Friday 23 September 2011

The New Middle East by Marina Ottaway


REVIEW BUKU
Judul                                       :  The New Middle East
Penulis                                     :  Marina Ottaway dkk
Penerbit                                   :  Carnegie Endowment For International Peace
Kota                                        :  New York
Tahun Terbit                            :  2008

www.opinions-alaaisam.blogspot.com





Proliferasi nuklir
Amerika Serikat memberi perhatian besar kepada proliferasi nuklir karena beberapa alasan risiko, yaitu:
  1. Pengayaan nuklir untuk pembuatan bom bisa dimanfaatkan oleh rezim penguasa yang tidak bersahabat dengan AS ataupun organisasi teroris di negara itu.
  2. Kemampuan Iran dalam memproduksi senjata nuklir akan memperkuat status politiknya di kawasan. Iran akan dengan mudah membentuk aliansi dengan Negara-negara musuh AS. Kemampuan Iran juga akan memancing organisasi jihad seperti Hamas tampil lebih agresif dalam menghadapi Israel.
  3. Proliferasi nuklir akan mempersulit posisi AS dalam konstelasi stabilitas kawasan. Hal ini juga akan menurunkan kepercayaan diri Negara-negara sekutu AS di Timur Tengah yang selama ini menjadikan AS sebagai pelindung mereka. (Halaman 19)

Konflik Sektarian
Konflik sectarian adalah fenomena yang semakin menjadi-jadi pasca invasi AS ke Irak tahun 2003. Konflik ini meluas ke seluruh wilayah regional Timur Tengah, tidak hanya di Irak. Konflik ini mengkristal menjadi perebutan kekuasaan antara Islam Sunni dengan Syiah.
Raja Abdullah dari Yordania adalah orang yang pertama kali memberikan pernyataan waspada terkait konflik dua kelompok ini pada Bulan Desember 2004. Raja Abdullah saat itu menggunakan istilah Bulan Sabit Syiah untuk menggambarkan semangat Iran yang ingin membentuk aliansi dengan masyarakat Syiah di kawasan Timur Tengah yang mayoritas Sunni. Istilah ini juga pernah digunakan oleh Husni Mubarak saat berpidato. Husni Mubarak mengatakan bahwa saat ini orang-orang Syiah di Timur Tengah lebih loyal kepada Iran daripada Negara dan bangsa mereka sendiri. (Halaman 25)
Realita mengenai kebangkitan kelompok Syiah di kawasan Timur Tengah bisa dilihat dari beberapa fakta di bawah ini:
1.        Bangkitnya Iran sebagai negara yang dikuasai oleh rezim religius berhaluan bermazhab Syiah.
2.        Geliat demokratisasi di Irak yang secara otomatis menempatkan golongan Syiah sebagai golongan yang berpotensi menjadi penguasa karena populasi mereka yang besar.
3.        Desakan berbagai kelompok Syiah untuk tampil membawa identitas kelompok mereka.
4.        Kekuatan Hizbullah di Lebanon yang semakin diakui dan memengaruhi kawasan.

Para pengamat memanggap geliat kelompok Syiah di kawasan Timur Tengah tidak langsung berkaitan dengan kepentingan Iran atas aliansi Bulan Sabit Syiah. Geliat itu lebih didasarkan desakan untuk mendapatkan kesetaraan hak dalam bidang ekonomi sosial dan politik.
Syeikh Ali Salman, seorang tokoh kelompok Syiah di Bahrain mengatakan kalau ia dan kelompoknya mendukung sepenuhnya konstitusi negara Bahrain. (Halaman 27)

Konsep Timur Tengah Baru
            Ada dua kepentingan utama rezim Bush terkait wilayah Timur Tengah, yaitu; memerangi terorisme dan menjaga kestabilan harga minyak. Terorisme yang berkebang belakangan ini bukan lagi kekerasan yang didasarkan atas sikap anti-wseternisasi, melainkan sudah berdasarkan sikap anti-kebijakan AS di Timurr Tengah. (Halaman 31) Untuk mencapai dua kepentingan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus segera dilaksanakan oleh pemerintahan AS, yaitu;
  1. Membangun konsiliasi dengan Iran sambil menekan proliferasi nuklir
  2. Bertahap meninggalkan Irak dengan syarat tidak meninggalkan negara tersebut tanpa pemerintahan
  3. Mengambil peran serius dalam proses perjanjian damai antara Israel-Palestina menuju solusi dua negara
  4. Berusaha mencari kestabilan kawasan dengan "balance of power" yang dilakukan tanpa melibatkan kehadiran AS secara massif. Cukup dimainkan oleh negara-negara di regional saja.
  5. Dalam konteks "balance of powe", AS harus menurunkan eskalasi konflik dengan Syiria sekaligus tetap menjaga stabilitas Lebanon.
            Pemerintahan Bush lebih sering mengancam daripada melakukan tindakan. Contohnya peringatan Bush terhadap presiden Suriah, Bashar al-Assad pada Desember 2007. Peringatan tersebut berisi ancaman, peringatan yang sama seperti yang diberikan kepada Saddam Hussein pada hari-hari menjelang invasi. (Halaman 30)

Mencari Jalan Keluar Untuk AS dan Irak
            Penempatan kekuatan militer di Irak pasca-invas ternyata tidak bisa membangun sebuah stabilitas untuk jangka waktu yang lama. Kebijakan terhadap Irak tidak boleh lagi didasari atas pertimbangan "apa yang seharusnya dibutuhkan Irak dan seperti apa Irak seharusnya". Pertimbangan itu sudah dijalankan dan terbukti mengalami kegagalan. Amerika Serikat harus merumuskan kebijakan-kebijakan baru dengan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Langkah pertama adalah mendasari setiap kebijakan dengan pertimbangan; sumber daya tokoh-tokoh politik lokal Irak, tujuan-tujuan mereka, serta kekuatan dan pengaruh mereka di negara tersebut. Intinya adalah memberi kesempatan pada tokoh-tokoh lokal untuk membangun pemerintahan yang baru.
  2. Langkah berikutnya adalah menyadarkan pihak parlemen dan pemerintahan Irak saat ini bahwa mereka tidak secara otomatis menjadi pemain utama dalam proses rekonsiliasi. Ketika mereka gagal (dan pasti akan gagal), maka mereka harus memiliki insiatif untuk mengambil pihak luar sebagai pemain.
  3. Langkah terakhir adalah mendatangkan pihak luar sebagai pembantu dalam proses rekonsiliasi nasional. Situasi ini merupakan kesempatan bagi PBB dan negara-negara tetangga termasuk dunia Arab untuk membangun diplomasi baru dengan Irak. Serahkan segala ketergantungan pemerintahan Irak terhadap pihak luar kepada lembaga-lembaga internasional dan bukan Amerika Serikat.
Sikap AS yang mendukung salah satu faksi saat pemilu harus ditanggalkan. Sikap itu akan membuat faksi yang bersangkutan memiliki sifat resistan terhadap golongan lain di Iral. Dari titik inilah instabilitas terus terjadi dan semakin parah. Apalagi, faksi yang lain bisa meminta bantuan dengan cara yang sama ke negara yang lain seperti Iran. Akhirnya, Irak tak ubahnya seperti kawasan korban perang dingin AS-Iran.

Konflik Palestina-Israel
            Inti dari kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah mencakup perdamaian antara Israel dan Palestina. Perdamaian ini bisa diartikan permaian antara Israel dengan negara-negara Arab. Oleh karena itu, visi AS adalah menciptakan solusi dua negara yang damai (two state solution). Solusi adalah yang paling menguntungkan bagi AS. Dengan solusi dua negara, maka keamanan Israel, eksistensi, serta identitasnya di kawasan bisa dipertahankan. Cita-cita perjuangan bangsa Palestina yang ingin merdeka sepenuhnya dari Israel bisa dimentahkan. Selain itu, kemungkinan akan meluasnya konflik di kawasan bisa ditekan. Strategi dan diplomasi AS di kawasan akan mudah direalisasikan. (Halaman 34)

Balance of Power
             Perimbangan kekuatan di kawasan teluk rusak setelah Saddam Hussein dan Irak dijatuhkan oleh Amerika Serikat. Perimbangan kekuatan yang pada masa sebelumnya dipegang oleh dua negara yaitu Irak dan Iran. Saat ini, Iran menjadi momok bagi negara-negara di kawasan teluk karena kekuatan nuklir dan persenjataannya. Beberapa negara di kawasan teluk telah mengadakan perjanjian kerjasama senjata dengan Amerika Serikat untuk mengimbangi kekuatan militer Iran. Selain itu, Amerika juga berperan aktif untuk membentuk aliansi anti-Iran di kawasan teluk.
            Namun, negara-negara teluk ini juga mencari celah diplomasi dengan Iran untuk menghindari konfrontasi terbuka. Pada tahun 2007, Presiden Ahmadinejad diundang untuk berbicara pada pertemuan Dewan Kerjasama Teluk. Undangan itu, sekalipun tidak sepenuh hati, merupakan indikasi bahwa ada kecemasan di negara-negara teluk untuk konfrontasi dengan Iran. Puncaknya, Arab Saudi yang selama ini dikenal dekat dengan AS mulai mencari dukungan ke negara lain selain AS. Presiden Vladimir Putin pada bulan Februari 2007 diundang ke Riyadh oleh kerajaan Saudi untuk membicarakan perjanjian kerjasama perdagangan. Kemudian pada bulan November 2007, putra mahkota Kerajaan Saudi, Pangeran Sultan bin Abdulazis mengunjungi Moskow untuk membicarakan banyak isu, termasuk pembelian senjata dalam jumlah yang besar. (Halaman 35-36)

TKI dan Krisis Budaya Bangsa

Dari perspektif budaya bangsa kita di Indonesia, kasus Ruyati bisa dilihat sebagai pelajaran yang sangat mahal harganya. 

Ruyati binti Satubi, TKI asal kota Bekasi, yang dipancung tanpa asistensi hukum apa pun menjadi berita yang sangat menggemparkan di tanah air. Ia dianggap sebagai korban penindasan karena membela hak dan kehormatannya di depan majikan sampai kemudian ia terpaksa harus membunuh sang majikan. Begitulah konstruksi fakta yang diyakini dan dikembangkan masyarakat kita di Indonesia sekalipun tidak melalui pembuktian akan fakta persidangan yang otentik.

Ada beberapa segmen golongan yang begitu dominan dalam memberi penyikapan terkait kasus TKI dan Ruyati. Golongan pertama adalah mereka yang membawa (kalau tidak mau dikatakan menggiring) masalah ini menjadi masalah politik dengan mengaitkan secara langsung kasus ini dengan kegagalan pemerintah terkait kewajiban perlindungan terhadap warga negaranya. Golongan berikutnya adalah mereka yang mulai mengais-ngais ikan di air keruh dengan menarik persoalan ke arah deligitimasi penegakan syariat Islam yang "diterapkan" Arab Saudi. Semangat Islam-phobia menjiwai sikap pembelaan mereka terhadap para TKI. Golongan terakhir adalah masyarakat yang tidak memberikan perhatian secara khusus dalam masalah ini, alias acuh tak acuh.


Budaya (diper)budak
Tindakan penyiksaan, pemerkosaan, dan intimidasi yang dilakukan para majikan TKI di Arab Saudi tak pelak merupakan bentuk perbudakan zaman modern. Mereka menjadikan para TKI di sektor pembantu rumah tangga layaknya budak yang berhak mereka perlakukan dengan bebas. Namun, sebagian besar dari kita pasti tidak mengira kalau perbudakan yang dialami saudara-saudara kita di Saudi memiliki akar dalam budaya bangsa yang kita kembangkan sendiri sampai hari ini. Tengkoklah ke dalam negeri ini, sebagian besar masyarakat yang memiliki pembantu rumah tangga di rumah mereka, tidak memperlakukan para pembantu ini secara profesional dan manusiawi. Pembantu rumah tangga diposisikan menjadi sektor yang sangat informal. Segala macam UU terkait perlindungan tenaga kerja tidak pernah menyentuh apalagi diimplementasikan oleh masyarakat yang menggunakan jasa pembantu rumah tangga. Lihat bagaimana sebagian besar dari kita tidak memberikan kontrak kerja yang jelas kepada seorang pembantu rumah tangga. Belum lagi soal jam kerja yang tidak masuk akal, jaminan kesehatan, upah dan hak-hak lainnya. Semua itu dilakukan dalam kesepakatan yang berprinsip "tahu sama tahu saja". Seorang pembantu rumah tangga di Indonesia adalah pesuruh bagi seluruh anggota keluarga majikan. Mulai dari ayah, ibu, dan anak-anak si majikan. Semua anggota keluarga seperti berhak memberikan perintah komando. Orangtua membiarkan anak-anak mereka untuk minta ini-itu kepada sang pembantu. Sebuah pola pengasuhan yang mendidik anak mereka untuk tidak menghargai orang lain. Padahal, semestinya hal itu harus didasarkan kepada surat kontrak yang jelas atau kesepakatan tertulis. Bahkan, kerabat atau keluarga besar yang bertamu ke rumah juga bisa memberikan perintah kepada para pembantu rumah tangga tersebut. Padahal, dalam konteks perlindungan hak tenaga kerja, tidak ada sedikitpun hak bagi orang yang tidak mengupah mereka untuk memberikan perintah. Budaya perlakuan terhadap pekerja di sektor rumah tangga inilah yang menjadikan bangsa kita berkarakter sangat lemah ketika diberangkatkan ke luar negeri, khususnya para pembantu rumah tangga.

Saat berada di luar negeri, para pembantu rumah tangga asal Indonesia ini akhirnya bersikap sesuai dengan konsep mengenai pembantu rumah tangga berdasarkan budaya yang ada di Indonesia. Secara kasar, mereka terbiasa taat dan "nrimo" seperti halnya budak. Namun, mereka mendapatkan majikan yang jauh berbeda dengan tipologi majikan yang ada di Indonesia. Wajar jika para TKI yang menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi memiliki mentalitas yang sangat lemah sebagai seorang tenaga kerja. Sikap mental yang dibentuk oleh budaya bangsanya sendiri.


Rasisme
Kekacauan sikap budaya berikutnya adalah masalah rasisme. Saat ini, sebagian golongan mulai berteriak-teriak dengan nada protes atas perlakuan rasisme masyarakat Arab Saudi terhadap bangsa kita. Jangankan untuk sektor informal seperti pembantu rumah tangga, sektor formal seperti barista pada kedai kopi berskala internasional pun mendapatkan perlakuan rasis yang serupa (Kedai 1001 Mimpi, Valiant Budi, 2011). Yang menjadi pertanyaan adalah, pernahkah masyarakat bersikap anti terhadap Arab Saudi sebagai bangsa yang kerap menyiksa para TKI? Pernahkah ada demonstrasi ganyang Saudi di Jakarta, atau membakar bendera negara mereka seperti membakar bendera Malaysia? Jawabannya hampir bisa dipastikan nihil. Yang terjadi justru maraknya pemujaan tokoh-tokoh agama berketurunan Arab yang berlomba-lomba mencari jamaah untuk majelis zikir mereka. Masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam begitu menghormati bangsa Arab sebagai masyarakat dengan ras yang unggul dalam masalah agama. Fenomena mencari berkah (tabaruk) Inilah yang saya katakan sebagai rasisme bangsa lemah. Rasisme tidak hanya berbicara soal sikap merendahkan bangsa lain, tetapi rasisme juga berbicara soal sikap meninggikan/memuja bangsa lain. Padahal, sikap antirasis seharusnya dikembangkan dalam semangat kesetaraan antar-umat manusia. Kesimpulannya adalah; bangsa kita dengan bangsa Arab Saudi, sama-sama rasis.

Kita boleh saja menyalahkan pemerintah sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas kekisruhan masalah ini. Namun, sebagai bangsa, kita semestinya juga merefleksi sikap budaya yang kita kembangkan di tengah-tengah masyarakat. Sehebat apa pun kinerja pemerintah dan aparat negara, masalah akan tetap ada selama akar masalahnya tidak diluruskan. Akar permasalahan itu adalah budaya bangsa kita sendiri. Seperti halnya korupsi yang sudah menjadi kebudayaan hari ini, maka ia tidak bisa diselesaikan dengan kehebatan lembaga-lembaga superbody seperti KPK. Harus ada penyikapan yang jelas dan terarah terkait dengan pendidikan karakter dan budaya bagi bangsa ini untuk masa yang akan datang.

Perbudakan dan rasisme memiliki akar dalam budaya bangsa Indonesia. Maka hal itulah yang harus kita beri perhatian luas terlebih dahulu. Lihatlah bagaimana seorang pembantu dijadikan warga kelas dua di masyarakat kita. Upah seorang pembantu bisa jadi lebih tinggi nilainya daripada seorang OB perkantoran. Namun, OB mendapatkan pengakuan sosial yang lebih baik daripada seorang pembantu rumah tangga. Selain itu, rasisme tidak masuk akal yang membuat bangsa kita sebagai warga kelas dua di negaranya sendiri juga harus segera dihentikan. Cocoklah peribahasa Indonesia yang mengatakan kuman di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.