Sunday 10 November 2013

ISRAEL DI BELAKANG PEMBUNUHAN ARAFAT: SIAPA LAGI?






                                                                    original pict from

Setelah hampir satu bulan, media internasional sibuk memberitakan prahara penyadapan komunikasi yang dilakukan oleh intelejen AS, tiba-tiba Al-Jazeera merilis laporan mengenai sebab-sebab kematian Yasser Arafat, pemimpin legendaris dari Palestina.

Laporan yang disusun dengan sangat detail itu memuat berbagai dokumen yang dikeluarkan ilmuwan dari Swiss yang menyimpulkan adanya kemungkinan yang sangat kuat bahwa Arafat tewas karena diracun. Zat pembunuh yang menjadi eksekutor Arafat adalah Polonium, jenis zat radioaktif yang hanya bisa diproduksi melalui reaktor nuklir. Polonium adalah zat yang sangat beracun apabila masuk ke aliran darah. Efeknya bisa sangat mematikan seperti halnya sianida yang biasa digunakan dalam operasi pembunuhan tokoh politik. 

Arafat yang kita kenal adalah tokoh perjuangan rakyat Palestina yang sangat legendaris. Dialah ikon sekaligus simbol perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan Israel sejak pertama kali negara Yahudi itu mendeklarasikan diri. Arafat juga menjadi tokoh pendiri PLO (Palestine Liberation Organization) yang menjadi wadah semua organisasi pembebasan Palestina. Melalui organisasi bernama Fatah yang menjadi faksi terbesar di PLO, Arafat membawa isu kemerdekaan Palestina ke se-antero bumi. 

Arafat muda sangat sering terlibat dalam konflik bersenjata dengan Israel. Berdirinya PLO menjadi momok tersendiri bagi eksistensi Israel yang menguasai hampir seluruh wilayah Palestina. Arafat harus jatuh bangun berkejaran dengan militer Israel ke negara-negara tetangga untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Di setiap negara yang ia singgahi, militer Israel selalu berhasil mengejar dan memberikan pukulan telak yang berujung pada banyak sekali tragedi kemanusiaan. Hal ini membuat setiap negara Arab yang dikunjungi PLO jadi merasa terancam karena takut dianggap melindungi “musuh Israel”. Mereka tidak mau terkena imbas konflik antara PLO dengan Israel seperti yang terjadi pada Lebanon. 

Menurut hemat saya, Arafat ini menemukan titik jenuh yang luar biasa ketika harus berkejaran dengan militer Israel selama puluhan tahun. Strategi konfrontasi senjata mulai ia tinggalkan ketika masuk periode 1990-an. Sejak periode itulah, Arafat mulai mengakui eksistensi Israel. Ia mulai senang dengan perjuangan diplomasi dari perundingan ke perundingan. Tahun 1993, lahirlah kesepakatan Oslo yang memaksa PLO untuk mengakui eksistensi Israel di Palestina. Di sisi lain, Israel juga harus menjamin otoritas PLO untuk mengatur wilayah Gaza dan Tepi Barat. Sontak, kesepakatan ini mencederai banyak sekali faksi di PLO. Mereka mulai menganggap Arafat sebagai pengkhianat. Alih-alih menyepakati perjanjian Oslo, mereka memilih untuk tetap melakukan perlawanan bersenjata terhadap Israel.

Imbas dari kedekatan Arafat dengan Israel ini adalah perpecahan luar biasa di dalam batang tubuh PLO. Faksi Islam seperti Hamas tidak pernah sedikitpun memercayai meja perundingan dengan Israel, apalagi yang dimediasi oleh Amerika Serikat. Puncak dari kekecewaan ini adalah meletusnya gerakan Intifada yang begitu masif dan meluas. Intifada membuat pihak Israel semakin geram terhadap Palestina. Mereka kemudian menekan Yasser Arafat untuk dapat bertindak tegas dan menertibkan faksi-faksi bersenjata di Palestina. Pada titik inilah, saya menilai Arafat mulai menghadapi dilema. Di satu sisi, taktik diplomasi yang ia lakukan tidak memberikan keuntungan langsung. Di sisi lain, kelompok Islamis tidak mendukungnya sama sekali. hal inilah yang kemudian membuat Arafat bersikap pasif terhadap segala desakan dan tekanan Israel.

Memasuki periode 2000-an awal, Israel semakin menyadari ketidakberdayaan Arafat dalam proksimitas kepentingan mereka. Untuk itulah, menurut saya, Israel berkepentingan untuk menyingkirkan Arafat dan digantikan dengan pemimpin sekuler lain yang lebih kooperatif. Di sisi lain, popularitas Hamas sebagai representasi kelompok Islam di kalangan rakyat Palestina semakin besar. Israel jelas membutuhkan kendaraan politik seperti Partai Fatah untuk menjajaki kemungkinan perundingan-perundingan damai yang lebih diplomatis. Sekadar catatan, isu terpenting dari setiap rezim pemerintahan di Israel adalah keamanan nasional. Sukses tidaknya seorang Perdana Menteri diukur langsung dari angka serangan yang dilakukan pihak pejuang Palestina ke wilayah Israel. 

Dengan demikian, saya mendukung penuh semua bukti temuan para ilmuwan, termasuk ahli forensik ternama, Dave Barclay yang mengatakan kalau Arafat tewas karena diracun. Sampai tulisan ini dibuat, pihak Israel masih menolak tuduhan yang diberikan pada mereka. Meski demikian, para ahli nuklir dan ilmuwan meyakinkan publik bahwa material radioaktif seperti polonium hanya bisa diproduksi melalui reaktor nuklir. Sedangkan, reaktor nuklir hanya bisa dimiliki oleh negara yang tercatat memiliki nuklir. Dalam kaitannya dengan Palestina, negara tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Israel. Kasus yang justru menarik untuk dikembangkan adalah tuduhan dari Suha Arafat, istri Yasser Arafat yang dulu pernah menuduh ada persekongkolan jahat yang membunuh suaminya. Pada hari-hari terakhir Arafat di rumah sakit di Perancis, ada sekelompok orang dari gerakan Fatah yang menjenguk. Suha menyebut para penjenguk itu sebagai kelompok konspirator yang berniat membunuh suaminya. Di antara para penjenguk suaminya itu, terdapat Mahmoud Abbas yang hari ini menjabat sebagai Presiden Palestina.

Monday 9 September 2013

SELEBARAN-SELEBARAN PROPAGANDA

                                                                     original pict from                   


Sebelum Amerika Serikat menginvasi Afghanistan pasca serangan gedung WTC 11 September 2001, mereka menyebarkan flyers ke penjuru kawasan. Isi selebaran yang disebar kepada warga tersebut adalah;

Apa kalian suka berada di bawah kekuasaan Taliban? Apa kalian bangga menjalani kehidupan dalam ketakutan? Apa kalian bangga tempat yang kalian tinggali selama beberapa generasi adalah markas teroris? Apa kalian menginginkan sebuah rezim yang mengantarkan Afghanistan ke zaman batu dan memberikan citra buruk pada Islam? Apa kalian bangga hidup di bawah pemerintahan yang menyembunyikan teroris? Apa kalian bangga untuk hidup di sebuah negara yang dikuasai oleh kelompok fundamentalis ekstrim? Taliban sudah merampok budaya dan kekayaan negara kalian. Mereka sudah menghancurkan monumen nasional serta artefak kebudayaan kalian. Mereka memerintah dengan paksaan, kekerasan, dan ketakutan yang mereka pelajari dari para penasehat asing. Mereka berkeras kalau gaya pemerintahan Islam mereka adalah satu-satunya sistem yang benar, sistem yang disahkan oleh Tuhan. Mereka menganggap diri mereka sebagai ahli agama sekalipun mereka sebenarnya orang dungu. Mereka membunuh, berlaku tidak adil, dan membuat kalian tetap miskin sambil mengklaim semua itu atas nama Tuhan.

Dengan sangat kritis, William Blum menganggap selebaran seperti ini juga pantas disebarkan di atas wilayah Amerika Serikat. Tentunya dengan sedikit perubahan, menjadi seperti ini;

Apa kalian senang berada di bawah kekuasaan Partai Republik dan Demokrat? Apa kalian bangga untuk hidup di bawah ketakutan, ketidak-amanan, dan kepanikan? Apa kalian senang melihat tempat yang kalian tinggali selama beberapa generasi diambil alih oleh bank? Apa kalian menginginkan sebuah rezim yang mengubah Amerika Serikat menjadi negara polisi dan memberikan citra buruk pada ajaran Kristen? Apa kalian bangga hidup di bawah pemerintahan yang menyembunyikan ribuan teroris di Miami? Apa kalian bangga hidup di sebuah negara yang diatur oleh para kapitalis ekstrim dan konservatif religius? Para kapitalis sudah merampok rasa keadilan dan persamaan di bangsa kalian. Mereka sudah menghancurkan taman nasional dan sungai-sungai kalian. Mereka juga sudah mengorupsi media, pemilu, dan hubungan pribadi di antara kalian. Mereka memerintah dengan ancaman seperti pengangguran, kelaparan, dan ancaman ketiadaan tempat tinggal. Semua itu mereka jalankan berdasarkan nasehat dari tuhan mereka yang bernama pasar. Mereka berkeras kalau cara mereka mengelola masyarakat dan membangun dunia adalah cara satu-satunya yang benar, yang disahkan oleh Tuhan. Mereka menganggap diri mereka sebagai para ahli moral meski sebenarnya mereka dungu. Mereka membom, menginvasi, membunuh, membantai, menggulingkan penguasa lain, dan berlaku tidak adil. Mereka membuat kalian dan dunia tetap dalam kesengsaraan sambil mengatakan semua itu atas nama Tuhan.

Dikutip dari buku Rogue State: A Guide to the World`s Only Superpower, karya William Blum tahun 2002

Tuesday 27 August 2013

IMPLIKASI LUAS PENGUNDURAN DIRI EL-BARADEI



                                                                     original pict from

Setelah kudeta berdarah yang dilakukan militer terhadap pemerintahan Muhammad Mursi, situasi tidak menjadi lebih baik. Mesir menuju negara gagal ...
                Kudeta yang terjadi pada akhir Juli 2013 menjadi titik balik proses revolusi sekaligus demokratisasi di Mesir yang sedang berlangsung. Situasi kemudian berkembang menjadi semakin tidak terkendali. Para demonstran damai dibubarkan paksa oleh aparat militer dengan cara sadis. Mereka ditembaki secara acak oleh para penembak jitu yang disebar di beberapa gedung bertingkat. Setidaknya, jumlah korban meninggal dari pihak demonstran mencapai angka yang mengejutkan yaitu 750 orang. Tidak hanya para demonstran pendukung Presiden Mursi, beberapa jurnalis lokal dan internasional juga ikut menjadi korban kekejaman aparat Mesir.
                Sikap Ikhwanul Muslimin yang bersikeras tetap turun ke jalan sekalipun sudah diberi tindakan keras oleh aparat membuar militer semakin gusar. Puncaknya, militer membongkar paksa tenda-tenda para demonstran serta mengambil alih kembali Masjid Fatah yang sebelumnya menjadi tempat berkumpul para demonstran. Operasi represif ini menjatuhkan banyak korban dari pihak demonstran serta meninggalkan foto-foto yang begitu mengerikan di banyak media internasional.
Pembebasan Husni Mubarak
                Situasi semakin rumit tatkala Husni Mubarak bersiap-siap untuk dibebaskan. Hal ini terjadi karena sistem hukum di Mesir yang begitu pro dengan kekuatan militer. Namun, pada teorinya, Husni Mubarak memang sudah seharusnya dibebaskan jika mengacu kepada aturan hukum di Mesir. Undang-undang peradilan di Mesir membolehkan seorang tahanan untuk dibebaskan jika dalam tempo 24 bulan si tersangka belum mendapatkan vonis pengadilan.[i] Ironisnya, pada waktu yang bersamaan, Muhammad Mursi juga akan disidang di pengadilan atas tuduhan provokasi dan pembunuhan saat terjadinya demonstrasi massal. Dengan demikian, dalam sejarah Mesir, akan terjadi dua persidangan untuk dua presiden yang berseteru. Yang satu untuk membebaskan mantan presiden Husni Mubarak. Sedangkan sidang yang satunya lagi untuk memenjarakan presiden terpilih, Muhammad Mursi. Bagi para pengamat hukum seperti Mike Hanna, yang terpenjara sebetulnya bukanlah presiden Mursi melainkan sistem hukum itu sendiri.[ii]
                Rencana pembebasan Mubarak ini jelas membuat kubu pro-revolusi 25 Januari yang notabene sebagiannya juga pendukung kudeta militer menjadi terperanjat. Common enemy bagi rakyat Mesir saat revolusi adalah Husni Mubarak, tiba-tiba hari ini simbol pemersatu kemarahan rakyat Mesir itu justru akan dibebaskan. Masih sangat jelas di ingatan mereka, semangat yang begitu menggelora tatkala berkumpul di Tahrir Square sambil meneriakkan “irhal” (turun)! Kepada Husni Mubarak. Maka, sangat jelas pula perasaan yang mereka alami saat ini tatkala harus menerima kenyataan bahwa Husni Mubarak akan segera dibebaskan, meski tidak kembali menjadi presiden.
El-Baradei ditahan
                Isu pembebasan Husni Mubarak memicu tokoh sentral kelompok oposisi seperti El-Baradei untuk bereaksi. Namun, tidak disangka-sangka, reaksi yang ia lakukan adalah pengunduran diri secara sepihak dari jabatannya sebagai wakil presiden di pemerintahan sementara. Sikap El-Baradei ini bisa dipahami sebagai konsekuensi moral politiknya. El-Baradei menjadi salah satu tokoh sentral perlawanan terhadap Husni Mubarak yang sekaligus dinobatkan menjadi calon presiden melalui partai An-Nour yang ia dirikan. Pada masa kekuasaan Presiden Mursi, ia juga menjadi sosok yang begitu menokoh dalam rangka menentang arus Islamisasi yang ia anggap sebagai kediktatoran baru. Ia bersama-sama dengan pihak militer mendukung kudeta terhadap Presiden Mursi. Pembebasan Husni Mubarak menjadi tamparan keras bagi posisinya hari ini yang dilematis di antara kubu pro-revolusi dengan militer. Lalu, keputusan akhir yang diambilnya adalah mengundurkan diri secara sepihak. Hal ini kemudian memicu reaksi balik yang juga mengagetkan. El-Baradei justru diburu oleh pihak aparat dengan tuduhan berkhianat terhadap revolusi rakyat.
                Pada saat pengunduran dirinya, El-Baradei berkata pada publik “....I always saw peaceful alternatives for resolving this societal wrangling, certain solutions were proposed, which could have led to the national conciliation, but things have come this far...It has become difficult for me to continue bearing the responsibility for decisions at which I do not agree, and I fear their consequences; I cannot bear the responsibility for single drop of blood before God, before my own conscience or citizens ...”.[iii] Setelah itu, ia melarikan diri ke Wina, Austria di bawah perlindungan PBB. Sampai hari ini, El-Baradei maih merupakan buronan aparat militer Mesir dengan tuduhan mengkhianati kepercayaan rakyat.[iv]
                Sebelum pengunduran diri El-Baradei, mayoritas analis asing memprediksi sebuah perang saudara berskala masif di Mesir. Hal itu didasarkan pada sikap IM yang tidak kunjung bergandengan tangan dengan kubu militer. Sikap terakhir dari IM adalah tetap bertahan di jalan-jalan meskipun Jenderal Al-Sisi memberi ultimatum dan mengancam akan menggunakan kekuatan penuh dengan dalih untuk mengembalikan “stabilitas”. Ditambah lagi jumlah korban yang sudah dan masih berjatuhan dari kubu demonstran. Seruan berdemonstrasi bagi kubu IM sudah bertendensi sebagai jihad, sedangkan para korban yang meninggal dilabeli sebagai martir dan syuhada. Pihak IM tidak punya pilihan selain bertahan dari apa yang mereka sebut sebagai pemenggalan proses demokrasi. Hal senada juga dikuatkan oleh John Esposito yang mengatakan bahwa “Mohamed Morsi and the Brotherhood's Freedom and Justice Party came to power through ballots, not bullets”.[v] Jika IM mundur dari perlawanan politik mereka, maka sayap-sayap politik Islam di seluruh dunia tidak akan percaya lagi dengan proses demokratisasi dan kembali mengangkat senjata. Hal itu, sama artinya dengan menyambut era radikalisme baru yang pastinya lebih brutal dan intoleran. Usaha puluhan tahun untuk membuat dunia percaya kalau kelompok Islam bisa berpartisipasi dalam demokrasi akan runtuh seketika.
                Banyak juga analis yang memprediksi pecahnya perang saudara di Mesir menuju sebuah negara gagal (failed state). Namun, dengan penangkapan El-Baradei ini, skenario kemungkinan akan berubah drastis. Kali ini, skenario revolusi 25 Januari bisa jadi akan terulang kembali. Kubu Islamis dan sekuler-liberal akan bersatu kembali menentang kediktatoran militer yang ternyata berada di balik pembebasan Husni Mubarak. Di sisi lain, sikap kelompok pengusaha yang selama ini dekat dengan militer akan sangat dinanti. Hal itu dikarenakan aliran dana bagi kubu yang pro atau kontra terhadap rezim sebagian besar dialirkan dari atau melalui mereka. Meski demikan, banyak juga pakar yang mengatakan kalau sikap pengusaha ini sebagian besar didasari pada keamanan aset investasi mereka. Dengan kata lain, dukungan sebagian besar pengusaha kepada militer selama ini lebih disebabkan faktor pragmatisme untuk iklim usaha mereka sendiri.
Sayangnya, di saat bantuan finansial dari negara-negara Barat mulai terhenti, justru negara-negara monarki di Teluk yang mengambil alih pemberian bantuan. Arab Saudi, UAE, dan Kuwait misalnya, memberi bantuan yang langsung ditujukan kepada pemerintah junta militer Mesir dengan harapan segera menumpas gerakan terorisme (baca: Ikhwanul Muslimin). Alih-alih menentang kudeta militer, rezim monarki di Teluk justru sepakat dengan stigma teroris yang disematkan pada kelompok Islamis seperti Ikhwanul Muslimin. Tidak hanya bantuan dana, Saudi Arabia juga memberi bantuan moral berupa fatwa dari ulama Wahabi di negara mereka. Fatwa itu mengatakan bahwa demonstrasi yang melibatkan anak-anak dan perempuan adalah haram. Intinya, para ulama wahabi menginginkan agar para pendukung Muhammad Mursi segera kembali ke rumah dan menjaga darah serta kehormatan mereka. Fatwa ini menyebar luas di media sosial dan menimbulkan banyak sekali perdebatan.
Di sisi lain, pihak militer dan juga kelompok oposisi masih sibuk mempersiapkan agenda rekonsiliasi nasional untuk menyambut pemilu berikutnya. Rekonsiliasi nasional yang di dalamnya mengajak semua pihak tidak dihiraukan oleh kubu Ikhwanul Muslimin. Dalam ulasannya di Aljazeera, Anwar Ibrahim mengatakan kalau rekonsiliasi nasional yang melibatkan semua pihak tidak mungkin bisa dilaksanakan di bawah kendali penguasa yang tidak sah. Rekonsiliasi juga tidak mungkin dilakukan tatkala salah satu pihak menodongkan senjata ke arah kepala pihak lain. Sebaliknya, rekonsiliasi hanya bisa dilakukan setelah Presiden Mursi dikembalikan ke kantornya yang sah dan seluruh pendukungnya dibebaskan.
Sampai tulisan ini diangkat, pihak militer sudah memenjarakan hampir seluruh pimpinan tertinggi Ikhwanul Muslimin, selain presiden Mursi. Sebagai catatan, lokasi penahanan Presiden Mursi dan beberapa petinggi IM sampai hari ini masih dirahasiakan oleh pihak militer. Tidak hanya itu, Mohammed El-Beltagy, ketua Partai Kebebasan dan Keadilan juga ikut ditangkap dengan tuduhan yang kurang lebih sama seperti para petinggi IM yang lain. Begitu pula dengan Mursyid Am IM, Mohammad Badie yang juga ditangkap oleh pihak militer. Badie adalah pucuk tertinggi dalam struktur organisasi pergerakan dakwah IM. Kebanyakan anggota IM sangat meyakini konsep Qiyadah wa Jundiyah (pimpinan dan pasukan) yang kemudian berimplikasi pada loyalitas seorang anggota dengan pimpinan jamaah mereka. Ditangkapnya Mohammad Badie merupakan tikaman langsung ke jantung konsep loyalitas ini. Dengan kata lain, situasi ini tidak akan membuat para anggota IM mundur, sebaliknya, sikap mereka akan semakin keras demi mempertahankan eksistensi jamaah. Dengan situasi seperti ini pula, ajakan pihak oposisi dan militer agar IM mau ikut dalam program rekonsiliasi nasional agaknya semakin sulit untuk diwujudkan.


[i]   Hisham Kassem, wartawan dan mantan redaksi di koran al-Masry al-Yaum
[ii]   http://www.aljazeera.com/indepth/features/2013/08/2013824125512434521.html
[iv]  Dokumen tuntutan untuk El-Baradei disusun oleh guru besar ilmu hukum bernama Sayyid Atiq dari Universitas Helwan
[v]  http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2013/08/201382512315443971.html

Sunday 28 July 2013

ANTI KLIMAKS ARAB SPRING: SIDIK JARI KETERLIBATAN AS DI BALIK KUDETA MILITER



                                                           original pict from

Saat militer masuk ke dalam politik praktis, saat itu juga demokrasi masuk tempat sampah ...
*Coen Husain Pontoh

Adagium tersebut tidak berlebihan karena dalam sejarah demokrasi, netralitas tentara itu adalah hal yang sifatnya prinsip. Tentara profesional dalam negara demokrasi adalah tentara yang menjadi alat negara, dan bukan memperalat negara. Bagaimana mungkin kita bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah ketika orang di sebelah kita memengang laras senapan. Bagaimana mungkin kita berkompetsisi secara fair dalam pemilu jika lawan politik kita berkampanye menggunakan panser dan tank. Itulah sebabnya, di beberapa negara yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi yang maju, militer tidak pernah ikut campur dalam urusan politik praktis. Mereka ditempatkan di markas seraya siap menerima tugas dari para penyelenggara negara yang notabene orang sipil.

Teori tersebut hangus belum lama ini di Mesir. Militer yang mengatasnamakan rakyat pro revolusi melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden terpilih, Muhammad Mursi. Di bawah kendali militer, terjadi pembredelan media, penangkapan aktivis, serta pengerahan tank di jalan raya untuk mendukung demonstrasi pro-kudeta. Semua itu jelas mengembalikan Mesir ke era Mubarak yang otoriter. Jarum sejarah seakan bergerak terbalik. Alih-alih Mesir menyongsong era baru yang demokratis dan humanis, yang terjadi malah kembalinya para tentara otoriter di tampuk kekuasaan.

Sebelumnya, Muhammad Mursi memenangkan kursi kepresidenan di Mesir dengan angka yang cukup siginfikan dan tanpa melalui sengketa hasil pemilu. Setidaknya, poin inilah yang harus menjadi catatan bagi dinamika gelombang “Arab spring” yang isu utamanya adalah demokratisasi. Betapa mengejutkannya ketika sekelompok demonstran yang didukung kekuatan politik oposisi berhasil menggulingkan kekuasaan presiden yang terpilih secara demokratis dengan bantuan pihak militer.

Jika gerakan Tamarud (pemberontak) benar-benar memiliki 22 juta pendukung seperti yang mereka klaim selama ini, maka hal itu seharusnya bisa dimobilisasi untuk pemungutan suara parlemen tahun ini. Jika mereka melakukan skenario tersebut, sudah pasti mereka bisa memakzulkan presiden dengan mayoritas suara di parlemen. Dengan begitu, Arab Spring betul-betul membawa kemajuan politik bagi rakyat Mesir.

Namun, kenyataan di lapangan berbeda jauh dari teori di ruang kelas politik. Dengan berbagai macam jalan, pihak oposisi pemerintahan Mursi berhasil menggulingkan pemerintahan yang sah atas nama cita-cita revolusi 2011. Semua lensa kamera wartawan internasional langsung diarahkan ke Mesir. Investigasi jurnalis dan pengamat pun mulai bersirebut di sana-sini. Kenapa presiden yang terpilih secara sah lewat pemilu, bisa dengan sangat mudah digulingkan oleh kekuatan oposisi yang sebetulnya tidak solid? Pelan-pelan, faktor-faktor yang sangat eksternal mulai terkuak. Salah satunya adalah peran besar Amerika Serikat.

Demokrasi ala Amerika
Kudeta terhadap presiden Mesir ini sontak membuat banyak kalangan terkejut. Namun, hal yang paling memilukan adalah sikap diam negara-negara Barat, dalam hal ini Amerika Serikat dan juga Uni Eropa. AS dan UE yang selama ini selalu menjadi mentor nilai-nilai demokrasi dan HAM tidak memberikan suara tegas terkait kudeta militer yang terjadi di Mesir.  

John Esposito dalam artikelnya juga ikut menyebut kudeta ini sebagai kudeta militer. Esposito bahkan mempertanyakan pengetahuan negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat terkait pengetahuan dasar mereka tentang demokrasi. Menurut Esposito, pemerintahan Obama harus tahu bahwa penggulingan seorang presiden terpilih yang kemudian digantikan oleh tokoh pilihan pihak militer adalah murni kudeta. Saat ini, bisa dikatakan Amerika menelurkan satu teori baru tentang demokrasi yaitu sahnya kudeta militer untuk menggulingkan pemerintahan yang Islami. Hal ini memang sudah bisa dibakukan menjadi teori politik dalam demokrasi ketika dalam beberapa dekade, Amerika Serikat menunjukkannya dengan jelas.

Pada masa Presiden George W Bush, Amerika dengan sangat terrbuka menyebut kemenangan Hamas di Palestina sebagai kemenangan kelompok teroris. Ujung dari kemenangan Hamas itu adalah invasi militer Israel ke Gaza tahun 2008 yang juga “dibiarkan” oleh Amerika Serikat. Pada masa pemerintahan George Bush (senior), Amerika Serikat juga membiarkan kudeta militer berdarah di Aljazair untuk merebut kekuasaan dari FIS yang berhasil memenangkan Pemilu secara demokratis. Tidak hanya membiarkan, Amerika Serikat saat itu bahkan mendukung operasi militer di Aljazair yang kemudian mengakibatkan ratusan ribu orang meninggal dunia.

Tuduhan pihak Mursi bahwa Amerika Serikat berada di belakang aksi para demonstran pada awalnya dianggap sebagai tuduhan emosional dan tidak berdasar. Namun, sikap diam AS atas kudeta militer itu seakan mengkonfirmasi tuduhan tersebut. Meski Presiden Obama menyatakan bahwa Amerika tidak berada di belakang pihak militer Mesir, akan tetapi banyak dokumen yang bertentangan dengan hal itu.

Salah satu yang menjadi berita hangat adalah seorang eksodus politik, mantan perwira tinggi kepolisian di Mesir yang bernama Omar Afifi Soliman. Dia adalah terdakwa in-absentia yang mendapatkan status pengungsi dari Amerika Serikat.[i] Singkatnya, Soliman mendirikan sebuah LSM fiktif yang kemudian didanai langsung oleh pemerintahan AS melalui NED (National Endowment for Democracy). NED adalah lembaga khusus yang didirikan untuk menyokong demokratisasi di Timur Tengah pasca peristiwa 11 Septemper 2001.[ii]

Bantuan yang diberikan NED kepada Soliman berjumlah tidak sedikit. Semua itu didokumentasikan dalam laporan investigasi dari UC Berkeley yang langsung berbicara dengannya. Berita ini tentu saja mengejutkan publik AS pada umumnya. Padahal, terdapat peraturan yang melarang pemerintah AS  menggunakan uang negara untuk membiayai politisi luar negeri. Pemerintah AS juga memiliki peraturan yang tidak membolehkan uang negara digunakan untuk mendanai aktifitas subversif yang bertujuan menjatuhkan pemerintahan yang demokratis.[iii] Salah satu staf kedutaan Mesir di AS juga ikut terkejut atas berita ini. Yang dia ketahui selama ini adalah Soliman didanai oleh beberapa LSM di AS. Tapi, dia tidak menyangka kalau Soliman juga didanai langsung oleh pemerintahan Obama.

Tokoh lain yang didanai oleh NED adalah Esraa Abdul Fatah. Wanita ini menjadi pilar pendanaan Partai Dustur yang dipimpin oleh Mohammed El-Baradei. Esraa mendapatkan dana dari NED melalui LSM bernama Akademi Demokrasi Mesir yang ia dirikan di AS. Melalui LSM tersebut ia menggalang dukungan kepada militer dan berusaha memengaruhi media Barat agar tidak menyebut aksi demonstrasi di Mesir sebagai kudeta.

Tidak hanya para aktivis politik, beberapa pengusaha konglomerat juga berada di balik pendanaan kudeta. Laporan yang disusun oleh Emad Mekay yang dilansir oleh Aljazeera menyebutkan kalau orang-orang terkaya di Mesir menjadi pendukung kudeta lewat LSM yang mereka dirikan di Amerika Serikat. Sebagai contoh, seorang pengusaha kaya bernama Michael Meunier yang mendirikan LSM bernama Hand in Hand for Egypt Association. Lewat LSM tersebut, ia menggalang dukungan untuk kudeta sekaligus mendanai Partai Al Haya yang ia dirikan.[iv]

Rentetan dokumen tersebut, mengingatkan kita akan betapa pentingnya mengaudit keuangan LSM. RUU Ormas yang sedang diributkan oleh parlemen dan beberapa elemen masyarakat di Indonesia menjadi semakin krusial ketika dihadapkan dengan fakta-fakta lapangan terkait kudeta militer di Mesir. Terlepas dari semua itu, campur tangan kotor negara maju seperti Amerika Serika dalam setiap krisis politik adalah hal yang sangat menyedihkan. Dukungan finansial semacam itu sama sekali tidak membantu proses demokratisasi. Sebaliknya, hal tersebut justru menghancurkan sendi-sendi kebebasan dan keadilan yang menjadi pilar utama demokrasi.

Sampai tulisan ini diposting, Mesir masih bergejolak. Para pendukung Presiden Mursi menggalang demonstrasi di berbagai titik strategis. Demonstrasi yang bertepatan waktunya dengan kedatangan bulan Ramadan membuat suasana demonstrasi menjadi sangat religius dan jauh dari kesan anarkis. Mereka berkumpul sepanjang malam sambil melakukan sholat tarawih dan tilawah al-Quran. Majalah Time dalam sampulnya sampai menjuluki mereka sebagai “The World`s Best Protester”. Disebutkan dalam laporan wartawan Time bahwa suasana demonstrasi itu lebih mirip ibadah haji di Mekkah. Namun, demonstrasi damai yang dipusatkan di Masjid Rabah al-Adawiyah berubah menjadi ladang pembantaian ketika ultimatum yang dikeluarkan Jenderal al-Sisi tidak digubris oleh para demonstran. Setidaknya, sampai hari minggu 28 Juli, jumlah korban tewas mencapai 200an orang. Semuanya adalah peserta demontrasi yang mendukung presiden terguling Mohammad Mursi. Sebagian besar korban meninggal mendapatkan luka tembak di daerah vital seperti kepala, leher, dan dada. Mereka semua ditembaki dari arah atas oleh grup penembak jitu dari kepolisian.  Laopran wartawan asing yang dilansir Reuters mengatakan kalau setidaknya ada tiga kelompok bersenjata yang menembaki para demonstran. Mereka adalah para polisi berseragam, tentara berseragam, dan aparat bersenjata tanpa seragam (preman).

Amerika dan Uni Eropa tidak bisa lagi tinggal diam dan membisu melihat darah yang tertumpah setiap harinya di Mesir. Kali ini tidak ada dalih al-Qaeda atau isu teroris internasional untuk mendukung sikap diam mereka. Korban-korban tewas di jalanan itu adalah para pembela kebenaran yang mempertahankan kemenangan pemilu mereka yang sudah mereka raih secara demokratis. Alih-alih mendukung perdamaian, dokumen-dokumen yang bocor ke publik terkait pendanaan kudeta justru mengindikasikan keterlibatan langsung Amerika Serikat dalam kudeta berdarah kali ini. Dan hal itu sungguh memalukan.


[i]  http://www.middleeastmonitor.com/news/americas/6554-us-documents-show-that-washington-funded-military-coup-in-egypt
[ii]   http://news.antiwar.com/2013/07/22/us-democracy-aid-bankrolled-egypts-coup/
[iii]  http://allafrica.com/stories/201307220534.html
[iv]  Laporan selengkapnya, lihat http://www.aljazeera.com/indepth/features/2013/07/2013710113522489801.html