Friday 27 July 2012

Momentum yang Menentukan Hasi


Hasil yang mengejutkan bagi sebagian besar orang yang selama ini mengikuti perkembangan politik domestik Partai Keadilan Sejahtera. PKS yang menurunkan kader terbaiknya harus gagal di putaran pertama Pilgub DKI Jakarta 2012. Siapa yang tidak kenal sosok Hidayat Nur Wahid? Tokoh ini tidak hanya populer di masyarakat, tapi juga sosok yang sanggup menyatukan spirit kader PKS yang belakangan semakin terpecah akibat koalisi “buntung” dengan partai penguasa.

It`s all about packaging
            Sebuah gerakan Islam yang mengambil jalur politik praktis seperti PKS, menganggap demokrasi sebagai sarana yang tepat untuk menyalurkan aspirasi umat Islam. Demokrasi adalah sistem yang memberikan kepastian untuk mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam rangka pembangunan masyarakat yang adil dan beradab. Namun, dengan rumitnya sebuah kontes pemilu yang melibatkan begitu banyak variabel di luar ideologi, seperti uang, kekuasaan, tingkat kecerdasan pemilih, dan lain-lain, sebuah partai tidak bisa begitu saja memenangi pemilu. Demokrasi liberal yang menuntut ongkos politik dalam hal packaging dan marketing hanya bisa digarap oleh kelompok politik bermodal besar. Teori tersebut akan lebih akurat apabila si cagub juga memiliki figur yang marketable. Dalam hal ini, kehadiran Joko Widodo sangat melemahkan positioning Hidayat Nur wahid yang memiliki nilai jual serupa dalam hal kesederhanaan dan kejujuran. Sedangkan variabel nilai jual lain yang merupakan signifikansi antara Jokowi dan HNW tidak begitu memberikan pengaruh. Variabel tersebut adalah kapasitas religi.
HNW, dikenal luas sebagai politisi yang religius. Aktivitas utamanya sebelum memegang jabatan publik adalah seorang ulama Islam alumnus Timur Tengah. Dia juga sering tampil di acara-acara religi yang disiarkan televisi swasta nasional. Di dalam internal kader PKS sendiri, penokohonnya cukup kuat. Ia merupakan salah satu qiyadah (pimpinan) yang juga pernah menjabat sebagai presiden partai. Terlepas dari faktor-faktor lainnya, kekalahan HNW merupakan indikasi adanya resistansi dari masyarakat terhadap variabel kapasitas religi seorang calon pemimpin. Untuk yang satu ini, tren gaya politik PKS yang terbuka dan meninggalkan atribut keislaman yang kental seperti pada periode awal kemunculan mereka sudah pas. Namun, hal itu justru belum memberikan hasil yang signifikan pada pemilu-pemilu yang diikuti PKS di era keterbukaan mereka. Sederhananya, masyarakat lebih menginginkan bukti konkret kejujuran dan kesederhanaan yang informasi terkait hal itu mampu diakses secara objektif melalui media. Latar belakang religius dan moral seorang calon tidak terlalu dipertimbangkan oleh pemilih, terutama yang berusia muda pada pilkada kali ini.
Desain kemasan untuk menjual sosok Hidayat Nur Wahid masih terlalu bernuansa religius. Kesan tersebut juga sering ditampilkan oleh para kader mereka di media sosial seperti twitter dan facebook. Kalimat-kalimat seperti “pilihlah pemimpin yang saleh dan religius” atau hal yang serupa dengan itu sangat sering dikeluarkan oleh simpatisan atau kader PKS sebagai partai pengusung HNW. Kemasan religius ini ternyata musti berhadapan dengan kemasan sederhana, low profile, slowly but sure ala Jokowi. Dan hasilnya adalah seperti yang kita lihat pada lansiran quickcount kemarin.

Pentingnya sebuah momentum
Kesederhanaan dan sikap pro rakyat kecil adalah dua hal yang begitu diidamkan oleh calon pemilih yang berusia muda ataupun para pemilih tua terhadap calon pemimpin mereka. Pada titik itulah, seorang Joko Widodo menemukan momentum yang sangat penting untuk merebut simpati publik melalui pemberitaan media setahun terakhir mengenai prestasinya memimpin kota Solo. Prestasi seorang kepala daerah yang tidak lagi  diukur berdasarkan tingkat pendapatan daerah, melainkan melalui aksi simpatik dan sederhana. Sebut saja heboh pemberitaan mengenai Jokowi yang bersitegang dengan Gubernur Jawa Tengah terkait penolakan Jokowi terhadap pembangunan pusat perbelanjaan modern di kota Solo. Kemudian, aksi simpatiknya yang menjadikan mobil rakitan siswa SMK menjadi mobil dinas walikota. Ditambah lagi dengan sikap Jokowi yang tidak pernah mengambil gajinya sebagai walikota. Semua itu, merupakan nilai jual yang akseptabilitasnya sangat tinggi untuk kelas menengah dan bawah yang selama ini selalu menjadi garapan politisi bermodal besar.
            Lantas, bagaimana dengan Hidayat Nur Wahid? Semua kesederhanaan dan kejujuran yang ada pada Joko Widodo sejatinya juga dimiliki oleh HNW. Semasa menjabat sebagai ketua MPR, HNW menolak menggunakan mobil dinas yang mewah. Dia memilih menggunakan mobil pribadinya yang sederhana. Setiap melakukan perjalanan dinas dengan pesawat, ia selalu menggunakan tiket kelas ekonomi. Kebijakannya menolak rencana pengadaan laptop untuk anggota dewan juga merupakan aksi yang mendapatkan simpati luas. Namun, semua kehebatan itu terjadi lebih dari 5 tahun yang lalu. Dengan kata lain, HNW tidak memiliki momentum untuk mengemas kesederhanaan dan keunggulan moral politiknya sebagai nilai jual untuk Pilgub DKI 2012. Ingat, pemilih baru yang berusia kisaran 17 – 20 tahun bisa jadi tidak memiliki informasi yang padat mengenai Hidayat Nur Wahid. Mereka yang aspirasinya banyak dipengaruhi oleh wacana media sosial, tentu saja bergerak ke arah Joko Widodo. Lihatlah, bagaimana Jokowi menjadi trending topic di twitter. Hari ini, ada semacam tren di kalangan pemilih muda bahwa mereka seolah gak gaul kalau gak dukung Jokowi.
            Itulah yang dimaksud dengan strategi marketing. Menyusun strategi  untuk menjembatani kebutuhan pasar dengan kepentingan dagang. Tim sukses Jokowi-Ahok unggul segala-galanya dalam hal tersebut. Mereka sukses merebut pangsa pasar kelas menengah yang selama ini konsumtif dalam ekonomi tapi konservatif dalam politik. Mereka sukses menggiring pemilih muda untuk memiliki patron pemimpin idola. Adagium lama yang mengatakan dont judge the book by the cover sudah tidak berlaku lagi dalam dunia demokrasi modern seperti sekarang. Tim sukses Hidayat-Didik atau kader PKS pada khususnya, musti belajar banyak dari kekalahan mereka pada Pilgub kali ini. Sejauh ini, saya juga tidak bisa menemukan referensi tokoh nasional yang levelnya seperti HNW di dalam tubuh PKS. Dengan kata lain, PKS sangat minim tokoh populer. Jika kontes berikutnya adalah Pilpres, maka berdoalah agar Jokowi tidak maju lagi tahun 2014. Namun, bisa jadi tren kesederhanaan dan kejujuran juga sudah mulai digarap tokoh lain seperti Dahlan Iskan. Dan lihatlah bagaimana Dahlan Iskan menggunakan momentumnya sebagai menteri BUMN dalam kabinet SBY. Dengan kata lain, apabila para menteri atau pemimpin daerah dari PKS tidak bisa memanfaatkan momentum jabatan publik yang sedang mereka emban, jangan harap mereka bisa merebut kursi presiden 2014. 
            Seharusnya, semua kader PKS mampu melihat lebih jernih kekalahan yang mereka terima pada Pilgub kali ini. Tidak perlu ada friksi baru terkait ke mana suara PKS pada putaran kedua nanti. Intinya, konsekuensi ikut dalam demokrasi liberal yang diartikulasikan oleh manhaj dalam prinsip musyarokah(berkoalisi) musti diendapkan di dalam kepala setiap kadernya. Dengan prinsip musyarokah, Foke atau Jokowi nantinya akan didudukkan dalam kerangka pertimbangan mudarat dan manfaat bagi jamaah. Mana yang dirasa lebih kecil mudaratnya akan didukung dengan berbagai kompromi politik di belakangnya. Lantas, bagaimana dengan para kader yang selama ini sibuk menghujat Jokowi atau Foke pada masa kampanye? Bukankah mereka akan disebut golongan oportunis ketika nantinya harus berkoalisi dengan salah satu kandidat di putaran kedua?
Risiko PKS yang kemungkinan dianggap oportunis sebetulnya bisa dikurangi seandainya para kadernya memahami betul prinsip musyarokah dalam manhaj mereka sendiri. Setidaknya, jangan sampai ada kesan PKS menelan ludahnya sendiri ketika pada masa kampanye putaran pertama, kader-kadernya banyak yang menghujat kandidat lain. Namun, pada putaran kedua, mereka memilih salah satu kandidat yang pernah mereka hujat. Dengan memahami prinsip musyarokah, maka setiap kader akan mengerti bahwa dalam situasi “belum tentu menang”, semua kompetitor memiliki kemungkinan untuk menjadi mitra koalisi. Tentunya dengan proses pertimbangan mudarat dan manfaat bagi kepentingan umat.
Kesan PKS yang oportunis sudah menjadi fakta sosial di masyarakat dan silakan terima konsekuensi logisnya apabila masyarakat tidak punya istilah lain untuk mendefinisikan sikap politik PKS di putaran kedua selain “oportunis”. Meskipun, kita juga tidak menutup mata bahwa suara PKS adalah suara yang diperebutkan oleh kedua pasang cagub di putaran kedua. Bahkan beberapa pengamat menganggap suara PKS merupakan suara penentu kemenangan. Buktinya adalah Jokowi yang dengan segera mendatangi Hidayat Nur Wahid siang hari pasca quickcount dilansir. Dalam kompas online kemarin, sudah ada headline dengan judul Jokowi: “Hidayat Nur Wahid adalah ustaz saya”. Apabila Fauzi Bowo melakukan hal serupa, maka lengkap sudah teori politik yang mengatakan bahwa hal yang abadi dalam politik hanyalah “kepentingan”. Namun, tentu saja hal tersebut akan menimbulkan kesan bahwa PKS “dilamar”, bukan mengemis jatah. Dan hal itu tentunya sedikit banyak mengurangi kesan oportunis yang sangat mungkin disematkan pada partai ini di putaran kedua.
Srengseng Sawah, 12 Juli 2012
Abu Nala