Tuesday 27 November 2012

DI BALIK GENCATAN SENJATA KALI INI



 Setelah  8 hari serangan Israel ke wilayah Gaza, akhirnya disepakati perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Palestina yang diwakili oleh Hamas.
Gencatan senjata ini mengagetkan banyak pihak karena terjadi saat konflik sedang panas-panasnya. Ada banyak analisis mengenai tercapainya kesepakatan tersebut terutama yang memandang bahwa inisiatif menghentikan agresi datang dari pihak Israel. Menurut Jon Elmer dari al-Jazeera, gencatan senjata kali ini akan mengubah pola hubungan antara Israal dan Palestina secara signifikan. Analisis tersebut setidaknya didasarkan pada beberapa hal mendaasar yaitu; 

Kemampuan Roket Hamas
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, roket yang dirakit oleh Hamas berhasil mencapai Yerussalem, kota yang disucikan dan dijaga sekuat tenaga oleh Israel. Kemampuan Hamas dalam memproduksi roket yang memiliki daya jangkau yang jauh didapatkan dari berbagai pihak di luar Hamas. Data yang didapatkan oleh wartawan al-Jazeera di Gaza menyebutkan bahwa Hamas mendapatkan transfer teknologi roket tersebut dari kelompok Hizbullah di Lebanon Selatan yang juga kerap berkonflik dengan Israel. Hizbullah juga merupakan organisasi politik yang memiliki faksi bersenjata dan pernah mengalahkan Israel dalam perang tahun 2006. Pada konflik antara Hizbullah dan Israel tahun 2006 itu, Hizbullah berhasil membuat wilayah Israel seperti medan jatuhnya roket-roket mereka. Kemenangan itu membuat Hamas mengadopsi sebagian besar teknologi persenjataan Hizbullah untuk dirakit dan digunakan kembali melawan Israel. Di samping itu, Hamas yang membangun jaringan terowongan bawah tanah berhasil menyelendupkan berbagai macam artileri berat dari luar Gaza untuk dirakit kembali atau digunakan dalam menghadapi Israel. Terowongan bawah tanah yang dulunya hanya muat dilewati oleh seorang anak remaja, kali ini sudah bisa mendisitribusikan kendaraan-kendaraan berat seperti panser dan truk.
                Tokoh yang berperan penting dalam proyek pengembangan teknologi persenjataan Hamas adalah Ahmad  Jaberi yang menjabat sebagai kepala komandan Brigade Izzudin al-Qassam. Keberhasilan Ahmad Jaberi mengembangkan persenjataan Hamas membuat petinggi militer Israel menyebut Hamas sebagai angkatan darat yang berbahaya dan bukan lagi sekadar organisasi teroris. Peran itulah yang membuat Israel bernafsu untuk mengejar Ahmad Jaberi lalu berhasil membunuhnya dalam sebuah operasi brutal dua hari menjelang serangan udara dimulai. Terbunuhnya Ahmad Jaberi itulah yang membuat pihak Hamas bereaksi keras lalu membalas dengan serangan roket ke wilayah Israel.

                Meski berhasil mengembangkan teknologi roket secara signifikan, secara keseluruhan, serangan roket Hamas masih jauh dari kata efektif. Persentasi serangan roket yang mengenai sasaran tidak mencapai angka 30%. Namun, pihak Israel tahu persis bahwa kegagalan tersebut lebih disebabkan keterbatasan waktu bagi Hamas untuk mengujicoba persenjataan mereka. Ditambah lagi dengan kalkulasi total roket yang dimiliki Hamas yang masih simpang siur.

Gaza Yang Sudah Berubah
                Konflik antara Hamas dan Israel tahun ini memberi pesan jelas pada seluruh dunia bahwa Gaza sudah tidak lagi sama seperti dulu. Richard Falk membahas secara detail analisisnya mengenai perubahan-perubahan transformatif yang menggiring hubungan Israel-Palestina memasuki era baru. Yang pertama adalah; dukungan negara-negara Arab pada Palestina kali ini. Negara-negara Arab yang sedang menghadapai gelombang demokratisasi tentunya menginginkan Hamas mendapatkan kesempatan penuh untuk mengelola kekuasaan politik di Palestina. Mesir dan Turki mengambil peran yang sangat penting dalam mendukung pemerintahan Hamas di Palestina.
                Kedua, selama konflik berlangsung, setidaknya ada 7 pejabat perwakilan negara-negara Arab yang datang ke Gaza dan melihat langsung penderitaan yang dialami korban serangan Israel. Kedatangan mereka memberi legitimasi politik kepada Hamas sekaligus menyadari betapa terisolasinya Hamas dari diplomasi luar negeri selama ini. Ketiga, Israel bersedia menyepakati dua hal yang penting bagi Hamas dan masyarakat Gaza. Israel bersedia menghentikan operasi pembunuhan tokoh politik Hamas di Gaza. Selain itu, Israel juga bersedia membuka arus keluar-masuk masyarakat di Gaza.
                Keempat, peran Amerika Serikat akan tergeser oleh Mesir dan Turki sebagai mediator konflik yang lebih disukai dan dipercaya negara-negara Arab. Dukungan Amerika pada Israel justru membuat posisi mereka terjepit di antara sikap dunia internasional yang semakin sadar bahwa Israel melakukan pembersihan etnis di Palestina. Meski begitu, sikap PBB juga dianggap oleh media internasional masih terlalu gamang dalam menyikapi isu Palestina-Israel. Sekjen PBB, Ban Ki Moon dianggap terlalu dibebani dengan kepentingan negara-negara Barat atas isu ini.
                Keenam, terjadi sebuah fenomena yang sangat jarang terjadi di Gaza dan Palestina pada umumnya. Fenomena itu adalah membaurnya berbagai macam faksi politik di Palestina saat merayakan tercapainya gencatan senjata yang lalu. Di jalan-jalan, bendera Hamas, Jihad Islam, Fatah, dan PFLP berkibar bersama-sama merayakan gencatan senjata.
                Situasi keseluruhan memang masih penuh dengan ketidakpastian. Tidak ada seorang pengamatpun yang berani memastikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, terlepas dari semua kemungkinan, masyarakat dunia sudah memiliki atensi yang besar pada masalah kemanusiaan di Gaza. Isu ini tidak lagi menjadi komoditi masyarakat Islam, melainkan sudah menjadi masalah humanisme yang sifatnya jauh lebih universal.