Sebagai wartawan senior Kompas yang memiliki minat kuat dalam kajian konflik Timur Tengah,
nama Trias Kuncahyono tidak bisa dipandang sebelah mata. Analisis yang dilakukan dan ditulis secara reportatif terkait konflik Timur Tengah
adalah keunggulan yang dimiliki Pak Trias jika dibandingkan dengan penulis/pengamat Timur Tengah
lainnya di Indonesia. Dengan kata lain, buku-buku yang ditulis oleh Trias
Kuncahyono adalah alternatif yang baik di tengah minimnya literatur konflik Timur
Tengah dalam Bahasa Indonesia. Setidaknya hal itu juga dikatakan oleh Anies Baswedan
sebagai testimoni untuk buku ini.
Namun, ada beberapa hal yang menjadi catatan saya mengenai
buku Pak Trias kali ini. Dalam kasus okupasi Jalur Gaza oleh Israel terhadap Palestina akhir tahun 2008,
Pak Trias tampak ingin menyudutkan Hamas. Berkali-kali dalam buku ini ditulis bahwa
inisiatif serangan dimulai oleh kubu Hamas melalui serangkaian peluncuran roket
yang kemudian dibalas secara tidak adil oleh Israel. Secara alamiah, pembaca akan
mengasumsikan bahwa segala macam penderitaan yang dialami oleh rakyat Gaza
bersumber dari tindakan-tindakan Hamas. Pembaca akan berpikir demikian karena mau
tidak mau, ketika seorang pembaca diperlihatkan sebuah tragedi kemanusiaan dalam
bentuk kejahatan perang, salah satu cara untuk memikirkan solusinya adalah melihat
kembali proses awal mula terjadinya konflik tersebut. Dengan demikian,
pembaca akan mulai tergiring untuk menyimpulkan bahwa semua penderitaan dimulai dari serangan roket Hamas ke wilayah Israel. Secara implisit, Pak Trias menggiring pembaca untuk menyepakati satu hal bahwa untuk mencegah terjadinya peperangan,
maka hal-hal yang memicu terjadinya perang harus ditiadakan. Dengan kata lain, kampanye perdamaian yang disampaikan oleh Pak Trias
(seolah) akan terwujud jika Hamas berhenti menyerang Israel dan melucuti persenjataan
mereka.
Sebagai contoh, dalam buku ini, Pak Trias membahas kebrutalan Israel yang dikaitkan dengan hukum internasional. Menurut hukum
internasional, sebuah serangan militer harus memiliki dua syarat yaitu; 1. alasan
yang membenarkan (jus ad bellum), 2.
Tata cara pelaksanaan serangan (jus in
bello). Penekanan Pak Trias adalah bahwa Israel
menyalahi syarat yang kedua yaitu tata cara pelaksanaannya. Hal itu karena Israel menyasar
target sipil yang secara tegas dilindungi berdasarkan Konvensi Genewa.[i] Kebetulan, penderitaan masyarakat sipil ini juga yang mendapatkan porsi tulisan
hampir di seluruh isi buku. Sedangkan syarat pertama dianggap tidak ada masalah.
Secara halus, Pak Trias ingin menyatakan kalau syarat yang pertama sudah terpenuhi
oleh Israel. Syarat itu adalah alasan yang membenarkan serangan militer. Dan
alasan yang membenarkan tersebut adalah serangan roket-roket Hamas.
Berikutnya, Pak Trias secara tidak langsung melabeli
Hamas sebagai organisasi radikal, kalau tidak mau dikatakan teroris. Hal
tersebut terlihat dari pemilihan kutipan referensi yang digunakan yang memang secara
tegas mengatakan kalau Hamas adalah organisasi yang anti damai serta bernuansa kekerasan.[ii] Pak
Trias mungkin lupa, kalau dukungan masyarakat Palestina terhadap Hamas yang
berujung pada kemenangan pemilu Januari 2006 berakar pada kerja-kerja sosial yang
nyata serta komitmen perjuangan kemerdekaan yang selalu dilakukan Hamas di
tengah masyarakat.
Hal tersebut merupakan cara penggiringan opini
yang kurang bijak dalam mencerdaskan pembaca (awam) yang saat ini memiliki animo
luar biasa terkait tragedi kemanusiaan di Timur Tengah, khususnya Palestina. Seharusnya, Pak Trias juga
menyampaikan butir-butir Protokol Zion yang dirumuskan oleh Theodor Herzl dan rekan-rekannya
terkait cita-cita eksistensi bangsa Yahudi. Dinamika konferensi Zionis internasional
yang berujung pada pemilihan Palestina sebagai tempat gerakan pulang kampung Yahudi
sedunia memang sangat penting. Namun, menampilkan butir-butir protokol Zion
yang dihasilkan dari konferensi tersebut juga tidak kalah penting. Saya tidak percaya
apabila orang sekaliber Pak Trias tidak pernah membaca protokol tersebut. Tapi saya
juga tidak ingin menganggap Pak Trias dengan sengaja (seperti) menyembunyikan isi
protokol Zion yang intinya menegaskan bahwa Bangsa
Yahudi adalah serigala di antara manusia lain yang hanya domba. Konon, sejak membaca protokol ini, Adolf Hitler mulai melakukan program pembasmian orang-orang Yahudi saat Nazi
berkuasa di sebagian wilayah Eropa.[iii]
Terkait serangan yang dilakukan Hamas terhadap Israel, sepertinya Pak Trias perlu memperkaya literaturnya dengan ulasan-ulasan
Sigmund Freud atau Edward Said. Freud misalnya, dalam karya terakhirnya
yang berjudul “Moses and Monotheism” menyiratkan bahwa entitas yang
bernama Yahudi adalah sebuah nama yang tidak memiliki akar identitas sama sekali. Bahwa Musa yang dijadikan bapak oleh kaum Yahudi bukanlah orang
Yahudi, melainkan orang Mesir. Dan ajaran monoteisme
(satuTuhan) dipelajari orang Yahudi dari agama Firaun di Mesir. Artinya, jika hari
ini Zionisme membela mati-matian eksistensi Israel demi identitas ke-Yahudi-an
mereka, maka hal tersebut adalah sesuatu yang delusional.[iv]
Edward Said juga memberi pendapat terkait serangan yang dilakukan Hamas atas nama Palestina.
Menurut Said, serangan-serangan roket tersebut tidak bertujuan untuk mengalahkan Israel karena memang hal tersebut secara teknis mustahil.
Sebaliknya, serangan tersebut justru bertujuan untuk menjaga kewarasan warga Palestina terhadap pembersihan etnis yang dilakukan Israel. Dengan serangan-serangan
tersebut, Hamas ingin menunjukkan kepada Israel dan masyarakat dunia bahwa Palestina
masih ada sekalipun Israel berusaha keras untuk melenyapkan mereka.[v] Serangan militer yang dilancarkan Israel serta blokade telah membuat warga Palestina
begitu menderita dan merasa tidak lagi eksis di dunia. Semua tindakan ofensif
yang dilakukan pihak Palestina termasuk bom bunuh diri merupakan upaya untuk memantulkan
kembali kekejaman yang dilakukan Israel terhadap mereka. Itulah cara satu-satunya
bagi masyarakat Palestina untuk mendapatkan atensi dari dunia luar, termasuk kita
di Indonesia.
Kesimpulannya, meskipun cara penulisan buku ini tidak
seperti buku teks atau laporan penelitian ilmiah, namun buku ini sama sekali bukan
bacaan untuk para pemula studi Timur Tengah. Saya rasa buku ini tidak layak dibaca
oleh para pembaca awam. Sebaliknya, buku ini akan sangat bermanfaat bagi pembaca
yang sudah memiliki basis pemahaman yang cukup baik terkait studi Timur Tengah.
Data dan informasi yang disampaikan dalam buku ini cukup valid dan tidak dimanupulasi. Yang menjadi masalah adalah penggiringan opini
melalui data-data yang tidak berimbang yang dalam kasus Gaza terlalu menyudutkan
Hamas sebagai biang kerok konflik yang terjadi. Kapasitas Trias Kuncahyono sebagai
wartawan senior seharusnya bisa menampilkan gaya tulisan yang “cover both sides” sebagai salah satu pakem
dunia jurnalistik. Mengutip kekhawatiran Christopher Bollas, cara berpikir Trias
Kuncahyono ini sepertinya bisa melengkapi genosida etnis yang dilakukan Israel,
yaitu genosida intelektual seperti yang sudah banyak tampil dalam narasi Barat
tentang Palestina.[vi]
Serangan roket-roket Hamas seharusnya bisa dilihat
dari perspektif yang berbeda jika penggalian literatur kita diperluas. Sebagai
contoh, beberapa penulis mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Hamas adalah
bentuk perlawanan yang sah, bahkan merupakan hak mempertahankan diri. Hal ini
sudah ditegaskan oleh banyak pihak bahwa Palestina berhak “membela dirinya”
sendiri.[vii]
Bahkan, hal tersebut juga diatur dan disahkan dalam Konvensi Genewa yang
sayangnya tidak disinggung sama sekali oleh Pak Trias.
Hal terakhir yang membuat saya sangat kecewa
dengan pemaparan Pak Trias adalah tulisan mengenai kiprah Salahuddin al Ayyubi
di Gaza. Secara tidak berimbang, Pak Trias menggiring opini pembaca untuk
menyepakati bahwa Salahuddin adalah seorang pengacau yang menghancurkan Gaza
tatkala Ksatria Templar mempertahankan kota itu mati-matian. Sebaliknya,
Richard si “Hati Singa” justru digambarkan sebagai pemimpin yang membangun Gaza
kembali dari kehancurannya akibat ulah Salahuddin.[viii]
Hal ini tentu sangat berlawanan dengan literatur Perang Salib pada umumnya yang
mengatakan bahwa Salahuddin berperang secara hebat dan penuh kehormatan. Di
antara kronik Perang Salib antara Salahuddin dan Richard yang paling terkenal
adalah peristiwa pembantaian di Acra. Atas perintah raja Richard, pasukan Salib
memenggal 2.500 umat Islam di Acra yang menjadi tawanan mereka saat perang.[ix]
Dari kebiadaban yang dilakukan Richard, hal ini menjadi pembeda yang jelas antara
siapa Salahuddin dan siapa Richard. Sayangnya, fakta sejarah mengenai
pembantaian Acra tidak dibahas sama sekali. Yang ada justru invasi pasukan
Napoleon ke Acra yang menjadi ibukota Palestina saat itu.
Salah seorang dosen saya dulu pernah mengatakan kalau
Israel tidak mengenal teori diplomasi apapun. Satu-satunya alat diplomasi bagi
Israel adalah senjata. Jadi, adalah hal yang percuma mengampanyekan perdamaian kepada
pihak yang menganggap diri mereka sebagai serigala bagi pihak lain yang
dianggap domba. Dalam setiap konflik di Palestina, Israel harus diberikan lampu
sorot sebagai bintang utama kekerasan, dan bukan disodorkan (secara naïf)
solusi dua negara berdaulat yang mulai terdengar utopis.
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip sebagian
lirik lagu dari seorang musisi beraliran rock dari Amerika Serikat keturunan Armenia yang juga aktivis
anti-perang bernama Serj Tankian. Dalam lagu berjudul
“Occupied Tears”, Serj mengatakan;
Holocaust, you taste the great fears
How
can you just occupy another child`s tear
Don’t
you all know?
Don’t
you all care?
Don’t
you all see how this is not fair…
[i] Trias Kuncahyono, Jalur Gaza: Tanah
Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis, Jakarta:
Kompas, 2009, hal. 248
[iii] Pembasmian Yahudi yang sering disebut holocaust terjadi secara sistematis pada era
fasisme Nazi di Eropa. Meskipun angka jumlah korban masih diperdebatkan,
namun fakta-fakta sejarah membuktikan genosida ini pernah terjadi saat perang dunia
kedua.
[iv] Sigmund
Freud sendiri adalah seorang Yahudi yang berasal dari Austria. Dia ikut menjadi
korban gejala anti-Semit (anti Yahudi) yang menyebar di Eropa dan membuatnya
harus mengungsi ke Inggris sampai akhir hidupnya. Lihat,
Sigmund Freud, Moses and Monotheism,
terj; Katherine Jones, New York: Vintage, 1967.
[v] Edward Said, Bukan Eropa:
Freud dan Politik Identitas di Timur Tengah, Tangerang: Marjin Kiri, 2005, hal. 5
[vii] Lihat, Muhsin Labib dan Irman Abdurrahman, Gelegar
Gaza: Denyut Perlawanan Palestina, Jakarta: Zahra, 2009.
[ix] Dalam film Robin Hood (2010) karya sutradara
Ridley Scott, kisah pembantaian di Acre ini juga menjadi salah satu sudut
pandang penting di alur awal cerita. Dikisahkan dalam film ini bahwa Robin
Loxley, sebelum menjadi Robin Hood merupakan tentara dalam perang Salib. Ketika
ia menyaksikan pembantaian umat Islam di Acra, ia kehilangan rasa hormatnya
pada Raja Inggris. Saat itulah, ia merasa perang yang dijalani olehnya bukan
atas nama Tuhan lagi. Bahkan, ia merasa saat pedang Pasukan Salib menebas leher
ribuan umat Islam yang tidak berdaya itu, saat itulah mereka kalah dan sudah
tidak ber-Tuhan lagi.
1 comments:
SAVE GAZA
SAVE PALESTINE
SAVE INDONESIA
Obat Herbal Varikokel
Obat Herbal Lambung Bengkak
Obat Herbal Polip Hidung
Obat Herbal Anemia Akut
Obat Herbal Tumor Jinak Ampuh
Obat Herbal Cacar Air
Obat Herbal Kanker Usus Besar
Suplemen Pemutih Wajah
Obat Herbal TBC akut
Obat Herbal Keloid Ampuh
Post a Comment