Wednesday 31 December 2014

BERGIAT MENJADI PLURALIS: REVIEW BUKU "KETIKA MEKKAH MENJADI SEPERTI LAS VEGAS"





Sudah sejak lama saya melihat buku ini di sebuah toko buku. Sejak awal saya sudah tertarik untuk membelinya, tapi entah kenapa masih ragu sembari berharap nanti saya cari lagi suatu saat. Beberapa bulan kemudian, saya tidak menyangka kalau buku ini masih ada di rak toko buku yang terkenal sangat “sadis” terhadap buku-buku tak laris. Entahlah, apa memang buku ini laris atau penting bagi si toko buku sehingga masih tetap terpajang rapi meski sudah sekian lama? Intinya, buku ini sampai juga ke tangan saya dengan segala pertimbangan pada saat memutuskan untuk membelinya.

Berisi banyak artikel ilmiah dari banyak tokoh, membuat buku ini lebih mirip sebuah jurnal tematik. Kalimat yang menjadi judul buku ternyata hanya mewakili satu artikel saja yang merupakan artikel pembuka di buku ini. Artikel itu ditulis oleh Mirza Tirta Kusuma yang sekaligus berperan sebagai editor buku. Padahal, konteks artikel dari Mirza itulah yang paling menarik minat saya untuk membaca buku ini. Namun, tidak menjadi masalah. Karena, setelah melihat daftar isi buku, niscaya banyak penulis lain yang begitu masyur terlibat dalam penyusunan buku ini.

Setelah membolak-balik dan membaca buku ini selama kurang lebih satu minggu, saya mendapatkan beberapa catatan sederhana. Catatan yang mungkin bersifat acak dan sembarang, tapi cukup mewakili perasaan saya setelah merampungkan buku ini. Di antara catatan itu adalah:

1.       Baratlah yang mendefinisikan apa itu Barat dan apa itu Timur
Terdapat dua penulis asing yang begitu menokoh dalam diskursus mengenai Islam dan Indonesia. Mereka adalah John L Esposito dan Martin Van Bruinessen. Kedua penulis ini, sekali lagi mencoba menjadi mediator komunikasi antara dunia Islam dan Barat terkait banyak isu. Dalam tulisannya, Esposito banyak mengangkat titik kesalahpahaman antara dunia Islam dan Barat yang diresume dari berbagai hasil penelitian statistik.

Tulisan Esposito tentu saja berpretensi baik untuk menengahi konflik/potensi konflik yang semakin meruncing pasca-September 2001. Meski demikian, tipikal penulis Barat non-muslim tetaplah tendensius dan kerap melakukan prejudice terhadap dunia Islam. Sekelas Esposito bahkan gagap dalam menangkap perbedaan mendasar antara gerakan politik Islam dengan kelompok Islam liberal. Pada akhirnya, segala gejala formalisasi nilai Islam akan ditempatkan secara ekstrim di kubu anti-pembaharuan. Sebaliknya, kelompok liberal Islam ditempatkan sebagai kelompok yang harus diberikan ruang gerak jauh lebih luas agar potensi konflik antara Barat dan Islam tidak terjadi. Singkat kata, masa depan harmonisasi hubungan Barat dengan Islam ditentukan dari meluas dan tidaknya pemikiran liberal Islam itu sendiri.

Tulisan berikutnya dari Martin Van Bruinessen justru melakukan semacam studi komparasi antara Indonesia dan Turki terkait ide-ide sekularisme. Pada konklusinya, secara eksplisit Martin menempatkan kelompok muslim yang giat menerapkan metode hermeneutika  sebagai kelompok pembaharu. Hermeneutika adalah metode yang digunakan sarjana Barat untuk mengkaji kitab suci mereka dalam tataran ilmiah dan objektif. Penalaran total diberikan prioritas sebelum keyakinan metafisika terhadap dalil-dalil ilahiah. Hermeneutika jelas bermasalah dalam studi tafsir Al-Quran karena menempatkan Al-Quran sejajar dengan buku-buku sejarah pada umumnya. Metode ini digaungkan oleh mereka yang hari ini disebut kelompok liberal Islam. Dengan demikian, inti argumen Van Bruinessen berada dalam satu tarikan napas dengan Esposito di bab sebelumnya.

Sejatinya, Esposito hanya memberi pengantar pada tema ini, kemudian disusul dengan Van Bruinessen yang lebih definit melakukan kategorisasi tentang siapa yang pembaharu dan siapa yang anti-pembaharuan. Maka, puncaknya ada pada tulisan Karel Steenbrink. Artikel Steenbrink langsung menunjukkan bagaimana pola hermeneutika dilakukan dalam membahas kehidupan Nabi Muhammad. Steenbrink begitu tegas memisahkan Muhammad sebagai seorang utusan Tuhan dan Muhammad sebagai pria Arab. Dikotomisasi semacam ini tentu saja bermasalah jika dihadapkan pada keyakinan kolektif bahwa Muhammad adalah seorang Nabi yang ditakdirkan terlahir di Arab. Umat Islam meyakini bahwa seluruh performa hidup Nabi Muhammad adalah tuntunan dan petunjuk praktis bagi seluruh umat manusia. Artinya, tidak ada perbedaan peran kapan Nabi Muhammad bertindak sebagai orang Arab, dan kapan ia harus ditaati sebagai seorang Nabi.

Sebetulnya saya sudah lelah, kalau tidak mau dikatakan muak terhadap tulisan-tulisan sarjana Barat non-Islam yang berbicara mengenai Islam. Awalnya, memang terasa seperti sedang diberi tanggapan, tapi lama kelamaan terasa seperti sedang diajari cara bertingkah laku. Bagi saya, mendengar perspektif Islam dari orang non-Islam itu seperti memakan bakso dari tukang bakso yang tidak pernah memakan bakso yang ia masak. Bukan perkara bakso tersebut enak atau tidak enak melainkan rasa ragu yang tidak terhindarkan karena si pembuat bahkan tidak mau memakannya. Kalimat-kalimat para sarjana Barat ini memang sangat mudah menimbulkan reaksi karena perbedaan identitas yang mereka miliki dengan umat Islam yang sedang mereka bicarakan. Namun, reaksi tersebut tidak akan terlalu keras apabila pemikiran mereka disampaikan melalui para intelektual Islam sendiri yang membaca dan menggilai pemikiran mereka. Inilah yang saya sebut sebagai kelompok juru bicara pemikiran. Terkadang, mereka tampil lebih meyakinkan karena sanggup menggabung-gabungkan narasi Barat dengan literatur dari khasanah pemikiran Islam sendiri.

2.      Pluralisme diartikan dengan berbagai macam sudut pandang.
Rumpun tulisan pada bab selanjutnya adalah artikel yang didedikasikan secara khusus untuk memperingati ulang tahun ke 60 Prof. Amin Abdullah. Beberapa penulis seperti Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, dan Imam Suprayogo mengambil tema peran intelektual Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Amin Abdullah sendiri lebih dikenal sebagai salah satu intelektual Muslim yang gemar mempromosikan pluralisme sebagai medium dialog antar agama.

Benang merah dari rangkaian tulisan yang didedikasikan kepada Amin Abdullah adalah pentingnya menjadi cendikiawan muslim yang menjunjung tinggi kritisisme terhadap teks suci. Kontraksi atas pemikiran semacam ini tentu saja banyak terjadi di tengah umat. Namun, rumpun intelektual muslim dengan pola pikir macam ini juga terus mengembangkan jumlah pengikut dan jejaring sosial di kalangan akademis. Satu hal yang juga menarik adalah fakta bahwa Amin Abdullah pernah kuliah di Turki, tempat banyak aktivis Islam juga menempa diri dalam konteks pergerakan. Turki hari ini, tak pelak menjadi patron banyak negara muslim karena berhasil mengakomodasi kepentingan umat Islam melalui jalur politik praktis. Partai penguasa di negara tersebut, AKP, mampu tampil menjalankan pemerintahan yang berbasiskan ideologi sekuler ketat tapi dengan performa yang saleh. Boleh jadi, cara berpikir Amin Abdullah dipengaruhi pola negosiasi umat Islam di Turki dalam ranah politik praktis. Namun, ketika pemikiran macam itu dikembangkan di Indonesia dengan semangat yang disebut pluralisme ternyata banyak menimbulkan masalah.

Ada istilah yang begitu mewakili kalangan pluralis yang sahut menyahut dalam buku ini yaitu; “to be religious is to be inter-religious”. Istilah ini mewujud pada generasi cendikia yang muncul layaknya juru bicara kelompok di luar identitasnya. Atas dalih inter-religious tadi, seolah-olah konflik antar agama (identitas) bisa dinetralkan dengan cara saling mempelajari dan kemudian saling menihilkan kebenaran ajaran agama masing-masing. Lihatlah betapa istilah truth claim berkali-kali diserang dalam buku ini. Padahal, konsekuensi logis seseorang ketika memilih salah satu agama adalah menyalahkan agama yang lain. Padahal, nilai-nilai toleransi dan kasih sayang sejatinya sudah ada di tiap-tiap agama dan hanya perlu disegarkan kembali kemudian diaktualisasikan sebagai bentuk ketakwaan. Tidak perlu berdarah-darah untuk mencari benang merah pada tiap identitas yang ada. Untuk membentuk pribadi muslim yang taat dan berilmu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar apalagi harus menjadi umat agama lain sekaligus. Cukup dengan memberikan hormat dan memberi kesempatan pada ragam identitas lain untuk mengaktualisasikan diri maka kita sudah bisa hidup lebih bermartabat.

Kalimat saya di awal tulisan ini yang mempertanyakan mengapa buku ini tetap eksis di toko buku yang terkenal sangat sadis pada buku tak laris terjawab sudah. buku ini pastilah dianggap penting oleh pihak toko buku yang memang satu grup korporasi dengan si penerbit sendiri. Sebagai tambahan argumen yang mungkin agak tendensius, rumpun korporasi yang saya maksudkan ini memang dikuasai oleh kelompok non-Islam.