasi melalui tanda-tandanya.
Sedangkan manusia berkomunikasi melalui kematian yang menandakan kembali
menyatunya antara manusia dengan alam. Oleh karena itu, masyarakat Dayak tidak
akan bisa hidup tanpa tanah dan hutan mereka. Dengan agama ini pula, masyarakat
Dayak konsisten menjaga keseimbangan ekologis alam mereka dari kerakusan
kapitalisme global.
Tulisan berikutnya membahas mengenai filsafat kejawen yang
dikenal di masyarakat Jawa. Kejawen bukan merupakan agama, tapi lebih berciri
sistem filsafat spiritual yang bersifat terbuka. Dalam melihat keberagaman,
ajaran Kejawen mengenal konsep “Hamemayu Hayuning Bawana” yang merupakan salah
satu inti ajaran Kejawen itu sendiri. Hamemayu Hayuning Bawana dapat diartikan
“menjaga dan melestarikan berkah anugrah alam”. Sedangkan konsep alam yang
dimaksud dalam kalimat tersebut termasuk juga di dalamnya adalah manusia. Lebih
khusus lagi, konsep ini memiliki ajaran yang bernama “Kautaming Babrayan”
(hubungan baik dan harmonis di antara manusia) serta “Sedulur Papat” (semua
makhluk adalah bersaudara). Dari sinilah dapat disimpulkan, bahwa seseorang
yang menganut dan mempraktikkan ajaran Kejawen yang sejati tidak akan bersikap
intoleran terhadap sesama manusia. Karena dalam konsep Kautaming Babrayan,
harmoni kehidupan itu diwujudkan melalui heterogenitas dan bukan homogenitas.
Ditambah lagi, seorang penganut Kejawen sejati juga tidak akan menjadi pemicu
perang di antara umat manusia. Hal itu dikarenakan dalam konsep Sedulur Papat,
semua mahkluk hidup di muka bumi adalah bersaudara, tidak terkecuali binatang,
tumbuhan, dan bahkan makhluk halus.
Tulisan berikutnya membahas mengenai konsepsi ajaran Hindu
yang berkenaan dengan toleransi beragama. Sang penulis, I Gusti Made Arya Suta
Wirawan mengupas sejarah agama kuno masyarakat pulau Bali sebelum datangnya
Hindu. Konsep mengenai ketuhanan dan alam maya sudah lebih dulu eksis di tengah
masyarakat Bali. Namun, setelah masuknya Hindhu yang ternyata memiliki kualitas
alam pikiran yang lebih kaya daripada alam pikiran kuno di Bali. Oleh karena
itu, yang terjadi berikutnya adalah akulturasi dan sinkretisme antara
Hindhuisme dan ajaran lokal di Bali. Sehingga, agama yang ada di Bali merupakan
Hindhu yang berlandaskan ajaran lokal. Dari titik inilah kemudian sejarah telah
mencatat keterbukaan masyarakat Hindhu Bali terhadap agama-agama yang datang
pada periode setelah kejatuhan Majapahit seperti Islam dan Kristen. Karakter
masyarakat Hindhu Bali yang meyakini konsep pluralitas horizontal menjadi unsur
utama yang melahirkan toleransi antar umat beragama di Bali. Seloka yang
terdapat pada kitab Veda dengan jelas mengajarkan mereka untuk menghormati dan
menghargai segala perbedaan di antara manusia.
Namun, tinta emas toleransi
beragama ini mendapatkan batu ujian yang sangat hebat pasca peristiwa Bom Bali
1 dan 2. Sejak saat itu sampai hari ini, konsep toleransi antar umat beragama
khususnya Islam dan Hindhu membutuhkan asistensi pemerintah sebagai pihak
ketiga yang harus menjadi mediator untuk meminimalisasi dampak konflik yang
disebabkan rasa saling curiga dan tidak mengenal antara masing-masing kelompok.
Nilai multikultralisme yang telah terjaga berabad-abad lalu tiba-tiba kembali
ke titik awal.
Tulisan berikutnya mengangkat keberagaman yang luar biasa
dari gugusan pulau yang tidak terlalu luas, Flores. Dari gugusan pulau yang
selama ini dipinggirkan pemerintah pusat itu, terdapat puluhan etnis dan
ratusan sub-etnis yang memiliki karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Dalam konteks toleransi beragama, masyarakat Flores didatangi para penginjil
Katolik yang ternyata memberikan warna baru pada sistem kepercayaan lokal. Vatikan
ternyata telah merumuskan tata cara pengiriman misi evangelis ke wilayah dengan
kultur dan karakter yang majemuk. Pada intinya, misi Katolik diharuskan
membahasakan iman Katolik dengan bahasa lokal dan tidak boleh merusak atau
menghilangkan identitas masyarakat lokal. Dengan demikian, kehadiran gereja
Katolik akan menjadi penjaga dan pemelihara kebudayaan lokal yang telah
bersentuhan dengan iman Katolik. Beragam terobosan dan inovasi dilakukan secara
pro-aktif oleh gereja Katolik untuk menjembatani kerukunan antar agama di
Flores. Relasi dengan masyarakat lokal dan agama lain yang ada di Flores
dilakukan melalui cara-cara damai dan saling menguntungkan. Dalam konteks
multikultralisme, gereja Katolik telah menjalankan peran dengan sangat serius
untuk menghargai dan menghormati eksistensi beragam identitas di luar sistem
religi mereka.
Tulisan selanjutnya berbicara mengenai Budhisme di Indonesia
serta perspektif mereka dalam multikulturalisme. Dipaparkan dalam penjelasan
yang singkat bahwa corak Budhisme di Indonesia memiliki akar sejarah yang
panjang dan bisa dimulai sejak kejayaan Sriwijaya pada abad ke-7. Setelah itu
dijelaskan pula terjadinya sinkretisasi antara agama Siwa (Hindu) dan Budha
pada era kekuasaan Majapahit sampai kemudian melahirkan semboyan Negara
“Bhineka Tunggal Ika”. Ajaran Budha terkait harmoni kehidupan antara umat
manusia dianggap sangat berkesesuaian dengan multikultralisme. Seorang yang
menapaki jalan Budha akan menghormati keberagaman orang lain. Dalam inti ajaran
Budha, kebahagiaan yang sejati adalah membahagiakan orang lain. Selain itu, para
Bhikku juga mengajarkan umat Budha untuk memahami bahwa hakikat eksistensi diri
mereka adalah untuk berguna bagi makhluk lain. Dengan ajaran yang begitu welas
asih dan toleran, umat Budha sejatinya adalah kelompok yang sangat mendukung
ide multikulturalisme.
Berikutnya adalah penjelasan mengenai agama Khonghucu yang
sudah diresmikan menjadi salah satu agama di Indonesia sejak tahun 2006. Meski
banyak dianut oleh kelompok minoritas Tionghoa, agama ini memiliki banyak
ajaran yang membuktikan sifat toleransi tingginya terhadap perbedaan dan
keberagaman identitas. Nabi Kongzi (Konfusius) pernah mengajarkan enam pedoman
agar manusia dapat diterima di manapun berada. Enam pedoman itu adalah;
berperilaku hormat, lapang hati, dapat dipercaya, cekatan, bermurah hati, dan
adil. Selain itu, umat Khonghucu meyakini ajaran dalam agama mereka yang
mengatakan bahwa semua manusia di empat penjuru samudra adalah bersaudara.
Dengan demikian, sulit kiranya mencari akar masalah dari substansi ajaran agama
apabila terjadi konflik horisontas antara umat Khonghucu dengan umat lainnya.
Pada gilirannya, umat Khonghucu di Indonesia mengalami lebih banyak tekanan
politik ketimbang benturan identitas di masyarakat.
1 comments:
postingan yang sangat menarik dan bermanfaat untuk disimak,,
MULTIKULTURALISME
very nice
Obat Herbal Kanker Otak Tanpa Operasi
Obat Herbal Tetanus Tradisional
Obat Herbal Campak
Obat Herbal Lupus
Obat Herbal Paru-Paru Basah
Obat Herbal Kaki Gajah Bengkak
Obat Herbal Faringitis
Obat Herbal Asam Lambung Kronis Paling Ampuh
Post a Comment