Wednesday, 31 December 2014

MENATA KEMBALI MULTIKULTURALISME: REVIEW BUKU "TOLERANSI DAN PERKAUMAN"




                                                                          sumber gambar

Suatu ketika saya pernah bertanya pada seorang mahasiswa yang memakai kaos oblong bertuliskan “Freedom Palestine” di kelas. Saya bertanya apakah ia membenci orang Yahudi? Dia bilang, orang Yahudi itulah musuh terbesar bangsa Palestina, bahkan umat manusia. Kemudian, saya bertanya tentang nama rumah ibadah umat Yahudi. Mahasiswa saya terdiam, sambil berusaha keras mengingat tentang pengetahuan yang sejatinya teramat dasar bagi siapapun yang menempatkan diri sebagai musuh orang Yahudi. Intinya, ia tidak berhasil menjawabnya.

Konflik Palestina-Israel memang berjarak ribuan mil dari Indonesia. Akan tetapi, kejadian tadi cukup menggambarkan model pemahaman sebagian besar masyarakat kita terkait identitas yang berada di luar diri mereka (liyan). Alih-alih bertanya mengenai perbedaan Judaisme dengan Zionisme, saya bahkan tidak yakin mahasiswa saya yang kebetulan muslim tersebut mampu membedakan antara Kristen Katolik dan Protestan. Padahal, dua entitas agama ini hadir dan hidup bersama dengan umat Islam di banyak wilayah di Indonesia. Lantas, dari sebelah mana kita harus memulai dialog kerukunan antar umat beragama yang dimitoskan sebagai alat tekan konflik horisontal yang marak terjadi belakangan ini?

Sudah banyak literatur yang berbicara sambil mempromosikan pluralisme sebagai tool untuk menjembatani kerukunan beragama di Indonesia. Sebagian kelompok bahkan mendiskusikan dan mendokumentasikan secara intensif aktivitas dialog antar agama sebagai langkah preventif pencegahan konflik horizontal. Namun, belum ada yang mencoba memetakan secara substansial mengenai ide penghormatan eksistensi keberagaman identitas sebuah kelompok atau kaum beragama itu sendiri. Pluralisme malah menjadi semacam kendaraan intelektual untuk menunjuk hidung kelompok aktivis agama sebagai biang kerok konflik horizontal di masyarakat. Dengan spirit pluralisme itu pula, kelompok sekuler radikal menempatkan agama sebagai variabel yang harus dimarjinalkan dalam ruang publik, termasuk di dalamnya politik praktis.

Pembicaraan mengenai pluralisme juga sering terjebak pada semangat penghilangan identitas sebagai cara menetralkan konflik yang seringkali terjadi atas nama identitas. Seolah-olah, pluralisme itu bertujuan melenyapkan semua basis afiliasi identitas agar semua orang berada dalam ruang yang netral agama, etnis, bahkan ras. Alih-alih menetralkan potensi konflik, ide pluralisme justru melahirkan konflik baru di tengah umat beragama itu sendiri. Majelis Ulama Indonesia bahkan mengeluarkan fatwa haram terkait penyebaran ide ini. Begitu pula gereja Katolik yang menganggap bahwa pluralisme sejatinya adalah musuh semua agama.

Pada lubang besar yang ditinggalkan oleh pluralisme inilah, konsep multikulturalisme dihadirkan kembali. Berbeda dengan pluralisme, multikulturalisme mengedepankan penghormatan akan setiap eksistensi identitas yang bertemu dalam ruang publik yang sama. Sepintas lalu, ide ini mirip dengan pluralisme yang jamak dipahami itu, akan tetapi multikulturalisme jelas tidak bertendensi pada pelenyapan identitas tiap-tiap kelompok. Sebaliknya, multikulturalisme justru menjadi alas untuk memberi ruang gerak seluas-luasnya bagi setiap identitas untuk berekspresi dan beraktualisasi.

Hal inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam buku ini. Betapa ide multikulturalisme ternyata sudah hidup dan berkembang dalam tradisi lokal masyarakat Indonesia. Di setiap entitas etnis dan kebudayaan, nilai penghormatan pada kebudayaan lain atau baru selalu ada dan terealisasi secara praktis. Penetrasi kolonial yang datang membawa sistem religi baru juga tidak melenyapkan semangat multikulturalisme yang telah berkembang sebelumnya. Konflik dan peperangan tentu saja ada dalam periodisasi sejarah interaksi antar masyarakat. Namun, secara garis besar, setiap sistem religi yang (meminjam istilah Dhani Iqbal) sudah mengadat memiliki basis nilai multikulturalnya sendiri-sendiri. Ide ini telah melewati tahapan yang panjang untuk sampai pada perwujudan mutual respect. Cara pandang kelompok agama yang diwakili oleh beberapa tulisan dalam buku ini menunjukkan betapa multikulturalisme itu hanya perlu digali kembali untuk disegarkan dalam konteks demokrasi prosedural seperti hari ini.

Salah satu hal yang menarik dalam buku ini adalah setiap entitas agama atau adat diwakili oleh orang yang menjadi bagian dari entitas itu sendiri. Para pembaca yang memiliki latar belakang identitas yang berbeda tentu saja dapat lebih yakin terkait hal yang disampaikan karena boleh jadi kita menyebutnya sebagai pandangan pihak pertama. Hal inilah yang justru sering tidak ada pada buku-buku bertema dialog antar agama yang marak beredar. Banyak sekali orang yang berbicara mengenai suatu kaum padahal ia bukan termasuk dari kaum tersebut. Berapa banyak sarjana Barat yang memamerkan hasil pemikiran mereka mengenai Islam dan Timur seraya mempromosikan dialog dan kerukunan. Padahal, sejak Edward Said memunculkan kritik dahsyat berjudul “Orientalisme”, kita semua tahu bahwa Baratlah yang mendefinisikan siapa Barat dan siapa Timur. Namun, sampai hari ini perkataan mereka (sarjana Barat) tentang Timur selalu didengar dan dihayati bak tausiyah dalam muhasabah intelektual.

Pada bagian pengantar, buku ini sudah memberikan kekuatan positioning yang tegas dalam mengisi kekosongan literarur terkait multikulturalisme. Tengku Dhani Iqbal yang menjadi editor buku ini memberi penjelasan singkat, namun kuat mengenai pentingnya buku ini untuk dibaca dan dihadirkan dalam wacana multikulturalisme yang masih “agak” sukar untuk dieja. Pengantar dari editor kemudian disambung dengan selayang pandang dari Mukhlis PaEni yang memaparkan forensik konflik horisontal atas nama identitas di Indonesia secara umum.

Menurut Mukhlis PaEni, sejarah Indonesia adalah sejarah konflik antar etnis. Bedanya, pada masa pra-kolonial, konflik antar etnis tidak membuat pranata mobilitas sosial menjadi rusak. Sedangkan setelah kedatangan penjajah, pendidikan dan pekerjaan menjadi pranata mobilitas sosial yang jauh melampaui fungsi lembaga adat. Institusi adat hanya berfungsi sebagai hiasan pada objek pariwisata dan tidak mampu menopang kualitas seseorang di tengah masyarakatnya. Lembaga adat malah terseret dalam partai politik dan dijadikan batu loncatan bagi mereka yang lemah secara personal, namun membutuhkan klaim kesukuan untuk memeroleh dukungan dalam politik.

Berikut ini adalah resume sederhana yang tampak seperti spoiler isi buku. Penulisannya diurut sesuai sebaran bab yang ada di dalam buku.

Bab pertama adalah tulisan mengenai agama tradisional masyarakat Dayak yang secara geografis menghuni pulau Kalimantan. Agama yang disebut Kaharingan ternyata merupakan sistem kepercayaan asli yang sudah ada sebelum datangnya Hindhu, Budha, dan Islam. Agama Kaharingan memiliki inti ajaran berupa keselarasan hidup antara manusia dengan alam dan Tuhan. Manusia dan alam diyakini sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan serta memiliki tata komunikasi di antara keduanya. Alam berkomunikasi melalui tanda-tandanya. Sedangkan manusia berkomunikasi melalui kematian yang menandakan kembali menyatunya antara manusia dengan alam. Oleh karena itu, masyarakat Dayak tidak akan bisa hidup tanpa tanah dan hutan mereka. Dengan agama ini pula, masyarakat Dayak konsisten menjaga keseimbangan ekologis alam mereka dari kerakusan kapitalisme global.

Tulisan berikutnya membahas mengenai filsafat kejawen yang dikenal di masyarakat Jawa. Kejawen bukan merupakan agama, tapi lebih berciri sistem filsafat spiritual yang bersifat terbuka. Dalam melihat keberagaman, ajaran Kejawen mengenal konsep “Hamemayu Hayuning Bawana” yang merupakan salah satu inti ajaran Kejawen itu sendiri. Hamemayu Hayuning Bawana dapat diartikan “menjaga dan melestarikan berkah anugrah alam”. Sedangkan konsep alam yang dimaksud dalam kalimat tersebut termasuk juga di dalamnya adalah manusia. Lebih khusus lagi, konsep ini memiliki ajaran yang bernama “Kautaming Babrayan” (hubungan baik dan harmonis di antara manusia) serta “Sedulur Papat” (semua makhluk adalah bersaudara). Dari sinilah dapat disimpulkan, bahwa seseorang yang menganut dan mempraktikkan ajaran Kejawen yang sejati tidak akan bersikap intoleran terhadap sesama manusia. Karena dalam konsep Kautaming Babrayan, harmoni kehidupan itu diwujudkan melalui heterogenitas dan bukan homogenitas. Ditambah lagi, seorang penganut Kejawen sejati juga tidak akan menjadi pemicu perang di antara umat manusia. Hal itu dikarenakan dalam konsep Sedulur Papat, semua mahkluk hidup di muka bumi adalah bersaudara, tidak terkecuali binatang, tumbuhan, dan bahkan makhluk halus.

Tulisan berikutnya membahas mengenai konsepsi ajaran Hindu yang berkenaan dengan toleransi beragama. Sang penulis, I Gusti Made Arya Suta Wirawan mengupas sejarah agama kuno masyarakat pulau Bali sebelum datangnya Hindu. Konsep mengenai ketuhanan dan alam maya sudah lebih dulu eksis di tengah masyarakat Bali. Namun, setelah masuknya Hindhu yang ternyata memiliki kualitas alam pikiran yang lebih kaya daripada alam pikiran kuno di Bali. Oleh karena itu, yang terjadi berikutnya adalah akulturasi dan sinkretisme antara Hindhuisme dan ajaran lokal di Bali. Sehingga, agama yang ada di Bali merupakan Hindhu yang berlandaskan ajaran lokal. Dari titik inilah kemudian sejarah telah mencatat keterbukaan masyarakat Hindhu Bali terhadap agama-agama yang datang pada periode setelah kejatuhan Majapahit seperti Islam dan Kristen. Karakter masyarakat Hindhu Bali yang meyakini konsep pluralitas horizontal menjadi unsur utama yang melahirkan toleransi antar umat beragama di Bali. Seloka yang terdapat pada kitab Veda dengan jelas mengajarkan mereka untuk menghormati dan menghargai segala perbedaan di antara manusia.

Namun, tinta emas toleransi beragama ini mendapatkan batu ujian yang sangat hebat pasca peristiwa Bom Bali 1 dan 2. Sejak saat itu sampai hari ini, konsep toleransi antar umat beragama khususnya Islam dan Hindhu membutuhkan asistensi pemerintah sebagai pihak ketiga yang harus menjadi mediator untuk meminimalisasi dampak konflik yang disebabkan rasa saling curiga dan tidak mengenal antara masing-masing kelompok. Nilai multikultralisme yang telah terjaga berabad-abad lalu tiba-tiba kembali ke titik awal.

Tulisan berikutnya mengangkat keberagaman yang luar biasa dari gugusan pulau yang tidak terlalu luas, Flores. Dari gugusan pulau yang selama ini dipinggirkan pemerintah pusat itu, terdapat puluhan etnis dan ratusan sub-etnis yang memiliki karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam konteks toleransi beragama, masyarakat Flores didatangi para penginjil Katolik yang ternyata memberikan warna baru pada sistem kepercayaan lokal. Vatikan ternyata telah merumuskan tata cara pengiriman misi evangelis ke wilayah dengan kultur dan karakter yang majemuk. Pada intinya, misi Katolik diharuskan membahasakan iman Katolik dengan bahasa lokal dan tidak boleh merusak atau menghilangkan identitas masyarakat lokal. Dengan demikian, kehadiran gereja Katolik akan menjadi penjaga dan pemelihara kebudayaan lokal yang telah bersentuhan dengan iman Katolik. Beragam terobosan dan inovasi dilakukan secara pro-aktif oleh gereja Katolik untuk menjembatani kerukunan antar agama di Flores. Relasi dengan masyarakat lokal dan agama lain yang ada di Flores dilakukan melalui cara-cara damai dan saling menguntungkan. Dalam konteks multikultralisme, gereja Katolik telah menjalankan peran dengan sangat serius untuk menghargai dan menghormati eksistensi beragam identitas di luar sistem religi mereka.

Tulisan selanjutnya berbicara mengenai Budhisme di Indonesia serta perspektif mereka dalam multikulturalisme. Dipaparkan dalam penjelasan yang singkat bahwa corak Budhisme di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang dan bisa dimulai sejak kejayaan Sriwijaya pada abad ke-7. Setelah itu dijelaskan pula terjadinya sinkretisasi antara agama Siwa (Hindu) dan Budha pada era kekuasaan Majapahit sampai kemudian melahirkan semboyan Negara “Bhineka Tunggal Ika”. Ajaran Budha terkait harmoni kehidupan antara umat manusia dianggap sangat berkesesuaian dengan multikultralisme. Seorang yang menapaki jalan Budha akan menghormati keberagaman orang lain. Dalam inti ajaran Budha, kebahagiaan yang sejati adalah membahagiakan orang lain. Selain itu, para Bhikku juga mengajarkan umat Budha untuk memahami bahwa hakikat eksistensi diri mereka adalah untuk berguna bagi makhluk lain. Dengan ajaran yang begitu welas asih dan toleran, umat Budha sejatinya adalah kelompok yang sangat mendukung ide multikulturalisme.

Berikutnya adalah penjelasan mengenai agama Khonghucu yang sudah diresmikan menjadi salah satu agama di Indonesia sejak tahun 2006. Meski banyak dianut oleh kelompok minoritas Tionghoa, agama ini memiliki banyak ajaran yang membuktikan sifat toleransi tingginya terhadap perbedaan dan keberagaman identitas. Nabi Kongzi (Konfusius) pernah mengajarkan enam pedoman agar manusia dapat diterima di manapun berada. Enam pedoman itu adalah; berperilaku hormat, lapang hati, dapat dipercaya, cekatan, bermurah hati, dan adil. Selain itu, umat Khonghucu meyakini ajaran dalam agama mereka yang mengatakan bahwa semua manusia di empat penjuru samudra adalah bersaudara. Dengan demikian, sulit kiranya mencari akar masalah dari substansi ajaran agama apabila terjadi konflik horisontas antara umat Khonghucu dengan umat lainnya. Pada gilirannya, umat Khonghucu di Indonesia mengalami lebih banyak tekanan politik ketimbang benturan identitas di masyarakat.

Selanjutnya, masih ada beberapa bab lagi yang sangat menarik dengan preferensi identitas yang berbeda dari setiap penulisnya. Total keseluruhan bab dalam buku ini adalah Sembilan bab yang mewakili sembilan entitas identitas yang hidup dan eksis di Indonesia. Konstruksi tulisan-tulisan selanjutnya juga memiliki kesamaan rupa dan spririt dengan bab-bab yang sudah dibahas sebelumnya. Saya sepakat bahwa buku ini bisa menjadi model bagi pengembangan semangat multikulturalisme pada negara yang sangat heterogen seperti Indonesia.

1 comments:

Anonymous said...

postingan yang sangat menarik dan bermanfaat untuk disimak,,
MULTIKULTURALISME
very nice
Obat Herbal Kanker Otak Tanpa Operasi
Obat Herbal Tetanus Tradisional
Obat Herbal Campak
Obat Herbal Lupus
Obat Herbal Paru-Paru Basah
Obat Herbal Kaki Gajah Bengkak
Obat Herbal Faringitis
Obat Herbal Asam Lambung Kronis Paling Ampuh

Post a Comment