original pict from
Saat militer
masuk ke dalam politik praktis, saat itu juga demokrasi masuk tempat sampah
...
*Coen Husain Pontoh
Adagium tersebut
tidak berlebihan karena dalam sejarah demokrasi, netralitas tentara itu adalah
hal yang sifatnya prinsip. Tentara profesional dalam negara demokrasi adalah
tentara yang menjadi alat negara, dan bukan memperalat negara. Bagaimana
mungkin kita bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah ketika orang di sebelah
kita memengang laras senapan. Bagaimana mungkin kita berkompetsisi secara fair
dalam pemilu jika lawan politik kita berkampanye menggunakan panser dan tank.
Itulah sebabnya, di beberapa negara yang mengklaim diri sebagai negara
demokrasi yang maju, militer tidak pernah ikut campur dalam urusan politik
praktis. Mereka ditempatkan di markas seraya siap menerima tugas dari para
penyelenggara negara yang notabene orang sipil.
Teori tersebut
hangus belum lama ini di Mesir. Militer yang mengatasnamakan rakyat pro
revolusi melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden terpilih, Muhammad Mursi.
Di bawah kendali militer, terjadi pembredelan media, penangkapan aktivis, serta
pengerahan tank di jalan raya untuk mendukung demonstrasi pro-kudeta. Semua itu
jelas mengembalikan Mesir ke era Mubarak yang otoriter. Jarum sejarah seakan
bergerak terbalik. Alih-alih Mesir menyongsong era baru yang demokratis dan
humanis, yang terjadi malah kembalinya para tentara otoriter di tampuk
kekuasaan.
Sebelumnya, Muhammad
Mursi memenangkan kursi kepresidenan di Mesir dengan angka yang cukup
siginfikan dan tanpa melalui sengketa hasil pemilu. Setidaknya, poin inilah
yang harus menjadi catatan bagi dinamika gelombang “Arab spring” yang isu
utamanya adalah demokratisasi. Betapa mengejutkannya ketika sekelompok
demonstran yang didukung kekuatan politik oposisi berhasil menggulingkan
kekuasaan presiden yang terpilih secara demokratis dengan bantuan pihak
militer.
Jika gerakan Tamarud
(pemberontak) benar-benar memiliki 22 juta pendukung seperti yang mereka klaim
selama ini, maka hal itu seharusnya bisa dimobilisasi untuk pemungutan suara
parlemen tahun ini. Jika mereka melakukan skenario tersebut, sudah pasti mereka
bisa memakzulkan presiden dengan mayoritas suara di parlemen. Dengan begitu,
Arab Spring betul-betul membawa kemajuan politik bagi rakyat Mesir.
Namun, kenyataan
di lapangan berbeda jauh dari teori di ruang kelas politik. Dengan berbagai
macam jalan, pihak oposisi pemerintahan Mursi berhasil menggulingkan
pemerintahan yang sah atas nama cita-cita revolusi 2011. Semua lensa kamera
wartawan internasional langsung diarahkan ke Mesir. Investigasi jurnalis dan
pengamat pun mulai bersirebut di sana-sini. Kenapa presiden yang terpilih
secara sah lewat pemilu, bisa dengan sangat mudah digulingkan oleh kekuatan
oposisi yang sebetulnya tidak solid? Pelan-pelan, faktor-faktor yang sangat
eksternal mulai terkuak. Salah satunya adalah peran besar Amerika Serikat.
Demokrasi ala
Amerika
Kudeta terhadap
presiden Mesir ini sontak membuat banyak kalangan terkejut. Namun, hal yang
paling memilukan adalah sikap diam negara-negara Barat, dalam hal ini Amerika
Serikat dan juga Uni Eropa. AS dan UE yang selama ini selalu menjadi mentor
nilai-nilai demokrasi dan HAM tidak memberikan suara tegas terkait kudeta
militer yang terjadi di Mesir.
John Esposito
dalam artikelnya juga ikut menyebut kudeta ini sebagai kudeta militer. Esposito
bahkan mempertanyakan pengetahuan negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat
terkait pengetahuan dasar mereka tentang demokrasi. Menurut Esposito, pemerintahan
Obama harus tahu bahwa penggulingan seorang presiden terpilih yang kemudian
digantikan oleh tokoh pilihan pihak militer adalah murni kudeta. Saat ini, bisa
dikatakan Amerika menelurkan satu teori baru tentang demokrasi yaitu sahnya
kudeta militer untuk menggulingkan pemerintahan yang Islami. Hal ini memang
sudah bisa dibakukan menjadi teori politik dalam demokrasi ketika dalam
beberapa dekade, Amerika Serikat menunjukkannya dengan jelas.
Pada masa
Presiden George W Bush, Amerika dengan sangat terrbuka menyebut kemenangan
Hamas di Palestina sebagai kemenangan kelompok teroris. Ujung dari kemenangan
Hamas itu adalah invasi militer Israel ke Gaza tahun 2008 yang juga “dibiarkan”
oleh Amerika Serikat. Pada masa pemerintahan George Bush (senior), Amerika
Serikat juga membiarkan kudeta militer berdarah di Aljazair untuk merebut
kekuasaan dari FIS yang berhasil memenangkan Pemilu secara demokratis. Tidak
hanya membiarkan, Amerika Serikat saat itu bahkan mendukung operasi militer di Aljazair
yang kemudian mengakibatkan ratusan ribu orang meninggal dunia.
Tuduhan pihak
Mursi bahwa Amerika Serikat berada di belakang aksi para demonstran pada
awalnya dianggap sebagai tuduhan emosional dan tidak berdasar. Namun, sikap
diam AS atas kudeta militer itu seakan mengkonfirmasi tuduhan tersebut. Meski
Presiden Obama menyatakan bahwa Amerika tidak berada di belakang pihak militer
Mesir, akan tetapi banyak dokumen yang bertentangan dengan hal itu.
Salah satu yang
menjadi berita hangat adalah seorang eksodus politik, mantan perwira tinggi
kepolisian di Mesir yang bernama Omar Afifi Soliman. Dia adalah terdakwa
in-absentia
yang mendapatkan status pengungsi dari Amerika Serikat.
[i]
Singkatnya, Soliman mendirikan sebuah LSM fiktif yang kemudian didanai langsung
oleh pemerintahan AS melalui NED (National Endowment for Democracy). NED adalah
lembaga khusus yang didirikan untuk menyokong demokratisasi di Timur Tengah pasca
peristiwa 11 Septemper 2001.
[ii]
Bantuan yang
diberikan NED kepada Soliman berjumlah tidak sedikit. Semua itu
didokumentasikan dalam laporan investigasi dari UC Berkeley yang langsung berbicara
dengannya. Berita ini tentu saja mengejutkan publik AS pada umumnya. Padahal,
terdapat peraturan yang melarang pemerintah AS
menggunakan uang negara untuk membiayai politisi luar negeri. Pemerintah
AS juga memiliki peraturan yang tidak membolehkan uang negara digunakan untuk
mendanai aktifitas subversif yang bertujuan menjatuhkan pemerintahan yang
demokratis.
[iii] Salah
satu staf kedutaan Mesir di AS juga ikut terkejut atas berita ini. Yang dia
ketahui selama ini adalah Soliman didanai oleh beberapa LSM di AS. Tapi, dia
tidak menyangka kalau Soliman juga didanai langsung oleh pemerintahan Obama.
Tokoh lain yang
didanai oleh NED adalah Esraa Abdul Fatah. Wanita ini menjadi pilar pendanaan
Partai Dustur yang dipimpin oleh Mohammed El-Baradei. Esraa mendapatkan dana
dari NED melalui LSM bernama Akademi Demokrasi Mesir yang ia dirikan di AS.
Melalui LSM tersebut ia menggalang dukungan kepada militer dan berusaha
memengaruhi media Barat agar tidak menyebut aksi demonstrasi di Mesir sebagai
kudeta.
Tidak hanya para
aktivis politik, beberapa pengusaha konglomerat juga berada di balik pendanaan
kudeta. Laporan yang disusun oleh Emad Mekay yang dilansir oleh Aljazeera
menyebutkan kalau orang-orang terkaya di Mesir menjadi pendukung kudeta lewat
LSM yang mereka dirikan di Amerika Serikat. Sebagai contoh, seorang pengusaha
kaya bernama Michael Meunier yang mendirikan LSM bernama Hand in Hand for Egypt
Association. Lewat LSM tersebut, ia menggalang dukungan untuk kudeta sekaligus
mendanai Partai Al Haya yang ia dirikan.
[iv]
Rentetan dokumen
tersebut, mengingatkan kita akan betapa pentingnya mengaudit keuangan LSM. RUU
Ormas yang sedang diributkan oleh parlemen dan beberapa elemen masyarakat di
Indonesia menjadi semakin krusial ketika dihadapkan dengan fakta-fakta lapangan
terkait kudeta militer di Mesir. Terlepas dari semua itu, campur tangan kotor
negara maju seperti Amerika Serika dalam setiap krisis politik adalah hal yang
sangat menyedihkan. Dukungan finansial semacam itu sama sekali tidak membantu
proses demokratisasi. Sebaliknya, hal tersebut justru menghancurkan sendi-sendi
kebebasan dan keadilan yang menjadi pilar utama demokrasi.
Sampai tulisan
ini diposting, Mesir masih bergejolak. Para pendukung Presiden Mursi menggalang
demonstrasi di berbagai titik strategis. Demonstrasi yang bertepatan waktunya
dengan kedatangan bulan Ramadan membuat suasana demonstrasi menjadi sangat
religius dan jauh dari kesan anarkis. Mereka berkumpul sepanjang malam sambil
melakukan sholat tarawih dan tilawah al-Quran. Majalah Time dalam sampulnya
sampai menjuluki mereka sebagai “The World`s Best Protester”. Disebutkan dalam
laporan wartawan Time bahwa suasana demonstrasi itu lebih mirip ibadah haji di
Mekkah. Namun, demonstrasi damai yang dipusatkan di Masjid Rabah al-Adawiyah
berubah menjadi ladang pembantaian ketika ultimatum yang dikeluarkan Jenderal
al-Sisi tidak digubris oleh para demonstran. Setidaknya, sampai hari minggu 28
Juli, jumlah korban tewas mencapai 200an orang. Semuanya adalah peserta
demontrasi yang mendukung presiden terguling Mohammad Mursi. Sebagian besar
korban meninggal mendapatkan luka tembak di daerah vital seperti kepala, leher,
dan dada. Mereka semua ditembaki dari arah atas oleh grup penembak jitu dari
kepolisian. Laopran wartawan asing yang
dilansir Reuters mengatakan kalau setidaknya ada tiga kelompok bersenjata yang
menembaki para demonstran. Mereka adalah para polisi berseragam, tentara
berseragam, dan aparat bersenjata tanpa seragam (preman).
Amerika dan Uni
Eropa tidak bisa lagi tinggal diam dan membisu melihat darah yang tertumpah
setiap harinya di Mesir. Kali ini tidak ada dalih al-Qaeda atau isu teroris
internasional untuk mendukung sikap diam mereka. Korban-korban tewas di jalanan
itu adalah para pembela kebenaran yang mempertahankan kemenangan pemilu mereka
yang sudah mereka raih secara demokratis. Alih-alih mendukung perdamaian,
dokumen-dokumen yang bocor ke publik terkait pendanaan kudeta justru
mengindikasikan keterlibatan langsung Amerika Serikat dalam kudeta berdarah
kali ini. Dan hal itu sungguh memalukan.
[i] http://www.middleeastmonitor.com/news/americas/6554-us-documents-show-that-washington-funded-military-coup-in-egypt
[ii] http://news.antiwar.com/2013/07/22/us-democracy-aid-bankrolled-egypts-coup/
[iii] http://allafrica.com/stories/201307220534.html
[iv] Laporan selengkapnya, lihat http://www.aljazeera.com/indepth/features/2013/07/2013710113522489801.html