Wednesday 5 January 2011

Demokrasi Transaksional Untuk Irak


Dua tahun yang lalu, ketika situasi politik di Irak pasca pemilu legislatif sangat kacau, banyak orang menduga Irak akan menuju "negara gagal" (failed state). Aksi pengeboman yang tidak pernah berhenti, provokasi dari tiap pihak yang semakin membabi buta, membuat Irak tampak seperti zona perang bagi siapa saja. Padahal, kehadiran militer AS di Negara tersebut berada pada status sangat siaga. AS seperti mengantarkan Irak ke era baru pasca-Saddam. Irak masa transisi adalah sebuah Negara yang sangat brutal dari sisi konflik dan stabilitas.

Alih-alih mengantarkan Irak ke zaman baru yang terang benderang, AS justru terjebak dalam situasi rumit konflik sektarian yang terjadi di Irak. Perebutan kekuasaan antara golongan Sunni dan Syiah mencapai tahap yang paling menguatirkan. Bahkan, konflik antara kedua golongan ini menjadi semacam titik kulminasi konflik mereka yang sudah berlangsung berabad-abad. Mungkin kalimat tadi terlalu berlebihan, tetapi setidaknya itulah fakta yang terjadi di Irak. Aksi pengeboman terjadi silih berganti satu terhadap yang lain. Beberapa di antaranya adalah aksi bom bunuh diri yang menandakan betapa seriusnya permusuhan di antara mereka.Terlepas dari faktor AS, konflik antara Sunni dan Syiah memiliki aktor-aktor lain dari wilayah Timur Tengah. Golongan Syiah Irak yang selama bertahun-tahun hidup dalam kungkungan rezim Saddam Hussein (Sunni), mendapatkan momentum untuk memperjuangkan hak mereka atas Irak (baca: kekuasaan). Perjuangan tersebut kemudian mendapatkan dukungan yang luar biasa dari Iran yang bermazhab Syiah. Salah satu dukungan yang sangat jelas adalah mempersenjatai milisi Syiah Irak yang pro-Iran. Di sisi lain, golongan Sunni di Irak adalah penguasa sektor militer pada era Saddam Hussein. Artinya, sisa-sisa amunisi dan akses terhadap kepemilikan senjata masih sangat mereka kuasai. Hal ini berarti kedua belah pihak, baik Sunni ataupun Syiah berada pada status sama-sama bersenjata.
Bagi Iran, Irak tidak hanya memiliki peran sebagai negara tetangga yang sangat vital, tetapi juga wilayah yang suci bagi rakyat Iran. di Irak terdapat beberapa kota yang disucikan oleh umat Islam Syiah. Kota-kota itu adalah Karbala, Najaf, dan Kufah. Masyarakat Iran selalu ingin berwisata religi ke kota-kota tesebut sebagai bagian dari kepercayaan mazhab mereka. Oleh karena itu, Irak yang ramah dan bersahabat dengan Iran adalah sebuah dambaan bagi masyarakat Iran. dalam perspektif Iran, hal tersebut hanya dapat diwujudkan dengan supremasi politik golongan Syiah di Irak.

Setiap negara yang berada pada era transisi kekuasaan yang radikal pastilah mengalami kesulitan dan berbagai hambatan. Situasi itu pernah dialami oleh Iran pasca-Revolusi tahun 1979. Saat itu, konstelasi politik dalam negeri Iran sangat rawan konflik horisontal antara elemen pendukung revolusi. Stabilitas di Iran akhirnya bisa tercapai dalam waktu kurang lebih 10 tahun pasca-Revolusi. Dalam konteks yang lebih sederhana kita bisa melihat Indonesia yang bertransisi dari zaman orde baru ke zaman reformasi. Bahkan, sampai hari ini, kita masih belum menemukan formula terbaik bagi sistem politik di negara kita. Lantas, bagaimana dengan Irak?
Tidak cukup bagi kita jika hanya membaca ulasan Musthafa Abdul Rahman dalam bukunya yang berjudul "Geliat Irak Menuju Era Pasca-Saddam" (Kompas, 2003) untuk menggambarkan masa transisi politik di Irak. Irak terus bergejolak hingga hari ini. Stabilitas politik di negara itu urung dicapai meski invasi sudah berakhir sejak 2004. Ketidakstabilan politik di negara itu disebabkan oleh konflik kepentingan di antara golongan-golongan besar yang berseteru sejak lama. Yang membuat situasi semakin runyam adalah ketika ketiga golongan tersebut mulai mengangkat senjata, berperang satu dengan yang lain. Padahal, salah satu misi George W. Bush di Irak adalah untuk mengantarkan Irak ke zaman demokrasi yang modern. Ironis, demokrasi dengan elemen bersenjata adalah sebuah utopia. Seperti kata Coen Hussein Pontoh dalam bukunya yang berjudul "tentara rakyat". Jika orang yang memegang sejnata masuk dalam ajang demokrasi, maka saat itu juga demokrasi masuk tempat sampah. Situasi di Irak mengingatkan saya kepada situasi di Lebanon saat meletus perang saudara 1975-1990. Saat itu, setiap golongan yang terlibat perang saudara memiliki akses terhadap persenjataan. Di sisi lain, angkatan bersenjata negara tidak berdaya meredam konflik. Perang saudara yang panjang itu akhirnya selesai dengan sebuah kesepahaman transaksionalisme politik di Lebanon yang diatur dalam konstitusi. Mereka membagi-bagi kekuasaan politik di Lebanon berdasarkan angka demografis dan populasi tiap golongan. Secara berturut-turut, jabatan politik di Lebanon terdiri atas Presiden (Kristen Maronit), Perdana Menteri (Islam Sunni), Wakil Perdana Menteri (Kristen Ortodoks) dan Ketua Parlemen (Islam Syiah). Konsensus ini kemudian disebut sebagai "konfensionalisme". Stabilitas politik di Lebanon akhirnya semakin membaik setelah penerapan konsensus tersebut. Namun, belakangan ini, aspirasi dari umat Islam, khususnya yang bermazhab Syiah menguat seiring perubahan demografi yang mereka yakini menempatkan muslim Syiah sebagai mayoritas di Lebanon.

Lain Lebanon, lain pula Irak. Efek dari invasi Amerika Serikat dalam perpolitikan Irak adalah bentuk transaksionalisme demokrasi. Irak yang porak-poranda di segala bidang akibat invasi AS tahun 2003 saat ini di ambang krisis politik berkepanjangan yang seolah-olah hanya dapat diselesaikan dengan model demokrasi transaksional. Demokrasi dengan segala kekurangannya telah memberikan celah bagi Irak untuk bergeliat menyongsong era baru. Celah itu adalah konsensus dari tiap golongan untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan aspirasi rakyat sekaligus menghindari konflik sektarian. Demokrasi yang tidak melihat isi kepala melainkan jumlah kepala, tetap memberikan peluang bagi tiap-tiap golongan untuk berkontribusi membangun Irak yang baru. Misi dari perwakilan tiap golongan ini sederhana saja, yaitu melindungi keamanan golongan mereka. Keamanan dalam arti sesungguhnya, yaitu menghindarkan mereka dari perang saudara.

Golongan Sunni yang secara populasi hanya berjumlah sekitar 30% telah menjadi golongan rulling elite di Irak selama bertahun-tahun (bahkan berabad-abad jika dihitung sejak zaman Islam). Sisanya adalah golongan Syiah yang merupakan golongan mayoritas di Irak dengan populasi sebanyak 60%. Kemudian suku Kurdi yang berjumlah kurang lebih 30%. Setidaknya, tiga golongan inilah yang merepresentasi distribusi kekuasaan yang ada di Irak sepeninggal Saddam Hussein. Ketiga golongan ini juga lah yang memiliki basis loyalitas dukungan termasuk instrumen militer untuk berperang satu sama lain. Dengan kata lain, ketiga golongan inilah yang seharusnya paling bertanggung jawab untuk membawa bangsa Irak menuju perubahan.
Seharusnya, jika Irak berkiblat pada model politik Lebanon, maka sangat mudah memetakan distribusi kekuasaan di negara tersebut. Di Irak, Syiah sebagai golongan yang mayoritas sudah sepantasnya menempati jabatan strategis setingkat Presiden. Kemudian disusul Sunni sebagai Perdana Menteri dan Kurdi sebagai Ketua Parlemen. Namun, situasi di Irak tidak sesederhana itu. Irak terlalu rapuh di segala sisi. Invasi AS telah menghabisi seluruh infrastruktur politik di Irak. Terlepas dari kebencian rakyat Irak atas pendudukan tentara koalisi, mereka juga sangat membenci Saddam Hussein yang menerapkan politik kesukuan dalam pemerintahannya (state of tribalism). Di sisi lain, para personel militer era Saddam yang masih memiliki akses terhadap senjata tetap berusaha mempertahankan dominasi mereka, setidaknya di Irak tengah (basis militer Saddam Hussein). Di wilayah utara lain lagi permasalahannya. Suku Kurdi di daerah tersebut adalah golongan yang senantiasa dirongrong oleh pemerintah pusat selama Saddam berkuasa. Isu separatisme di kalangan Kurdi masih sangat kental hingga hari ini. Cita-cita mereka sederhana saja, ingin membentuk sebuah negara baru bagi bangsa Kurdi yang terdiaspora di berbagai wilayah Timur Tengah. Melihat situasi yang seperti ini, maka sangat pas apabila Irak menganut konfesionalisme ala Lebanon untuk paling tidak memberikan stabilitas politik bagi negara mereka sebelum Amerika Serikat betul-betul menarik pasukannya keluar.

0 comments:

Post a Comment