Tuesday 27 August 2013

IMPLIKASI LUAS PENGUNDURAN DIRI EL-BARADEI



                                                                     original pict from

Setelah kudeta berdarah yang dilakukan militer terhadap pemerintahan Muhammad Mursi, situasi tidak menjadi lebih baik. Mesir menuju negara gagal ...
                Kudeta yang terjadi pada akhir Juli 2013 menjadi titik balik proses revolusi sekaligus demokratisasi di Mesir yang sedang berlangsung. Situasi kemudian berkembang menjadi semakin tidak terkendali. Para demonstran damai dibubarkan paksa oleh aparat militer dengan cara sadis. Mereka ditembaki secara acak oleh para penembak jitu yang disebar di beberapa gedung bertingkat. Setidaknya, jumlah korban meninggal dari pihak demonstran mencapai angka yang mengejutkan yaitu 750 orang. Tidak hanya para demonstran pendukung Presiden Mursi, beberapa jurnalis lokal dan internasional juga ikut menjadi korban kekejaman aparat Mesir.
                Sikap Ikhwanul Muslimin yang bersikeras tetap turun ke jalan sekalipun sudah diberi tindakan keras oleh aparat membuar militer semakin gusar. Puncaknya, militer membongkar paksa tenda-tenda para demonstran serta mengambil alih kembali Masjid Fatah yang sebelumnya menjadi tempat berkumpul para demonstran. Operasi represif ini menjatuhkan banyak korban dari pihak demonstran serta meninggalkan foto-foto yang begitu mengerikan di banyak media internasional.
Pembebasan Husni Mubarak
                Situasi semakin rumit tatkala Husni Mubarak bersiap-siap untuk dibebaskan. Hal ini terjadi karena sistem hukum di Mesir yang begitu pro dengan kekuatan militer. Namun, pada teorinya, Husni Mubarak memang sudah seharusnya dibebaskan jika mengacu kepada aturan hukum di Mesir. Undang-undang peradilan di Mesir membolehkan seorang tahanan untuk dibebaskan jika dalam tempo 24 bulan si tersangka belum mendapatkan vonis pengadilan.[i] Ironisnya, pada waktu yang bersamaan, Muhammad Mursi juga akan disidang di pengadilan atas tuduhan provokasi dan pembunuhan saat terjadinya demonstrasi massal. Dengan demikian, dalam sejarah Mesir, akan terjadi dua persidangan untuk dua presiden yang berseteru. Yang satu untuk membebaskan mantan presiden Husni Mubarak. Sedangkan sidang yang satunya lagi untuk memenjarakan presiden terpilih, Muhammad Mursi. Bagi para pengamat hukum seperti Mike Hanna, yang terpenjara sebetulnya bukanlah presiden Mursi melainkan sistem hukum itu sendiri.[ii]
                Rencana pembebasan Mubarak ini jelas membuat kubu pro-revolusi 25 Januari yang notabene sebagiannya juga pendukung kudeta militer menjadi terperanjat. Common enemy bagi rakyat Mesir saat revolusi adalah Husni Mubarak, tiba-tiba hari ini simbol pemersatu kemarahan rakyat Mesir itu justru akan dibebaskan. Masih sangat jelas di ingatan mereka, semangat yang begitu menggelora tatkala berkumpul di Tahrir Square sambil meneriakkan “irhal” (turun)! Kepada Husni Mubarak. Maka, sangat jelas pula perasaan yang mereka alami saat ini tatkala harus menerima kenyataan bahwa Husni Mubarak akan segera dibebaskan, meski tidak kembali menjadi presiden.
El-Baradei ditahan
                Isu pembebasan Husni Mubarak memicu tokoh sentral kelompok oposisi seperti El-Baradei untuk bereaksi. Namun, tidak disangka-sangka, reaksi yang ia lakukan adalah pengunduran diri secara sepihak dari jabatannya sebagai wakil presiden di pemerintahan sementara. Sikap El-Baradei ini bisa dipahami sebagai konsekuensi moral politiknya. El-Baradei menjadi salah satu tokoh sentral perlawanan terhadap Husni Mubarak yang sekaligus dinobatkan menjadi calon presiden melalui partai An-Nour yang ia dirikan. Pada masa kekuasaan Presiden Mursi, ia juga menjadi sosok yang begitu menokoh dalam rangka menentang arus Islamisasi yang ia anggap sebagai kediktatoran baru. Ia bersama-sama dengan pihak militer mendukung kudeta terhadap Presiden Mursi. Pembebasan Husni Mubarak menjadi tamparan keras bagi posisinya hari ini yang dilematis di antara kubu pro-revolusi dengan militer. Lalu, keputusan akhir yang diambilnya adalah mengundurkan diri secara sepihak. Hal ini kemudian memicu reaksi balik yang juga mengagetkan. El-Baradei justru diburu oleh pihak aparat dengan tuduhan berkhianat terhadap revolusi rakyat.
                Pada saat pengunduran dirinya, El-Baradei berkata pada publik “....I always saw peaceful alternatives for resolving this societal wrangling, certain solutions were proposed, which could have led to the national conciliation, but things have come this far...It has become difficult for me to continue bearing the responsibility for decisions at which I do not agree, and I fear their consequences; I cannot bear the responsibility for single drop of blood before God, before my own conscience or citizens ...”.[iii] Setelah itu, ia melarikan diri ke Wina, Austria di bawah perlindungan PBB. Sampai hari ini, El-Baradei maih merupakan buronan aparat militer Mesir dengan tuduhan mengkhianati kepercayaan rakyat.[iv]
                Sebelum pengunduran diri El-Baradei, mayoritas analis asing memprediksi sebuah perang saudara berskala masif di Mesir. Hal itu didasarkan pada sikap IM yang tidak kunjung bergandengan tangan dengan kubu militer. Sikap terakhir dari IM adalah tetap bertahan di jalan-jalan meskipun Jenderal Al-Sisi memberi ultimatum dan mengancam akan menggunakan kekuatan penuh dengan dalih untuk mengembalikan “stabilitas”. Ditambah lagi jumlah korban yang sudah dan masih berjatuhan dari kubu demonstran. Seruan berdemonstrasi bagi kubu IM sudah bertendensi sebagai jihad, sedangkan para korban yang meninggal dilabeli sebagai martir dan syuhada. Pihak IM tidak punya pilihan selain bertahan dari apa yang mereka sebut sebagai pemenggalan proses demokrasi. Hal senada juga dikuatkan oleh John Esposito yang mengatakan bahwa “Mohamed Morsi and the Brotherhood's Freedom and Justice Party came to power through ballots, not bullets”.[v] Jika IM mundur dari perlawanan politik mereka, maka sayap-sayap politik Islam di seluruh dunia tidak akan percaya lagi dengan proses demokratisasi dan kembali mengangkat senjata. Hal itu, sama artinya dengan menyambut era radikalisme baru yang pastinya lebih brutal dan intoleran. Usaha puluhan tahun untuk membuat dunia percaya kalau kelompok Islam bisa berpartisipasi dalam demokrasi akan runtuh seketika.
                Banyak juga analis yang memprediksi pecahnya perang saudara di Mesir menuju sebuah negara gagal (failed state). Namun, dengan penangkapan El-Baradei ini, skenario kemungkinan akan berubah drastis. Kali ini, skenario revolusi 25 Januari bisa jadi akan terulang kembali. Kubu Islamis dan sekuler-liberal akan bersatu kembali menentang kediktatoran militer yang ternyata berada di balik pembebasan Husni Mubarak. Di sisi lain, sikap kelompok pengusaha yang selama ini dekat dengan militer akan sangat dinanti. Hal itu dikarenakan aliran dana bagi kubu yang pro atau kontra terhadap rezim sebagian besar dialirkan dari atau melalui mereka. Meski demikan, banyak juga pakar yang mengatakan kalau sikap pengusaha ini sebagian besar didasari pada keamanan aset investasi mereka. Dengan kata lain, dukungan sebagian besar pengusaha kepada militer selama ini lebih disebabkan faktor pragmatisme untuk iklim usaha mereka sendiri.
Sayangnya, di saat bantuan finansial dari negara-negara Barat mulai terhenti, justru negara-negara monarki di Teluk yang mengambil alih pemberian bantuan. Arab Saudi, UAE, dan Kuwait misalnya, memberi bantuan yang langsung ditujukan kepada pemerintah junta militer Mesir dengan harapan segera menumpas gerakan terorisme (baca: Ikhwanul Muslimin). Alih-alih menentang kudeta militer, rezim monarki di Teluk justru sepakat dengan stigma teroris yang disematkan pada kelompok Islamis seperti Ikhwanul Muslimin. Tidak hanya bantuan dana, Saudi Arabia juga memberi bantuan moral berupa fatwa dari ulama Wahabi di negara mereka. Fatwa itu mengatakan bahwa demonstrasi yang melibatkan anak-anak dan perempuan adalah haram. Intinya, para ulama wahabi menginginkan agar para pendukung Muhammad Mursi segera kembali ke rumah dan menjaga darah serta kehormatan mereka. Fatwa ini menyebar luas di media sosial dan menimbulkan banyak sekali perdebatan.
Di sisi lain, pihak militer dan juga kelompok oposisi masih sibuk mempersiapkan agenda rekonsiliasi nasional untuk menyambut pemilu berikutnya. Rekonsiliasi nasional yang di dalamnya mengajak semua pihak tidak dihiraukan oleh kubu Ikhwanul Muslimin. Dalam ulasannya di Aljazeera, Anwar Ibrahim mengatakan kalau rekonsiliasi nasional yang melibatkan semua pihak tidak mungkin bisa dilaksanakan di bawah kendali penguasa yang tidak sah. Rekonsiliasi juga tidak mungkin dilakukan tatkala salah satu pihak menodongkan senjata ke arah kepala pihak lain. Sebaliknya, rekonsiliasi hanya bisa dilakukan setelah Presiden Mursi dikembalikan ke kantornya yang sah dan seluruh pendukungnya dibebaskan.
Sampai tulisan ini diangkat, pihak militer sudah memenjarakan hampir seluruh pimpinan tertinggi Ikhwanul Muslimin, selain presiden Mursi. Sebagai catatan, lokasi penahanan Presiden Mursi dan beberapa petinggi IM sampai hari ini masih dirahasiakan oleh pihak militer. Tidak hanya itu, Mohammed El-Beltagy, ketua Partai Kebebasan dan Keadilan juga ikut ditangkap dengan tuduhan yang kurang lebih sama seperti para petinggi IM yang lain. Begitu pula dengan Mursyid Am IM, Mohammad Badie yang juga ditangkap oleh pihak militer. Badie adalah pucuk tertinggi dalam struktur organisasi pergerakan dakwah IM. Kebanyakan anggota IM sangat meyakini konsep Qiyadah wa Jundiyah (pimpinan dan pasukan) yang kemudian berimplikasi pada loyalitas seorang anggota dengan pimpinan jamaah mereka. Ditangkapnya Mohammad Badie merupakan tikaman langsung ke jantung konsep loyalitas ini. Dengan kata lain, situasi ini tidak akan membuat para anggota IM mundur, sebaliknya, sikap mereka akan semakin keras demi mempertahankan eksistensi jamaah. Dengan situasi seperti ini pula, ajakan pihak oposisi dan militer agar IM mau ikut dalam program rekonsiliasi nasional agaknya semakin sulit untuk diwujudkan.


[i]   Hisham Kassem, wartawan dan mantan redaksi di koran al-Masry al-Yaum
[ii]   http://www.aljazeera.com/indepth/features/2013/08/2013824125512434521.html
[iv]  Dokumen tuntutan untuk El-Baradei disusun oleh guru besar ilmu hukum bernama Sayyid Atiq dari Universitas Helwan
[v]  http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2013/08/201382512315443971.html