Setelah 8 hari serangan Israel ke wilayah Gaza,
akhirnya disepakati perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Palestina
yang diwakili oleh Hamas.
Gencatan senjata ini mengagetkan banyak pihak karena
terjadi saat konflik sedang panas-panasnya. Ada banyak analisis mengenai
tercapainya kesepakatan tersebut terutama yang memandang bahwa inisiatif
menghentikan agresi datang dari pihak Israel. Menurut Jon Elmer dari
al-Jazeera, gencatan senjata kali ini akan mengubah pola hubungan antara Israal
dan Palestina secara signifikan. Analisis tersebut setidaknya didasarkan pada
beberapa hal mendaasar yaitu;
Kemampuan Roket Hamas
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, roket yang
dirakit oleh Hamas berhasil mencapai Yerussalem, kota yang disucikan dan dijaga
sekuat tenaga oleh Israel. Kemampuan Hamas dalam memproduksi roket yang
memiliki daya jangkau yang jauh didapatkan dari berbagai pihak di luar Hamas.
Data yang didapatkan oleh wartawan al-Jazeera di Gaza menyebutkan bahwa Hamas
mendapatkan transfer teknologi roket tersebut dari kelompok Hizbullah di
Lebanon Selatan yang juga kerap berkonflik dengan Israel. Hizbullah juga
merupakan organisasi politik yang memiliki faksi bersenjata dan pernah
mengalahkan Israel dalam perang tahun 2006. Pada konflik antara Hizbullah dan
Israel tahun 2006 itu, Hizbullah berhasil membuat wilayah Israel seperti medan
jatuhnya roket-roket mereka. Kemenangan itu membuat Hamas mengadopsi sebagian
besar teknologi persenjataan Hizbullah untuk dirakit dan digunakan kembali
melawan Israel. Di samping itu, Hamas yang membangun jaringan terowongan bawah
tanah berhasil menyelendupkan berbagai macam artileri berat dari luar Gaza
untuk dirakit kembali atau digunakan dalam menghadapi Israel. Terowongan bawah
tanah yang dulunya hanya muat dilewati oleh seorang anak remaja, kali ini sudah
bisa mendisitribusikan kendaraan-kendaraan berat seperti panser dan truk.
Tokoh yang berperan
penting dalam proyek pengembangan teknologi persenjataan Hamas adalah Ahmad Jaberi yang menjabat sebagai kepala komandan
Brigade Izzudin al-Qassam. Keberhasilan Ahmad Jaberi mengembangkan persenjataan
Hamas membuat petinggi militer Israel menyebut Hamas sebagai angkatan darat
yang berbahaya dan bukan lagi sekadar organisasi teroris. Peran itulah yang
membuat Israel bernafsu untuk mengejar Ahmad Jaberi lalu berhasil membunuhnya
dalam sebuah operasi brutal dua hari menjelang serangan udara dimulai.
Terbunuhnya Ahmad Jaberi itulah yang membuat pihak Hamas bereaksi keras lalu
membalas dengan serangan roket ke wilayah Israel.
Meski berhasil
mengembangkan teknologi roket secara signifikan, secara keseluruhan, serangan
roket Hamas masih jauh dari kata efektif. Persentasi serangan roket yang
mengenai sasaran tidak mencapai angka 30%. Namun, pihak Israel tahu persis bahwa
kegagalan tersebut lebih disebabkan keterbatasan waktu bagi Hamas untuk mengujicoba
persenjataan mereka. Ditambah lagi dengan kalkulasi total roket yang dimiliki
Hamas yang masih simpang siur.
Gaza Yang Sudah Berubah
Konflik
antara Hamas dan Israel tahun ini memberi pesan jelas pada seluruh dunia bahwa
Gaza sudah tidak lagi sama seperti dulu. Richard Falk membahas secara detail
analisisnya mengenai perubahan-perubahan transformatif yang menggiring hubungan
Israel-Palestina memasuki era baru. Yang pertama adalah; dukungan negara-negara
Arab pada Palestina kali ini. Negara-negara Arab yang sedang menghadapai
gelombang demokratisasi tentunya menginginkan Hamas mendapatkan kesempatan
penuh untuk mengelola kekuasaan politik di Palestina. Mesir dan Turki mengambil
peran yang sangat penting dalam mendukung pemerintahan Hamas di Palestina.
Kedua, selama
konflik berlangsung, setidaknya ada 7 pejabat perwakilan negara-negara Arab
yang datang ke Gaza dan melihat langsung penderitaan yang dialami korban
serangan Israel. Kedatangan mereka memberi legitimasi politik kepada Hamas
sekaligus menyadari betapa terisolasinya Hamas dari diplomasi luar negeri
selama ini. Ketiga, Israel bersedia menyepakati dua hal yang penting bagi Hamas
dan masyarakat Gaza. Israel bersedia menghentikan operasi pembunuhan tokoh
politik Hamas di Gaza. Selain itu, Israel juga bersedia membuka arus
keluar-masuk masyarakat di Gaza.
Keempat, peran
Amerika Serikat akan tergeser oleh Mesir dan Turki sebagai mediator konflik
yang lebih disukai dan dipercaya negara-negara Arab. Dukungan Amerika pada
Israel justru membuat posisi mereka terjepit di antara sikap dunia internasional
yang semakin sadar bahwa Israel melakukan pembersihan etnis di Palestina. Meski
begitu, sikap PBB juga dianggap oleh media internasional masih terlalu gamang
dalam menyikapi isu Palestina-Israel. Sekjen PBB, Ban Ki Moon dianggap terlalu
dibebani dengan kepentingan negara-negara Barat atas isu ini.
Keenam, terjadi
sebuah fenomena yang sangat jarang terjadi di Gaza dan Palestina pada umumnya. Fenomena
itu adalah membaurnya berbagai macam faksi politik di Palestina saat merayakan
tercapainya gencatan senjata yang lalu. Di jalan-jalan, bendera Hamas, Jihad
Islam, Fatah, dan PFLP berkibar bersama-sama merayakan gencatan senjata.
Situasi keseluruhan
memang masih penuh dengan ketidakpastian. Tidak ada seorang pengamatpun yang
berani memastikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, terlepas dari semua
kemungkinan, masyarakat dunia sudah memiliki atensi yang besar pada masalah
kemanusiaan di Gaza. Isu ini tidak lagi menjadi komoditi masyarakat Islam,
melainkan sudah menjadi masalah humanisme yang sifatnya jauh lebih universal.