sumber foto
Satu juta lebih umat Islam turun ke jalan melakukan aksi damai pada 4 November 2016 lalu di Jakarta. Peristiwa sejarah yang penting untuk dicatat karena itulah kali pertama umat Islam Indonesia turun ke jalan dengan jumlah yang sangat masif dan tidak mengatasnamakan kepentingan politik partisan secara praktis.
Satu juta lebih umat Islam turun ke jalan melakukan aksi damai pada 4 November 2016 lalu di Jakarta. Peristiwa sejarah yang penting untuk dicatat karena itulah kali pertama umat Islam Indonesia turun ke jalan dengan jumlah yang sangat masif dan tidak mengatasnamakan kepentingan politik partisan secara praktis.
Tidak lama setelahnya, peristiwa
memilukan terjadi di Samarinda. Seorang teroris yang menggunakan atribut muslim
melempar bom molotov ke halaman sebuah gereja. Bom yang meledak itu menewaskan
satu gadis cilik bernama Intan dan sontak menjadi viral di tengah masyarakat.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai
kaitan dua peristiwa ini, ada baiknya melirik sebentar peristiwa yang pernah
terjadi di era kekuasaan Soekarno. Rentang tahun 1955 sampai 1960an terdapat
ketegangan yang cukup intens antara kelompok Islam yang secara politis diwakili
oleh Masyumi dengan rezim Soekarno yang didukung oleh PKI. Pada September 1957,
umat Islam mengadakan kongres ulama tingkat nasional untuk membahas kedekatan
rezim Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia. Meski inisiator acara tersebut
bukanlah partai Masyumi, akan tetapi tokoh-tokoh Masyumi terlibat secara
langsung di dalamnya. Intinya, kongres yang diselenggarakan di Palembang
tersebut mendesak pemerintah agar selalu waspada terhadap penyebaran ajaran
komunisme yang telah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan politik di tingkat
nasional.
Pertarungan ideolodi antara Islam
dengan komunisme secara praktis terkulminasi pada pertarungan politik di
tingkat elit antara PKI dengan Masyumi. Filsafat humanisme antara Islam yang
menjadi asas Masyumi dengan komunisme yang menjadi asas PKI memang memiliki
perbedaan yang bersifat diametral. Pertentangan di ranah ideologi ini menemukan
bentuk yang makin serius pasca Pemilu pertama tahun 1955. Soekarno yang
memaksakan ideologi Nasionalisme-Agama-Komunisme untuk berkembang menjadi satu
di negara ini memancing resistensi hebat dari kalangan Islamis. Agama terjepit
di antara kelompok nasionalis dan komunis. Meski demikian, perjuangan umat
Islam dilakukan tanpa melakukan konfrontasi fisik/senjata, melainkan melalui
jalur-jalur resmi seperti parlemen dan organisasi masyarakat. Salah satu bentuk
perjuangan itu adalah kongres ulama se-Indonesia yang memberi tekanan pada
pemerintah agar mengantisipasi penyebaran paham komunisme di level elit
politik.
Sebulan setelah kongres tersebut,
terjadilah pengeboman di Cikini yang menewaskan para siswa sekolah. Bom itu
berasal dari sebuah granat yang dilemparkan seseorang yang tidak pernah jelas
identitas kelompoknya. Media memberitakan kalau granat itu ditujukan untuk
membunuh presiden Soekarno, tetapi gagal mencapai sasaran. Pelemparan granat
itu sama sekali tidak terkait dengan kelompok Islam yang sedang berjuang di
Parlemen seperti halnya Masyumi. Akan tetapi, media pro Soekarno dan PKI terus
menerus menyudutkan kelompok Islam sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
peristiwa tersebut. Ekses ketegangan dari peristiwa ini adalah perginya para
petinggi Partai Masyumi dari ibukota karena terus menerus mendapatkan tekanan
dan fitnah dari pihak pro-pemerintah.
Antara peristiwa yang terjadi tahun
1957 dan yang baru saja terjadi di tahun ini tentu saja memiliki kemiripan pola.
Sekelompok umat Islam yang sedang memperjuangkan aspirasi terkait agama mereka
mendapatkan serangan balik dengan cara yang terkesan “konspiratif”. Pada 1957,
umat Islam sedang getol-getolnya menekan pemerintah agar menghentikan
penyebaran paham komunisme yang bertentangan dengan filsafat ketuhanan semua
agama di Indonesia, khususnya Islam. Tidak lama setelah itu, terjadi serangan
bom yang kemudian membuat umat Islam mendapatkan tekanan balik, seolah terlibat
dalam kasus penyerangan tersebut.
Di tahun 2016 ini, setelah aksi simpatik
jutaan umat Islam dilaksanakan dengan damai, munculah aksi susulan berupa
serangan bom di sebuah gereja di Samarinda. Pelaku pelemparan bom
teridentifikasi sebagai mantan narapidana kasus terorisme yang kerap
mengatasnamakan Islam dalam aksi-aksi mereka. Konstruksi wacana yang dibangun
di media pro-pemerintah setelah peristiwa inipun bisa ditebak, Islam adalah
agama yang memiliki elemen radikal inhumanis jika dibiarkan berkembang.
Serangan terhadap rumah ibadah umat Kristiani juga merupakan simbol yang
sengaja dibuat mirip dengan tekanan yang diberikan umat Islam kepada Ahok yang
kebetulan juga beragama Kristen.
Kedua peristiwa yang dibahas tadi,
bom di Cikini tahun 1957 dan bom di Samarinda tahun 2016 memiliki pola konteks
yang mirip. Keduanya diawali oleh aksi kolektif umat Islam dalam menuntut
aspirasi mereka kepada pemerintah. Ujung dari peristiwa yang terjadi tahun 1957
sudah jelas, rezim Soekarno berhasil menyingkirkan musuh politik mereka yang
dipimpin oleh Partai Masyumi. Ekses yang terjadi juga tidak main-main, Masyumi
sebagai partai Islam terbesar saat itu dibubarkan sedangkan para petingginya ditangkap dengan tuduhan merencanakan makar.
Nama-nama seperti Buya Hamka, Mohammad Natsir, Sjafrudin Prawiranegara adalah
beberapa dari mereka yang harus menjalani hukuman penjara selama beberapa
tahun. Dengan pembubaran dan penangkapan para petinggi Masyumi tadi, Soekarno
berhasil menihilkan perjuangan umat Islam melalui jalur parlemen.
Zaman berubah, teknologi informasi
dan komunikasi membuat banyak sekali perubahan mendasar dalam bentuk perjuangan
umat Islam hari ini. Sekalipun media-media pro-pemerintah mencoba membangun
rasa takut dari ancaman terorisme, kelompok Islamis tidak memakan isu tersebut
bulat-bulat. Memanfaatkan teknologi seperti internet, kelas menengah muslim
secara masif menegaskan posisi mereka yang mengutuk serangan bom di Samarinda
tersebut. Secara masif pula kelas menengah muslim ini menegaskan bahwa aksi
teror semacam itu bukan bagian dari ajaran Islam. Semua hal itu dilakukan
secara masif melalui media sosial berbasis daring, sesuatu yang tentu saja belum
ada di tahun 1957. Semua fenomena ini adalah perang wacana di zaman baru. Media
arus utama tidak bisa mengatur logika masyarakat dengan mudah. Akhirnya, tidak ada organisasi Islam apapun
yang ikut serta dalam aksi 4 November yang bisa dikaitkan dengan kejadian bom
di Samarinda. Bahkan, tokoh-tokoh Islam yang terlibat dalam aksi 4 November
juga ikut mengutuk dan menunjukkan sikap permusahan mereka terhadap aksi
terorisme yang mengatasnamakan Islam.
Aksi 4 November 2016 yang lalu jelas
dilakukan oleh elemen umat Islam yang tidak membawa sama sekali bendera partai
politik atau kepentingan praktis kelompok oposisi pemerintah. Meski tidak ada
partai politik yang bisa dijadikan kambing hitam seperti yang terjadi tahun
1957, tuduhan makar tetap diembuskan oleh pemerintah. Kali ini, Kapolri
Jenderal Tito Karnavian menegaskan adanya agenda makar dari rencana aksi
lanjutan tanggal 2 Desember. Oleh karena itu, ia dengan tegas melarang aksi Bela
Islam Jilid 3 yang sudah direncanakan oleh para demonstran. Info tentang agenda
makar tersebut didapatkan dari intelejen kepolisian yang telah melakukan penelusuran
melalui mesin pencari Google. Hal ini tentu saja terkesan memaksa dan tidak
memiliki dasar argumentasi yang kuat, akan tetapi sampai tulisan ini dibuat,
rencana aksi 2 Desember 2016 sepertinya akan tetap dilarang oleh Kepolisian.
Belum jelas ujung dari semua
rentetan peristiwa yang terjadi di tahun 2016 ini. Namun, satu hal yang pasti,
sejarah telah menunjukkan dengan jelas bahwa Islam dan umatnya tidak pernah
mendapatkan tempat yang layak dalam proses demokrasi di negara ini sekalipun
mereka adalah kelompok mayoritas. Umat Islam selalu dipinggirkan dan aspirasi
mereka kerap dikategorikan sebagai pemecah persatuan bangsa. Bahkan, di sektor
ekonomi, umat Islam benar-benar hanya menjadi pasar dalam sistem ekonomi
kapitalis yang hari ini menjadi wadah kumpul kebo antara penguasa dengan
pengusaha. Isu terakhir yang membuktikan hal ini adalah kepanikan yang
ditunjukkan oleh Menteri Keuangan ketika merebaknya ajakan bagi umat Islam untuk
menarik uang besar-besaran dari bank-bank milik pemerintah. Sri Mulyani sebagai
perpanjangan tangan kepentingan korporasi besar di negara ini tentu saja harus
bersuara keras dan kemudian menganggap ajakan tersebut sebagai suatu tindakan
yang tidak bertanggung jawab. Kepanikan Sri Mulyani inilah yang membuktikan
betapa strategisnya umat Islam di negara ini sekaligus ironi karena aspirasi
mereka sering tidak didengar. Ironi, karena saat aspirasi yang tidak pernah
didengar di saat yang sama pula uang milik umat Islam dipakai entah untuk apa
dan mensejahterakan siapa.
Tidak ada yang menginginkan negara
ini terpecah belah dan terjebak dalam konflik sektarian seperti yang terjadi di
Suriah meskipun kita tahu konteksnya sangat berbeda. Sejarah hanya memberi
peringatan bahwa kesabaran dalam perjuangan itu tetap menjadi orientasi
kelompok Islamis yang sejati di negara ini. Mereka yang mencoba melakukan aksi
teror dan kekerasan tentu saja bukan bagian dari kelompok Islamis. Saya sendiri
meyakini bahwa konspirasi selalu bersifat praktik dan bukan teori. Oleh karena
itu, proses demokratisasi yang masih seumur jagung di negara ini harus bisa
dilalui dengan mulus. Segala tindak teror yang memecah belah kekuatan umat
Islam jelas sebuah praktik konsporasi. Kedewasaan umat Islam dalam berdemokrasi
sudah ditunjukkan dalam bentuk tuntutan yang sah terkait penegakan supremasi
hukum sebagai pilar demokrasi itu sendiri.
0 comments:
Post a Comment