Sudah sejak lama saya melihat buku ini di sebuah toko buku. Sejak awal saya sudah tertarik untuk membelinya, tapi entah kenapa masih ragu sembari berharap nanti saya cari lagi suatu saat. Beberapa bulan kemudian, saya tidak menyangka kalau buku ini masih ada di rak toko buku yang terkenal sangat “sadis” terhadap buku-buku tak laris. Entahlah, apa memang buku ini laris atau penting bagi si toko buku sehingga masih tetap terpajang rapi meski sudah sekian lama? Intinya, buku ini sampai juga ke tangan saya dengan segala pertimbangan pada saat memutuskan untuk membelinya.
Berisi banyak artikel ilmiah dari banyak tokoh, membuat buku ini
lebih mirip sebuah jurnal tematik. Kalimat yang menjadi judul buku ternyata
hanya mewakili satu artikel saja yang merupakan artikel pembuka di buku ini.
Artikel itu ditulis oleh Mirza Tirta Kusuma yang sekaligus berperan sebagai
editor buku. Padahal, konteks artikel dari Mirza itulah yang paling menarik
minat saya untuk membaca buku ini. Namun, tidak menjadi masalah. Karena, setelah
melihat daftar isi buku, niscaya banyak penulis lain yang begitu masyur
terlibat dalam penyusunan buku ini.
Setelah membolak-balik dan membaca buku ini selama kurang lebih
satu minggu, saya mendapatkan beberapa catatan sederhana. Catatan yang mungkin bersifat
acak dan sembarang, tapi cukup mewakili perasaan saya setelah merampungkan buku
ini. Di antara catatan itu adalah:
1. Baratlah yang mendefinisikan apa itu Barat dan apa itu Timur
Terdapat dua penulis asing yang begitu menokoh dalam diskursus
mengenai Islam dan Indonesia. Mereka adalah John L Esposito dan Martin Van
Bruinessen. Kedua penulis ini, sekali lagi mencoba menjadi mediator komunikasi
antara dunia Islam dan Barat terkait banyak isu. Dalam tulisannya, Esposito
banyak mengangkat titik kesalahpahaman antara dunia Islam dan Barat yang
diresume dari berbagai hasil penelitian statistik.
Tulisan Esposito tentu saja berpretensi baik untuk menengahi
konflik/potensi konflik yang semakin meruncing pasca-September 2001. Meski
demikian, tipikal penulis Barat non-muslim tetaplah tendensius dan kerap
melakukan prejudice terhadap dunia Islam. Sekelas Esposito
bahkan gagap dalam menangkap perbedaan mendasar antara gerakan politik Islam
dengan kelompok Islam liberal. Pada akhirnya, segala gejala formalisasi nilai
Islam akan ditempatkan secara ekstrim di kubu anti-pembaharuan. Sebaliknya,
kelompok liberal Islam ditempatkan sebagai kelompok yang harus diberikan ruang
gerak jauh lebih luas agar potensi konflik antara Barat dan Islam tidak
terjadi. Singkat kata, masa depan harmonisasi hubungan Barat dengan Islam
ditentukan dari meluas dan tidaknya pemikiran liberal Islam itu sendiri.
Tulisan berikutnya dari Martin Van Bruinessen justru melakukan
semacam studi komparasi antara Indonesia dan Turki terkait ide-ide sekularisme.
Pada konklusinya, secara eksplisit Martin menempatkan kelompok muslim yang giat
menerapkan metode hermeneutika sebagai kelompok pembaharu. Hermeneutika
adalah metode yang digunakan sarjana Barat untuk mengkaji kitab suci mereka
dalam tataran ilmiah dan objektif. Penalaran total diberikan prioritas sebelum
keyakinan metafisika terhadap dalil-dalil ilahiah. Hermeneutika jelas
bermasalah dalam studi tafsir Al-Quran karena menempatkan Al-Quran sejajar
dengan buku-buku sejarah pada umumnya. Metode ini digaungkan oleh mereka yang
hari ini disebut kelompok liberal Islam. Dengan demikian, inti argumen Van
Bruinessen berada dalam satu tarikan napas dengan Esposito di bab sebelumnya.
Sejatinya, Esposito hanya memberi pengantar pada tema ini, kemudian
disusul dengan Van Bruinessen yang lebih definit melakukan kategorisasi tentang
siapa yang pembaharu dan siapa yang anti-pembaharuan. Maka, puncaknya ada pada
tulisan Karel Steenbrink. Artikel Steenbrink langsung menunjukkan bagaimana
pola hermeneutika dilakukan dalam membahas kehidupan Nabi Muhammad. Steenbrink
begitu tegas memisahkan Muhammad sebagai seorang utusan Tuhan dan Muhammad
sebagai pria Arab. Dikotomisasi semacam ini tentu saja bermasalah jika
dihadapkan pada keyakinan kolektif bahwa Muhammad adalah seorang Nabi yang
ditakdirkan terlahir di Arab. Umat Islam meyakini bahwa seluruh performa hidup
Nabi Muhammad adalah tuntunan dan petunjuk praktis bagi seluruh umat manusia.
Artinya, tidak ada perbedaan peran kapan Nabi Muhammad bertindak sebagai orang
Arab, dan kapan ia harus ditaati sebagai seorang Nabi.
Sebetulnya saya sudah lelah, kalau tidak mau dikatakan muak
terhadap tulisan-tulisan sarjana Barat non-Islam yang berbicara mengenai Islam.
Awalnya, memang terasa seperti sedang diberi tanggapan, tapi lama kelamaan
terasa seperti sedang diajari cara bertingkah laku. Bagi saya, mendengar
perspektif Islam dari orang non-Islam itu seperti memakan bakso dari tukang
bakso yang tidak pernah memakan bakso yang ia masak. Bukan perkara bakso tersebut
enak atau tidak enak melainkan rasa ragu yang tidak terhindarkan karena si
pembuat bahkan tidak mau memakannya. Kalimat-kalimat para sarjana Barat ini
memang sangat mudah menimbulkan reaksi karena perbedaan identitas yang mereka
miliki dengan umat Islam yang sedang mereka bicarakan. Namun, reaksi tersebut
tidak akan terlalu keras apabila pemikiran mereka disampaikan melalui para
intelektual Islam sendiri yang membaca dan menggilai pemikiran mereka. Inilah
yang saya sebut sebagai kelompok juru bicara pemikiran. Terkadang, mereka
tampil lebih meyakinkan karena sanggup menggabung-gabungkan narasi Barat dengan
literatur dari khasanah pemikiran Islam sendiri.
2.
Pluralisme
diartikan dengan berbagai macam sudut pandang.
Rumpun tulisan pada bab selanjutnya adalah artikel yang
didedikasikan secara khusus untuk memperingati ulang tahun ke 60 Prof. Amin
Abdullah. Beberapa penulis seperti Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, dan Imam
Suprayogo mengambil tema peran intelektual Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Amin Abdullah sendiri lebih dikenal sebagai salah satu intelektual Muslim yang
gemar mempromosikan pluralisme sebagai medium dialog antar agama.
Benang merah dari rangkaian tulisan yang didedikasikan kepada Amin
Abdullah adalah pentingnya menjadi cendikiawan muslim yang menjunjung tinggi
kritisisme terhadap teks suci. Kontraksi atas pemikiran semacam ini tentu saja
banyak terjadi di tengah umat. Namun, rumpun intelektual muslim dengan pola
pikir macam ini juga terus mengembangkan jumlah pengikut dan jejaring sosial di
kalangan akademis. Satu hal yang juga menarik adalah fakta bahwa Amin Abdullah
pernah kuliah di Turki, tempat banyak aktivis Islam juga menempa diri dalam
konteks pergerakan. Turki hari ini, tak pelak menjadi patron banyak negara muslim
karena berhasil mengakomodasi kepentingan umat Islam melalui jalur politik
praktis. Partai penguasa di negara tersebut, AKP, mampu tampil menjalankan
pemerintahan yang berbasiskan ideologi sekuler ketat tapi dengan performa yang
saleh. Boleh jadi, cara berpikir Amin Abdullah dipengaruhi pola negosiasi umat
Islam di Turki dalam ranah politik praktis. Namun, ketika pemikiran macam itu
dikembangkan di Indonesia dengan semangat yang disebut pluralisme ternyata
banyak menimbulkan masalah.
Ada istilah yang begitu mewakili kalangan pluralis yang sahut
menyahut dalam buku ini yaitu; “to be religious is to be inter-religious”.
Istilah ini mewujud pada generasi cendikia yang muncul layaknya juru bicara
kelompok di luar identitasnya. Atas dalih inter-religious tadi, seolah-olah konflik antar agama
(identitas) bisa dinetralkan dengan cara saling mempelajari dan kemudian saling
menihilkan kebenaran ajaran agama masing-masing. Lihatlah betapa istilah truth claim berkali-kali diserang dalam buku ini.
Padahal, konsekuensi logis seseorang ketika memilih salah satu agama adalah
menyalahkan agama yang lain. Padahal, nilai-nilai toleransi dan kasih sayang
sejatinya sudah ada di tiap-tiap agama dan hanya perlu disegarkan kembali
kemudian diaktualisasikan sebagai bentuk ketakwaan. Tidak perlu berdarah-darah
untuk mencari benang merah pada tiap identitas yang ada. Untuk membentuk
pribadi muslim yang taat dan berilmu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar
apalagi harus menjadi umat agama lain sekaligus. Cukup dengan memberikan hormat
dan memberi kesempatan pada ragam identitas lain untuk mengaktualisasikan diri
maka kita sudah bisa hidup lebih bermartabat.
3 comments:
sadis sekali
ketika Mekkah yang didominasi oleh kaum Islam menjadi seperti tempat Las vegas yang di dominasi oleh kaum non-muslim..
Obat Herbal Kanker Otak Tanpa Operasi
Obat Herbal Tetanus Tradisional
Obat Herbal Campak
Obat Herbal Lupus
Obat Herbal Paru-Paru Basah
Obat Herbal Kaki Gajah Bengkak
Obat Herbal Faringitis
Obat Herbal Asam Lambung Kronis Paling Ampuh
ralph lauren factory store
salvatore ferragamo
christian louboutin outlet
polo shirts
new balance shoes
jordan 12
abercrombie and fitch outlet
tods outlet
michael kors purses cheap
dior outlet
ugg boots on sale 70% off
coach purses outlet
ugg boots on sale
coach handbags
salvatore ferragamo shoes
nike air jordan shoes
toms outlet
prada shoes
chanel outlet
nike outlet
burberry sale
ferragamo belts
jordan 6s
girls north face jackets
jordan 11
coach wallets
salomon shoes
timberland boots for women
juicy couture outlet
gucci shoes for men
canada goose coats
north face jackets for women
burberry handbags
nike nfl jresey
timberland shoes
north face outlet
michael kors outlet store
20151029yxj-2
Post a Comment