Tuesday 25 August 2015

EDWARD SAID MINUS ISLAMIC WORLDVIEW

                                                               foto diambil dari sini

Mengingat ada seorang rekan yang begitu gemar membicarakan Edward Said serta teori poskolonialnya, saya jadi ingin mengulas sedikit tentang sosok Edward dalam pandangan saya.

Tidak salah lagi, buku-buku Edward Said adalah karya-karya favorit banyak orang, termasuk saya sendiri. Ketika bukunya yang berjudul Peran Intelektual diterjemahkan oleh Penerbit Obor, saya pun mendapatkan banyak penegasan terkait sikap intelektual seorang Edward Said. Dalam bukunya itu, Said menegaskan bahwa kelompok intelektual adalah mereka yang berani menyatakan kebenaran pada penguasa. Seorang intelektual adalah mereka yang senantiasa kritis dalam situasi dan keadaan apapun. Seorang intelektual boleh menjadi seorang yang solider, tapi tetap dengan sikap kritis dan siap menerima resiko pengasingan dari sikapnya tersebut.

Edward Said yang mengagumi Sigmund Freud, bahkan turut memberi kritik pada intelektual favoritnya itu. Freud yang hidup sebagai seorang Yahudi di Austria menolak segala macam hal terkait zionisme internasional. Bagi Freud, proyek tersebut merupakan sebuah tindakan gila yang tidak boleh dilakukan. Freud cukup konsisten dengan sikapnya tersebut sampai kemudian ia mengalami sendiri proyek holocaust yang dijalankan NAZI di bawah kekuasaan Hitler. Sejak saat itu, Freud mengubah sikap intelektualnya, ia mulai merasa kalau proyek migrasi ke Palestina adalah suatu hal yang masuk akal untuk menyelamatkan hidup dan kehidupannya.

Bagi Said, sikap Freud itu adalah sebuah ambiguitas yang seharusnya tidak ada pada diri seorang intelektual. Meski begitu, Said juga memberi apresiasi positif terhadap karya Freud yang berjudul Moses and Monotheism. Buku itu mengembalikan kekaguman Said pada Freud yang dianggapnya telah lantang mengkritik Zionisme lewat jalan yang paling akademis. Dengan kata lain, sikap Freud terhadap proyek Zionisme internasional bisa jadi merupakan ekspresi pragmatis seorang manusia yang terancam fasisme NAZI. Sedangkan di sisi lain, Said tidak memberikan celah sedikitpun bagi pramatisme dan ambiguitas dalam konteks intelektual. Oleh karena itu, Said mengambil sikap yang jelas dan konsisten dalam mendukung kemerdekaan Palestina sekalipun hal itu sangat berlawanan pada gejala umum kelompok intelektual Barat. Bersama dengan Noam Chomsky, Edward Said muncul sebagai intelektual yang sangat mendukung kemerdekaan Palestina.

Said bahkan mengatakan bahwa perlawanan rakyat Palestina terhadap Israel adalah suatu ekspresi yang sah dari kelompok terjajah. Bagi Said, batu atau rudal yang dilemparkan rakyat Palestina ke arah Israel bukanlah bertujuan untuk menghancurkan negara zionis tersebut. Masyarakat Palestina tahu betul, Israel bukan tandingan mereka dalam konteks militer. Jelas, batu dan rudal-rudal rakitan itu tidak akan bisa menandingi kekuatan militer Israel yang tercatat sebagai salah satu negara dengan kapasitas tempur terbaik di dunia.

Sebaliknya, batu dan rudal Palestina itu adalah alat untuk menjaga kewarasan bangsa Palestina. Alat untuk menjaga mereka tetap sadar kalau mereka masih ada sekalipun rezim zionis begitu giat melenyapkan mereka. Perlawanan tersebut juga memberi sinyal ke seluruh dunia kalau bangsa Palestina masih ada dan proyek genosida zionis belum berhasil melenyapkan mereka.

Keseriusan Said dalam mendukung Palestina sama sekali tidak didasari pada keberpihakan subjektifnya terhadap Islam. Dengan kata lain, Said menampilkan sisi humanisme universal yang paling sekuler dalam dukungannya terhadap Palestina. Bergabungnya Said dengan Dewan Nasional Palestina (PNC) era Yasser Arafat juga tidak menjadi bukti bahwa ia memiliki agenda politis terhadap perjuangan bangsa Palestina. Said menganggap, PNC adalah lembaga perwakilan rakyat Palestina yang paling sah dan didengar oleh dunia internasional. Ia memanfaatkan posisi PNC untuk memperjuangkan cita-citanya memerdekakan Palestina. Hal itu dibuktikan ketika Said juga yang akhirnya memutuskan keluar dari PNC setelah Arafat menandatangani perjanjian Oslo 1993 yang dianggap mengkhianati cita-cita bangsa Palestina untuk kembali ke wilayah mereka.

Tidak ada kepura-puraan dalam ekspresi intelektualitas Edward Said. Tidak pula bisa dikatakan sikapnya itu adalah pencarian sensasi dan popularitas. Said menghadapi banyak hal tidak menyenangkan dengan ketegasan dan konsistensi sikap intelektualnya tersebut. Beragam acaman dan deskriminasi telah ia alami. Ia menjadi terasing di tengah komunitas intelektual Yahudi Amerika yang jumlahnya seperti jamur musim hujan. Dengan pengalaman empiriknya itulah ia menulis secara jelas dan tegas bahwa intelektual sejati adalah mereka yang siap diasingkan dengan pemikirannya sendiri. Seorang intelektual adalah mereka yang tidak berada di atas menara gading intelektual.

Bagi dunia Islam sendiri, Edward Said merefleksikan beberapa kasus kontroversial. Salah satunya adalah dukungan terbukanya terhadap Salman Rushdie, penulis novel Ayat-Ayat Setan dari Inggris. Said secara terbuka mendukung posisi Rushdie dan secara naratif  menyerang rezim Mullah di Iran yang telah memvonis mati novelis tersebut. Dalam suatu acara talkshow yang disiarkan televisi di Amerika Serikat, Said berdiskusi dengan Salman Rushdie terkait vonis mati in-absentia yang dijatuhkan rezim Mullah Iran kepada Rushdie. Dalam acara tersebut, tampak sangat jelas perhatian dan simpati Said terhadap Salman yang dianggapnya sebagai representasi kelompok intelektual.

Episode dukungan Said terhadap Salman Rushdie membentuk garis demarkasi yang sangat jelas terkait posisinya di hadapan masyarakat Islam. Sikap Said memang mengindikasikan netralitas yang sempurna dan lazim di kalangan intelektual. Namun, pilihan sikap itu sangat tidak populer di kalangan umat Islam yang mayoritas menganggap Salman Rushdie telah melakukan blasphemy berat. Meski demikian, fokus perjuangan dan konsistensi Said terhadap isu Palestina jauh lebih terekspos, sehingga Said tidak menghadapi resistens dari masyarakat Islam. Padahal, tidak kurang dari 13 negara berpopulasi muslim termasuk Indonesia saat itu melarang penerbitan buku Satanic Verses milik Salman Rushdie.

Netralitas dan objektivitas tentu merupakan bagian yang sangat penting dalam khasanah intelektualitas seseorang. Namun, pandangan alam (world view) seorang intelektual juga menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kerja intelektualnya. Bagi seorang muslim, kedudukan wahyu dan ajaran Islam akan menjadi supraordinat dari segala penalaran intelektualnya. Itulah yang sering disebut sebagai pandangan alam Islam (Islamic world view). Sedangkan bagi Said, salah satu peran yang wajib diemban oleh seorang intelektual adalah menyatakan kebenaran pada penguasa. Penguasa dalam pengertian Said tidak terbatas pada penguasa politik (negara), melainkan juga para pemimpin agama.
                                                         
Karya monumentalnya, orientalisme, memang menempatkan Islam dan entitas komunitas penganutnya sebagai kelompok yang senantiasa tertindas. Kritik Said dengan jelas menyerang metode framing yang dikembangkan oleh Barat dalam memandang Islam dan umat Islam. Pada titik ini, karya Said tersebut kemudian menjadikannya sebagai ikon perjuangan eksistensi masyarakat Islam di tengah gempuran narasi miring yang dikembangkan akedemisi Barat. Apalagi, Said mengambil porsi yang cukup banyak dalam permasalahan Palestina yang memang menjadi isu besar bagi umat Islam. Dalam konteks Palestina, Said berani menyebut Barat tengah melakukan genosida intelektual terhadap isu tersebut.


Terlepas dari peran Edward Said yang begitu monumental terhadap krisis Palestina, umat Islam tidak seharusnya membutakan mata pada netralitas sekuler seorang Said. Menjadi seorang intelektual yang sejati tentulah mesti sadar akan keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang ia miliki. Kesadaran tersebut disandarkan pada keyakinan bahwa seluruh  ilmu dan hikmah berasal dari wahyu Tuhan sehingga seorang intelektual terhindar dari sikap sombong. Keterbatasan yang dimiliki seorang intelektual pada aspek tersebut seharusnya membuat dirinya tidak mengambil jarak dengan para ulama dan ahli agama. Untuk itulah diperlukan pandangan alam Islam untuk membentuk seorang intelektual yang sejati. Dengan demikian, akan terbentuk komunitas intelektual yang Islami dan mampu memberi manfaat luas bagi umat.

0 comments:

Post a Comment