Saturday 14 November 2009

SIKAP DIAM FRAKSI PKS


Banyak orang-orang bertanya mengenai diamnya PKS dalam mengahadapi kasus KPK-Polri saat ini. Sikap diam mereka bahkan lebih terasa daripada gaya lamban SBY dalam merespon kasus ini.

Bahkan, kita bisa melihat sikap Fachri Hamzah yang terkesan mendukung kepolisian dalam kasus KPK-JAKSA-POLRI. Sikap itu tentu saja sangat mengecewakan banyak pihak. Kekecewaan itu tentu saja sangat beralasan, mengingat Fachri Hamzah adalah anggota dewan dari Partai Keadilan Sejahtera, partai yang citranya sangat lekat dengan kepedulan dan kebersihan kader-kadernya. Yah setidaknya itu yang dijargonkan.

Ada beberapa penjelasan yang memang tidak populer bagi masyarakat untuk menerima sikap Fachri Hamzah dan PKS dalam kasus Cicak-Buaya tersebut.

1. Koalisi PKS dengan Demokrat yang disusung untuk 5 tahun ini berada di ujung tanduk apabila kasus Bank Century berhasil memakzulkan SBY-Boediono. Ingat. Isu yang beredar di masyarakat pemerhati korupsi mengatakan bahwa kasus Bank Century terkait erat dengan mantan pimpinan Bank Indonesia. Tidak salah apabila PKS cenderung mengambil posisi aman demi koalisi yang diusung untuk 5 tahun kedepan. Scenario terburuk adalah pemakzulan Boediono sebagai mantan petinggi BI yang terkait kasus Bank Century. Isu lainnya mengatakan bahwa selisih bantuan yang dikeluarkan pemerintah digunakan untuk membantu biaya kampanye Partai Demokrat. Singkat kata, apabila koalisi ini hancur, maka PKS akan menjadi musuh bersama bagi partai-partai besar yang ada. Karena sudah sangat terlambat bagi PKS untuk menjajaki koalisi bersama Golkar ataupun PDIP. Dalam dunia gerakan Islam, kondisi tersebut berarti siaga 3 bagi dakwah dan pergerakan. Ingat, salah satu alasan utama koalisi PKS dengan Demokrat adalah disepakatinya sebuah payung dakwah (mizhollatul da`wah) bagi gerakan Islam di Indonesia khususnya Tarbiyah.

2. Bersikap kalem terhadap Polri yang sedang menjadi common enemy di tengah masyarakat merupakan sikap yang masuk akal. Penjelasan atas hal ini bisa kita kaji dari temuan Polri terkait para pelaku kejahatan terorisme yang ditangkap di UIN. Banyak dari mereka yang memiliki latar belakang aktivis tarbiyah (Partai Keadilan/Partai Keadilan Sejahtera). Jika kita mengkaji ke belakang, fenomena terorisme tahun 2009 memang berbeda dengan tahun 2002 dan 2006. salah satu perbedaan yang mencolok adalah latar belakang para pelaku. Terorisme tahun 2002 dan 2006 banyak dilakukan oleh para aktivis/mantan aktivis Darul Islam. Sedangkan tahun 2009, para pelaku teror banyak yang merupakan mantan aktivis tarbiyah atau salafi. Jika PKS ikut dalam arus menyerang Polri, maka bukan tidak mungkin, Polri dengan seperangkat kepercayaan masyarakat yang sudah dimilki mereka dalam menumpas terorisme, akan mengarahkan moncong senjatanya kepada PKS. Bukankah belakangan ini kita semakin sadar kalau Polri sangat sakti dalam memainkan barang bukti?

Secara global, fenomena terorisme mengalami pergesaran yang sangat dramatis. Pada tahun 2001 pasca peledakan WTC, al-Qaeda dan jaringannya selalu menjadikan aset negara Barat sebagai sasaran serangan. Berkali-kali terjadi serangan bom bunuh diri di negara-negara Barat yang menjadikan al-Qaeda sebagai organisasi teroris nomor satu di dunia. Kita ingat setelah Amerika, Inggris sempat mereka serang. Kemudian bom besar di kota Madrid, Spanyol dan lain-lain.

Namun, 2 tahun belakangan ini, para pelaku bom menjadikan negara-negara muslim sebagai sasaran baru mereka. Kita bisa mengkliping berita pengeboman yang terjadi di negara-negara seperti Pakistan, bahkan Mumbay, India yang notabene merupakan kantong warga muslim di India. Apa yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu rangkaian dari rantai global terorisme yang sudah mulai bergeser di dunia. Tiba-tiba, para pejuang Islam ini menjadi seperti George W.Bush yang mengatakan "either you with us or with terrorist". Jadi, tidak ada opsi bagi kita di hadapan mereka. Jika kita tidak melawan Barat, maka kita adalah bagian dari musuh Islam. Setiap negara muslim yang mendukung atau membiarkan terjadinya penjajahan negara Barat atas dunia Islam dianggap sebagai musuh. Itulah yang terjadi saat ini.

Ust.Hilmi Aminudin dalam pengarahannya untuk anggota Dewan dari PKS mengatakan bahwa fenomena ini merupakan hasil kerja intelejen barat yang menyusup ke setiap gerakan Islam Politik yang ada. Mereka masuk ke dalam Tarbiyah, Salafi dan HTI dan meracuni mereka dengan paradigma baru mengenai target serangan. Di PKS sendiri, fenomena ini sudah terlihat dengan kemunculan FKP (Forum Kader Peduli) 2 tahun yang lalu. Mereka tiba-tiba muncul dengan perasaan kecewa terhadap jamaah yang dianggapnya sudah melenceng jauh dari cita-cita syariah Islam. Mereka tiba-tiba menjadi orang-orang yang paling anti dengan demokrasi dan politik ala Barat. Di Salafi, fenomena ini lebih dashyat lagi, mereka yang pada dasarnya sudah menganggap politik sebagai bid`ah, mulai melahirkan pemikiran untuk mengangkat senjata. Taliban adalah bentuk paling kongkrit dari Salafi bersenjata. Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden juga memiliki kedekatan mazhab dengan Salafi. Sayangnya, saat ini mereka gemar mengarahkan senjatanya kepada sesama muslim termasuk golongan Syiah.

Belum ada kajian yang mendalam terhadap fenomena ini, tapi kita sudah bisa melihat dengan jelas pergerakan mereka. Sejauh ini mereka tetap menjadi golongan yang minor di tengah dunia persilatan (baca: harokah Islamiyah). Mereka sendiri masih dianggap sempalan oleh harokah induknya. Namun, tindakan dan aksi-aksi jihad versi mereka bisa menggiring harokah induk mereka ikut dikaitkan dengan terorisme. Yang pada akhirnya musuh-musuh Islam memiliki legitimasi mutlak untuk menghajar semuanya.

Kondisi inilah yang sedang dihadapi oleh PKS. Mengutip perkataan seorang ulama di Bogor, saat ini semua perangkat untuk menghajar PKS sudah ada. Yang dibutuhkan hanya momentum dan alasan yang tepat untuk mengeksekusinya. Sikap diam partai ini dalam menghadapi isu nasional yang sangat populer adalah wujud nyata dari usaha mempertahankan jamaah. Tidak ada yang bisa dilakukan PKS saat ini selain tetap bertahan (defensif) dan tidak terpancing untuk menyerang.

Saat ini adalah masa-masa yang sangat sulit bagi PKS untuk membuktikan dirinya masih ada di dalam ideologi perjuangan Islam yang benar. Di satu sisi mereka harus menenangkan kadernya dengan berbagai penjelasan ideologis atas langkah yang ditempuh. Namun, di sisi lain mereka juga harus mengamankan posisi dalam dinamika perpolitikan Indonesia. Yang artinya, inilah saatnya melebur dengan demokrasi dengan selebur-leburnya tanpa harus menuhankan demokrasi. Hal ini semakin membenarkan disertasi Joseph Alagha mengenai "shifting ideology of Islamic movement". Dalam disertasinya, Alagha mengatakan bahwa ideologi sebuah gerakan Islam politik akan bergeser ke arah pragmatisme jika bertemu dengan demokrasi. Namun, saya lebih senang melihatnya sebagai sebuah strategi masa transisi daripada pragmatisme belaka. Transisi menuju peradaban yang madani.

0 comments:

Post a Comment