“Di dalam hidup ada saat untuk
berhati-hati atau berhenti berlari”
(Taifun, BaraSuara)
Setelah teror bom yang mengguncang
Sarinah, aksi tembak menembak dan evakuasi para korban termasuk pelaku, muncul
kegaduhan hebat di media arus utama dan sosial. Khusus di ranah maya, media
sosial memainkan peran penting menyebarkan beragam opini, analisis, tausiyah,
sampai kuliah umum tentang teori konspirasi.
Ada tagar dengan kalimat “Kami Tidak
Takut” yang kemudian menjadi pembicaraan utama pasca serangan bom tersebut.
Tagar ini juga diliput dan digunakan oleh para pengguna media sosial di luar
negeri sebagai bentuk solidaritas kepada warga Jakarta.
Seorang sahabat lama yang sudah menjadi
istri saya mengatakan kalau tagar terkait teror bom kerap berubah tiap kurang
lebih satu jam sekali. Diawali oleh tagar “TerorSarinah” kemudian dilanjutkan
oleh tagar “KamiTidakTakut”, dua tagar ini merepresentasikan keterkejutan dan
optimisme masyarakat terkait teror di Sarinah. Tidak seperti teror di Paris, tanpa
bermaksud membandingkan jumlah korban, tagar “PrayForJakarta” atau yang
sejenisnya tidak bertahan lama untuk menjadi tren pembicaraan di Twitter. Fokus
perbincangan kemudian beralih kepada hal-hal yang dianggap “kesenangan
sampingan” di tengah hirup pikuk teror.
Bayangkan saja, tidak lama setelah
tagar “KamiTidakTakut”, pengguna twitter mulai fokus ke tagar “PolisiGanteng”. Tidak
lama kemudian, ada semacam rasa penasaran yang kolektif tentang identitas si
“polisi ganteng” itu. Dan seterusnya sampai tagar yang menjelaskan identitas nama dan status asmara sang polisi.
Foto dari berbagai sumber di media daring
Guyon dan candaan yang tersebar luas
itu mendapatkan pembenaran ketika media asing pun melihat dari sisi positif
bahwa hal tersebut merupakan bukti ketidak-takutan masyarakat Indonesia
terhadap terorisme. Maka, makin menjadi-jadilah sebaran tagar, meme, dan twit guyon terkait teror di Sarinah.
Dalam konsep yang dipikirkan oleh Daniel Bell terkait masyarakat post-industri hari ini, semua hal tersebut tidaklah aneh.
Masyarakat sudah dilatih dan terlatih untuk tidak fokus pada satu masalah. Ini
bukan sesuatu yang alamiah melainkan produk dari budaya komunikasi non-formal
masyarakat post-industri. Percepatan dan kecepatan informasi menjadi harga mati
untuk masyarakat modern berbasis perkotaan. Ada semacam kompetisi non-formal
antara tiap orang untuk mendapatkan informasi paling pertama dan paling cepat
menyebarkannya kembali.
Simak saja tayangan berita berdurasi
30 menit (sudah termasuk iklan). Biasanya, tayangan berita harian dibagi ke
dalam beberapa segmen tema yang formulanya entah disusun oleh siapa.
Setidaknya, menit-menit awal pemirsa akan disuguhi berita politik yang
sensasional. Konsep bad news is a good
news akan bermain cantik di sesi ini. Berita politisi korup dan kisruh
parpol bisa jadi liputan utama sesi ini. Rasa kesal dan muak kala melihat
pentas politik yang kotor akan terpancing keluar dari benak pemirsa yang
menonton. Namun, belum selesai pemirsa mengendapkan dan memikirkan sikap
terbaik untuk mengunyah berita tersebut, sesi berikutnya sudah dimulai.
Di sesi berikutnya bisa jadi
ditampilkan berita tentang bencana kemanusiaan seperti korban pembunuhan,
penculikan, atau kebakaran dan sejenisnya. Pada sesi ini pemirsa diajak
berempati dan berbelas kasih pada korban yang ditayangkan. Kadang, sang pembaca
berita juga menampilkan gestur sedih beserta kalimat harapan dan doa. Perasaan
empati dan belas kasih dari pemirsa itu digiring untuk keluar saat disuguhi
tayangan berita di sesi ini.
Belum selesai pemirsa bersedih dan
berempati, sesi berikutnya langsung membahas hasil pertandingan sepakbola dari
liga-liga favorit. Pada sesi ini, pemirsa yang kebetulan merupakan fans dari
salah satu klub sepakbola akan bereaksi sangat puas dan girang jika melihat
keberhasilan klub favoritnya ditayangkan dalam liputan berita. Begitu pula dari
pihak pendudukung tim yang kalah, rasa kesal dan gemas akan muncul saat
menyaksikan liputan berita.
Di sesi terakhir, template program berita tanah air
biasanya membahas hal-hal ringan dan hiburan seperti wisata, hal-hal unik, atau
kuliner. Pada sesi ini, pemirsa yang baru saja meluapkan eforia atas
kemenangan/kekalahan tim sepak bola kesayangan mereka diajak bersenang-senang
dengan tawaran wisata yang unik dan menarik. Begitu juga penonton yang
sebelumnya kecewa dengan hasil pertandingan klub kesayangannya, mereka diajak
untuk melupakan kekesalan itu dan gembira menyaksikan tayangan.
Lihatlah kembali, selama kurang lebih
30 menit, perasaan seorang penonton program berita diaduk-aduk mulai dari
marah, kesal, sedih, sampai senang. Seorang penonton tidak diberikan waktu
untuk sekadar merenung, mengendapkan informasi yang diterima, apalagi
memverifikasi lebih jauh informasi-informasi tersebut.
Maka tidak mengherankan jika sebuah
berita tentang terorisme dimaknai sekadarnya saja oleh sebagian besar
masyarakat kelas menengah kita. Silang sengkarut mengenai siapa para pelaku dan
apa motif mereka sama sekali tidak mendapatkan tempat yang proporsional bagi
para penonton. Tidak ada kedalaman makna sebuah peristiwa yang bisa direnungkan
oleh masyarakat. Tidak ada waktu untuk saling berpikir dan merefleksi dengan
bijak sebuah tragedi kemanusiaan.
Kondisi ini akut menurut hemat saya,
mengapa? Karena ketenangan masyarakat kita terkait teror tidak disebabkan
mentalitas para pemberani seperti halnya yang terjadi di Palestina atau
wilayah-wilayah konflik lainnya. Ketenangan kita didapatkan dari rasa cuek dan schizophrenia informasi yang telah
sangat parah menjangkiti masyarakat kelas menengah kita. Tidak ada empati
kolektif dan tidak ada ketakutan tentang radikalisasi ajaran agama yang kerap
dipolitisasi oleh pihak penguasa. Kita berpura-pura tidak takut, atau lebih
tepatnya kita sudah lebih menakutkan daripada terorisme itu sendiri.
Sebagai pembanding, kita bisa menilik
tragedi teror bom di Paris beberapa waktu lalu. Suasana mencekam dan berkabung
yang dirasakan masyarakat Paris pasca teror bom saat itu tidak terjadi di
Jakarta. Ketakutan masyarakat Barat, dalam hal ini Perancis tentang teror
adalah refleksi dari filsafat humanisme mereka yang bertendensi sekuler dan
menolak kehidupan setelah kematian. Ajaran Nietzsche yang terkenal dengan kalimat
“Tuhan telah mati” bisa menjadi alasan kuat ketakutan masyarakat Barat terhadap
aksi-aksi teror semacam itu. Bagi mereka, kematian adalah selesainya segala
urusan duniawi dan perpisahan yang abadi.
Sebaliknya, bagi masyarakat muslim,
kematian adalah keniscayaan. Seorang muslim yang beriman dan berakhlak baik
sejatinya tidak takut akan kematian. Sebaliknya, kematian tiba-tiba seperti
menjadi korban dalam kasus terorisme justru dianggap jalan pintas menuju surga.
Bagaimana tidak, mati dalam kondisi sedang beribadah (termasuk aktivitas
non-ritual) akan didakwa syahid dalam ajaran Islam. Di sisi lain, bagi keluarga
dan kerabat seorang muslim, kematian adalah perpisahan sementara menuju
kehidupan abadi yang lebih baik setelahnya. Jika demikian, pantaslah jika
seharusnya masyarakat Islam itu tidak pernah takut akan teror dan kematian.
Namun, apakah ungkapan “KamiTidakTakut” merefleksikan hal semacam itu? Saya
pikir tidak.
Ungkapan “KamiTidakTakut” menjadi
hambar tatkala tren pembicaraan selanjutnya adalah sang “polisi ganteng”.
Betapa tidak eloknya melihat urutan trending
topic yang ada di Twitter pada hari tragedi itu. Betul, kemampuan berguyon
memang menunjukkan perasaan tidak khawatir. Namun, bukankah ini tragedi
kemanusiaan yang serius? Terlepas dari teori konspirasi yang mungkin diatur
penguasa, atau silang sengkarut beragam aspek, tetap saja kita semestinya
bereaksi dengan pantas.
Kalangan ulama juga memberikan respon
normatif dan sekadarnya. Padahal, potensi pengatasnamaan Islam dalam terorisme
seharusnya menjadi isu utama di semua majelis. Studi kasus empirisnya adalah
khotbah yang saya ikuti ketika sholat Jumat di minggu tersebut. Sungguh, sang
khotib tidak membicarakan sama sekali kasus teror Sarinah. Alih-alih tampak cuek
dan tidak takut, saya justru merasa sebagian (besar) umat Islam memang sudah
mati rasa. Padahal, sholat Jumat adalah kesempatan terbaik bagi setiap pemuka
agama untuk memberikan pandangan yang lurus terkait segala hal yang bertendensi
merugikan Islam. Saya berkeyakinan, khotbah yang tidak membahas terorisme di
Sarinah pasti ditemui di banyak masjid di Indonesia.
Ketergesaan, perlombaan tanpa ujung
di rutinitas masyarakat post-industri memang sudah sangat meresahkan. Segala
macam urusan penting dibuat instan dan portable.
Tidak ada kedalamaan makna dan perenungan sebuah peristiwa yang semestinya
menjadi alat asah bagi hati manusia. Para budayawan, rohaniwan, dan filosof
mungkin tetap melakukan pemikiran yang mendalam. Akan tetapi, intisari
pemikiran mereka pada akhirnya teringkus juga dalam 114 karakter di Twitter. Sesuatu
yang sebenarnya “dalam” dikemas menjadi instan dan akhirnya mampir dalam eforia
dan berlalu begitu saja.
Umat Islam seharusnya bisa mengambil
teladan dari ibadah yang bernama sholat lima waktu. Islam mewajibkan umatnya
untuk sholat lima kali dalam sehari di tengah segala aktifitas dunia.
Hakikatnya sholat tersebut merupakan istirahat dari hiruk pikuk kesibukan
sehari-hari. Seseorang diajarkan untuk menenangkan diri sejenak, sambil berkontemplasi
dan membasahi rohaninya untuk kemudian melanjutkan aktifitas hariannya. Sholat
memberikan jeda agar manusia tidak terburu-buru mengejar “dunia”.
Belum lagi ajaran untuk melakukan
tabayun, verifikasi informasi yang seharusnya dilakukan setiap umat, saat ini
sudah jarang terlihat. Metode tabayun sangat sulit dilakukan jika hanya
mengandalkan layar gadget. Perlu
majelis dan lingkaran pertemanan yang bisa dipercaya untuk menjelaskan duduk
perkara sebuah informasi. Maka, kembalilah ke majelis-majelis ilmu, temuilah
para ulama dan guru-guru yang bisa dipercaya. Duduk tenang, ikhlaskan hati, dan dengarkan baik-baik penjelasan mereka!
0 comments:
Post a Comment