REVIEW BUKU
Judul : Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem
Ikonisitas
Penulis : Kris Budiman
Semiotika Visual: Konsep, Isu,
dan Problem Ikonisitas merupakan gabungan dari ketiga naskah buku Kris
Budiman sebelumnya. Buku ini berisi naskah dari dua buku kecil tentang
semiotika milik Kris, yaitu Semiotika Visual (2004), dan Ikonisitas:
Semiotika Sastra dan Seni Visual (2005). Pada bagian akhir buku ini,
diberikan suplemen berupa Kosa Semiotika, semacam daftar istilah dan nama tokoh
terkait hutan belantara semiotika. Kosa semiotika itu sendiri sudah pernah
dibukukan pada 1999 oleh Kris Budiman. Dengan kata lain, membaca buku ini
artinya membaca tiga buah buku sekaligus.
Sebelum berbicara
mengenai semiotika visual, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu dua orang
tokoh peletak dasar kajian semiotika, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles
Sanders Peirce. Kedua toko itulah yang menjadi poros awal pembahasan semiotika
yang dikenal luas saat ini sebagai ilmu tentang tanda-tanda. Saussure dan
Peirce adalah dua orang yang tidak saling mengenal dan hidup di belahan dunia
berbeda. Namun, pemikiran keduanya begitu memengaruhi para ahli pertandaan di
era setelahnya. Dalam buku ini, buah pemikiran kedua tokoh ini dibahas di
beberapa bagian.
Semiotika yang diartikan
sebagai ilmu tentang tanda-tanda dimaknai lebih luas oleh Kris Budiman sebagai
ilmu yang berbicara mengenai hubungan tanda-tanda dengan berbagai aspek. Yang
pertama adalah hubungan tanda dengan maknanya, selanjutnya adalah hubungan
tanda dengan penggunanya, atau pemakainya. Dan yang terakhir adalah hubungan
tanda dengan tanda lainnya. Ketiga lintas relasi inilah yang menjadi kunci
definisi semiotika sebagai ilmu tentang tanda.
Secara khusus, Kris
Budiman mengkaji ruang lingkup semiotika visual sebagai kajian pertandaan yang
menaruh minat pada penyelidikan segala makna dari tanda yang disampaikan
melalui sarana indra penglihatan (visual sense). Berdasarkan hal
tersebut, kajian semiotika visual memiliki beberapa dimensi dasar, yaitu
dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik.
Dimensi sintaktik
dikenal luas dalam semiotika linguistik sebagai metode memilah pemaknaan kata
melalui proses artikulasi ganda. Proses artikulasi ganda pada linguistik
berarti memecah sebuah kata menjadi unsur-unsur terkecil yang masih memiliki
makna (morfem) dan unsur terkecil yang membedakan makna (fonem).
Contohnya, kata lukisan yang apabila dipecah unsurnya maka didapatkan dua buah
morfem yaitu lukis dan –an. Morfem tersebut apabila dipecah lagi
maka didapatkan beberapa fonem, yaitu /l/, /u/, /k/, /i/, /s/, /a/, /n/.
Ketujuh fonem tersebut adalah unsur terkecil yang dapat membedakan makna.
Persoalannya adalah
semiotika kebahasaan dianggap tidak terlalu beranalog dengan semiotika visual.
Problem ini dimulai ketika ada anggapan bahwa persepsi piktorial memiliki sifat
otonom dan tidak bergantung pada sistem linguistik (the semiotic autonomy of
art). Meski begitu, beberapa pakar semiotika menganggap ada analogi antara
model bahasa dengan gambar. Dengan kata lain, dalam sebuah gambar juga terdapat
susunan unsur terkecil yang memiliki makna dan membedakan makna.
Kris Budiman mengutip pembahasan dari Saint Martin (1987)
mengenai coloreme sebagai model analog artikulasi ganda linguistik pada
semiotika visual. Menurut Saint Martin, sebuah coloreme dibatasi oleh
semacam medan bahasa visual yang berkolerasi dengan suatu sentrasi pandangan
mata. Model ini dianggap analog dengan morfem dan fonem dalam sistem
linguistik. Namun, sebelum Saint Martin, Umberto Eco sudah lebih dulu menggagas
artikulasi ganda untuk bahasa visual, yaitu dengan istilah sign dan sema.
Baik Saint Martin ataupun Umberto Eco sebenarnya masih berada
dalam lingkar polemik besar mengenai ada tidaknya analogi antara sistem bahasa
dengan sebuah tanda visual seperti lukisan. Dalam hal ini, perdebatan panjang
para pakar semiotik adalah mengenai bisa tidaknya sebuah gambar disusun
berdasarkan kaidah sistem estetik seperti halnya sistem tata bahasa dalam linguistik?
Artinya, apakah mungkin menyusun sebuah kaidah sistem estetik yang bisa dirujuk
dan digunakan secara universal?
Dimensi berikutnya dari semiotika visual adalah dimensi
semantik dan pragmatik. Dimensi semantik menghadapi persoalan mengenai polemik antara
tanda yang dicirikan, apakah ia bersifat ikonik atau simbolik seperti halnya
tipologi tanda yang digagas oleh Charles Sanders Peirce. Bagi Peirce sendiri,
tanda-tanda visual yang sempurna justru adalah tanda yang bisa menyeimbangkan
sifat ikonik, simbolik, dan indeksikal sekaligus.
Perdebatan panjang seputar tipologi tanda ini justru membuat
masalah yang penting menjadi terabaikan dalam dimensi semantik itu sendiri, yaitu proses pemaknaan.
Sebagaimana sebuah karya visual harus memiliki makna, maka proses pemaknaan
harus diposisikan sebagai aspek penting
dalam dimensi semantik pendekatan semiotika visual.
Dimensi berikutnya dalam pendekatan semiotika visual adalah
pragmatisme. Dimensi pragmatik membahas panjang lebar mengenai fungsi-fungsi
yang dominan dalam komunikasi (seni) visual. Perdebatan dalam dimensi pragmatik
adalah seputar apakah sebuah tanda diproduksi untuk mengemban fungsi estetik
atau konatif dan ekspresif? Dalam teori estetik yang radikal, sebuah karya seni
visual diartikan dianggap memiliki fungsi yang mengacu pada dirinya sendiri (self-referential).
Sedangkan, tidak jarang sebuah karya seni juga mengemban fungsi konatif dan
ekspresif dalam ruang lingkup komunikasi sosial. Polemik mengenai fungsi sosial
pada karya visual ini pada akhirnya harus mempertimbangkan kenyataan bahwa
komunikasi bukanlah sebuah proses yang tunggal.
Pada Bab 2, Kris Budiman mengangkat konsep-konsep dasar
mengenai semiotika visual dari buah pikiran maestro semiotika yaitu Charles
Sanders Peirce dan Ferdinand de Saussure. Kedua tokoh ini memang mewakili kutub
pembahasan ilmu tanda yang menjadi cikal bakal teori semiotika yang kita kenal
dewasa ini. Gagasan Peirce yang mendasar adalah pemecahan tanda dalam struktur
traidik. Stuktur traidik memecah sebuah tanda menjadi representamen,
interpretan, dan objek. Interpretan adalan konsep atau sesuatu yang diacu oleh
representamen yang ditangkap secara visual. Konsep itu kemudian mengacu pada
sebuah objek. Skema proses pemecahan struktur traidik ini digambarkan sebagai
berikut.


representamen
-------------------------- objek
Menurut Peirce, sebuah interpretan bisa menjadi representamen
dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, proses signifikasi dalam pemecahan
struktur traidik ini dianggap tidak berkesudahan (unlimited semiosis).
Berdasarkan hubungan antara representamen dan objeknya,
Peirce kemudian merumuskan tipologi tanda yang cukup sederhana, yaitu ikon, indeks, dan
simbol. Sifat tanda yang ikonik adalah tanda yang memiliki kesamaan rupa (resemblance)
yang dapat dikenali oleh para pemakainya. Contoh tanda yang bersifat ikonik
adalah gambar peta yang merupakan replikasi dari bentuk dataran teritorial
dalam skala yang diperkecil. Kalimat-kalimat ornomatope dalam bahasa Indonesia
juga merupakan tanda yang bersifat ikonik, contohnya kukuruyuk sebagai
perupaan suara ayam jago. Dalam Bab 5, Peirce membedah lagi tanda ikonik ke
dalam klasifikasi yang bersifat tripatrit, yaitu citra, diagram, dan
metafora.
Tipologi tanda berikutnya adalah indeks yang merupakan bentuk
aktualisasi dan konkritisasi dari hubungan antara representamen dan objek.
Tanda yang bersifat indeks contohnya adalah ketukan pintu sebagai representamen
yang berarti ada tamu di depan rumah (objek). Contoh lainnya adalah jejak
telapak kaki di tanah yang menandakan ada seseorang yang berjalan melewati
tempat itu.
Tipologi tanda yang terakhir adalah simbol. Tanda yang
berjenis simbol adalah tanda yang hubungan antara representamen dan objeknya
bersifat arbiter dan konvensional. Fenomena kata-kata dalam sistem kebahasaan
biasanya merupakan simbol-simbol. Kata kuda misalnya, tidak memiliki kesamaan
atau perupaan sama sekali dengan seekor hewan mamalia yang sanggup berlari
kencang dalam pacuan. Kata kuda disepakati bersama oleh para penggagas bahasa
Indonesia sebagai simbol untuk menyebutkan hewan yang kita kenal sebagai
kuda.
Sementara, tipologi tanda dari Peirce yang jauh
lebih rumit, secara khusus dibahas pada Bab 5. Tipologi tanda yang lainnya
adalah trikotomi qualisign, sinsign, dan legisign. Trikotomi berikutnya
adalah rema, disen, dan argumen. Kedua trikotomi ini dibahas secara
sederhana dan mudah dipahami oleh Kris Budiman serta diberikan contoh yang
cukup jelas dan representatif.
Tokoh berikutnya yang dibahas oleh Kris Budiman adalah
Ferdinand de Saussure yang secara khusus dianggap sebagai peletak dasar ilmu
semiotika. Konsep-konsep semiotika berhutang banyak pada pemikiran Saussure
yang membuat seperangkat konsep dikotomis yang khas. Beberapa konsep tersebut
adalah langue dan parole, sintagmatik dan paradigmatik, serta penanda dan
petanda.
Khusus mengenai pendekatan semiotika visual, konsep dikotomis
penanda (signifier) dan petanda (signified) adalah yang paling
lazim dikenal oleh para pengkaji semiotika khususnya yang beraliran
strukturalis. Penanda diartikan sebagai aspek material dari sebuah tanda yang
bersifat sensoris atau dapat diindrai (sensible). Sedangkan petanda
diartikan sebagai aspek mental dari tanda yang biasa disebut sebagai ‘konsep’.
Konsep itu sendiri bersifat ideasional dan berada dalam benak penutur, atau
pengguna tanda.
Konsep dikotomis yang digagas oleh Saussure tersebut memiliki
latar operasional dalam ranah linguistik. Meski demikian, konsep dikotomis
penanda dan petanda tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan
kata lain, tidak ada penanda tanpa petanda, dan sebaliknya tidak ada petanda
tanpa penanda.
Proses pemaknaan sebuah tanda dalam semiotika visual adalah
hal yang bersifat elementer sekaligus sentral. Dalam hal ini, Kris Budiman
menyajikan buah pikiran Roland Barthes mengenai penggunaan metode kode
pembacaan tanda. Barthes menyederhanakan struktur sebuah tanda ke dalam unit-unit
pembacaan yang disebut sebagai leksia. Leksia itu bisa berupa apa saja, yang
penting ia memiliki beberapa kemungkinan makna yang dimensinya tergantung pada
kepekatan konotosi-konotasi yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks.
Kode pembacaan yang bisa diaplikasikan pada ranah tanda
visual adalah; kode hermeneutik, semik, simbolik, proairetik, dan kultural.
Kelima kode pembacaan itu disarikan dari pemikiran Roland Barthes yang dalam
tahapan ini masih menjadi penerus tradisi strukturalisme Saussurian. Kelima
kode pembacaan itu biasa beroperasi pada sebuah teks yang berupa bahasa ataupun
visual. Untuk memudahkan para pembaca buku dalam memahami model kode pembacaan
ini, Kris Budiman memberikan contoh desain visual yang menarik dari kaus oblong
merk Dagadu dari Jogjakarta.
Masih dengan pemikiran Roland Barthes, salah satu konsep yang
paling terkenal adalah sistem semiologis bertingkat. Dijelaskan dengan cukup
sederhana dan padat, bahwa Barthes mengembangkan konsep dikotomis Saussure
dalam melihat struktur tanda menjadi beberapa tingkatan sistem semiologis.
Tingkat pertama adalah hubungan penanda dan petanda yang menghasilkan makna denotasi.
Tingkat berikutnya adalah pemaknaan konotatif, dan tingkat berikutnya adalah
pemaknaan yang menghasilkan mitos. Beberapa contoh menarik mengenai hal ini
juga disajikan dengan baik di dalam buku.
Pembahasan berikutnya adalah isu intertekstualitas. Interteks
secara sederhana diartikan sebagai relasi antara satu teks dengan teks-teks
lainnya. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Julia Kristeva meskipun
saat ini istilah tersebut mulai bergeser menjadi semacam pengaruh (influence)
antara pengarang yang satu kepada yang lain. Konsep intertekstualitas Kristeva
ini memiliki kedekatan dengan konsep vraisemblance yang digagas oleh
ahli semiotik bernama Tvzetan Todorov.
Sebelum membahas mengenai interteks ala Kristeva, Kris
mengantarkan pembaca pada pembahasan mengenai teks dan tekstualitas. Sayangnya,
contoh yang diambil Kris adalah teks yang berupa karya sastra, dalam hal ini
adalah cuplikan novel “saman” karya Ayu Utami. Pemahaman pembaca yang awam
terhadap kajian semiotika visual menjadi sulit dicapai dengan sampling
teks berupa karya sastra. Namun, jika dikaji secara mendalam, konsep dasarnya
bisa diaplikasikan secara praktis pada teks berupa gambar visual. Contoh-contoh
lainnya yang masuk dalam kerangka besar intertekstualitas adalah gambar-gambar desain
kaos oblong merk Dagadu dari Jogjakarta yang dibahas secara praktis berdasarkan
konsep-konsep yang sudah ada.
Bagian akhir dari buku ini adalah
kosa semiotika yang merupakan daftar istilah yang mirip seperti glosarium
semiotika yang disusun secara alfabetis. Berbeda dengan glosarium pada umumnya,
kosa semiotika membahas lebih rinci semua istilah yang berkaitan dengan
semiotika beserta contoh singkat atau acuan bab untuk membahasnya lebih lanjut.
Hal yang ditambahkan dalam kosa semiotika ini adalah nama-nama tokoh pemikir
semiotika. Setiap tokoh diberikan keterangan terkait profil singkat dan
karya-karya pemikiran mereka.
Silang Sengkarut di Antara para Pencetus Teori Semiotika
Sebagai sebuah pengantar
dalam memahami semiotika visual, buku ini terbilang cukup baik karena meramu
secara sinergis berbagai pemikiran seputar semiotika visual. Berbagai kutipan
dan rangkuman pemikiran dari para tokoh besar semiotika juga disajikan secara
baik dan mudah dipahami. Kris dengan sangat baik pula menyadur buah-buah
pemikiran para tokoh semiotika yang berserakan di berbagai buku lalu
merangkainya menjadi satu pembahasan yang terintegrasi. Buku ini tentu saja
memudahkan para akademisi dalam memahami konsep semiotika visual pada tahap
awal, khususnya bagi mereka yang memiliki keterbatasan dalam mengakses
buku-buku para ahli semiotika.
Yang menjadi kekurangan
adalah minimnya contoh-contoh operasionalisasi konsep dan teori mengenai
semiotika visual itu sendiri. Beberapa contoh yang ada justru mengambil wilayah
kritik sastra yang masih memerlukan penyesuaian untuk diaplikasikan pada objek
visual. Bagian tengah buku yang berisi halaman full colour juga tidak
memunculkan banyak contoh-contoh desain visual kontemporer yang memerlukan
telisik dalam perspektif visual.
Secara umum, solusi
problem metodologis dalam pendekatan semiotika visual memang tidak banyak
dibahas dalam buku ini. Alih-alih mengarahkan para peneliti atau akademisi
dalam mengoperasionalkan pendekatan semiotika dalam ranah objek visual, buku
ini justru membicarakan silang sengkarut di antara para pencetus teori
semiotika itu sendiri. Dua aliran besar yang sangat berpengaruh adalah
strukturalis dan pos-strukturalis yang dalam buku ini tidak dipisahkan secara
dikotomis. Padahal, kedua aliran ini menjadi sumbu utama perdebatan di semua
aspek semiotika dari tipologi tanda sampai kode pembacaan sebuah tanda.
Tugas utama para pemikir
dan pengkaji semiotika saat ini adalah pengembangan ide-ide strukturalis yang
tidak bersifat dekonstruktif ektrim. Pos strukturalis dekonstruktif
yang membongkar
secara ekstrim etika pembacaan tanda justru membuat nilai spritulitas dan
sakralitas yang dimuati sebuah tanda menjadi lenyap. Buah pikiran Roland
Barthes yang beralih dari seorang strukturalis menjadi dekonstruktor bersama Derrida
dan Kristeva tidak boleh menjadi perhentian akhir dari pemikiran semiotika
secara umum dan semiotika visual secara khusus.
Kritik
terhadap kelompok dekonstruktor ini sudah pernah disampaikan oleh pemikir Barat
lainnya seperti John Ellis. Dalam bukunya yang berjudul Against Deconstruction, Ellis mengatakan bahwa Derrida terlalu
tergesa-gesa melompat dari satu ektrim pemikiran ke ekstrim pemikiran lainnya
sehingga ia mengabaikan tata karma ilmiah serta bertindak anarkis.[1] Titik ekstrim yang pertama
adalah pemikiran bahwa makna semata-mata adalah konsep yang bersifat pasti dan
tertutup. Sedangkah titik ekstrim selanjutnya adalah makna adalah masalah
permainan tanda-tanda yang tanpa batas dan tanpa akhir.
Kerangka filosofis yang
dimiliki kelompok dekonstruktor pos strukturalis dalam semiotika tampak seirama
dengan gejala post-modernisme dalam konteks sosial budaya. Post-modernisme yang
bersifat irasional dan menolak klaim kebenaran universal, sangat selaras dengan
semangat para dekonstruktor seperti Barthes dan Kristeva yang mengobrak-abrik
kode pembacaan pada tanda. Hal ini sudah dibahas panjang lebar oleh Yasraf Amir
Piliang yang kemudian membahasakannya sebagai hiper-semiotika.[2]
Meski
demikian, pemikiran semiotika dekonstruksi juga tidak perlu harus buru-buru
ditolak. Tawaran yang diberikan oleh para penggagas pemikiran ini adalah
pandangan terhadap bahasa sebagai suatu proses yang heterogen, plural, dan
kreatif. Menurut Armahedi Azhar, pemikiran dekonstruksi hanya perlu dilenyapkan
sifat-sifat anarkisnya seperti anggapan plural yang seolah harus anarkis.
Setelah itu, apabila penggunanya meniupkan nafas iman, maka ia akan menjadi wahana kreatifitas yang integral.[3]
Membawa semiotika ke
titik ekstrem
seperti yang dilakukan Barthes dan Derrida akan menghancurkan fungsi-fungsi
komunikasi visual yang seharusnya dimiliki sebuah tanda. Gejala seperti itu
merupakan gejala matinya sebuah fenomena. Karena sebuah fenomena, seperti
halnya organisme, akan mati apabila dia sudah tua, terinfeksi virus, atau
keluar dari sifat-sifat alamiahnya (hiper-realitas). Tanda-tanda visual
seharusnya mengantarkan pembacanya untuk mendapatkan kenikmatan dari makna, dan
bukan kenikmatan mengonsumsi tanda-tanda itu sendiri. Mengutip kritik
transenden Yasraf, semiotika seharusnya digunakan oleh para akademisi sebagai
metode untuk
menegakkan yang haq dan mendekonstruksi yang bathil.[4]
[1] Christopher Norris, What`s Wrong with Post-modernism, New York: Harvester/Wheatsheaf,
1990, hlm.136
[2] Lihat, Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hiper Semiotika: Kode, Gaya,
dan Matinya Makna, Bandung: Matahari, 2010
[4] Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan,
Bandung: Matahari, 2011, hlm.267