Friday 10 February 2012

SAATNYA BERDIALOG DENGAN OPOSISI



Selama berbulan-bulan, akhirnya tercapai sebuah kesepakatan yang mengakhiri krisis politik di Yaman. Gelombang demonstrasi besar-besaran yang menuntut Presiden Ali Abdullah saleh untuk mundur akhirnya mereda. Kesepakatan yang terjadi merupakan resolusi yang diusung oleh banyak mediator untuk menekan jatuhnya korban di kedua belah pihak yang berseteru. Aksi represif dari militer berakhir setelah presiden Saleh mendapatkan jaminan pemaafan atas dosa-dosa poltiknya di masa silam. Dengan jaminan yang diberikan parlemen tersebut, presiden Ali tidak akan bernasib sama seperti Hosni Mubarak di Mesir. Sebaliknya, pihak oposisi mendapatkan jaminan turunnya Presiden Ali serta penyelenggaraan pemilu berikutnya yang lebih demokratis. Situasi yang sebenarnya sudah sering diprediksi oleh berbagai kalangan. Solusi Yaman disebut-sebut sebagai solusi terbaik bagi diktator lain di kawasan Timur tengah yang sedang menanti penghakiman sosial seperti Bashar al-Assad di Suriah. Bisa jadi, model penyelesaian konflik ala Yaman akan menjadi tren akhir revolusi musim semi di negara Arab.

Di belahan bumi yang lain, pihak oposisi Malaysia baru saja merayakan kemenangan Anwar Ibrahim di pengadilan tinggi Malaysia. Anwar baru saja divonis bebas atas tuduhan sodomi terhadap anak buahnya. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa kunci kemenangan Anwar di persidangan adalah restu dari partai berkuasa yaitu UMNO untuk menyudahi drama pengadilan Anwar. Pengamat politik dari Malaysia ada yang sempat berkomentar bahwa kehidupan demokrasi di Malaysia sangat tertinggal di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Pengamat tersebut melanjutkan bahwa di Myanmar saja, pihak Junta Militer mau bernegosiasi dengan pihak oposisi pimpinan Aung San Su Kyi. Sebaliknya di Malaysia, partai UMNO hampir tidak pernah memberikan kesempatan pihak oposisi untuk menantang mereka secara fair. Pengadilan yang digelar untuk Anwar Ibrahim sering dituduh sebagai konspirasi partai penguasa untuk menjegal pergerakan lawan politik mereka. Hal inilah yang kemudian memunculkan spekulasi mengenai serunya politik di Malaysia pasca bebasnya Anwar Ibrahim. Di tambah lagi, Anwar sendiri berikrar di hadapan pendukungnya untuk terus maju dalam kontes politik Malaysia.

Kasus Yaman dan Malaysia memberikan contoh nyata dalam diskursus demokrasi moderen. Dialektika antara penguasa-oposisi, mayoritas-minoritas merupakan hal mutlak yang harus ada dalam praksis operasional. Apapun situasinya, apabila terjadi penaklukan dan dominasi salah satu pihak, maka demokrasi akan lumpuh. Pihak penguasa yang sekalipun sudah terkooptasi dengan berbagai penyelewengan dan pelanggaran hak, tidak selamanya harus dibumi-hanguskan. Secara formal, pihak penguasa memiliki akses untuk menggunakan kekerasan melalui militer dan aparatur intelejen. Hal inilah yang biasanya memperpanjang konflik. Di sisi lain, pihak oposisi yang memilih jalan konfrontasi militer sering dijadikan proxy oleh kepentingan asing untuk mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi. Kasus ini terlihat jelas dari asistensi militer yang dilakukan NATO untuk pihak oposisi di Libya.  Bukti kepentingan NATO atas kemenangan pihak oposisi adalah merapatnya sederet perusahaan minyak swasta asing asal Eropa dan Amerika Serikat di Libya pasca kejatuhan Khadafi. Alih-alih membebaskan Libya dari otoritarianisme Khadafi, NATO justru menggiring Libya ke dalam situasi rawan perang saudara. Sekadar catatan, negeri ini belum pernah melaksanakan Pemilu yang demokratis selama masa kekuasaan Khadafi. Selama krisis dengan Khadafi, pihak oposisi disatukan oleh kepentingan bersama untuk menumbangkan rezim. Namun, pasca krisis, mereka tidak memiliki blueprint untuk menyelenggarakan pemerintahan. Bukan tidak mungkin, Libya akan menuju negara gagal seperti Irak dan Somalia. Sementara itu, sumber daya alam mereka dikelola oleh perusahaan asing.

Krisis berkepanjangan dan eksalasi militer sudah seharusnya dihindari dalam transisi politik di Timur Tengah yang saat sedang marak. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh di pihak sipil akibat konflik yang terjadi. Intervensi pihak asing dalam penyelesaian harus ditempatkan dalam kerangka mediasi dan dialog antara pihak yang  berselisih. Pemihakan pada salah satu kelompok hanya akan melahirkan transisi yang brutal dan sporadis. Kepentingan-kepentingan ekonomi  asing dalam asistensi konflik menjadi sebuah keniscayaan apabila terjadi pemihakan. Berdasarkan pengalaman Yaman, pendekatan dialogis antara pihak penguasa dan oposisi nampaknya lebih memberikan peluang. Dialog adalah jalan keluar terbaik bagi semua golongan untuk keluar dari sebuah krisis politik. Dialog juga mampu meminimalisasi intervensi asing atas transisi kekuasaan sebuah negara.

 
Biar bagaimanapun, dalam sebuah proses revolusi, jarang sekali pihak oposisi memiliki infrastruktur politik untuk menggantikan penyelenggaraan pemerintahan sebuah rezim. Momentum revolusi yang terkadang sulit untuk diulang membuat para aktivis yang kontra penguasa tidak ingin berlama-lama untuk menyelesaikan tuntutan mereka. Hal ini membuat pihak oposisi sering lupa untuk membuat rancangan sistem pemerintahan transisi pasca menjatuhkan rezim penguasa. Berkaca pada kasus revolusi Iran tahun 1979, sekalipun Khomeini berhasil memunculkan sistem politik yang sama sekali baru, tetap saja masa transisi itu memerlukan waktu sekitar 10 tahun. Itu pun dilalui dengan mengonsolidasikan seluruh pihak untuk berperang melawan Irak selama 8 tahun. Selama 10 tahun pertama republik Iran yang baru, konflik internal antar elemen pendukung revolusi meruncing tajam. 

Kasus Yaman dan Malaysia bisa menjadi catatan penting bagi perjalanan demokrasi di negara-negara berkembang. Kesenjangan politik antara pihak penguasa dan oposisi harus dijembatani dengan pendekatan dialogis. Pendekatan represif dan konfrontatif justru memancing datangnya intervensi asing yang tindakan dan hasilnya sulit dipertanggungjawabkan. Situasi faktual yang terjadi di Irak hari ini cukuplah menjadi pelajaran berharga mengenai pola transisi paling elegan bagi negara-negara Timur Tengah. Era kediktatoran dan otoriteraniasme memang harus diakhiri. Namun, proses mengakhiri tirani itulah yan g sebaiknya dijadikan perhatian. Duduk bersama untuk dialog dengan seluruh pihak adalah jalan terbaik untuk keluar dari krisis politik yang terjadi. Semua proses harus mengarah pada perlindungan hak-hak sipil dan semangat rekonsiliasi.

alhamdulillah

alhamdulillah, bisa masuk lagi -- setelah melewati proses verifikasi yang gaib -- huh! padahal yang baca gak ada, tapi berhubung gak punya softcopy artikel dimari jadi rusuh juga...