Tuesday 23 March 2010

DEAD OR ALIVE


Mari kita mulai dengan sebuah pertanyaan dan polemik yang terjadi seputar aksi penangkapan para teroris di Indonesia?
Kenapa polisi tidak berusaha menangkap para pelaku tersebut hidup-hidup?
Jika anda yang diberikan pertanyaan demikian, kira-kira apa jawaban anda.?

Sebagian besar dari masyarakat kita sangat menyesali tindakan polisi yang berlebihan dalam menangkap para tersangka kasus terorisme. Beberapa bulan yang lalu, kita disuguhi drama penangkapan seorang Noordin M Top di daerah Temanggung, Jawa Tengah. Bayangkan, hanya untuk menangkap satu ekor Noordin, pihak keamanan menurunkan hampir satu peleton pasukan ke wilayah tersebut. Itu artinya ada sekitar 200 personel polisi yang bersenjata lengkap dan berjaga di setiap sudut lingkungan rumah Noordin. Namun, apa yang terjadi pada akhir drama tersebut? Noordin tewas begitu saja setelah sekian lama meladeni berondongan senapan dan pistol polisi. Masyarakat yang begitu penasaran terhadap Noordin M top beserta jaringannya kecewa karena polisi tidak bisa menangkap Noordin dalam keadaan hidup. Masyarakat yang selama ini disuguhi poster Noordin di setiap sudut kota, pastilah sangat ingin membandingkan hasil tangkapan Polisi dengan wajah buronan yang sudah sangat terkenal itu.

Yang lebih kacau lagi, pengerahan satu peleton yang kemungkinan terdiri atas beberapa anggota Densus 88, Brimob, polisi reguler, reserse, sampai Polantas (mungkin) hanya untuk menangkap satu orang Noordin. Kita yang mengikuti drama tersebut, pasti ingat bahwa tidak ada perlawanan yang berarti dari Noordin yang membuat polisi harus melakukan pendekatan yang begitu “combatan”.

Mr.Noordin juga tidak memiliki sandera yang membuat polisi harus sangat berhati-hati dalam memberikan tindakan kontra-terorisme. Selain itu, pihak intelijen juga tidak menemukan data yang menyebutkan bahwa di rumah tersebut, Noordin memiliki bahan peledak high explosive yang dapat ia ledakkan kapan saja. Seandainya pun Noordin memiliki bahan peledak, kita pasti bisa memastikan bahwa tidak akan ada korban selain Noordin sendiri apabila bom itu diledakkan. Evakuasi total sudah dilakukan oleh pihak keamanan terhadap TKP. Sterilisasi juga dilakukan sampai radius 3 kilometer. Lantas, apa yang menjadi ketakutan aparat dalam menangkap Noordin?

Beberapa minggu lalu, kejadian serupa terjadi di daerah Pamulang, Tangerang. 3 tersangka kasus terorisme dilumpuhkan (baca: dimatikan) oleh aparat kepolisian. Kali ini, tindakan aparat jauh lebih rasional. Pertama, karena TKP adalah daerah pemukiman padat yang sangat berisiko apabila dipaksakan adanya baku tembak yang berkepanjangan. Kedua, demikian juga apabila para tersangka ini memiliki bom yang dapat diledakkan sewaktu-waktu. Tindakan aparat bisa lebih dimengerti, tapi tetap saja, masyarakat sangat ingin melihat wajah Dulmatin yang terlanjur di-go public-kan. Kadang, kita yang sering menonton film-film action yang bergenre terorisme bisa membuat sebuah skenario sendiri. Mungkin kita akan berpikir bahwa seharusnya pihak aparat menggunakan cara-cara yang cerdik untuk melumpuhkan para teroris tanpa harus membunuh mereka. Dengan peluru karet misalnya, atau dengan gas tidur. Atau dengan peluru bius dan lain-lain. Tapi kenapa sekali lagi aparat memilih untuk membunuh para teroris ini. Seolah-olah aparat kita terlibat dendam emosional dengan para pelaku terror itu.

Tindakan sudah diambil, kita tidak bisa mundur lagi ke belakang. Kita hanya bisa mencoba menganalisa.

Membunuh di tempat.
Ketika saya membaca buku yang ditulis oleh Durorrudin Mashad yang berjudul “Kashmir”, cara pandang saya terhadap penyikapan aparat kepolisian terhadap para teroris di dunia ketiga berubah sama sekali. Dalam buku tersebut, para pelaku terorisme di Pakistan terlibat masalah konspirasi yang cukup rumit dengan pihak kemanan. Pihak keamanan India menculik dan menyandera anggota keluarga dari para pemuda Pakistan/Kashmir yang dianggap radikal. Dengan lingkaran yang sangat tertutup, pihak intelijen India melatih dengan serius para pemuda ini untuk melakukan aksi teror. Para pemuda ini dipaksa untuk mengikuti kemauan pihak Intelijen dengan ancaman keselamatan anggota keluarganya di Pakistan. Selang beberapa bulan, mereka pun akhirnya melaksanakan operasi teror yang sudah direncanakan tersebut. Dengan sangat gegabah dan penuh kecerobohan, mereka akan melakukan aksi terorisme yang bisa membuat seluruh dunia berpaling ke mereka. Setelah itu, aparat yang sudah memiliki data-data mengenai aksi tersebut akan tampak sangat sigap menangkal aksi mereka. Dan pada akhirnya, mereka semua akan dibunuh di tempat dan tidak akan ada pengadilan atas tindakan mereka. Artinya, mereka akan mati sebelum sempat dinterogasi. Terdengar lucu ya? Tapi inilah yang ditulis di dalam buku itu. Durorrudin Mashad menggunakan data-data yang cukup banyak untuk memperkuat argumentasinya. Dan ketika teror Mumbay terjadi tahun lalu, saya langsung mengubungkannya dengan analisa Pak Mashad. Dalam aksi tersebut, seluruh teroris dihabisi oleh pihak keamanan India.
Masalah jatuhnya korban sipil tidak terlalu menjadi persoalan bagi pihak sutradara. Hal itu akan menjadi bumbu yang sangat sedap bagi insan media dalam peliputan mereka. Setelah semuanya “bersih” maka hanya tinggal pihak keamanan yang bisa diinterogasi terkait dengan teror tersebut. Setelah itu, kita pasti tahu apa yang akan terjadi.
Jika model seperti ini yang terjadi dalam kasus terorisme Indonesia, maka kita tidak perlu meributkan permasalahan terorisme lalu mengait-ngaitkannya dengan gerakan Islam tertentu. Namun, apabila hal itu merupakan prosedur kepolisian kita dalam masalah kontra terorisme, maka hal tersebut perlu ditinjau ulang.

Menangkap hidup-hidup
Tiga terpidana mati Bom Bali adalah para pelaku terorisme yang berhasil ditangkap hidup-hidup. Mereka adalah Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudra. Ketiganya berhasil ditangkap hidup-hidup dan divonis bersalah atas tindakan terorisme di Bali tahun 2002 lalu. Hal ini adalah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Tiba-tiba semuanya tampak berkaitan antara fenomena pengejaran al-Qaeda, perang Irak, Afghanistan dan munculnya gerakan-gerakan Islam pasca-reformasi. Pihak media selalu setia mengikuti setiap detik perkembangan kasus trio bom bali itu. Sejak mereka tertangkap, diadili sampai divonis mati dan akhirnya dieksekusi. Coba ingat-ingat apa yang kita lihat? Dari pemberitaan media, kita bisa melihat bahwa ketiga terpidana mati bom Bali ini adalah sosok-sosok yang sangat religius. Mereka menampilkan wajah yang sangat Islami. Dari memakai sorban, memelihara janggut, berdahi hitam dan bercelana ngatung (isbal). Kita juga bisa melihat bahwa keluarga mereka adalah orang-orang yang juga religius, setidaknya para Isteri mereka yang menggunakan jilbab panjang dan cadar. Ketika mereka berada di penjara, mereka juga kerap menjadi ustadz bagi para narapidana lainnya. Media juga kerap meliput mereka yang senantiasa membaca al-Quran, solat malam serta dhuha. Intinya, melalui pemberitaan media, kita bisa memastikan ketiganya adalah orang-orang Islam yang rajin beribadah. Ketiga terpidana mati bom Bali itu juga sempat menulis buku di balik penjara. Namun, buku itu tidak beredar luas di masyarakat. Kesalehan yang mereka tampilkan di dalam penjara bukan kesalehan seperti layaknya seorang napi yang tobat. Namun, hal tersebut adalah sesuatu yang sudah ada pada diri mereka sebelum masuk penjara.

Pelan tapi pasti, masyarakat kita semakin phobia terhadap tampilan fisik para terpidana mati ini. Padahal, pilihan fikih para teroris ini memiliki banyak irisan dengan gerakan Islam laiinya (yang non-teror). Kebiasaan memelihara janggut dan mengenakan celana Isbal adalah hal yang sangat mudah ditemukan pada gerakan Islam di dunia saat ini. Selain itu, kebiasaan menghidupkan sunah-sunah Rasul seperti tilawah dan solat malam juga banyak dilakoni umat Islam lainnya. Pada akhirnya, orang tua akan sangat kawatir apabila anaknya mulai rajin solat malam dan pergi ke Masjid untuk solat berjamaah. Mereka kawatir anak-anak mereka teribat jaringan terorisme. Inilah kerugian paling besar yang dihadapi umat Islam apabila para pelaku terorisme itu ditangkap hidup-hidup. Kondisi media yang tidak memihak umat Islam dalam content pemberitaan mereka mampu menjadi alat cuci otak yang efektif bagi masyarakat.

Suatu ketika saya berada di bandara Soekarno Hatta. Saat itu ada sepasang suami istri yang lewat. Si suami mengenakan gamis, sorban, berjanggut panjang dan berdahi hitam. Sang isteri mengenakan cadar dengan jilbab panjang yang berwarna hitam. Saat itu, semua orang melihat ke arah mereka dengan pandangan yang aneh. Mungkin mereka menganggap keduanya sebagai pasangan teroris. Saya iba dengan pasangan suami istri ini. Saya berkhusnu`zhon bahwa mereka orang-orang yang baik. Namun, ketiga terpidana mati yang dibiarkan hidup itu, telah menyeret umat ke dalam perkara fitnah yang besar. Sepasang muslim itu telah menjadi korbannya.

0 comments:

Post a Comment