Friday 23 September 2011

TKI dan Krisis Budaya Bangsa

Dari perspektif budaya bangsa kita di Indonesia, kasus Ruyati bisa dilihat sebagai pelajaran yang sangat mahal harganya. 

Ruyati binti Satubi, TKI asal kota Bekasi, yang dipancung tanpa asistensi hukum apa pun menjadi berita yang sangat menggemparkan di tanah air. Ia dianggap sebagai korban penindasan karena membela hak dan kehormatannya di depan majikan sampai kemudian ia terpaksa harus membunuh sang majikan. Begitulah konstruksi fakta yang diyakini dan dikembangkan masyarakat kita di Indonesia sekalipun tidak melalui pembuktian akan fakta persidangan yang otentik.

Ada beberapa segmen golongan yang begitu dominan dalam memberi penyikapan terkait kasus TKI dan Ruyati. Golongan pertama adalah mereka yang membawa (kalau tidak mau dikatakan menggiring) masalah ini menjadi masalah politik dengan mengaitkan secara langsung kasus ini dengan kegagalan pemerintah terkait kewajiban perlindungan terhadap warga negaranya. Golongan berikutnya adalah mereka yang mulai mengais-ngais ikan di air keruh dengan menarik persoalan ke arah deligitimasi penegakan syariat Islam yang "diterapkan" Arab Saudi. Semangat Islam-phobia menjiwai sikap pembelaan mereka terhadap para TKI. Golongan terakhir adalah masyarakat yang tidak memberikan perhatian secara khusus dalam masalah ini, alias acuh tak acuh.


Budaya (diper)budak
Tindakan penyiksaan, pemerkosaan, dan intimidasi yang dilakukan para majikan TKI di Arab Saudi tak pelak merupakan bentuk perbudakan zaman modern. Mereka menjadikan para TKI di sektor pembantu rumah tangga layaknya budak yang berhak mereka perlakukan dengan bebas. Namun, sebagian besar dari kita pasti tidak mengira kalau perbudakan yang dialami saudara-saudara kita di Saudi memiliki akar dalam budaya bangsa yang kita kembangkan sendiri sampai hari ini. Tengkoklah ke dalam negeri ini, sebagian besar masyarakat yang memiliki pembantu rumah tangga di rumah mereka, tidak memperlakukan para pembantu ini secara profesional dan manusiawi. Pembantu rumah tangga diposisikan menjadi sektor yang sangat informal. Segala macam UU terkait perlindungan tenaga kerja tidak pernah menyentuh apalagi diimplementasikan oleh masyarakat yang menggunakan jasa pembantu rumah tangga. Lihat bagaimana sebagian besar dari kita tidak memberikan kontrak kerja yang jelas kepada seorang pembantu rumah tangga. Belum lagi soal jam kerja yang tidak masuk akal, jaminan kesehatan, upah dan hak-hak lainnya. Semua itu dilakukan dalam kesepakatan yang berprinsip "tahu sama tahu saja". Seorang pembantu rumah tangga di Indonesia adalah pesuruh bagi seluruh anggota keluarga majikan. Mulai dari ayah, ibu, dan anak-anak si majikan. Semua anggota keluarga seperti berhak memberikan perintah komando. Orangtua membiarkan anak-anak mereka untuk minta ini-itu kepada sang pembantu. Sebuah pola pengasuhan yang mendidik anak mereka untuk tidak menghargai orang lain. Padahal, semestinya hal itu harus didasarkan kepada surat kontrak yang jelas atau kesepakatan tertulis. Bahkan, kerabat atau keluarga besar yang bertamu ke rumah juga bisa memberikan perintah kepada para pembantu rumah tangga tersebut. Padahal, dalam konteks perlindungan hak tenaga kerja, tidak ada sedikitpun hak bagi orang yang tidak mengupah mereka untuk memberikan perintah. Budaya perlakuan terhadap pekerja di sektor rumah tangga inilah yang menjadikan bangsa kita berkarakter sangat lemah ketika diberangkatkan ke luar negeri, khususnya para pembantu rumah tangga.

Saat berada di luar negeri, para pembantu rumah tangga asal Indonesia ini akhirnya bersikap sesuai dengan konsep mengenai pembantu rumah tangga berdasarkan budaya yang ada di Indonesia. Secara kasar, mereka terbiasa taat dan "nrimo" seperti halnya budak. Namun, mereka mendapatkan majikan yang jauh berbeda dengan tipologi majikan yang ada di Indonesia. Wajar jika para TKI yang menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi memiliki mentalitas yang sangat lemah sebagai seorang tenaga kerja. Sikap mental yang dibentuk oleh budaya bangsanya sendiri.


Rasisme
Kekacauan sikap budaya berikutnya adalah masalah rasisme. Saat ini, sebagian golongan mulai berteriak-teriak dengan nada protes atas perlakuan rasisme masyarakat Arab Saudi terhadap bangsa kita. Jangankan untuk sektor informal seperti pembantu rumah tangga, sektor formal seperti barista pada kedai kopi berskala internasional pun mendapatkan perlakuan rasis yang serupa (Kedai 1001 Mimpi, Valiant Budi, 2011). Yang menjadi pertanyaan adalah, pernahkah masyarakat bersikap anti terhadap Arab Saudi sebagai bangsa yang kerap menyiksa para TKI? Pernahkah ada demonstrasi ganyang Saudi di Jakarta, atau membakar bendera negara mereka seperti membakar bendera Malaysia? Jawabannya hampir bisa dipastikan nihil. Yang terjadi justru maraknya pemujaan tokoh-tokoh agama berketurunan Arab yang berlomba-lomba mencari jamaah untuk majelis zikir mereka. Masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam begitu menghormati bangsa Arab sebagai masyarakat dengan ras yang unggul dalam masalah agama. Fenomena mencari berkah (tabaruk) Inilah yang saya katakan sebagai rasisme bangsa lemah. Rasisme tidak hanya berbicara soal sikap merendahkan bangsa lain, tetapi rasisme juga berbicara soal sikap meninggikan/memuja bangsa lain. Padahal, sikap antirasis seharusnya dikembangkan dalam semangat kesetaraan antar-umat manusia. Kesimpulannya adalah; bangsa kita dengan bangsa Arab Saudi, sama-sama rasis.

Kita boleh saja menyalahkan pemerintah sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas kekisruhan masalah ini. Namun, sebagai bangsa, kita semestinya juga merefleksi sikap budaya yang kita kembangkan di tengah-tengah masyarakat. Sehebat apa pun kinerja pemerintah dan aparat negara, masalah akan tetap ada selama akar masalahnya tidak diluruskan. Akar permasalahan itu adalah budaya bangsa kita sendiri. Seperti halnya korupsi yang sudah menjadi kebudayaan hari ini, maka ia tidak bisa diselesaikan dengan kehebatan lembaga-lembaga superbody seperti KPK. Harus ada penyikapan yang jelas dan terarah terkait dengan pendidikan karakter dan budaya bagi bangsa ini untuk masa yang akan datang.

Perbudakan dan rasisme memiliki akar dalam budaya bangsa Indonesia. Maka hal itulah yang harus kita beri perhatian luas terlebih dahulu. Lihatlah bagaimana seorang pembantu dijadikan warga kelas dua di masyarakat kita. Upah seorang pembantu bisa jadi lebih tinggi nilainya daripada seorang OB perkantoran. Namun, OB mendapatkan pengakuan sosial yang lebih baik daripada seorang pembantu rumah tangga. Selain itu, rasisme tidak masuk akal yang membuat bangsa kita sebagai warga kelas dua di negaranya sendiri juga harus segera dihentikan. Cocoklah peribahasa Indonesia yang mengatakan kuman di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.

0 comments:

Post a Comment