Thursday 2 September 2010

Kemerdekaan Palestina & Revolusi Yang Belum Selesai


“Hari Jumat terakhir di bulan Ramadan adalah hari al-Qud sedunia!”

Itulah yang dikatakan oleh pemimpin revolusi Islam Iran, Ayatullah Ruhullah Khomeini pada 1979. Khomeini yang pada saat itu merupakan tokoh sentral revolusi Iran mengaitkan cita-cita revolusi Iran dengan semangat pembebasan Palestina. Ia mengatakan bahwa revolusi Islam Iran tidak akan pernah selesai sampai Palestina merdeka dari penjajahan Israel. Sebuah pernyataan yang menjadi momentum penting di tengah terkotak-kotaknya Negara Arab akibat semangat nasionalis medan Pan-Arabisme. Khomeini sekaligus menyindir seluruh elemen Negara Islam agar bersatu mewujudkan perdamaian bagi Palestina diatas kepentingan negara mereka masing-masing. Pernyataan itu juga menjadi jembatan antara sentimen mazhab yang terjadi di tengah-tengah umat Islam antara golongan Syiah dan Sunni. Tidak hanya sampai di sana, Khomeini juga menetapkan hari al-Quds sedunia yang jatuh setiap hari Jumat terakhir di bulan Ramadan.

Tampaknya, revolusi Islam Iran memang belum selesai. Sampai hari ini, Palestina masih berada dalam penderitaan akibat penjajahan sistematis yang dilakukan oleh Israel sejak 1948. Secara faktual, Israel sudah mengusasi hampir ¾ wilayah Palestina. Sisa wilayah yang dikuasai bangsaPalestina pun di-embargo secara ekonomi dan politik sehingga wilayah tersebut tidak ubahnya seperti sebuah penjara terluas di muka bumi.

Sejarah penjajahan Israel modern dapat dikatakan dimulai sejak tahun 1948 ketika Dewan Nasional Yahudi didirikan di Tel Aviv yang sekaligus memproklamasikan berdirinya Negara Israel. Deklarasi Negara Israel tahun 1948 itu disambut dengan perang antara negara-negara Arab dengan Israel yang menunjukkan pembelaan negara-negara Arab atas pendudukan Israel di Palestina. Secara spontan, negara-negara seperti Mesir, Suriah, Irak, dan Yordania mengirimkan pasukan tempur mereka ke Palestina untuk memerangi Israel.
Rasa solidaritas sebagai sesama bangsa Arab menjadi motif utama dukungan. Motif lainnya adalah penghormatan terhadap kota suci Jerussalem tempat masjid al-Aqsha berada. Namun, Israel yang didukung oleh Inggris dan Amerika Serikat tampil sebagai pemenang karena unggul dalam persenjataan dan teknologi militer. Israel yang berhasil memenangi perang tersebut kemudian memulai aksi terornya terhadap warga Palestina. Sejak saat itulah, muncul gelombang eksodus besar-besaran warga Palestina ke luar negeri.

Pada 1967, Israel melakukan serangan militer terhadap Mesir, Suriah, danYordania. Kekalahan telak diterima oleh negara-negara Arab tersebut karena serangan mendadak Israel itu menghancurkan ratusan pesawat tempur Mesir yang masih berada di dalam hangar. Perang yang dikenal dengan sebutan perang enam hari itu membuat wilayah yang dikuasai Israel meluas menjadi tiga kali lipat. Israel mendapatkan Jalur Gaza, Tepi Barat, Semenanjung Sinai, serta dataran tinggi Golan.
Kemudian, pada 1973, angkatan bersenjata Mesir dan Suriah melancarkan serangan ke wilayah Israel. Perang yang dikenal dengan sebutan perang Ramadan ini berakhir dengan versi yang berlainan. Ada yang menyebutkan Israel-lah yang keluar sebagai pemenang, ada juga yang mengatakan hasilnya seri. Yang jelas, akhir dari peperangan tersebut adalah sikap lunak pemerintahan Mesir terhadap Israel. Sikap lunak ini pula yang memancing kekecewaan sebagian golongan yang kemudian melakukan pembunuhan terhadap Anwat Sadat, Presiden Mesir saat itu. Sebagai catatan sejarah, motif utama Mesir dan Suriah menyerang Israel didasarkan kepada kepentingan nasional mereka untuk mendapatkan kembali Semenanjung Sinai dan DataranTinggi Golan yang direbut Israel sejak tahun 1967. Motif dukungan terhadap rakyat Palestina sudah mulai tidak terlihat.

Sejak saat itu, isu pembebasan Palestina sudah bukan merupakan isu sprititual bagi negara-negara Arab dan Muslim di Timur Tengah. Semangat nasionalisme dengan berbagai kepentingannya jauh lebih mendominasi pola dukungan terhadap Palestina. Bahkan, PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) yang menjadi oposisi Israel, berkali-kali mengalami pengusiran dari berbagai wilayah di negara tetangga Palestina. Mereka diusir oleh pemerintah setempat karena dianggap membahayakan kemananan negara tempat mereka mengungsi tersebut. Padahal, negara-negara yang mengusir PLO tersebut merupakan sekutu terdekat Palestina pada tahun-tahun sebelumnya.
Negara-negara itu akhirnya memilih untuk melindungi kepentingan domestik mereka daripada harus memasang badan untuk PLO yang senantiasa dikejar-kejar oleh Israel. Bangsa Palestina pun semakin sadar bahwa cita-cita mereka untuk merdeka hanya bisa diwujudkan dengan tangan mereka sendiri.
Kemunculan Imam Khomeini dan revolusi Islam Iran pada 1979 membuat bangsa Palestina kembali mendapatkan dukungan dari elemen umat Islam. Semangat pan-Islamisme yang ada pada dukungan Khomeini menginspirasi banyak golongan untuk kembali memberi perhatian terhadap perjuangan bangsa Palestina. Di tengah-tengah serbuan ide nasionalisme dan demokrasi di dunia, seorang tokoh seperti Khomeini mencoba menghidupkan kembali semangat persatuan umat Islam melalui isu Palestina. Konsistensi Khomeini dalam mendukung Palestina tetap terjaga meskipun PLO sempat mendukung Irak dalam perang Irak--Iran yang berlangsung selama 8 tahun. Khomeini menyadari bahwa PLO berada dalam situasi sulit untuk tidak mendukung Saddam Hussein sebagai sesama negara Arab. Khomeini sendiri sadar bahwa PLO bukanlah representasi warga Palestina seutuhnya. Ditambah lagi, PLO di bawah kepemimpinan Yasser Arafat membawa ideologi sekuler yang tidak selaras dengan spirit dukungan Iran terhadap Palestina, yaitu Islam.

Hari ini, sudah 30 tahun sejak Imam Khomeini memberikan pidato revolusinya, dan warga Palestina masih belum bisa menghirup udara kebebasan. Artinya, revolusi Islam Iran memang belum selesai. Umat Islam di dunia juga belum bisa merasakan persatuan yang hakiki. Tidak perlu terlalu jauh membicarakan isu khilafah, melihat hubungan sesama negara muslim di dunia saat ini saja sudah tampak ironis. Semangat nasionalisme yang menjadi Tuhan dari segala kepentingan nasional telah mengangkangi semangat pan-Islamisme yang dicita-citakan para mujaddid (pembaharu) Islam terdahulu, seperti Khomeini.
Dalam konteks sengketa antara Indonesia dengan Malaysia saat ini, ada baiknya kedua belah pihak saling belajar dari sejarah perjuangan bangsa Palestina. Bahwa semangat nasionalisme yang tidak dilandasi dengan keyakinan spiritual hanya akan membawa bangsa kita kepada sebuah peperangan yang sia-sia di mata Tuhan. Negara akan menzholimi rakyatnya dengan menggiring mereka kepada perang yang tidak seharusnya.
Semoga Ramadan kali ini benar-benar memberi petunjuk kepada kita semua, umat Islam di Indonesia.

0 comments:

Post a Comment