Tuesday 8 February 2011

SATU LAGI DARI TUNISIA




Inilah negara dunia ketiga
Hidup ini luar biasa
Susah senang banyak susahnya
Inilah cerita negeri yang kaya, tapi sengsara
-- Negara Dunia Ketiga, Marjinal--

Sepenggal bait lirik lagu dari Marjinal mungkin bisa sedikit menggambarkan pola kondisi negara dunia ketiga di planet ini. Satu lagi kabar dari Tunisia, sebuah negara yang bergejolak akibat rasa ketidakadilan yang melanda seluruh masyarakatnya. Negara yang sudah dipimpin oleh presiden Zine el-Abidin Ben Ali selama 23 tahun yang saat ini memasuk babak baru sejarah mereka.

Revolusi yang saat ini terjadi di Tunisia dimulai dari demonstrasi-demonstrasi berskala kecil yang diusung oleh kelompok mahasiswa dan sebagian masyarakat di beberapa kota. Mereka menuntut adanya perubahan kondisi ekonomi yang dirasakan semakin sulit. Angka pengangguran yang begitu tinggi, serta kenaikan harga yang sulit dijangkau menjadi alasan mereka untuk berdemonstrasi. Namun kemudian, di sela-sela trend demonstrasi tersebut, terjadilah sebuah peristiwa yang menjadi trigger momentum revolusi. Peristiwa itu adalah sebuah aksi membakar diri yang dilakukan oleh Mohammad Bouazizi yang memprotes tindakan aparat hukum yang menyita gerobak dagangannya. Bouazizi membakar dirinya hingga hangus di depan kantor Dewan Kota Tunis. Aksinya ini sontak menjadi buah bibir dikarenakan sebagian masyarakat merasa sangat terwakili oleh aksi tersebut. Seketika, aksi tersebut mendapatkan simpati yang luar biasa dari seluruh rakyat Tunisia.

Bouazizi adalah seorang sarjana yang menganggur karena sempitnya lapangan pekerjaan. Ia terpaksa berdagang buah-buahan di kaki lima dengan gerobak untuk menghidupi keluarganya. Suatu hari, gerobak itu direbut paksa oleh aparat penegak hukum (di sini mungkin Trantib) sehingga ia tidak bisa berjualan lagi. Boauazizi memberikan perlawanan tapi usahanya sia-sia. Di tengah rasa kecewanya serta kesedihan yang begitu memuncak, ia kemudian melakukan aksi protes dengan membakar dirinya di depan kantor Dewan Kota Tunis.

Bouazizi mewakili banyak golongan intelektual yang sulit mendapatkan pekerjaan karena sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Tingkat pengangguran di Tunisia mencapai angka 30% dari seluruh populasi penduduk usia kerja. Pengangguran ini kemudian membuat efek domino pada kondisi sosial dan perekonomian masyarakat. Kemiskinan dan kesengsaraan terjadi di seluruh negeri. Sedangkan di sisi lain, masyarakat sepenuhnya sadar bahwa mereka hidup di atas ladang minyak yang besar di belahan Afrika Utara. Sebuah ironi yang menjadi pengetahuan umum masyarakat Tunisia. Masyarakat menganggap bahwa rezim Ben Ali telah gagal dan juga koruptif dalam menyelenggarakan pemerintahan. Terlepas dari statistik kemunduran ekonomi, Ben Ali juga melakukan sekularisasi di Tunisia. Isu yang satu ini sangat menyakiti golongan Islam yang menjadi umat terbesar di negara itu. Ben Ali melarang penggunaan jilbab di sektor formal serta penggunaan pengeras suara untuk azan di masjid-masjid. Kebijakan Ben Ali ini menyerupai sekularisasi yang dilakukan Khemal Attaturk di Turki tahun 1924. Bedanya, di Turki, sekularisasi berhasil membawa Turki ke zaman yang lebih maju sekaligus mengembalikan akar budaya mereka. Namun, di Tunisia justru sebaliknya. Pelan tapi pasti, masyarakat Tunisia semakin miskin dan mulai kehilangan akar budaya mereka sendiri.

Kematian Bouazizi menggemparkan rakyat Tunisia. Ribuan orang melakukan aksi turun ke jalan menuntut pemerintahan Ben Ali untuk mundur. Chaos dan konflik tidak bisa dihindarkan. Kemudian jatuhlah satu persatu korban akibat kerusuhan yang melanda seluruh penjuru negara ini. Kita tahu bahwa dalam kondisi seperti itu, kematian aktivis atau demonstran akan menjadi minyak yang disiram ke dalam api yang menyala. Bouazizi menjadi martir pertama, sisanya adalah sebuah revolusi sosial yang akan mengubah negara ini memasuki zaman baru.

Presiden Ben Ali yang sadar akan tuntutan masyarakatnya di jalan kemudian memilih langkah kabur ke luar negeri untuk menyelamatkan diri dan keluarganya. Kali ini, Amerika Serikat atau negara-negara Eropa tidak memberikan suaka kepada Ben Ali. Akhirnya, Ben Ali sekeluarga lari ke Arab Saudi, sebuah negara yang menjadi simbol kedegilan penguasa-penguasa Arab. Ben Ali pergi membawa 1,5 ton emas batangan sebagai bekal perjalanan ke Saudi Arabia. Bisa dibayangkan seperti apa situasi kepergian Ben Ali dan keluarga menggondol-gondol harta yang mereka timbun selama bertahun-tahun.

Sampai tulisan ini diunggah, kondisi di Tunisia masih jauh dari kata stabil. Para demonstran belum sepenuhnya puas dengan kondisi yang ada. Mereka menuntut pembersihan total dari seluruh pengaruh dan kekuasaan mantan Presiden mereka. Segala hal yang berbau atau terkait dengan Ben Ali ataupun partainya dianggap sebagai kotoran yang harus dibersihkan. Tunisia mempertontonkan demokrasi jalanan yang membuat aturan baru dalam memilih dan mengangkat para pejabat pengganti. Koridor konstitusi ditabrak bersama-sama dalam situasi revolusi yang sedang terjadi.

Satu hal yang saya khawatirkan dari Revolusi Tunisia adalah ketiadaan infrastruktur pengganti baik di bidang politik serta konsitusi. Pengalaman nyata adalah apa yang pernah terjadi di Indonesia pada 1998. Pada tahun tersebut, Indonesia pernah mengalami momentum perubahan yang cukup besar yang sering dinamakan reformasi. Pada masa itu, semua golongan masyarakat yang dipelopori oleh aksi mahasiswa menuntut pergantian rezim yang pada akhirnya berhasil menurunkan Soeharto dari kursi presiden. Mahasiswa sebagai kaum intelektual menjadi motor penggerak reformasi yang pada akhirnya menggiring segenap golongan untuk menuntut pergantian rezim orde baru serta presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Sampai hari ini, reformasi telah berumur 12 tahun. Tidak ada perubahan yang signifikan dari tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Salah satu evaluasi terbesar dari reformasi adalah ketiadaan infrastruktur politik alternatif untuk menggusur semua elemen rezim Orde Baru yang ditumbangkan. Partai Golkar sebagai partai ikon Orde Baru bahkan masih menjadi partai yang sangat berkuasa hingga hari ini. Artinya, penggulingan kursi presiden serta kabinet tidak akan membawa perubahan berarti jika tidak ada figur atau sistem pengganti yang bersifat terobosan atau alternatif dalam suatu revolusi.

Salah satu revolusi yang terasa manis dalam sejarah tentu saja revolusi Iran tahun 1979. Saat itu mereka mampu menumbangkan rezim diktator sekaligus mengganti semua sistem yang ada dengan yang baru. Saat itu mereka juga berhasil mengusung satu orang tokoh sentral revolusi sebagai pemimpin tertinggi masa transisi. Begitulah seharusnya revolusi dilakukan dengan segala persiapannya. Revolusi Iran terasa sangat rapih sekaligus radikal jika melihat perbedaan zaman sebelum dan sesudah revolusi. Tiba-tiba saja, Iran menjadi sebuah negara yang menempatkan golongan ulama (faqih) sebagai golongan elite dalam struktur kekuasaan. Para faqih ini tidak menjalankan pemerintahan secara langsung melainkan menjadi semacam lembaga yang berfungsi sebagai pemberi keputusan final dalam setiap manuver pemerintah.

Jika revolusi yang terjadi di Tunisia selesai sampai dengan pembongkaran kabinet serta pemerintahan Ben Ali, maka sungguh amat mahal nyawa Bouazizi yang tewas menjadi martir. Bagaimanapun, revolusi itu sendiri adalah momentum untuk melakukan perubahan secara radikal terhadap situasi yang terjadi. Tidak ada kata setengah-setengah dalam sebuah revolusi. Jika memang hanya bisa setengah-setengah, maka, kita namakan saja itu dengan reformasi.

0 comments:

Post a Comment