Monday 19 December 2016

Kami Tidak Takut (Apa)?

“Di dalam hidup ada saat untuk berhati-hati atau berhenti berlari”
  (Taifun, BaraSuara)

Setelah teror bom yang mengguncang Sarinah, aksi tembak menembak dan evakuasi para korban termasuk pelaku, muncul kegaduhan hebat di media arus utama dan sosial. Khusus di ranah maya, media sosial memainkan peran penting menyebarkan beragam opini, analisis, tausiyah, sampai kuliah umum tentang teori konspirasi.

                                                                   sumber foto

Ada tagar dengan kalimat “Kami Tidak Takut” yang kemudian menjadi pembicaraan utama pasca serangan bom tersebut. Tagar ini juga diliput dan digunakan oleh para pengguna media sosial di luar negeri sebagai bentuk solidaritas kepada warga Jakarta.

Seorang sahabat lama yang sudah menjadi istri saya mengatakan kalau tagar terkait teror bom kerap berubah tiap kurang lebih satu jam sekali. Diawali oleh tagar “TerorSarinah” kemudian dilanjutkan oleh tagar “KamiTidakTakut”, dua tagar ini merepresentasikan keterkejutan dan optimisme masyarakat terkait teror di Sarinah. Tidak seperti teror di Paris, tanpa bermaksud membandingkan jumlah korban, tagar “PrayForJakarta” atau yang sejenisnya tidak bertahan lama untuk menjadi tren pembicaraan di Twitter. Fokus perbincangan kemudian beralih kepada hal-hal yang dianggap “kesenangan sampingan” di tengah hirup pikuk teror.

Bayangkan saja, tidak lama setelah tagar “KamiTidakTakut”, pengguna twitter mulai fokus ke tagar “PolisiGanteng”. Tidak lama kemudian, ada semacam rasa penasaran yang kolektif tentang identitas si “polisi ganteng” itu. Dan seterusnya sampai tagar yang menjelaskan identitas nama dan status asmara sang polisi.
                                                 Foto dari berbagai sumber di media daring

Guyon dan candaan yang tersebar luas itu mendapatkan pembenaran ketika media asing pun melihat dari sisi positif bahwa hal tersebut merupakan bukti ketidak-takutan masyarakat Indonesia terhadap terorisme. Maka, makin menjadi-jadilah sebaran tagar, meme, dan twit guyon terkait teror di Sarinah.
Dalam konsep yang dipikirkan oleh Daniel Bell terkait masyarakat post-industri hari ini, semua hal tersebut tidaklah aneh. Masyarakat sudah dilatih dan terlatih untuk tidak fokus pada satu masalah. Ini bukan sesuatu yang alamiah melainkan produk dari budaya komunikasi non-formal masyarakat post-industri. Percepatan dan kecepatan informasi menjadi harga mati untuk masyarakat modern berbasis perkotaan. Ada semacam kompetisi non-formal antara tiap orang untuk mendapatkan informasi paling pertama dan paling cepat menyebarkannya kembali.

Simak saja tayangan berita berdurasi 30 menit (sudah termasuk iklan). Biasanya, tayangan berita harian dibagi ke dalam beberapa segmen tema yang formulanya entah disusun oleh siapa. Setidaknya, menit-menit awal pemirsa akan disuguhi berita politik yang sensasional. Konsep bad news is a good news akan bermain cantik di sesi ini. Berita politisi korup dan kisruh parpol bisa jadi liputan utama sesi ini. Rasa kesal dan muak kala melihat pentas politik yang kotor akan terpancing keluar dari benak pemirsa yang menonton. Namun, belum selesai pemirsa mengendapkan dan memikirkan sikap terbaik untuk mengunyah berita tersebut, sesi berikutnya sudah dimulai.

Di sesi berikutnya bisa jadi ditampilkan berita tentang bencana kemanusiaan seperti korban pembunuhan, penculikan, atau kebakaran dan sejenisnya. Pada sesi ini pemirsa diajak berempati dan berbelas kasih pada korban yang ditayangkan. Kadang, sang pembaca berita juga menampilkan gestur sedih beserta kalimat harapan dan doa. Perasaan empati dan belas kasih dari pemirsa itu digiring untuk keluar saat disuguhi tayangan berita di sesi ini.

Belum selesai pemirsa bersedih dan berempati, sesi berikutnya langsung membahas hasil pertandingan sepakbola dari liga-liga favorit. Pada sesi ini, pemirsa yang kebetulan merupakan fans dari salah satu klub sepakbola akan bereaksi sangat puas dan girang jika melihat keberhasilan klub favoritnya ditayangkan dalam liputan berita. Begitu pula dari pihak pendudukung tim yang kalah, rasa kesal dan gemas akan muncul saat menyaksikan liputan berita.

Di sesi terakhir, template program berita tanah air biasanya membahas hal-hal ringan dan hiburan seperti wisata, hal-hal unik, atau kuliner. Pada sesi ini, pemirsa yang baru saja meluapkan eforia atas kemenangan/kekalahan tim sepak bola kesayangan mereka diajak bersenang-senang dengan tawaran wisata yang unik dan menarik. Begitu juga penonton yang sebelumnya kecewa dengan hasil pertandingan klub kesayangannya, mereka diajak untuk melupakan kekesalan itu dan gembira menyaksikan tayangan.

Lihatlah kembali, selama kurang lebih 30 menit, perasaan seorang penonton program berita diaduk-aduk mulai dari marah, kesal, sedih, sampai senang. Seorang penonton tidak diberikan waktu untuk sekadar merenung, mengendapkan informasi yang diterima, apalagi memverifikasi lebih jauh informasi-informasi tersebut.

Maka tidak mengherankan jika sebuah berita tentang terorisme dimaknai sekadarnya saja oleh sebagian besar masyarakat kelas menengah kita. Silang sengkarut mengenai siapa para pelaku dan apa motif mereka sama sekali tidak mendapatkan tempat yang proporsional bagi para penonton. Tidak ada kedalaman makna sebuah peristiwa yang bisa direnungkan oleh masyarakat. Tidak ada waktu untuk saling berpikir dan merefleksi dengan bijak sebuah tragedi kemanusiaan.

Kondisi ini akut menurut hemat saya, mengapa? Karena ketenangan masyarakat kita terkait teror tidak disebabkan mentalitas para pemberani seperti halnya yang terjadi di Palestina atau wilayah-wilayah konflik lainnya. Ketenangan kita didapatkan dari rasa cuek dan schizophrenia informasi yang telah sangat parah menjangkiti masyarakat kelas menengah kita. Tidak ada empati kolektif dan tidak ada ketakutan tentang radikalisasi ajaran agama yang kerap dipolitisasi oleh pihak penguasa. Kita berpura-pura tidak takut, atau lebih tepatnya kita sudah lebih menakutkan daripada terorisme itu sendiri.

Sebagai pembanding, kita bisa menilik tragedi teror bom di Paris beberapa waktu lalu. Suasana mencekam dan berkabung yang dirasakan masyarakat Paris pasca teror bom saat itu tidak terjadi di Jakarta. Ketakutan masyarakat Barat, dalam hal ini Perancis tentang teror adalah refleksi dari filsafat humanisme mereka yang bertendensi sekuler dan menolak kehidupan setelah kematian. Ajaran Nietzsche yang terkenal dengan kalimat “Tuhan telah mati” bisa menjadi alasan kuat ketakutan masyarakat Barat terhadap aksi-aksi teror semacam itu. Bagi mereka, kematian adalah selesainya segala urusan duniawi dan perpisahan yang abadi.  

Sebaliknya, bagi masyarakat muslim, kematian adalah keniscayaan. Seorang muslim yang beriman dan berakhlak baik sejatinya tidak takut akan kematian. Sebaliknya, kematian tiba-tiba seperti menjadi korban dalam kasus terorisme justru dianggap jalan pintas menuju surga. Bagaimana tidak, mati dalam kondisi sedang beribadah (termasuk aktivitas non-ritual) akan didakwa syahid dalam ajaran Islam. Di sisi lain, bagi keluarga dan kerabat seorang muslim, kematian adalah perpisahan sementara menuju kehidupan abadi yang lebih baik setelahnya. Jika demikian, pantaslah jika seharusnya masyarakat Islam itu tidak pernah takut akan teror dan kematian. Namun, apakah ungkapan “KamiTidakTakut” merefleksikan hal semacam itu? Saya pikir tidak.

Ungkapan “KamiTidakTakut” menjadi hambar tatkala tren pembicaraan selanjutnya adalah sang “polisi ganteng”. Betapa tidak eloknya melihat urutan trending topic yang ada di Twitter pada hari tragedi itu. Betul, kemampuan berguyon memang menunjukkan perasaan tidak khawatir. Namun, bukankah ini tragedi kemanusiaan yang serius? Terlepas dari teori konspirasi yang mungkin diatur penguasa, atau silang sengkarut beragam aspek, tetap saja kita semestinya bereaksi dengan pantas.

Kalangan ulama juga memberikan respon normatif dan sekadarnya. Padahal, potensi pengatasnamaan Islam dalam terorisme seharusnya menjadi isu utama di semua majelis. Studi kasus empirisnya adalah khotbah yang saya ikuti ketika sholat Jumat di minggu tersebut. Sungguh, sang khotib tidak membicarakan sama sekali kasus teror Sarinah. Alih-alih tampak cuek dan tidak takut, saya justru merasa sebagian (besar) umat Islam memang sudah mati rasa. Padahal, sholat Jumat adalah kesempatan terbaik bagi setiap pemuka agama untuk memberikan pandangan yang lurus terkait segala hal yang bertendensi merugikan Islam. Saya berkeyakinan, khotbah yang tidak membahas terorisme di Sarinah pasti ditemui di banyak masjid di Indonesia.

Ketergesaan, perlombaan tanpa ujung di rutinitas masyarakat post-industri memang sudah sangat meresahkan. Segala macam urusan penting dibuat instan dan portable. Tidak ada kedalamaan makna dan perenungan sebuah peristiwa yang semestinya menjadi alat asah bagi hati manusia. Para budayawan, rohaniwan, dan filosof mungkin tetap melakukan pemikiran yang mendalam. Akan tetapi, intisari pemikiran mereka pada akhirnya teringkus juga dalam 114 karakter di Twitter. Sesuatu yang sebenarnya “dalam” dikemas menjadi instan dan akhirnya mampir dalam eforia dan berlalu begitu saja.

Umat Islam seharusnya bisa mengambil teladan dari ibadah yang bernama sholat lima waktu. Islam mewajibkan umatnya untuk sholat lima kali dalam sehari di tengah segala aktifitas dunia. Hakikatnya sholat tersebut merupakan istirahat dari hiruk pikuk kesibukan sehari-hari. Seseorang diajarkan untuk menenangkan diri sejenak, sambil berkontemplasi dan membasahi rohaninya untuk kemudian melanjutkan aktifitas hariannya. Sholat memberikan jeda agar manusia tidak terburu-buru mengejar “dunia”.

Belum lagi ajaran untuk melakukan tabayun, verifikasi informasi yang seharusnya dilakukan setiap umat, saat ini sudah jarang terlihat. Metode tabayun sangat sulit dilakukan jika hanya mengandalkan layar gadget. Perlu majelis dan lingkaran pertemanan yang bisa dipercaya untuk menjelaskan duduk perkara sebuah informasi. Maka, kembalilah ke majelis-majelis ilmu, temuilah para ulama dan guru-guru yang bisa dipercaya. Duduk tenang, ikhlaskan hati,  dan dengarkan baik-baik penjelasan mereka!

Alih-alih menggunakan tagar “KamiTidakTakut”, sesungguhnya masyarakat kita memang sudah menakutkan.

KITA HANYA MENJALANI SEJARAH (YANG KEBETULAN BERULANG)

                                                                    sumber foto

Satu juta lebih umat Islam turun ke jalan melakukan aksi damai pada 4 November 2016 lalu di Jakarta. Peristiwa sejarah yang penting untuk dicatat karena itulah kali pertama umat Islam Indonesia turun ke jalan dengan jumlah yang sangat masif dan tidak mengatasnamakan kepentingan politik partisan secara praktis.

Tidak lama setelahnya, peristiwa memilukan terjadi di Samarinda. Seorang teroris yang menggunakan atribut muslim melempar bom molotov ke halaman sebuah gereja. Bom yang meledak itu menewaskan satu gadis cilik bernama Intan dan sontak menjadi viral di tengah masyarakat. 

Sebelum membahas lebih jauh mengenai kaitan dua peristiwa ini, ada baiknya melirik sebentar peristiwa yang pernah terjadi di era kekuasaan Soekarno. Rentang tahun 1955 sampai 1960an terdapat ketegangan yang cukup intens antara kelompok Islam yang secara politis diwakili oleh Masyumi dengan rezim Soekarno yang didukung oleh PKI. Pada September 1957, umat Islam mengadakan kongres ulama tingkat nasional untuk membahas kedekatan rezim Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia. Meski inisiator acara tersebut bukanlah partai Masyumi, akan tetapi tokoh-tokoh Masyumi terlibat secara langsung di dalamnya. Intinya, kongres yang diselenggarakan di Palembang tersebut mendesak pemerintah agar selalu waspada terhadap penyebaran ajaran komunisme yang telah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan politik di tingkat nasional.

Pertarungan ideolodi antara Islam dengan komunisme secara praktis terkulminasi pada pertarungan politik di tingkat elit antara PKI dengan Masyumi. Filsafat humanisme antara Islam yang menjadi asas Masyumi dengan komunisme yang menjadi asas PKI memang memiliki perbedaan yang bersifat diametral. Pertentangan di ranah ideologi ini menemukan bentuk yang makin serius pasca Pemilu pertama tahun 1955. Soekarno yang memaksakan ideologi Nasionalisme-Agama-Komunisme untuk berkembang menjadi satu di negara ini memancing resistensi hebat dari kalangan Islamis. Agama terjepit di antara kelompok nasionalis dan komunis. Meski demikian, perjuangan umat Islam dilakukan tanpa melakukan konfrontasi fisik/senjata, melainkan melalui jalur-jalur resmi seperti parlemen dan organisasi masyarakat. Salah satu bentuk perjuangan itu adalah kongres ulama se-Indonesia yang memberi tekanan pada pemerintah agar mengantisipasi penyebaran paham komunisme di level elit politik.

Sebulan setelah kongres tersebut, terjadilah pengeboman di Cikini yang menewaskan para siswa sekolah. Bom itu berasal dari sebuah granat yang dilemparkan seseorang yang tidak pernah jelas identitas kelompoknya. Media memberitakan kalau granat itu ditujukan untuk membunuh presiden Soekarno, tetapi gagal mencapai sasaran. Pelemparan granat itu sama sekali tidak terkait dengan kelompok Islam yang sedang berjuang di Parlemen seperti halnya Masyumi. Akan tetapi, media pro Soekarno dan PKI terus menerus menyudutkan kelompok Islam sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Ekses ketegangan dari peristiwa ini adalah perginya para petinggi Partai Masyumi dari ibukota karena terus menerus mendapatkan tekanan dan fitnah dari pihak pro-pemerintah.

Antara peristiwa yang terjadi tahun 1957 dan yang baru saja terjadi di tahun ini tentu saja memiliki kemiripan pola. Sekelompok umat Islam yang sedang memperjuangkan aspirasi terkait agama mereka mendapatkan serangan balik dengan cara yang terkesan “konspiratif”. Pada 1957, umat Islam sedang getol-getolnya menekan pemerintah agar menghentikan penyebaran paham komunisme yang bertentangan dengan filsafat ketuhanan semua agama di Indonesia, khususnya Islam. Tidak lama setelah itu, terjadi serangan bom yang kemudian membuat umat Islam mendapatkan tekanan balik, seolah terlibat dalam kasus penyerangan tersebut.

Di tahun 2016 ini, setelah aksi simpatik jutaan umat Islam dilaksanakan dengan damai, munculah aksi susulan berupa serangan bom di sebuah gereja di Samarinda. Pelaku pelemparan bom teridentifikasi sebagai mantan narapidana kasus terorisme yang kerap mengatasnamakan Islam dalam aksi-aksi mereka. Konstruksi wacana yang dibangun di media pro-pemerintah setelah peristiwa inipun bisa ditebak, Islam adalah agama yang memiliki elemen radikal inhumanis jika dibiarkan berkembang. Serangan terhadap rumah ibadah umat Kristiani juga merupakan simbol yang sengaja dibuat mirip dengan tekanan yang diberikan umat Islam kepada Ahok yang kebetulan juga beragama Kristen. 

Kedua peristiwa yang dibahas tadi, bom di Cikini tahun 1957 dan bom di Samarinda tahun 2016 memiliki pola konteks yang mirip. Keduanya diawali oleh aksi kolektif umat Islam dalam menuntut aspirasi mereka kepada pemerintah. Ujung dari peristiwa yang terjadi tahun 1957 sudah jelas, rezim Soekarno berhasil menyingkirkan musuh politik mereka yang dipimpin oleh Partai Masyumi. Ekses yang terjadi juga tidak main-main, Masyumi sebagai partai Islam terbesar saat itu dibubarkan sedangkan para petingginya  ditangkap dengan tuduhan merencanakan makar. Nama-nama seperti Buya Hamka, Mohammad Natsir, Sjafrudin Prawiranegara adalah beberapa dari mereka yang harus menjalani hukuman penjara selama beberapa tahun. Dengan pembubaran dan penangkapan para petinggi Masyumi tadi, Soekarno berhasil menihilkan perjuangan umat Islam melalui jalur parlemen.

Zaman berubah, teknologi informasi dan komunikasi membuat banyak sekali perubahan mendasar dalam bentuk perjuangan umat Islam hari ini. Sekalipun media-media pro-pemerintah mencoba membangun rasa takut dari ancaman terorisme, kelompok Islamis tidak memakan isu tersebut bulat-bulat. Memanfaatkan teknologi seperti internet, kelas menengah muslim secara masif menegaskan posisi mereka yang mengutuk serangan bom di Samarinda tersebut. Secara masif pula kelas menengah muslim ini menegaskan bahwa aksi teror semacam itu bukan bagian dari ajaran Islam. Semua hal itu dilakukan secara masif melalui media sosial berbasis daring, sesuatu yang tentu saja belum ada di tahun 1957. Semua fenomena ini adalah perang wacana di zaman baru. Media arus utama tidak bisa mengatur logika masyarakat dengan mudah.  Akhirnya, tidak ada organisasi Islam apapun yang ikut serta dalam aksi 4 November yang bisa dikaitkan dengan kejadian bom di Samarinda. Bahkan, tokoh-tokoh Islam yang terlibat dalam aksi 4 November juga ikut mengutuk dan menunjukkan sikap permusahan mereka terhadap aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam.

Aksi 4 November 2016 yang lalu jelas dilakukan oleh elemen umat Islam yang tidak membawa sama sekali bendera partai politik atau kepentingan praktis kelompok oposisi pemerintah. Meski tidak ada partai politik yang bisa dijadikan kambing hitam seperti yang terjadi tahun 1957, tuduhan makar tetap diembuskan oleh pemerintah. Kali ini, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan adanya agenda makar dari rencana aksi lanjutan tanggal 2 Desember. Oleh karena itu, ia dengan tegas melarang aksi Bela Islam Jilid 3 yang sudah direncanakan oleh para demonstran. Info tentang agenda makar tersebut didapatkan dari intelejen kepolisian yang telah melakukan penelusuran melalui mesin pencari Google. Hal ini tentu saja terkesan memaksa dan tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat, akan tetapi sampai tulisan ini dibuat, rencana aksi 2 Desember 2016 sepertinya akan tetap dilarang oleh Kepolisian.

Belum jelas ujung dari semua rentetan peristiwa yang terjadi di tahun 2016 ini. Namun, satu hal yang pasti, sejarah telah menunjukkan dengan jelas bahwa Islam dan umatnya tidak pernah mendapatkan tempat yang layak dalam proses demokrasi di negara ini sekalipun mereka adalah kelompok mayoritas. Umat Islam selalu dipinggirkan dan aspirasi mereka kerap dikategorikan sebagai pemecah persatuan bangsa. Bahkan, di sektor ekonomi, umat Islam benar-benar hanya menjadi pasar dalam sistem ekonomi kapitalis yang hari ini menjadi wadah kumpul kebo antara penguasa dengan pengusaha. Isu terakhir yang membuktikan hal ini adalah kepanikan yang ditunjukkan oleh Menteri Keuangan ketika merebaknya ajakan bagi umat Islam untuk menarik uang besar-besaran dari bank-bank milik pemerintah. Sri Mulyani sebagai perpanjangan tangan kepentingan korporasi besar di negara ini tentu saja harus bersuara keras dan kemudian menganggap ajakan tersebut sebagai suatu tindakan yang tidak bertanggung jawab. Kepanikan Sri Mulyani inilah yang membuktikan betapa strategisnya umat Islam di negara ini sekaligus ironi karena aspirasi mereka sering tidak didengar. Ironi, karena saat aspirasi yang tidak pernah didengar di saat yang sama pula uang milik umat Islam dipakai entah untuk apa dan mensejahterakan siapa.

Tidak ada yang menginginkan negara ini terpecah belah dan terjebak dalam konflik sektarian seperti yang terjadi di Suriah meskipun kita tahu konteksnya sangat berbeda. Sejarah hanya memberi peringatan bahwa kesabaran dalam perjuangan itu tetap menjadi orientasi kelompok Islamis yang sejati di negara ini. Mereka yang mencoba melakukan aksi teror dan kekerasan tentu saja bukan bagian dari kelompok Islamis. Saya sendiri meyakini bahwa konspirasi selalu bersifat praktik dan bukan teori. Oleh karena itu, proses demokratisasi yang masih seumur jagung di negara ini harus bisa dilalui dengan mulus. Segala tindak teror yang memecah belah kekuatan umat Islam jelas sebuah praktik konsporasi. Kedewasaan umat Islam dalam berdemokrasi sudah ditunjukkan dalam bentuk tuntutan yang sah terkait penegakan supremasi hukum sebagai pilar demokrasi itu sendiri.

*Tulisan ini dibuat pasca aksi damai 4 November 2016 dan sebelum aksi damai 2 Desember 2016