Monday 19 December 2016

KITA HANYA MENJALANI SEJARAH (YANG KEBETULAN BERULANG)

                                                                    sumber foto

Satu juta lebih umat Islam turun ke jalan melakukan aksi damai pada 4 November 2016 lalu di Jakarta. Peristiwa sejarah yang penting untuk dicatat karena itulah kali pertama umat Islam Indonesia turun ke jalan dengan jumlah yang sangat masif dan tidak mengatasnamakan kepentingan politik partisan secara praktis.

Tidak lama setelahnya, peristiwa memilukan terjadi di Samarinda. Seorang teroris yang menggunakan atribut muslim melempar bom molotov ke halaman sebuah gereja. Bom yang meledak itu menewaskan satu gadis cilik bernama Intan dan sontak menjadi viral di tengah masyarakat. 

Sebelum membahas lebih jauh mengenai kaitan dua peristiwa ini, ada baiknya melirik sebentar peristiwa yang pernah terjadi di era kekuasaan Soekarno. Rentang tahun 1955 sampai 1960an terdapat ketegangan yang cukup intens antara kelompok Islam yang secara politis diwakili oleh Masyumi dengan rezim Soekarno yang didukung oleh PKI. Pada September 1957, umat Islam mengadakan kongres ulama tingkat nasional untuk membahas kedekatan rezim Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia. Meski inisiator acara tersebut bukanlah partai Masyumi, akan tetapi tokoh-tokoh Masyumi terlibat secara langsung di dalamnya. Intinya, kongres yang diselenggarakan di Palembang tersebut mendesak pemerintah agar selalu waspada terhadap penyebaran ajaran komunisme yang telah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan politik di tingkat nasional.

Pertarungan ideolodi antara Islam dengan komunisme secara praktis terkulminasi pada pertarungan politik di tingkat elit antara PKI dengan Masyumi. Filsafat humanisme antara Islam yang menjadi asas Masyumi dengan komunisme yang menjadi asas PKI memang memiliki perbedaan yang bersifat diametral. Pertentangan di ranah ideologi ini menemukan bentuk yang makin serius pasca Pemilu pertama tahun 1955. Soekarno yang memaksakan ideologi Nasionalisme-Agama-Komunisme untuk berkembang menjadi satu di negara ini memancing resistensi hebat dari kalangan Islamis. Agama terjepit di antara kelompok nasionalis dan komunis. Meski demikian, perjuangan umat Islam dilakukan tanpa melakukan konfrontasi fisik/senjata, melainkan melalui jalur-jalur resmi seperti parlemen dan organisasi masyarakat. Salah satu bentuk perjuangan itu adalah kongres ulama se-Indonesia yang memberi tekanan pada pemerintah agar mengantisipasi penyebaran paham komunisme di level elit politik.

Sebulan setelah kongres tersebut, terjadilah pengeboman di Cikini yang menewaskan para siswa sekolah. Bom itu berasal dari sebuah granat yang dilemparkan seseorang yang tidak pernah jelas identitas kelompoknya. Media memberitakan kalau granat itu ditujukan untuk membunuh presiden Soekarno, tetapi gagal mencapai sasaran. Pelemparan granat itu sama sekali tidak terkait dengan kelompok Islam yang sedang berjuang di Parlemen seperti halnya Masyumi. Akan tetapi, media pro Soekarno dan PKI terus menerus menyudutkan kelompok Islam sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Ekses ketegangan dari peristiwa ini adalah perginya para petinggi Partai Masyumi dari ibukota karena terus menerus mendapatkan tekanan dan fitnah dari pihak pro-pemerintah.

Antara peristiwa yang terjadi tahun 1957 dan yang baru saja terjadi di tahun ini tentu saja memiliki kemiripan pola. Sekelompok umat Islam yang sedang memperjuangkan aspirasi terkait agama mereka mendapatkan serangan balik dengan cara yang terkesan “konspiratif”. Pada 1957, umat Islam sedang getol-getolnya menekan pemerintah agar menghentikan penyebaran paham komunisme yang bertentangan dengan filsafat ketuhanan semua agama di Indonesia, khususnya Islam. Tidak lama setelah itu, terjadi serangan bom yang kemudian membuat umat Islam mendapatkan tekanan balik, seolah terlibat dalam kasus penyerangan tersebut.

Di tahun 2016 ini, setelah aksi simpatik jutaan umat Islam dilaksanakan dengan damai, munculah aksi susulan berupa serangan bom di sebuah gereja di Samarinda. Pelaku pelemparan bom teridentifikasi sebagai mantan narapidana kasus terorisme yang kerap mengatasnamakan Islam dalam aksi-aksi mereka. Konstruksi wacana yang dibangun di media pro-pemerintah setelah peristiwa inipun bisa ditebak, Islam adalah agama yang memiliki elemen radikal inhumanis jika dibiarkan berkembang. Serangan terhadap rumah ibadah umat Kristiani juga merupakan simbol yang sengaja dibuat mirip dengan tekanan yang diberikan umat Islam kepada Ahok yang kebetulan juga beragama Kristen. 

Kedua peristiwa yang dibahas tadi, bom di Cikini tahun 1957 dan bom di Samarinda tahun 2016 memiliki pola konteks yang mirip. Keduanya diawali oleh aksi kolektif umat Islam dalam menuntut aspirasi mereka kepada pemerintah. Ujung dari peristiwa yang terjadi tahun 1957 sudah jelas, rezim Soekarno berhasil menyingkirkan musuh politik mereka yang dipimpin oleh Partai Masyumi. Ekses yang terjadi juga tidak main-main, Masyumi sebagai partai Islam terbesar saat itu dibubarkan sedangkan para petingginya  ditangkap dengan tuduhan merencanakan makar. Nama-nama seperti Buya Hamka, Mohammad Natsir, Sjafrudin Prawiranegara adalah beberapa dari mereka yang harus menjalani hukuman penjara selama beberapa tahun. Dengan pembubaran dan penangkapan para petinggi Masyumi tadi, Soekarno berhasil menihilkan perjuangan umat Islam melalui jalur parlemen.

Zaman berubah, teknologi informasi dan komunikasi membuat banyak sekali perubahan mendasar dalam bentuk perjuangan umat Islam hari ini. Sekalipun media-media pro-pemerintah mencoba membangun rasa takut dari ancaman terorisme, kelompok Islamis tidak memakan isu tersebut bulat-bulat. Memanfaatkan teknologi seperti internet, kelas menengah muslim secara masif menegaskan posisi mereka yang mengutuk serangan bom di Samarinda tersebut. Secara masif pula kelas menengah muslim ini menegaskan bahwa aksi teror semacam itu bukan bagian dari ajaran Islam. Semua hal itu dilakukan secara masif melalui media sosial berbasis daring, sesuatu yang tentu saja belum ada di tahun 1957. Semua fenomena ini adalah perang wacana di zaman baru. Media arus utama tidak bisa mengatur logika masyarakat dengan mudah.  Akhirnya, tidak ada organisasi Islam apapun yang ikut serta dalam aksi 4 November yang bisa dikaitkan dengan kejadian bom di Samarinda. Bahkan, tokoh-tokoh Islam yang terlibat dalam aksi 4 November juga ikut mengutuk dan menunjukkan sikap permusahan mereka terhadap aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam.

Aksi 4 November 2016 yang lalu jelas dilakukan oleh elemen umat Islam yang tidak membawa sama sekali bendera partai politik atau kepentingan praktis kelompok oposisi pemerintah. Meski tidak ada partai politik yang bisa dijadikan kambing hitam seperti yang terjadi tahun 1957, tuduhan makar tetap diembuskan oleh pemerintah. Kali ini, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan adanya agenda makar dari rencana aksi lanjutan tanggal 2 Desember. Oleh karena itu, ia dengan tegas melarang aksi Bela Islam Jilid 3 yang sudah direncanakan oleh para demonstran. Info tentang agenda makar tersebut didapatkan dari intelejen kepolisian yang telah melakukan penelusuran melalui mesin pencari Google. Hal ini tentu saja terkesan memaksa dan tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat, akan tetapi sampai tulisan ini dibuat, rencana aksi 2 Desember 2016 sepertinya akan tetap dilarang oleh Kepolisian.

Belum jelas ujung dari semua rentetan peristiwa yang terjadi di tahun 2016 ini. Namun, satu hal yang pasti, sejarah telah menunjukkan dengan jelas bahwa Islam dan umatnya tidak pernah mendapatkan tempat yang layak dalam proses demokrasi di negara ini sekalipun mereka adalah kelompok mayoritas. Umat Islam selalu dipinggirkan dan aspirasi mereka kerap dikategorikan sebagai pemecah persatuan bangsa. Bahkan, di sektor ekonomi, umat Islam benar-benar hanya menjadi pasar dalam sistem ekonomi kapitalis yang hari ini menjadi wadah kumpul kebo antara penguasa dengan pengusaha. Isu terakhir yang membuktikan hal ini adalah kepanikan yang ditunjukkan oleh Menteri Keuangan ketika merebaknya ajakan bagi umat Islam untuk menarik uang besar-besaran dari bank-bank milik pemerintah. Sri Mulyani sebagai perpanjangan tangan kepentingan korporasi besar di negara ini tentu saja harus bersuara keras dan kemudian menganggap ajakan tersebut sebagai suatu tindakan yang tidak bertanggung jawab. Kepanikan Sri Mulyani inilah yang membuktikan betapa strategisnya umat Islam di negara ini sekaligus ironi karena aspirasi mereka sering tidak didengar. Ironi, karena saat aspirasi yang tidak pernah didengar di saat yang sama pula uang milik umat Islam dipakai entah untuk apa dan mensejahterakan siapa.

Tidak ada yang menginginkan negara ini terpecah belah dan terjebak dalam konflik sektarian seperti yang terjadi di Suriah meskipun kita tahu konteksnya sangat berbeda. Sejarah hanya memberi peringatan bahwa kesabaran dalam perjuangan itu tetap menjadi orientasi kelompok Islamis yang sejati di negara ini. Mereka yang mencoba melakukan aksi teror dan kekerasan tentu saja bukan bagian dari kelompok Islamis. Saya sendiri meyakini bahwa konspirasi selalu bersifat praktik dan bukan teori. Oleh karena itu, proses demokratisasi yang masih seumur jagung di negara ini harus bisa dilalui dengan mulus. Segala tindak teror yang memecah belah kekuatan umat Islam jelas sebuah praktik konsporasi. Kedewasaan umat Islam dalam berdemokrasi sudah ditunjukkan dalam bentuk tuntutan yang sah terkait penegakan supremasi hukum sebagai pilar demokrasi itu sendiri.

*Tulisan ini dibuat pasca aksi damai 4 November 2016 dan sebelum aksi damai 2 Desember 2016 

0 comments:

Post a Comment